Senin, 30 Oktober 2017

Harga Cabai dan Tulisan

http://www.metrosulawesi.com/article/ibu-rumah-tangga-keluhkan-kenaikan-harga-cabai
            Harga cabai saat ini menjulang tinggi, kira-kira mendekati level harga Rp. 125.000,00/kg, ada yang sampai Rp. 160.000,00/kg. Jika dibandingkan dengan harga beras jauh, harga beras yang umum di konsumsi oleh masyarakat berkisar dengan harga Rp. 9000,00-15.000,00/kg, meskipun ada yang masih murah bisa sekitar Rp. 6000,00-7000,00/kg. Saya kurang tahu apakah harga cabai juga akan mengikuti harga international sesuai dengan harga BBM dunia atau juga mengikuti naik turunnya mata uang Dolar USA.
            Sah-sah saja, harga cabai turun naik. Namun yang menjadi sumpyoh tak lain masyarakat kecil yang penghasilannya sangat terbatas. Mereka harus menjerit untuk bisa makan hanya dengan sambal yang bahannya dari cabai. Apa mereka harus makan dengan nasi dan garam doang? Kata Bang Haji Rhoma sungguh terlalu. Negara Indonesia yang dalam syair lagunya tidak berubah 150 juta penduduk Indonesia, yang telah mendiami pulau 17.506 pulau yang hampir semua kaya akan sumber daya alam dan subur namun merasa gulung komeng ketika harga cabai menjulang tinggi.  Kenapa? Tak lain karena sumber daya manusia kita yang kurang diberdayakan oleh kebijakan pemerintah yang memihak kepada para petani dan nelayan. Kebijakan yang mana, Bro? Lihat saja lah, harga pupuk melambung tinggi dan sulit barangnya ketika menjelang musim tanam, ketika musim panen harga terjun bebas, bahkan demi kemudahan akan mendapatkan pupuk dan fasilitas-fasilitas lainnya mereka kaum petani harus dikotak-kotak dengan kelompok-kelompok tani dengan indikasi ada muatan politis didalamnya, artinya orang partai turun tangan sendiri dengan membuat kelompok-kelompok tani yang notabene-nya ada unsur dibalik batu, eh, ada unsur timbal baliknya. Sehingga petani yang tidak merasa ikut dalam kelompoknya merasa enggan untuk mendapatkan pupuk dan fasilitas yang lain.
            Begitu juga peranan modal yang telah digelontorkan pihak bank besar-besaran dan mudah aksesnya namun apalah daya ketika harga pupuk kian mahal dan sulit, harga terjun bebas ketika panen. Waktu setoran bank tiba ternyata sisa uang hanya sangat minim tak sepadan dengan pikiran dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh petani. Ada tangan-tangan yang tak terlihat seperti jaring laba-laba yang menyandera langkah dan peranan petani kita untuk maju dan sejahtera.
            Semenjak ekonomi kapitalis mendominasi dunia. Tak ada tempat lubang atau celah untuk menghindar. Semua apapun telah dihitung untung dan rugi. Termasuk buang hajatpun tak luput dari sistem kapitalis. Uang seperti tuhan. Bahkan telah menggeser nilai-nilai ketuhanan itu sendiri. Maaf meminjam istilah tokoh filsuf  Nietzsche, bahwa tuhan telah mati. Karena banyak nilai-nilai dalam keagamaan harus berubah mengikuti hingar-bingar kapitalis raya yang kian menghantam seisi alam. Nilai-nilai ketuhanan telah banyak dilanggar oleh manusianya sendiri sehingga tak berlaku lagi. Termasuk dalam ekonomi uang tetap menjadi nilai yang paling dominan. Nilai uang sangat menentukan bagi perkembangan zaman.
            Kembali ke harga cabai. Siapa yang tidak butuh cabai dalam hal memasak? Hampir semua membutuhkan, ibu rumah tangga, dan bisnis makanan baik diwarung, pabrik maupun restoran. Jika harga cabai meninggi, sudah pasti harga akan mengikuti naik, kalau tidak bisa naik dipastikan ada indikasi mengurangi mutu atau kualitas yang terkadang berbuat nakal dengan mengganti rasa pedasnya cabe dengan yang lain. Karena dituntut untuk terus menarik para konsumen. Sedangkan konsumen ikut ngamuk-ngamuk jika harganya ikut naik padahal harga bahan dasar seperti cabai telah naik. Siapa yang salah? Tak semudah itu untuk saling menyalahkan. Namun semua apapun dalam pemerintahan sudah pasti ada yang menangani dan mengatur dalam sebuah kebijakan. Jika pemerintah cerdas mereka akan menawarkan solusi dan membina sebelum jauh hari gejala itu akan terjadi. Tanpa memperdulikan lagi unsur kepentingan politis tertentu. Karena rakyat kecil akan lebih mudah dan memahami jika hidupnya sejahtera dan makmur sudah pastianya akan bisa menilai siapa yang layak untuk menjadi panutan atau  pemimpin tanpa gembar-gembor bicara melalui pengeras suara dengan sejuta program yang hasilnya nol persen alias tanpa ada realisasi. Rakyat akan menjadi mantap dengan pilihannya yang sudah terbukti dengan kebijakan-kebijakan yang lebih memihaknya. Ingat bicara pemerintah harus ada kebijakan yang akan diambil dan diterapkan kepada masyarakatnya. Percuma studi banding keluar negeri dengan alasan “kungker” yang menghabiskan uang rakyat trilyunan namun hasil kerjanya tidak pernah mengena sasaran. Lebih baik dana “kungker” yang besar itu digunakan untuk membantu fasilitas rakyat kecil yang kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Itu lebih realistis.
            Lantas apa hubungannya harga cabai dengan tulisan seperti pada judul diatas? Harga cabai boleh sekali waktu melambung tinggi, mendominasi harga emas atau pesawat tempur sekalipun, toh tanaman cabai bisa ditanam dengan mudah di negeri kita yang subur. Dalam sekejap kebutuhan cabai bisa diatasi. Rakyat kecil masih bisa menikmati pedasnya cabai. Namun jika harga tulisan yang naik? Harga tulisan jenis apa? Semuanya. Negeri ini yang tidak suka dengan tulisan tentu saja tidak begitu tertarik bahkan acuh tak acuh. Sedangkan tulisan yang masih banyak terbilang gratis saja masyarakat kita enggan melahapnya. Untuk apa? Mereka masih tak tahu manfaat tulisan dalam kehidupannya sendiri. Mereka masih sibuk dengan urusan perut, bukan urusan pikiran. Padahal urusan perut dan urusan pikiran sama-sama penting. Dan semua itu kita kembalikan lagi pada kebijakan-kebijakan yang telah dipikirkan oleh pemerintahan sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dalam negeri ini. Dengan pikiran harga cabai yang tinggi masih bisa dipikirkan, sedangkan masalah pikiran perut tak juga mau mengerti.

Bangilan, 31 Oktober 2017.
Rohmat Sholihin*

*Anggota Komunitas Kali Kening

Label:

Minggu, 22 Oktober 2017

Motif Batik Khas Tuban untuk Dunia

Foto. Rohmat S
            Dalam rangka memperingati hari jadi Tuban ke 724. Pemerintahan Kabupaten Tuban dan Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tuban menggelar Lomba Cipta Motif dan Gambar Batik Tulis Khas Tuban 2017 di Pantai Boom Tuban. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh siswa-siswi baik dari tingkat MI/SD sampai jenjang MA/SMA/SMK se-Kabupaten Tuban pada hari Minggu, 22 Oktober 2017 yang  bertepatan dengan hari Santri. Kegiatan ini dimulai pukul 08.30 – 11.30 WIB.
            Ribuan peserta duduk berjejer-jejer rapi dengan santai ditemani kopi, es jeruk, air mineral, cat air, crayon, kertas gambar, spidol, kain, sambil corat-coret, musik yang terus mengalun merdu, ngobrol dengan temannya sesama peserta lomba dengan santai. Tidak menunjukkan sesuatu persaingan untuk bisa meraih juara, semua berjalan normal-normal saja. Tak ada beban. Tiga jam waktu yang telah disediakn panitia untuk menyelesaikan tugas gambar batiknya tidak membuat mereka gugup apalagi cemas. Semua dinikmati dengan tenang. Bahwa dalam pikirannya hampir semua sama, ikut berpartisipasi demi modal cerita pengalaman hidup yang penuh makna dan unsur kegiatan positif. Kebahagiaan anak-anak generasi emas kita merupakan sesuatu yang mahal dan berharga. Banyak orang tua yang langsung terlibat menunggui mereka yang sedang asyik membuat corak batik. Bebas mereka berimprovisasi sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran mereka. Warna merah, kuning, biru, hijau, putih, coklat, mereka padukan dengan indah.

Foto. Rohmat S
            Seperti juga peserta didik dari MI Salafiyah Bangilan membuat corak batik yang simple, namun asyik. Pambayun kelas 5a dengan motif batiknya yang berjudul Batik Daun Lontar, simple dengan tiga warna, warna biru, warna putih dan warna hitam. Unik meski terlihat sedikit mencekam. Sesaat ketika melihat corak batiknya yang kental dengan sejarah Tuban itu sendiri, mencekam. Tuban pernah menjadi kancah beberapa pertempuran penting. Pertempuran pasukan Majapahit di bawah pimpinan Ronggolawe ketika mengusir pasukan Tar-Tar, banyak pasukan Tar-Tar yang lari tunggang langgang dan kembali pulang ke negerinya dengan dendam yang sudah terbalaskan. Ingin membunuh Raja Kertanegara, meski yang telah dibunuh adalah Raja Jayakatwang. Kemudian perang dengan Demak. Peranggi dan Ispanya. Semua terjadi di Tuban dan membuat Tuban menjadi kancah pertempuran. Sejarah Tuban sungguh mencekam. Berikutnya makna daun lontar menandakan bahwa kota Tuban adalah penghasil buah siwalan, legen dan juga tuak. Khas kota Tuban. Sedangkan daun pohon siwalan adalah lontar yang mempunyai banyak fungsi sebagai daun pembungkus gula jawa, dan alat untuk menulis ketika kertas belum ditemukan.
Gambar Batik Daun Lontar Karya Pambayun Kelas 5a MI Salafiyah Bangilan. Foto. Rohmat S
            Ada lagi hasil karya Zaima Diana kelas 6a MI Salafiyah Bangilan dengan mengambil tema batik jagung. Salah satu hasil perkebunan diladang-ladang kebun sekitar kabupaten Tuban yang melimpah. Bahkan sekarang banyak lahan-lahan hutan kritis menjadi tanam jagung yang hasilnya menjanjikan. Batik jagung ini dikemas dengan warna merah menyala. Menandakan semangat untuk terus bertanam jagung sebagai hasil bumi yang bernilai jual tinggi.
Gambar Batik Jagung Karya Zaima Diana Kelas 6a MI Salafiyah Bangilan. Foto. Rohmat S.
            Di pinggir pantai Boom yang sejuk dengan beraneka macam pohon yang telah ditanam secara rapi dan indah membuat suasana menjadi adem dan cocok untuk meresapi indahnya alam. Tidak mubadzir dana besar untuk merehab pantai Boom dengan dana milyaran rupiah hanya akan menjadi tempat yang sintru, layu dan menjadi taman yang hampa. Karena tidak lagi dijamah oleh banyak pengunjung. Tentu saja kurang menarik. Padahal Boom sendiri merupakan tempat wisata andalan kabupaten Tuban selain gua Akbar, Makam Sunan Bonang, Pemandian Bektiharjo dan Masjid Agung Tuban. Sungguh merupakan langkah yang tepat Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tuban menggandeng Dinas Pariwisata Kabupaten  Tuban dan juga pihak-pihak dinas yang terkait dalam menyelenggarakan kegiatan Lomba Cipta Gambar Motif Batik Tulis Khas Tuban ini. Sehingga ada dua tujuan sekaligus yang dicapai. Pertama, memperkenalkan kembali tempat wisata Pantai Boom yang telah dibangun sedemikian rupa. Kedua, mengajak anak didik belajar membatik juga rekreasi. Batik merupakan kekayaan budaya bangsa yang harus selalu dijaga jangan sampai punah. Generasi emas kita harus tahu dan mengerti tentang batik terutama batik khas kota Tuban yang juga terkenal di dunia. Selamat menikmati liburan bersama keluarga dan juga selamat membatik dengan motif yang menarik dan hangat juga tentunya.

Tuban, 22 Oktober 2017.
Oleh. Rohmat Sholihin
           
           

            

Label:

Jumat, 20 Oktober 2017

Putri Bah Tei # 13

Oleh. Rohmat Sholihin

https://advjourney.com/2014/05/05/serunya-satu-jam-menelusuri-goa-petruk/

Hari ke Lima.

Bertemu dengan Mpu Pancarita

Bah Tei masih sibuk berlatih dengan gurunya, Ki Baroto. Memperagakan jurus-jurusnya yang semakin hari semakin sempurna. Tubuhnya enteng seperti kapas. Meloncat-loncat lincah seperti tupai. Rambutnya yang panjang, hitam, terurai semakin indah dikipas-kipaskan angin, cantik, putih, sipit, dan menawan.
Jeritannya melengking, menambah suara alam menjadi ramai. Ki Baroto mengimbangi gerakan Bah Tei dengan mempesona. Sepasang anak manusia yang meliuk-liuk diudara, menari-nari dengan jurus-jurusnya yang tak biasa dilihat oleh banyak orang. Melumpuhkan dan mematikan. Bahkan mengejutkan. Ki Baroto menjadi kaget.
“Bah Tei, kau telah mengalami kemajuan pesat dalam belajar dasar ilmu kanoragan. Kau telah berhasil melalui fase-fase adaptasi dari jurus dasar Melebur Bayu Sukma meski belum sesempurna Jaka. Setidaknya jurus dasar ini sudah ampuh untuk melindungi dari serangan pendekar-pendekar lainnya. Tinggal kau terus berlatih lagi dengan tekun dan keras lagi.” Bicara Ki Baroto sambil mengelus-ngelus jenggotnya yang telah memutih.
“Baiklah Ki Baroto, saya berjanji pada diriku sendiri untuk lebih serius dalam mempelajari jurus yang aneh ini. Dan saya akan terus mengamalkan jurus hebat ini untuk kebenaran.” Senyum Bah Tei pada Ki Baroto sebagai rasa ucapan terima kasih yang amat dalam. Ia tumbuh dan besar di lingkungan kaum bangsawan China yang disiplin.  Babahnya selalu mendidiknya untuk selalu menghormati orang lain dan mengerti bagaimana mengucapkan rasa terima kasih kepada orang lain yang telah memberikan pertolongan meski sangat remeh sekalipun.
“Bagus Bah Tei, mempunyai kelebihan dalam diri kita, sebaiknya kita tidak boleh kikir terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan. Karena menolong orang dalam kesusahan itu hukumnya wajib.” Ki Baroto mengulangi sekali lagi dengan nada lumayan keras, “sekali lagi hukumnya wajib.” Itu tandanya bahwa apa yang telah diucapkan perlu untuk dicamkan dalam hati sebagai pelajaran hidup.
“Oh iya, untuk tapa Jaka masih lama ya Ki?” Tanya Bah Tei.
“Semoga saja ia kuat dengan ujian-ujian yang terus menempanya. Dan jika ia kuat tanpa sedikitpun goyah, tidak sampai lama harus menunggu empat puluh hari. Tergantung bagaimana jiwanya dalam memahami alam semesta lebih-lebih kepada sang bayu. Namun, Kakek yakin bahwa Jaka termasuk orang yang mumpuni dengan kemampuannya sehingga akan lebih mudah dalam menghadapi segala rintangan dengan jiwanya.” Jelas Ki Baroto. Sedangkan Bah Tei mendengarkan dengan manggut-manggut, ia berharap agar Jaka segera berhasil menyelesaikan ujian tapa brata dengan menyerupai kehidupan hewan lowo. Tidur dengan cara menggantung di dahan pohon. Ia sudah tak sabar untuk berbincang-bincang dengan pemuda Jaka yang telah ia rindukan. Dalam hatinya selalu berdoa dengan sungguh-sungguh agar Jaka selalu dalam lindungan Sang Pencipta. Karena tanpa perlindungan Sang Pencipta yang maha memberi kekuatan sangat sulit bisa lepas dari kesulitan-kesulitan yang ia hadapi.
“Sudahlah Bah Tei jangan kau menambahi beban pada Jaka, jiwanya akan meronta-ronta tidak tenang. Ia telah bermain dengan alam pikirnya sendiri, melalang buana dengan pikirannya jauh menembus batas.” Ki Baroto memberi semangat pada Bah Tei yang sedang merindukan Jaka.
“Baiklah Ki.” Bah Tei mengangguk pelan.
“Ssstttt….sepertinya ada kaki yang datang, Bah Tei. Ayo cepat kita lihat dari semak-semak itu.” Dalam sekejap dua tubuh itu bergerak ringan masuk ke dalam semak.
“Bagaimana dengan Jaka, Ki? Apakah dia akan ditemukan oleh mereka?” Tanya Bah Tei.
“InsyaAllah mereka tak kan bisa melihat karena tubuh Jaka di selimuti kabut bayu.” Terang Ki Baroto.
“Syukurlah.”
“Mereka mulai dekat, Bah Tei.”
Tak lama tiga orang berjalan mengendap-endap semakin dekat. Mereka juga curiga dengan keadaan disekelilingnya bahwa ada beberapa jejak kaki yang masih tertinggal. Itu berarti menandakan bahwa baru saja ada orang menjamah daerah sini.
“Ada jejak kaki yang masih tersisa, Kang”
“Iya, kelihatannya ini jejak kaki yang baru saja lewat daerah aneh ini.” 
“Apa, daerah aneh, Kang? Aneh bagaimana maksudmu, Kang?”
“Sepertinya siapapun yang masuk hutan dalam sekejap sirna seperti hantu.”
“Iya Kang benar-benar hutan angker.”
“Bukan lagi angker tapi seram.”
“Sama saja, Kang.”
“Iya.”
“Kita harus mencari dimana, Kang?”
“Ya tentu di hutan ini, Kang.”
“Oalah, Kang kirain di pasar.”
“Awas tak usah bercanda kita masuk wilayah hutan terlarang ini, Kang. Disamping gawat juga jarang manusia bisa kembali dalam keadaan selamat. Lebih baik diam saja, kita cari perempuan China itu bersama dengan pembantunya yang terkenal punya kemampuan silat yang mumpuni.”
“Heran, kenapa juragan Sarkawi sudah punya gundik banyak masih saja mau persunting putri China itu.”
“Bukan putri tapi anak Bangsawan Batik Lasem, Kang.”
“Maksud saya cantiknya ngalahkan putri China.”
“Kau tahu Putri China?”
“Tak pernah.”
“Ah, kau sok tahu, Kang.”
“Sssstttt….tak usah ngelantur. Kita ini bertugas mematai-matai mereka, bukan bercanda.”
“Baik, Kang.”
“Kenapa jejak-jejak kaki ini hilang sampai disini, Kang?”
“Pasti jejak kaki orang sakti.”
“Sudah barang tentu orang berani masuk dan tinggal dihutan ini bukanlah orang sembarangan, Kang. Setidaknya ia punya ilmu kanoragan yang cukup tinggi.”
“Betul juga, Kang.”
“Termasuk kita Kang.”
“Sakti, kita kan berani masuk wilayah hutan ini, Kang.”
“Hust…sakti gundulmu. Kita masuk wilayah ini karena terpaksa dengan tugas yang telah diberikan oleh juragan kita, Kang.”
“Wow, kau tidak sakti Kang?”
“Maksudku ilmuku belum nomor satu di tanah Jawi ini. Kita kan masih menjadi anak buah Juragan Sarkowi yang terkenal punya ilmu kanoragan cukup tinggi.”
“Kalau kita benar-benar sakti aku kira kita sudah menjadi raja atau paling tidak juragan.”
“Kenapa kau tidak jadi juragan saja?”
“Kan belum sakti.”
“Hany otakmu saja yang belum sakti.”
“Kenapa dengan otak saya, Kang?”
“Tidak apa-apa cuma banyak yang sudah putus syaraf-syarafnya.”
“Ah kau Kang bercanda.”
Kedua orang suruhan Sarkowi itu masih berdiri mematung memperhatikan jejak kaki-kaki yang telah putus dibeberapa tempat. Seakan kedua orang itu bingung arah langkah jejak kaki-kaki yang tak beraturan. Kelihatannya jejak kaki-kaki itu bukan mengarah untuk berjalan menyusuri jalanan tapi seakan memang disengaja diinjak-injak.
“Lihat Kang! Jejak-jejak kaki ini bukan sedang mau lewat tapi kelihatannya jejak kaki-kaki ini  seseorang yang bermukim disekitar sini.”
“Betul, Kang kita harus waspada. Jangan-jangan kita sedang diwasi, Kang.”
“Perasaanku juga begitu. Berjalan tenang saja untuk bersembunyi lagi, kita pura-pura tidak tahu, Kang. Ia masih disekitar sini.”
“Baik, Kang. Ingat pesan juragan Sarkowi kita hindari saja, jangan sampai kita berkelahi dengan mereka. Kita hanya bertugas untuk mematai-matai. Segera saja kita pergi, mudah-mudahan kita tidak sedang dikejar, Kang.”
“Baik, Kang.”
Mereka berdua pun segera bergegas pergi dengan tergesa-gesa. Tubuhnya dalam sekejap hilang dibalik pohon-pohon hutan.
Sedangkan dibalik semak-semak Bah Tei dan Ki Baroto tak bergeming memerhatikannya.
“Celaka Ki, mereka telah mengetahui tempat kita. Tidak kah sebaiknya kita kejar mereka Ki?.” Bah Tei mulai resah.
“Tak usah biarkan saja mereka pergi. Tak ada gunanya kita berkelahi dengan mereka. Jika mereka harus melapor pada juragannya lebih baik kita hadapi saja.”
“Kita kalah jumlah, Ki.”
“Belum tentu yang kalah jumlah akan kalah.”
“Baiklah, Ki, jika itu keputusan Ki Baroto.”
“Lebih baik kita istirahat sebentar sambil perhatikan tubuh Jaka.”
Bah Tei tak menjawab hanya mengangguk dengan pelan tanda setuju. Meski dalam pikirannya masih sedikit bergejolak tentang mata-mata Sarkowi. Namun itu sebentar, kemudian lewat. Hatinya kini masih menunggu Jaka yang masih melakukan tapa ngalong. Namun, ia tak mau larut ikut memikirkan Jaka. Pesan Ki Baroto jika ia ikut larut memikirkan Jaka bayangan tubuhnya akan masuk dalam pikiran Jaka yang sedang melalang buana menembus batas ruang dan waktu. Ia hanya mengawasi saja. Seakan tidak sedang terjadi apapun.
Tubuhnya Jaka terus diam, tenang, dan tak bergerak.
Dari beberapa meter tubuhnya disaksikan Bah Tei dan Ki Baroto. Ia masih terus berkomat-kamit membaca doa-doa yang telah diberikan oleh Ki Baroto. Jiwanya pun terhempas disuatu gua yang belum pernah terjangkau oleh siapapun. Gua Pancarita. Siapa yang masuk dalam gua ini tubuhnya akan mendengar suara-suara mendengung seperti orang bercerita. Lirih menusuk hati, keras membahana seperti api membakar ranting dan dahan. Jika kita terus mendengarkan dengungan-dengungan suara itu seakan tubuh kita menjadi pelaku utamanya. Tubuh kita menjadi peran utama. Karena hati kita terbawa oleh suasana. Konon, Gua Pancarita ini adalah tempat pertapaan Mpu Pancarito yang hidup antara tahun 1100 M. Ia dulu tukang bercerita di Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya. Kemudian Jayabaya memerintahkan kepada Mpu Pancarita untuk mencari wangsit berupa cerita di hutan Arjuna Lalijiwo dekat Gunung Arjuna. Berapa tahun ia menuliskan kisah-kisah yang ada disekitar hutan Arjuna Lalijiwa namun tulisan itu telah dianggap jelek oleh Raja Jayabaya yang terkenal sebagai Pujangga. Kembalilah Mpu Pancarita untuk mencari wangsit berupa cerita tapi ia tidak mencari sumber-sumber cerita didaerah itu lagi. Ia kecewa karena naskah ceritanya ditolak oleh Raja Jayabaya akhirnya dia berusaha mencari tempat yang aman, damai, jauh dari keramaian, untuk menyempurnakan naskah ceritanya tersebut, ia tapa brata di gua yang tak pernah dijamah oleh bangsa manusia, setiap hari ia selalu melantunkan naskah-naskah itu dengan diiringi suara gemericik air, angin, daun-daun, ranting, kilat, suaranya menjadikan terus bergaung didalam gua hingga menjadi cerita yang mengiri-iris hati.
Kini jiwanya Jaka terjebak ke tempat Gua Pancarita. Jiwanya seperti kebingungan, bertanya-tanya dalam hati.
“Gua apa ini?” Gumamnya. Ia semakin penasaran untuk terus masuk ke dalamnya. Sepi. Tak ada siapapun didalamnya. Hanya ada suara gemericik air yang terus menetes membentur batu. Suaranya indah bergaung membentuk nada. Ada banyak stalagmit dan stalaktit yang berkilau-kliau, meski gelap tapi sesekali memancarkan cahaya, indah sekali. Ruang-ruangnya yang nyaman, damai, terasa tempat hunian yang paling aman.
“Sepertinya tempat ini ada yang menghuni.” Pikir Jaka.
Sayup-sayup angin lirih berhembus. Menerpa tubuh Jaka pelan-pelan. Semakin lama semakin menusuk, dingin, menggigil. “Kenapa tiba-tiba berubah seperti ini?” Batin Jaka penasaran. Ia terus memperhatikan keadaan sekelilingnya, masih tetap gelap, Sedangkan dingin masih terus menyeruak menghajarnya semakin dingin menyayat kalbu. Membeku. Kembali ia memusatkan tenaganya untuk melawan rasa dingin yang menghebat. Ia duduk tersimpuh dengan tangan sendakep seperti orang bertapa. Matanya ia pejamkan. Lambat laun ia mulai mendengar suara-suara laksana suara orang mendongeng, suaranya berat, mendesah, melengking, berteriak, seperti membaca mantra. Namun suara yang ditangkap dalam telinga Jaka masih belum jelas.
“Siapa orang yang membaca mantra ini?” Kembali pikirannya penasaran.
“Ini sepertinya tutur-pitutur, tapi siapa gerangan? Ini jelas dilakukan oleh orang yang bukan sembarang orang. Ini pasti orang hebat yang melakukannya.” Hatinya terus bertanya-tanya. Hingga semakin jelas suara itu tertangkap oleh kedua telinganya. Tubuhnya yang telah menggigil kedinginan semakin hanyut terbawa suasana. Gua yang telah gelap tiba-tiba bercahaya. Stalaktit memancarkan cahayanya. Indah mempesona. Namun Jaka masih terserang dingin yang semakin hebat. Suara-suara pitutur tanpa rupa semakin perkasa memenuhi ruangan gua, seakan-akan ada kekuatan dahsyat yang telah memenuhi gua serasa mau ambrol. Sesak tak tertahankan. Suara-suara tanpa rupa seakan membawa beban berat berton-ton menyesaki ruangan gua dan seisinya. Jaka masih tetap duduk dengan tenang. Tubuhnya bergetar hebat melawan hentakan suara-suara tanpa rupa yang serasa membawa batu berton-ton, menjejalinya. Tubuhnya mulai mengerang, “kekuatan apa ini? Aneh. Aku ingin tahu siapa yang membacanya?” Tubuhnya mulai bergeser-geser. Suara-suara itu semakin menghebat. Namun Jaka masih kuat bertahan. Bertahan dengan hidung, mata, telinga, bahkan mulut mengeluarkan darah. Suara-suara seperti naskah cerita yang telah dibaca mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Ia berusaha mengerahkan semua tenaga dalam yang ia miliki. Tubuhnya seakan ingin mental ke belakang, ia terus berusaha kuat, kuat, dan kuat. “Aku harus kuat, aku ingin bertemu dengan orang yang punya suara hebat ini.” Dengan cepat Jaka mengeluarkan jurus andalannya. Perlahan tubuhnya mulai tegar. Meski masih bergetar dengan hebat.
Tak berapa lama. Keadaan gelap. Stalaktit kembali padam. Dan suara-suara tanpa rupa yang ia dengar kembali hadir tapi serasa dekat sekali, ada dihadapannya. Menyapanya.
“Anak muda sedang mencari siapa?” Suara misteri itu menyapa.
“Aku tidak mencari siapa-siapa, Kakek.” Dengan kaget Jaka menjawab.
“Kenapa kau bisa tahu dan berada di gua ini?”
“Aku tersesat kakek. Maafkan aku. Dan aku bukan bermaksud mengganggu Kakek.” Jawab Jaka.
“Kau siapa anak muda?” Tanya suara tanpa rupa.
“Aku Jaka, Kek. Kakek siapa?” Jawab Jaka.
“Aku Mpu Pancarita.” Seketika ruangan kembali menjadi terang benderang. Stalaktit dan stalagmit kembali bercahaya. Sosok jubah hitam, rambut panjang putih, jenggot panjang putih dengan tenang duduk dihadapan Jaka.
“Maafkan saya, Mpu.”
“Kau punya nyali Jaka. Dan kau berani masuk ke guaku ini tanpa lari tunggang langgang ketika mendengar suaraku dalam kegelapan. Aku sudah lama tidak pernah keluar gua, entah sudah berapa lama? Aku tak pernah menghitungnya. Dan sudah lama guaku tidak pernah dimasuki oleh manusia kecuali kelelawar, dan tikus-tikus untuk singgah. Dan apa yang kau inginkan?” Jelas Mpu Pancarita.
“Aku tidak menginginkan apa-apa, Mpu. Aku bisa bertemu dan berbincang dengan Mpu hati ini sudah merasa bahagia. Dalam pengembaraanku ini saya merasa bersyukur bisa bertemu dengan Mpu Pancarita.”
“Semoga kau tidak berbohong anak muda. Karena orang-orang sekarang sudah pandai berbohong. Membohongi orang tua, mencoba menuruti kemauan orang tua ketika lengah ia akan menikam dari belakang. Dan itu terjadi pada Kakang Gandring. Mati ditikam anak muda. Anak muda hanya silau pada kekuasaan semata.”
Jaka tidak menjawab, hanya diam menjadi pendengar setia pitutur dari Mpu Pancarita.
“Dan itu terjadi juga pada hampir perebutan tahta-tahta di luar sana. Aku sudah muak oleh kelakuan mereka semuanya. Mulai dari Kediri hingga Majapahit. Semua itu palsu. Hanya perebutan dan perebutan. Sedangkan nasib rakyat hanya sekian kecil saja yang terurus, hampir semua kelaparan, karena menanggung beban. Beban peperangan yang terus terjadi tanpa ada hentinya.”
Jaka terkesima dengan pitutur Mpu Pancarita yang mengesankan. Ia tak berani menyela sedikitpun pituturnya.
“Kini Demak juga mulai berseteru. Tapi hanya kecil. Seperti letupan api dari batu yang dibenturkan. Kecil. Namun dampaknya yang besar. Hanya dampaknya bukan kekuatan yang telah dibangunnya. Karena pikirannya belum mampu menandingi pikiran orang-orang putih dari selatan.”
Jaka masih belum paham. Hanya berusaha memahamkan dengan cara diam. Dalam hatinya ia merasa kagum dengan pitutur yang telah disampaikan oleh Mpu Pancarita.
“Demak juga akan perang saudara. Persis kelakuan para orang-orang yang silau akan tahta. Perebutan dan perebutan. Maka kau jangan silau anak muda. Karena dari kesilauannya itu mereka akan terjebak oleh caranya sendiri. Ia telah dijadikan domba-domba oleh orang-orang kulit putih yang lebih cerdas cara berpikirnya, mereka juga berbahaya melebihi ular dan buaya. Waspada, tapi mereka tak kunjung juga waspada. Masih mengulangi kebiasaan lama. Perebutan kekuasaan dan perempuan. Hingga mudah diadu domba.”
“Apakah itu maksudnya perang saudara, Mpu?” Tanya Joko.
“Betul. Saudara-saudara kita tak juga sadar akan kelemahannya itu.”
“Ilmu apa yang kau gunakan itu anak muda?” Tanya Mpu Pancarita.
‘Tak ada orang yang mampu bertahan di gua ini, kecuali jika ia punya nyali dan kemampuan yang hebat. Ternyata kau mampu bertahan di gua hingga telah bertemu denganku.” Mpu Pancarita bertutur lagi.
“Itu Ajian Cermin Tatakan Diri dari Ki Batoto.” Jaka menjawab dengan tenang.
Tak ada reaksi dari Mpu Pancarita. Dia hanya memperhatikan wajah Jaka. Kemudian ia mengeluarkan beberapa tulisan rapi yang ditulis di daun lontar dari dalam jubahnya yang hitam.
“Bacalah, anak muda. Suatu saat pasti berguna karena tulisan-tulisan ini tiada lagi yang mau mendengarkannya apalagi membacanya. Simpanlah. Jangan sampai hilang apalagi dicuri oleh orang yang berkelakuan buruk.” Bicara Mpu Pancarita.
Jaka hanya diam, tertunduk, dengan perasaan bahagia ia pun menerima tulisan-tulisan karangan Mpu Pancarita yang telah ditulis indah pada daun lontar.
“Terima kasih, Mpu.”
“Silahkan kau kembali pada pertapaanmu yang panjang dan melelahkan. Kau masih harus bersabar dan tabah untuk menghadapi cobaan-cobaan berikutnya.”
Jaka pun pamit kembali mencari jalan kelur. Dan gua pun gelap, gulita.

Bersambung…

Bangilan, 20 Oktober 2017.








Label:

Senin, 16 Oktober 2017

“Huda Never Dies”


http://bobotoh.id/baca/innalillahi-kiper-persela-khoirul-huda-ngantunkeun

            Sepak bola tanah air kembali berduka. Kiper terbaik Persela Khoirul Huda (38 tahun) telah gugur di medan perang. Kenapa perang? Bukankah ini dalam pertandingan sepak bola. Ya, karena sepak bola tanah air situasinya seperti perang. Dari tahun 2000 sampai 2017 banyak korban berjatuhan, mulai dari sang legendaris Persebaya Eri Erianto (26 tahun) menghembuskan nafas terakhir dalam pertandingan di Stadion Gelora 10 Nopember Surabaya pada tanggal 3 April 2000 versus PSIM Yogyakarta bertabrakan dengan pemain asal PSIM asal Gabon Samson Noujine Kinga. Seketika pingsan dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya. Kemudian dinyatakan meninggal karena serangan jantung.  Disusul dengan Jumadi Abdi (26 tahun) pemain PKT Bontang, akibat benturan keras dengan pemain Persela Lamongan Deny Tarkas pada pertandingan 7 Maret 2009. Mengalami cidera berat pada organ vital bagian dalam lantaran infeksi berat yang disebabkan oleh kuman yang keluar dari usus halus Jumadi Abdi yang bocor. Ngeri. Ada lagi Akli Fairuz (26 tahun) pemain Persiraja yang berbenturan dengan kiper PSAP Sigit Agus Rohman dalam laga Divisi Utama pada 10 Mei 2014 di Stadion H. Dhimurthala, Lampineung. Pemain Persiraja Banda Aceh itupun meninggal setelah dirawat enam hari kemudian di Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh.
            Khoirul Huda yang akrab dipanggil Huda ini harus tumbang di laga pertandingan melawan PSP Semen Padang di Stadion Surajaya lamongan setelah bertabrakan dengan Ramon Rodriguez Mesquita teman setim yang akan mengamankan daerah pertahanannya pada menit ke-45 di babak pertama. Sungguh naas nasib kiper kawakan Persela yang luar biasa itu. Setia selama 18 tahun membela Persela Lamongan dan tak pernah merumput di tim tetangga, maaf maksudnya tim atau klub lain meski selalu digoda dengan iming-iming fasilitas dan gaji tinggi. Ia komitmen dengan Persela Lamongan yang ia bela sampai ajal menjemput. Suatu capaian tertinggi seseorang yang patut kita apresiasi bersama, khususnya masyarakat kota Soto Lamongan yang telah ia besarkan. Ia rela mati demi membela Persela Lamongan. Berjuang sampai titik darah penghabisan. Nilai pengorbanannya sama dengan pahlawan, kesetiaanya, semangatnya, bahkan harus dengan darah dan nyawa. Semoga saja pengorbanannya tak pernah dilupakan oleh banyak orang, terutama masyarakat Indoensia bahkan masyarakat dunia. Lagi-lagi pecinta sepak bola Persela Lamongan. Jasmerah kata Soekarno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dosa besar.
            Beberapa kasus seperti di atas memang kejadian yang tidak bisa kita prediksi karena mereka sedang bermain ditengah-tengah lapangan untuk mempermainkan si kulit bundar, dan mereka selalu berharap tentang kemenangan. Seperti penulis singgung diatas bahwa bertanding sepak bola ibarat melakoni peperangan karena mereka bertempur habis-habisan hingga meraih kemenangan, bukankah dalam peperangan juga berhubungan dengan bertahan, menyerang, untuk mencapai kemenangan? Meski ungkapannya lebay tapi kenyataannya memang demikian karena dalam sepak bola ada unsur-unsur kekerasan yang bisa timbul didalamnya. Baik untuk melindungi diri maupun untuk kebutuhan tim. Dan itu berlaku sah-sah saja selama tidak menimbulkan pelanggaran yang dinilai oleh wasit sebagai pemimpin pertandingan. Meski tak jarang pemimpin pertandingan terkadang terkena kekerasan itu sendiri. Padahal secara aturan hukum dalam pertandingan sepak bola wasitlah kasta tertinggi yang keputusannya tak boleh dibantah oleh para pemain. Itupun banyak yang dilanggar, wasit masih menjadi incaran amuk oleh para pemain bahkan penonton atau supporter yang tak punya hak apapun karena ia hanya menonton saja hanya bersifat memberi dukungan.
            Pekerjaan Rumah seperti ini harus menjadi perhatian PSSI secara intens dan serius. Karena bagaimanapun juga sekecil apapun pelanggaran dalam sepak bola sepatutnya mendapatkan perhatian penuh. Jangan pernah diremehkan. Selalu terus meningkatkan kualitas dan prestasi terbaik dan itu bisa dimulai dari badan PSSI sebagai induknya sepak bola di tanah air Indonesia. Saya yakin PSSI pasti bisa apalagi ketua umumnya adalah seorang Jenderal yang sudah terbiasa menangani urusan besar. Urusan kedaulatan negara saja mampu diatasi dengan gemilang apalagi urusan hiburan olah raga sepak bola. Pasti bisa. PSSI punya badan Komisi Disiplin (KOMDIS), badan PSSI ini bisa dimaksimalkan agar sepak bola Indonesia bisa kembali berjaya meski dimulai dari kata disiplin. Tim kesehatan juga perlu terus diperhatikan demi keselamatan para pemain. Ayo PSSI pasti bisa. Agar sepak bola di Indonesia kembali punya unsur menghibur namun hiburan yang bukan mengerikan, seperti tawuran, kekerasan yang mengarah ke arah pembunuhan. Sehingga kita sebagai pendukung salah satu tim kesayangan enggan untuk datang memberikan dukungan ke Stadion karena takut terjebak dalam perang antar supporter.
            Mas “Huda” atau nama lengkapnya Choirul Huda yang lahir di Lamongan, 2 Juni 1980 ini adalah salah satu kiper terbaik Indonesia juga seorang figur yang menyenangkan. Supel dan selalu berkomitmen tinggi dalam membela tim Persela Lamongan selama 18 tahun, namun kini ia telah pergi dengan gagah laksana ksatria bertempur sampai mati dalam medan laga, tak pernah menyerah sejengkalpun demi perjuangan. Banyak kiprah dan prestasi untuk Persela Lamongan yang telah kau capai. Kau telah menjadi sang legenda, namamu akan selalu terukir dalam dada. Huda Never Dies. Lewat tulisan pendek ini yang hanya bisa saya lakukan untuk mengenangmu. Selamat jalan sang legenda Persela doa kami semua menyertaimu.

Bangilan, 17 Oktober 2017.
Rohmat Sholihin
Eks pemain sepak bola amatiran yang tinggal di desa Bangilan.
           

            

Label:

Minggu, 15 Oktober 2017

“Tulisan Empuk dari Mereka”



Beberapa hari ini saya menemukan tulisan-tulisan yang empuk dari para Bupati yang ada di Jawa Timur. Yang pertama dari Bupati Bojonegoro Suyoto atau lebih akrab dipanggil Kang Yoto. Dalam tulisannya yang empuk itu dan dimuat pada rubrik Opini Jawa Pos, sabtu 23 September 2017, judulnya : Buah Demokrasi dari Rukun Kematian. Judulnya itu bukan sembarang judul karena telah dipertahankan untuk disertasi di Universitas Muhammadiyah Malang. Yakni tulisan untuk disodorkan pada program S3 dalam mengambil gelar doktoral.
            Saya tak mau membahas lebih detail apa yang telah disampaikan dalam tulisan Kang Yoto tersebut. Saya hanya salut dengan pemikirannya yang telah dituangkan dalam tulisan. Ada beberapa nilai plus, ketika seorang pemimpin mau dan mampu menulis dengan runtut dan baik. Dari tulisan itu beliau berusaha untuk menjelaskan ide dan pendapat yang bisa dijangkau oleh khalayak ramai. Ada nilai yang telah ditawarkan pada publik bahwa saya sebagai pemimpin ingin berbuat begini. Entah pendapat itu bisa diterima atau bahkan dikritik habis-habisan oleh para pembaca itu urusan belakang yang terpenting pemimpin itu berani menyampaikan gagasan dan ide tertulis yang telah dipublikasikan. Karena jarang seorang pemimpin mampu menulis dengan baik dan empuk untuk dipahami oleh para pembaca. Disamping itu apa yang telah ditulis oleh pemimpin mencerminkan sikap dan pemikiran yang telah dituangkannya didalam tulisan tersebut. Sehingga para pembaca dan masyarakatnya menjadi sadar dan bisa menilai bahwa kualitas pemimpinnya patut diapresiasi. Bukan berarti tulisan saya ini mendiskreditkan para pemimpin yang tak bisa merangkai kata dan kalimat untuk menjadi karya tulis yang baik. Karena notabene saya hanyalah masyarakat awam yang tak ada pengaruhnya terhadap kredibilitas jabatan mereka. Tapi setidaknya pemimpin yang ideal bukan hanya pintar dan piawai dalam berorasi semata namun juga harus bisa menulis dengan baik. Ini idealnya. Dan ini menurut pendapat saya yang kebetulan suka membaca pemikiran-pemikiran hebat dari para pemimpin. Siapa tahu dari karya-karya tulis para pemimpin-pemimpin hebat mampu menghegemoni masyarakatnya untuk bergerak, tentu saja bergerak positif yang mampu membangun bangsa, agama dan negara.
            Kedua, ada lagi tulisan dari Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, yang menuliskan tentang konsep dan perkembangan wilayah yang selama ini beliau pimpin. Yakni Kabupaten Banyuwangi. Dan telah dimuat pada rubrik Opini, Jawa Pos, Sabtu 14 Oktober 2017. Dilihat dari judulnya sangat menarik, Membumikan Pancasila dalam Pembangunan. Sebagaimana pernah ditegaskan oleh Bung Karno, kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal. Kemerdekaan malah membangunkan soal-soal. Hanya ketidakmerdekaan yang tidak memberi terang kepada soal-soal. Pandangan Bung Karno memberikan pesan bahwa kemerdekaan tidak menjadikan masalah bisa beres dalam waktu semalam. Namun, dengan kemerdekaan republik ini beroleh ruang untuk menyelesaikan beragam persoalan dengan gotong royong. Kemerdekaan yang diperlukan dalam relasi antara pusat dan daerah maupun relasi antar wilayah juga memberikan ruang bagi kehidupan di tingkat lokal untuk mendonasikan pengalaman-pengalaman terbaiknya guna saling melengkapi antar wilayah demi terwujudnya pembangunan nasional semesta berencana. Melalui tulisannya, Bupati Banyuwangi itu ingin berbagi pengalaman yang dijalankan di Banyuwangi. Setidaknya ada tiga sifat pembangunan yang dijalankan, yaitu inovatif, kerakyatan, dan gotong-royong. Dari gagasan itu lahirlah inovatif pada bidang ekonomi, bahwa selama ini Banyuwangi membangun bidang perekonomian yang bermuara pada keadilan sosial. Antara lain, proteksi pasar para pedagang kecil, memberikan ruang yang luas bagi produk pertanian lokal, inovasi-inovasi perkembangan UMKM; serta pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (society based tourism). Bidang Sosial Budaya, pembangunan bermuara pada masyarakat yang inklusif, berdaya saing, dan berpegang teguh pada moral Pancasila. Misalnya dalam pendidikan, peningkatan akses bea siswa Banyuwangi Cerdas. Dengan menggelontorkan dana untuk membiayai 700 anak muda untuk bisa berkuliah berbagai kampus di seluruh Indonesia. Dan juga Program Garda Ampuh menjaring 3000 anak putus sekolah untuk dikembalikan ke sekolah. Dalam hal seni-budaya, program Banyuwangi Festival mampu menjadi kanal tumbuh kembangnya seni-budaya generasi muda. Tak luput dari bidikan tulisan sang Bupati Banyuwangi tersebut tentu saja pelayanan publik, dalam pelayanan publik ini pemerintahan Kabupaten Banyuwangi telah mendapatkan nilai A dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Tulisan-tulisan para bupati yang cerdas ini memberikan keterangan berupa tulisan pada masyarakat luas bahwa wilayah pemerintahan yang telah dipimpin mempunyai trik dan cara-cara yang cerdas dalam menanggulangi segala problem yang telah dihadapinya.
            Kita kenal Bung Karno dengan tulisan-tulisannya mampu menjadi pemimpin yang baik selama ini yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dari tangan beliau yang dingin banyak lahir karya-karya tulis berupa teks pidato yang setiap kali dibaca dalam acara kenegaraan atau yang lain. Gayanya dalam membaca teks-teksnya sungguh menggetarkan hati dan mengguncangkan dunia. Belum lagi tulisan-tulisan tentang konsep kenegaraan. Bahkan di masa awal perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan Indoensia beliau harus rela masuk dalam penjara, gara-gara tulisannya yang sangat lugas dan berani. Apakah ia jera untuk menulis, tidak, dalam penjara beliau lebih intens dalam menulis. Lahirlah karya monumental Di Bawah Bendera Revolusi jilid I dan II. Anda sudah pernah baca buku empuk itu? Jika belum, segera baca. Jika sudah segera menulislah seperti mereka. Maaf tapi ini saya tidak memaksa semua orang harus bisa menulis seperti gaya mereka, semua orang punya gaya dan cara menulis yang berbeda-beda.
Banyak juga tokoh-tokoh pemimpin kita yang besar dengan tulisannya, bukan hanya Ir. Soekarno. Tapi Drs.Moh Hatta wakil presiden RI yang pertama juga sangat serius dalam hal membaca dan menulis. Ketika beliau dibuang oleh Kolonial Belanda dalam pengasingan di wilayah Digoel Papua tak jarang beliau bekerja sebagai penulis lepas dan mampu menghasilkan karya tulis yang mengagumkan. Ada lagi Tan Malaka yang berjuang dengan ketajaman penanya lahirlah karya MADILOG selama beliau melakukan pengembaraan politik tingkat dunia. Lalu apa harapan dari tulisan ini yang telah saya ulas? Saya membayangkan negara besar seperti Indonesia menjadi negara yang kembre dalam hal membaca buku. Apalagi dalam menulis yang lebih sulit. Setidaknya untuk menumbuhkan hobi membaca dan menulis buku, diawali untuk menghargai dan mencintai buku itu saja sudah lebih dari cukup daripada tidak pernah sama sekali. Sangat memprihatinkan.

Bangilan, 15 Oktober 2017.

Latihan nulis.com

Rohmat Sholihin
Anggota Komunitas Kali Kening.


            

Label:

Jumat, 13 Oktober 2017

“Cita-Cita dalam Sepatu Dahlan”

https://twitter.com/sepatudahlan
Membaca kisah orang hebat membutuhkan persiapan emosi dan pemikiran yang serba hebat. Karena untuk memahami pemikiran-pemikiran orang hebat itu tidaklah mudah namun menantang dan membikin kita seperti orang terhipnotis. Tertantang dengan segala kisah yang sangat dramatis. Terharu dengan segala kisah pilu. Ternyata orang-orang hebat itu mempunyai pengalaman-pengalaman yang tidak semua orang kuat, jika pengalaman itu pahit, pahitnya melebihi empedu, jika pengalaman itu manis, manisnya melebihi gula sekalipun. Dunia seakan digenggam dengan kepalan tangannya, dunia seakan milik mereka. Seperti membaca kisah “Sepatu Dahlan” (Trilogi Novel Inspirasi Dahlan Iskan) karya Krishna Pabhicara membuatku terhuyung-huyung pilu dengan segala kisah yang telah dialami tokoh hebat seperti Dahlan Iskan. Kita sebagai pembaca seakan diseret pelan-pelan oleh gaya bahasa yang begitu menarik, eksotis dari penulis sekelas Krishna Pabhicara atau lebih dikenal dengan sebutan Daeng Marewa. Ia menceritakan kisah Dahlan Iskan mulai dari kecil yang hidup dalam kemelaratan karena keadaan. Seperti apa yang telah dikutip dari Dahlan Iskan sendiri pada halaman pembuka bahwa : “Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.” Kutipan ini menggambarkan realitas yang telah dihadapi oleh banyak orang-orang sekarang, dengan gaya hidup yang seakan di sesuaikan dengan apa yang telah dihadapi oleh lingkungan sekarang, dimana hidup dalam kungkungan kemajuan informasi yang sangat tinggi, hampir semua orang melakukan aktifitas hidupnya tak luput dari alat komunikasi yaitu gadget canggih yang telah menyebarkan banyak kebudayaan-kebudayaan globalisasi yang berhasil menuntun pikiran banyak orang didunia. Mereka tak bisa lepas dari yang namanya viral dan popularitas. Sehingga banyak orang-orang yang hidup dalam kemiskinan ikut larut dalam situasi yang tidak pernah menguntungkan nasibnya. Gaya hidup dan sosialita manusia modern menjadi primadona dan penasaran untuk diikuti namun sangat menyesatkan karena kesulitan yang mereka hadapi adalah kemiskinan bukan kelaparan.
            Ya, kemiskinan bukanlah sama dengan kelaparan. Kemiskinan yang dialami Dahlan Iskan dan masyarakat yang berada di Kebon Dalem-Magetan bukanlah kelaparan, atau besok dan besoknya lagi tak bisa makan. Tapi lebih tepatnya adalah kemiskinan dan kebodohan. Mereka hidup ditanah yang gembur dan subur dengan kebun tebu yang berhektar-hektar, namun tanah-tanah subur itu bukanlah milik mereka namun milik tuan-tuan tanah yang super kaya dan tanah-tanah yang lain adalah milik negara. Mereka masih bisa makan sehari-hari layaknya orang normal, namun kebudayaan mereka yang telah dibodohkan oleh sistem yang jahat. Mereka hanya sebagai kuli yang bekerja dikebun-kebun tebu milik juragan tanah. Mereka dibayar, digaji meski hasilnya kecil dan hanya untuk menyumbal perut mereka dari kelaparan sehingga tak ada kesempatan untuk menyumbal otak mereka dengan pengetahuan-pengetahuan yang bisa merubah cara berfikir dan juga prinsip hidup mereka. Pengetahuan yang ada di sekolah bagaikan barang langka yang hanya milik kaum priyayi saja. Mereka sebagai anak kuli enggan dan merasa tak kuat karena berbenturan dengan keadaan mereka yaitu kemiskinan. Belum lagi mereka yang tak bisa mengelola kekayaannya karena permodalan. Lama-lama pun habis. Sehingga untuk mencukupi kebutuhan hidup tiada cara lain kecuali harus menjual tanah-tanah mereka pada tuan-tuan tanah. Sehingga tanah mereka rela terjual dan mereka rela bekerja menggarap tanah-tanahnya yang telah terjual.
Dalam halaman pembuka ada lagi catatan pengarang yang juga tak kalah menarik :
            Sumur-sumur tua di Soco, Cigrok, dan Dusun Dadapan benar-benar ada, cuma sekarang sudah berbeda dengan kondisi tahun 1948-1964. Laskar Merah dan Front Demokrasi Rakyat pernah mewarnai perjalanan hidup bangsa Indonesia. Pembantaian missal terhadap anggota atau simpatisan PKI-tanpa tuduhan atau pengadilan-juga pernah terjadi.
Negeri ini memang sebuah pigura yang full colour, ibarat lukisan adalah lukisan yang
lengkap, baik tanah nya yang luas, hutannya yang luas, sungainya yang panjang, lautnya yang luas, hasil kekayaannya yang besar, juga masyarakatnya yang beraneka macam. Namun juga tak kalah kisah-kisah heroik, kisah-kisah kekerasan yang menguras banyak air mata serta kesedihan. Kisah perjalanan anak bangsa yang tak luput dari kekhilafan demi sebuah perebutan kekuasaan. Buku ini sedikit menceritakan tentang tragedi sejarah di negeri ini, pembantaian PKI. Berapa ribu nyawa harus melayang demi stabilitas nasional, menghancurkan sampai akar-akarnya, atau bisa juga disebut pembersihan etnis. Meski PKI hanyalah sebuah partai politik.
            Dahlan kecil lebih memilih pendidikan pesantren Takeran meski dalam hatinya merindukan bersekolah di umum seperti SMP Magetan. Karena niatnya untuk bersekolah di SMP Magetan mendapatkan tentangan dari sang Bapak. Sang Bapak lebih memilihkan ia untuk mencari ilmu di pesantren dan juga bersekolah di MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah). Akibat kemiskinan banyak juga orang-orang miskin seusia Dahlan ketika bersekolah tidak memakai sepatu, mereka berangkat sekolah dengan nyeker, tak terkecuali Dahlan kecil betapa merindukannya ia terhadap sepatu untuk bersekolah, seperti dalam kutipannya : Terima kasih masih diizinkan sekolah meskipun Dahlan sudah bikin Bapak kecewa. Tapi, Dahlan tidak mau sekolah di Tsanawiyah Takeran. Apapun resikonya, Dahlan harus sekolah di SMP Magetan. Dahlan tahu alasan bapak pasti karena biaya sekolah yang selangit, buku-buku yang mahal, seragam yang tak terbeli, belum lagi harus ada sepatu dan sepeda. Dahlan janji, tak perlu pakai sepatu atau sepeda ke sekolah. Pak. Dahlan bisa jalan walau tanpa alas kaki. Dahlan kuat, Pak. Boleh ya, Pak?
            Meski akhirnya Dahlan harus rela menghabiskan waktunya untuk menempa pendidikan di pesantren Takeran. Dengan waktu yag terus berjalan, akhirnya Dahlan menikmati pendidikan pesantren. Ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan pesantren Takeran yang sudah berdiri sejak tahun 1880, bahkan bisa dikatakan pendidikan pesantren tertua di daerah Magetan. Ia mondok di Kyai Mursyid dan banyak belajar hidup dari Kyai Musrsyid.
            Pendidikan pesantren yang telah membentuk kepribadian Dahlan yang santun, sabar, dan juga ulet dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup di kemudian hari. Buktinya, ia mampu membuktikan bahwa seorang santri juga bisa menjadi CEO Jawa Pos dan beberapa bisnis-bisnis lainnya bahkan telah berhasil sampai ke sekelas Menteri tepatnya Menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.
            Lebih mengiris-iris hati lagi, kisah-kisahnya pak Dahlan dalam berjuang dan bertahan dengan penyakitnya yang mematikan yaitu kanker hati atau sirosis. Dan penyakit ini juga telah membunuh saudara-saudara Dahlan Iskan di Magetan.  Hingga ia memutuskan untuk ganti hati di rumah sakit Tianjin China. Ia mampu bertahan hidup hingga sekarang. Tentu saja dengan hatinya yang baru, ia mulai kehidupan baru baik semangat, optimis dan keceriaan hidup. Meski pada dasarnya makna kehidupan adalah bertahan untuk hidup. Lebih detail lagi silahkan membaca kisah novel yang mengharu biru dengan judul Sepatu Dahlan. Karena A. Fuadi penulis buku Negeri 5 Menara bilang, “Ini jenis buku yang bikin candu! Saya tak mampu berhenti membalik halaman sampai tamat.”


Rohmat Sholihin
Anggota Komunitas Kali Kening.

Label:

Jumat, 06 Oktober 2017

Nisan Merah


https://lakonhidup.com/2016/10/09/kisah-ganjil-seorang-penggali-kubur/

Oleh. Rohmat Sholihin*

            Suatu malam pekat. Ayah bercerita padaku diberanda rumah. Tiada bulan, tiada bintang, hanya angin malam berhembus lirih menerpa rambut ayah yang beruban. Putihnya berkilau menghias malam. Hanya gigi Ayah yang tak lagi genap menari-nari, sibuk berbicara tentang kuburan pojok kampung dekat pohon-pohon bambu. Kuburan orang yang tak dikenal dan sudah ada lama ketika kampung ini didirikan oleh Ki Demang Joyo. Kuburan itu agak aneh dan berbeda dengan kuburan lainnya. Pertama, panjangnya kuburan itu diatas rata-rata kuburan normal, hampir ada dua meter lebih. Jika dipikir-pikir apa benar jasad yang ada dalam gundukan tanah itu mempunyai ukuran ketinggian yang begitu panjangnya. Jika itu memang nyata aku tak bisa membayangkan manusia dengan ketinggian lebih dari dua meter. pemain basket seperti Michael Jordan, Hakim Olajuwon saja ketika bermain basket terlihat begitu mengerikan, manusia dengan ketinggian yang super, berlari-lari, kesana-kemari, seperti raksasa. Benar-benar manusia luar biasa. Apalagi jika melakukan aksi slum dunk, wow fantastis. Kedua, nisannya terbuat dari batu yang berwarna merah. Mengesankan. Memang. Jika malam remang-remang dengan pencahayaan lampu bohlam lima watt, nisan itu menyala-nyala seakan membakar apa yang ada disekitarnya.
            Dan banyak cerita, siapa sebenarnya tokoh dalam kuburan yang bernisan merah itu tak ada yang pasti. Semua orang selalu bercerita dengan berbeda-beda, tak ada suatu cerita yang nyata berdasarkan sejarah dengan bukti-bukti otentik. Hingga yang aku simpulkan sendiri dalam pikiranku menjadi membingungkan. Sulit menarik kesimpulan dari banyak cerita yang berbeda. Namun semua aku anggap benar, termasuk cerita dari Ayahku sendiri.
            “Ada yang mengatakan jika ia adalah pendatang dari tanah Persia, namanya Syekh Reis. Lengkapnya juga tak jelas. Namun juga belum benar seutuhnya karena tak ada bukti-bukti yang jelas seperti tulisan arab, baik tahun kematian atau juga nama pada nisannya. Hanya diceritakan jika ia adalah tokoh yang ahli dalam kelautan Islam.” Jelas Ayah.
            “Apa karena nisannya yang merah dan tidak ada penanda aksara arab hanya karena orang-orang pribumi waktu itu belum bisa menulis arab, Ayah.” Jawabku sekenanya.
            “Bisa juga. Bahkan ada yang mengatakan bahwa itu bukan kuburan hanya senjata-senjata milik Jepang yang sengaja dikubur agar tidak dirampas oleh tentara sekutu dalam Perang Dunia kedua.” Kali ini Ayah menjelaskan dengan paras yang tetap tenang.
            “Apa pernah ada yang tahu?” Tanyaku.
            Ayah hanya menggeleng pelan. Bahwa ia benar-benar tak tahu.
            “Hanya desas-desus, Nak. Namun cerita dari Mbah Wage, bahwa dulu ia juga ikut mengangkut ratusan senapan, granat, bayonet, samurai, revolver, dalam peti-peti yang telah dikemas secara rapi. Diangkut dalam truk dan dibawa ke suatu tempat dengan pengawalan tentara Dai Nipon secara ketat. Sepertinya sebuah gua dengan gundukan tanah menyerupai bukit namun tidak begitu tinggi, terkesan samar tak kelihatan dari beberapa pandangan meski akan sangat terlihat jika kita mendekat. Beberapa orang menurunkan peti-peti yang berisi senjata itu untuk dimasukkan ke dalam gua, ternyata di dalam gua sudah ada pasukan Dai Nipon dengan senjata lengkap yang ikut mengawal mereka. Mbah Wage merasakan ada getaran jahat dari mereka. Hampir semua pekerja itu ditembaki oleh tentara Dai Nipon untuk dibinasakan dengan dalih menghilangkan jejak. Mbah Wage roboh namun tak satupun senjata mengeninya, hanya cipratan darah dari pekerja-pekerja yang mengenai tubuhnya. Dikira ia juga sudah ikut mati.”
            “Tepatnya di gua mana, Ayah?” Aku semakin penasaran.
            “Kamu tahu bukit Tanggung? Lokasinya ada disekitar tempat itu.” Tangan Ayah sambil menunjuk arah ke utara meskipun jaraknya sekitar lima belas kilo meter dari tempat ini.
            “Aku belum pernah dan tidak tahu gua itu, Ayah. Lantas apa hubungannya dengan nisan merah, Ayah?” Tanyaku dengan sedikit bingung, apa benar senjata-senjata milik Jepang telah dikubur di nisan merah. Sepertinya tidak ada hubungannya sama sekali.
            “Pengangkut senjata-senjata itu dibagi menjadi dua bagian, yang satu untuk berangkat ke gua Tanggung, dan yang satunya dikuburan pojok kampung itu. Senjata-senjata itu bisa dijangkau untuk digunakan ketika keadaan genting. Itupun juga masih belum benar ceritanya.” Ayah pun sedikit ragu untuk mengatakannya.
            “Apa tidak dibongkar saja, Ayah?”
            “Tak ada yang berani, Nak. Pernah seluruh pamong desa dan tokoh-tokoh masyarakat akan melakukan itu namun anehnya ketika pembongkaran akan dimulai, tiba-tiba hujan turun begitu lebatnya, angin mendesing-desing seperti hantu, langit gelap, petir menyambar berkali-kali bahkan ada yang mengenai seorang warga, bergelimpangan seketika meski bisa diselamatkan, dan bisa selamat hingga kini, itu Mbah Mat Petir dengan sebutan petir menandakan bahwa ia pernah diserempet petir. Orang menjerit-jerit dan lari tunggang langgang. Pembongkaranpun dihentikan seketika. Dan tempat itupun banjir. Tergenang air.”
            “Apa Mbah Wage bisa keluar dari gua itu, Ayah?”
            “Iya. Ia selamat namun beberapa tahun ia menghilang tidak langsung kembali ke rumahnya. Takutnya ditangkap lagi Jepang lalu dieksekusi. Ia memilih pulang setelah Jepang kalah dengan sekutu dan kembali ke negaranya lagi. Ia pun didesak oleh beberapa orang untuk membantu mengambil harta karun di gua itu. Ia tak berani karena ia mempercayai bahwa harta karun yang telah lama mengendap disuatu tempat pasti dijaga oleh para lelembut. Dan Mbah Wage sedikit ketakutan tentang itu.”
            “Jika ia bersedia menjadi petunjuk jalan, lumayan harta-harta itu bisa diberikan pada negara sebagai kekayaan kebudayaan dan bisa menjadi koleksi barang-barang museum. Juga bisa sebagai bahan penelitian tentang peninggalan bersejarah.”
            “Tak bisa begitu, Nak. Antek-antek Amerika sebagai wakil sekutu akan memperkarakannya. Lebih baik biarkan saja.”
            “Kita kan sudah menjadi negara merdeka, Ayah. Negara besar ini bebas menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan negara lain. Titik, dan itu tak bisa diganggu gugat.” Jawabku ngeyel.
            “Itu hanya teori Nak. Negara kita belum bisa berdiri sendiri dan mandiri. Hutang-hutang masih selangit, barang-barang masih impor, dan kebijakan-kebijakan masih disetir dengan negara lain.” Jelas Ayah sambil senyum sinis.
            “Bahkan nisan merah yang ada dipojok kampung kita masih terawat hingga kini. Entah siapa yang ada dalamnya dan yang jelas masyarakat kita mengeramatkannya. Setiap tahun selalu ada perayaan, pentas wayang kulit semalam suntuk, dan pengajian.”
            “Itu baru-baru saja, Nak. Dulu tak ada ritual semacam itu. Yang ada sindir dan bermain judi dua hari dua malam. Ada judi dadu, dan glundungan. Glundungan itu judi yang menggunakan media bola kecil dan lapangan yang terbuat dari kayu dengan luas kurang lebih satu meter dan diplitur halus di kasih nomor satu sampai dua belas yang diacak dan bola kecil digulirkan hingga dinomor mana bola itu akan berhenti dan itulah yang beruntung, yang ikut nombok tinggal melemparkan uang dinomor yang telah disediakan pada kain yang ditulisi nomor satu sampai dua belas.” Kemudian Ayah diam sejenak lantas diteruskannya lagi.
            “Orang-orang berteriak rame sekali. Asyik tak ketulungan sampai pagi, yang kalah juga menderita karena jutaan rupiah harus raib dari dompetnya sedangkan yang menang senang tak tertahankan. Yang ikut bukan hanya masyarakat dari sekitar sini saja, Nak, orang-orang kampung lain juga berduyun-duyun ikut datang dan bermain judi sampai pagi. namun jika bandarnya kalah ya langsung kukut.”
            “Iya, Ayah dimanapun judi selalu mengundang banyak orang untuk datang dan ikut bermain. Kalah menang tak jadi soal, itu hanya masalah keberuntungan namun jika hati telah panas, terbawa emosi tak jarang mereka harus berakhir dengan pertengkaran dan saling membunuh.” Tambahku.
            “Aku ingat ketika sebuah kota dibangun dengan uang lotre mampu berkembang dengan begitu pesatnya. Lihatlah kota-kota judi dunia hampir mereka selalu memberikan pelayanan seperti disurga, mengundang banyak pendatang untuk singgah dan menghambur-hamburkan modalnya untuk berjudi. Borgata Hotel Casino & Spa (Atlantic City), Casino Lisboa (Lisbon Portugal), MGM Grand Las Vegas (Las Vegas USA), Sands Macau (Macau China), MGM Grand Macau (Macau, China), Tusk Rio Casino Resort (Klerksdrop, Afrika Selatan), Casino Macau (Macau, China), dan masih banyak lagi kota-kota yang maju pesat dengan modal uang judi, namun ditambah lagi dengan pelengkap yaitu pelacuran.” Bicara Ayah menyala-nyala.
            “Di negeri ini juga pernah memperbolehkan dana lotre yang dananya digunakan untuk memajukan dunia olahraga namun tak bisa bertahan lama, sumbangan dana sosial berhadiah. Yang mendapatkan kecaman dari para tokoh-tokoh agama. Akhirnya dibubarkan.”
            “Lebih baik memang begitu, Nak. Negara tidak mengajarkan masyarakatnya untuk berjudi. Meski ini juga masih hanya sebatas teori. Buktinya masih banyak perjudian-perjudian yang terselubung dibalik dinding undang-undang. Perjudian itu sudah ada dan berkembang sejak masa lampau sebelum negeri ini berdiri. Sulit untuk menghilangkannya. Meski Raja Dangdut Rhoma Irama menyanyikan efek lagu Judi masih saja tak bisa membuat masyarakat jera.”
            “Heran…”
            “Kenapa?”
            “Itulah dunia, Nak. Antara hitam dan putih selalu berjalan bersamaan, saling melengkapi dan saling memberikan nilai masing-masing, tergantung bagaimana kita saja yang harus pandai menilainya.” Ayah menghela nafas dengan perlahan serasa ia puas dengan semua keterangan yang telah disampaikan padaku. Aku hanya memperhatikan cerita Ayah, aku tak tahu jasad yang ada pada nisan merah itu siapa? Yang jelas sampai hari ini masyarakat sekitar telah mengkeramatkan tempat itu. Aku hanya ikut meramaikan jika haul nisan merah itu tiba. Banyak orang menyebutnya Mbah Merah sesuai dengan warna nisannya. Bahkan selentingan lagi yang beredar dengan desas-desus entah dari siapa, nisan merah itu adalah kuburan orang Belanda yang pertama kali menyebarkan faham merah di negeri ini yang identik dengan komunis. “Ini yang lebih gila, bukannya Mr. Snevliet mati di negaranya sendiri? Kenapa dibawa-bawa sampai disini? Keterlaluan. Bisa-bisa nya sejarah dibuat putar balik. Dan itupun masih saja ada yang mau percaya, ini lebih bodoh lagi.” Batinku menanggapi isu yang tak masuk akal. Kabar tentang siapa jasad yang ada pada nisan merah sampai sekarang juga belum terkuak atau jangan-jangan memang sengaja dibuat seperti itu. Tak jelas dan buram. “Ah bisa saja aku mengatakan kalau itu makam Syekh Siti Jenar sedikit masuk akal, bukannya Syekh Siti Jenar terkenal dengan sebutan Syekh Lemah Abang atau merah. Siapa tahu, kan sama-sama tak tahu, edan.” Akupun menyeruput kopiku lantas mengambil sebatang rokok dan aku sulut sedangkan asapnya aku hembuskan kuat-kuat ke udara.

Bangilan, 6 Oktober 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening.
           

            

Label:

Selasa, 03 Oktober 2017

Yang Terjungkal


Oleh. Rohmat Sholihin*

http://serenemaklong.blogspot.co.id/2014/11/bahana-hasad.html
            Nafas-nafas tersengal dari tubuh kering kerontang yang hampir saja putus, suaranya seperti seruling yang ditiup saat lembayung senja, mendayu-dayu mengiris sanubari, namun tak menyurutkan ia harus terus berlari terpincang-pincang, seakan terlihat tubuhnya mau ambruk, lidahnya menjulur-julur seperti anjing lapar, keringantnya tak lagi menetes karena isapan mineral dalam tubuhnya telah mengering, perutnya telah menyatu dengan tulang tak ada lagi sisa makanan dalam bentuk karbohidrat didalamnya. Dalam pikirannya selalu dihantui kematian dan ketakutan. Ia terus berlari mencari tempat yang paling aman, hutan, gua, sungai, pantai, bahkan gunung dengan jurang-jurangnya. Kakinya telah mengeras, tangannya telah mengepal. Matanya menjadi cekung dan tajam menatap awan. Lebih parah dari mayat hidup. Kali ini ia duduk tersungkur di bawah pohon mahoni, tangannya menggerayang-gerayang pada gundukan tanah kering, apa yang ia cari? Tak jelas.
            Jika ia ingat 45 tahun lalu ia bukanlah lelaki yang malang seperti saat ini. Tubuhnya gagah perkasa dan kuat. Tinjunya saja sekali kena musuh pasti tumbang. Tendangannya keras mematikan dan tentu saja mulutnya laksana halilintar sekali berdentam. Berapa juta orang-orang terbunuh akibat ulahmu. Tak lagi terhitung. Dan berapa kali orang-orang hilang entah kemana dengan aksi mulutmu? Bejat. Dan berapa peluru yang menyembur bertubi-tubi membunuh anak-anak muda yang tak berdosa. Kau katakan “revolusi” hanya tahi ayam dan bau kentut yang mudah dipadamkan. Sekali berkuasa tetaplah berkuasa. Mereka yang tak terima hanya kerikil jalanan, dekil, dan berdebu. Jika perlu di buldoser saja biar gepeng dan lebur berkeping-keping menjadi debu tak berguna, beterbangan kesana-kemari.
            Kini tubuh rentamu telah menjadi mayat hidup, bergentanyangan menyerupai hantu. Pada malam yang sunyi kau katakan lirih penuh harap keadilan dari penguasa tertinggi Tuhan yang dulu kau anggap raib dari kalbumu yang kering dan tandus.
            “Malam, tunjukkanlah padaku jalan yang aman meski hanya gelap yang kau tampakkan.” Bicaramu lirih tersapu angin malam. Komat-kamit mulutmu seperti membaca mantra dan lafal-lafal dari guru spritualmu yang dulu kau jadikan suara tuhan dan kini juga telah terjungkal oleh kesombongan dan kerakusanmu terhadap kekuasaan. Keberadaannya juga tidak jelas, entah masih hidup atau telah terbunuh oleh kemarahan hasil “revolusi” yang dulu kau tekan. Bahkan tokoh-tokohnya kau culik dan kau bunuh seperti tikus-tikus got, kau lemparkan ke sungai, sumur, jurang, laut bahkan jalanan.
            “Aku menjadi rapuh oleh ambisi-ambisiku yang telah meremukkan hatiku sebagai manusia. Lebih pantasnya aku bukan manusia namun akulah iblis yang bertubuh manusia.” Ujarnya pada malam yang tetap membisu, hanya rembulan tersenyum dengan sinarnya yang kian meredup tertutup awan mendung yang makin menghitam.
            “Sebentar lagi hujan, tanganku masih penuh dengan dosa dan kotor.”  Ia hentikan tangannya yang dari tadi mengais-ngais gundukan tanah merah membara. Seakan-akan ingin menghilangkan najis yang terkemas rapi dalam kepalan tangannya, agar debu-debu bisa membasuh jejak kekejamannya dimasa lampau. Dan sejarah memang bisa diputar balik oleh banyak kepentingan namun senandung kebenaran akan terekam jelas oleh semesta alam. Meski terkubur. Dan kebenaran akan bangkit.
            “Dimana mereka semua? Yang dulu selalu mengelu-elukan suaraku, yang sembunyi diketiakku, yang berjalan dengan kaki-kakiku, yang meronta-merengek dipundakku, bahkan menangis dipelukanku. Mereka tak ubahnya kerbau dungu yang membisu dikala kelu. Mereka seakan-akan telah lenyap ditelan bumi. Melupakan sesuatu yang telah menjadi sampah.” Ia terlihat lagi kebingungan menatap rintik hujan yang turun kian lebat. Tubuhnya ia rebahkan dengan telentang, putus asa, dan diam. Dingin tak lagi ia hiraukan. Ia ingin mati namun tak juga mati. Angin duduk yang ia harapkan tak juga menyerang jantungnya. Lapar yang menyerang seperti angin lalu, tubuhnya masih kuat dan tak juga mati.
            “Persetan dengan kemelut-kemelut lalu, itu hanya segala cara untuk meraih posisi puncak, konspirasi tepatnya. Kini aku telah sendiri, memilih jalan sunyi, pada suatu wilayah merah yang tak berujung, hampir semua datar tak ada cekung dan tak ada batas tertentu untuk meraih harapan untuk menjelma kembali menjadi manusia yang telah lama aku tinggalkan. Aku sekarang bukan manusia namun iblis setengah manusia bukan manusia setengah iblis. Atau mungkin sama saja. Ah…aku terjerambab di hitamnya sejarah perjalanan manusia yang paling kelam. Sekelam jurang dalam neraka jahanam.” Ia masih saja terkapar pada tanah merah yang penuh dengan air hujan. Ia biarkan tubuhnya semakin tenggelam dalam genangan air hujan yang telah memerah. Telinganya semakin tak kelihatan, rambutnya yang gimbal telah terendam, dan tentu saja mulut dan hidungnya pun semakin terendam. Ia biarkan saja seperti menjemput kematian yang telah ia rindukan. Namun, semakin matanya terpejam ia seperti masuk dalam ruang yang mengerikan. Ia kembali semburat bangkit dengan nafas yang ngos-ngosan.
“Hah, bayangan itu tak juga hilang. Apakah kematian seperti yang kubayangkan, mengerikan dan mengerikan. Kenapa mereka juga harus aku bunuh? Jugakah mereka merasakan bayangan seperti dalam pikiranku. Mengerikan, laksana tubuh dihempaskan dalam ruang luas tak terbatas dengan api biru yang berkobar-kobar, kematian bukanlah suatu penyelesaian akhir namun kematian membawa dampak perbuatan yang telah dilakukan selama nafas dan tenaga masih terbungkus kuat dalam raga.” Dirinya semakin kebingungan. Sendiri dan mencekam dalam gundukan tanah merah yang sangat mengancam.
“Kenapa hewan buas tidak juga menerkamku? Agar aku tak merasakan bayangan mengerikan itu lagi.” Rintihnya dengan penuh harap.
“Matahari bakarlah aku….”
“Angin lemparkanlah aku….”
“Bulan tindihlah tubuhku agar hancur lebur….”
“Oh Tuhan cabut segera nyawaku….”
“Setan ambil saja tubuhku…”
Keputus asa-anku semakin menjadi-jadi namun tak juga sampai pada keinginanku yaitu.
“Kematian. Agar aku terbebas dari rasa bersalah yang terus berputar-putar seperti hantu.”
“Sakit dan sungguh pengalaman hidup muram ini menjadi siksa hidup yang kian menghujam.”
Lalu ia bangkit dan kembali lagi berjalan terseot-seot menyusuri malam yang tak ada lagi rembulan dan bintang, hanya ada suara pikirannya sendiri yang semakin kencang menghiasi sekitarnya. Kesepian di hari tua seperti tiada habisnya. Sedangkan hari-hari yang ia rasakan semakin mengendap-endap menjadi siksa yang pedih, mengiris-iris pikirannya sendiri yang selalu tertekan oleh masa lalu yang telah ia gunakan seperti pedang, membunuh dirinya sendiri. Namun ia tak juga mati. Jika ia bunuh diri itu juga sama dengan kebiadaban yang telah ia lakukan dengan otak, tangan, kaki, tubuh, dan mulutnya. Pembunuhan terhadap dirinya sendiri belum tentu ia akan mati.
“Kemana lagi kakiku akan melangkah? Dan setiap ruangnya hampir pernah terjamah dalam pikiranku, tak terkecuali ruang angkasa. Atau mungkin? Oh tidaaaaak…kenapa ruangan itu lagi, api biru menyala-nyala yang melumat tubuhku. Semakin aku menghindari semakin jelas bayangan itu membuncah seperti hujan deras. Uuh…tak ada lagi tempat untuk sembunyi. Gua-gua yang terdalam masih saja ada bayangan itu. Hutan, jurang, gunung, selalu saja bayangan itu. Atau jangan-jangan aku telah menjadi edan.” Ia menarik nafasnya lagi. Tersengal-sengal dan kemudian berceloteh kembali.
“Manusia saja tak mengenaliku bahwa aku adalah tokoh dibalik peristiwa kelabu itu.”
“Dan kenapa aku harus lari? Aku telah takut dengan bayangan ketakutan itu sendiri. Menindih-nindih alam pikirku dan hatiku seperti meregang maut.”
“Hukum mati?”
“Tak juga aku ditangkap lalu ditembak atau di bom agar tubuhku hancur berkeping-keping.”
“Atau jangan-jangan Tuhan masih sayang padaku, memberikan kesempatan hidup lama padaku agar aku segera menebus dosa-dosaku dengan bertaubat. Menyesali dengan khidmat seperti tokoh-tokoh kafir yang telah menemukan jalan kebenaran.”
“Semoga saja.”
“Tapi, aku malu…”
“Tuhan hanya aku jadikan tempat pelampiasan sesaat ketika aku terjepit seperti ini. Dimana Tuhan ketika aku masih mempunyai kekuasaan, bahkan berkuasa memerintah melebihi kekuasaan Tuhan.”
“Tuhan terlalu suci menjadi tempatku bersimpuh.”
“Biarkan Tuhan sendiri yang menilai dan menghukumku. Aku tak punya hak atas kehidupanku kecuali Tuhan sendiri. Bahkan kematian yang telah lama aku inginkan tak juga sampai. Tuhan belum memberikan kenikmatan kematian padaku. Entah kapan datang waktu itu? Meski aku terlunta-lunta untuk mencapainya.”
“Ya, kematian yang kata orang adalah kenikmatan abadi bahkan ada yang senang menghadapi kematian. Karena ia akan kembali pada kehidupan berikutnya. Reinkarnasi dengan waktu yang tak tentu.” Ia masih terus berjalan dengan lelah. Tak ada lagi harapan dalam dadanya. Dan ia masih terlalu ketakutan dengan ambang batas kematian. Bayangannya masih saja yang keluar adalah gulatan api dan ruangan yang tak ada batasnya. Ia belum mampu melewati ketakuatn dan melawan ketakutan itu. Kesepian dalam hatinya teramat menyerang pasca ia terpatahkan dengan senjata makan tuan, revolusi tahi ayam. Revolusi tahi ayamnya telah membunuh karakternya sebagai tokoh yang keblinger juga. Orang-orang dekatnya semakin menjauh. Jauh bahkan ia telah menjadi tokoh yang terpinggirkan sampai ke pedalaman, suaranya saja tak ada yang mendengar kecuali batu, pohon, dan gunung.
Tuhan membiarkan ia gaduh dengan kecemasannya sendiri seperti kegaduhan-kegaduhan yang telah ia buat ketika masih berkuasa. Ia terus berjalan terseok-seok membawa setumpuk dosa kemanusiaan yang sangat kelam. Kematian tak juga menghampirinya namun hanya membayangi ingatannya yang kian hari kian memprihatinkan. Sendiri dalam kecemasan, terjungkal oleh pongah keangkuhannya.

Bangilan, 3 Oktober 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening





             


Label: