Oleh. Rohmat Sholihin
https://advjourney.com/2014/05/05/serunya-satu-jam-menelusuri-goa-petruk/
Hari ke Lima.
Bertemu dengan Mpu Pancarita
Bah Tei masih sibuk berlatih dengan gurunya, Ki
Baroto. Memperagakan jurus-jurusnya yang semakin hari semakin sempurna.
Tubuhnya enteng seperti kapas. Meloncat-loncat lincah seperti tupai. Rambutnya
yang panjang, hitam, terurai semakin indah dikipas-kipaskan angin, cantik,
putih, sipit, dan menawan.
Jeritannya melengking, menambah suara alam
menjadi ramai. Ki Baroto mengimbangi gerakan Bah Tei dengan mempesona. Sepasang
anak manusia yang meliuk-liuk diudara, menari-nari dengan jurus-jurusnya yang
tak biasa dilihat oleh banyak orang. Melumpuhkan dan mematikan. Bahkan
mengejutkan. Ki Baroto menjadi kaget.
“Bah Tei, kau telah mengalami kemajuan pesat
dalam belajar dasar ilmu kanoragan. Kau telah berhasil melalui fase-fase
adaptasi dari jurus dasar Melebur Bayu Sukma meski belum sesempurna Jaka.
Setidaknya jurus dasar ini sudah ampuh untuk melindungi dari serangan
pendekar-pendekar lainnya. Tinggal kau terus berlatih lagi dengan tekun dan keras lagi.” Bicara Ki Baroto sambil mengelus-ngelus jenggotnya yang telah
memutih.
“Baiklah Ki Baroto, saya berjanji pada diriku
sendiri untuk lebih serius dalam mempelajari jurus yang aneh ini. Dan saya akan
terus mengamalkan jurus hebat ini untuk kebenaran.” Senyum Bah Tei pada Ki
Baroto sebagai rasa ucapan terima kasih yang amat dalam. Ia tumbuh dan besar di
lingkungan kaum bangsawan China yang disiplin.
Babahnya selalu mendidiknya untuk selalu menghormati orang lain dan
mengerti bagaimana mengucapkan rasa terima kasih kepada orang lain yang telah
memberikan pertolongan meski sangat remeh sekalipun.
“Bagus Bah Tei, mempunyai kelebihan dalam diri
kita, sebaiknya kita tidak boleh kikir terhadap orang lain yang membutuhkan
pertolongan. Karena menolong orang dalam kesusahan itu hukumnya wajib.” Ki
Baroto mengulangi sekali lagi dengan nada lumayan keras, “sekali lagi hukumnya
wajib.” Itu tandanya bahwa apa yang telah diucapkan perlu untuk dicamkan dalam
hati sebagai pelajaran hidup.
“Oh iya, untuk tapa Jaka masih lama ya Ki?”
Tanya Bah Tei.
“Semoga saja ia kuat dengan ujian-ujian yang
terus menempanya. Dan jika ia kuat tanpa sedikitpun goyah, tidak sampai lama
harus menunggu empat puluh hari. Tergantung bagaimana jiwanya dalam memahami
alam semesta lebih-lebih kepada sang bayu. Namun, Kakek yakin bahwa Jaka
termasuk orang yang mumpuni dengan kemampuannya sehingga akan lebih mudah dalam
menghadapi segala rintangan dengan jiwanya.” Jelas Ki Baroto. Sedangkan Bah Tei
mendengarkan dengan manggut-manggut, ia berharap agar Jaka segera berhasil
menyelesaikan ujian tapa brata dengan menyerupai kehidupan hewan lowo. Tidur
dengan cara menggantung di dahan pohon. Ia sudah tak sabar untuk
berbincang-bincang dengan pemuda Jaka yang telah ia rindukan. Dalam hatinya
selalu berdoa dengan sungguh-sungguh agar Jaka selalu dalam lindungan Sang
Pencipta. Karena tanpa perlindungan Sang Pencipta yang maha memberi kekuatan
sangat sulit bisa lepas dari kesulitan-kesulitan yang ia hadapi.
“Sudahlah Bah Tei jangan kau menambahi beban
pada Jaka, jiwanya akan meronta-ronta tidak tenang. Ia telah bermain dengan
alam pikirnya sendiri, melalang buana dengan pikirannya jauh menembus batas.”
Ki Baroto memberi semangat pada Bah Tei yang sedang merindukan Jaka.
“Baiklah Ki.” Bah Tei mengangguk pelan.
“Ssstttt….sepertinya ada kaki yang datang, Bah
Tei. Ayo cepat kita lihat dari semak-semak itu.” Dalam sekejap dua tubuh itu
bergerak ringan masuk ke dalam semak.
“Bagaimana dengan Jaka, Ki? Apakah dia akan
ditemukan oleh mereka?” Tanya Bah Tei.
“InsyaAllah mereka tak kan bisa melihat karena
tubuh Jaka di selimuti kabut bayu.” Terang Ki Baroto.
“Syukurlah.”
“Mereka mulai dekat, Bah Tei.”
Tak lama tiga orang berjalan mengendap-endap
semakin dekat. Mereka juga curiga dengan keadaan disekelilingnya bahwa ada
beberapa jejak kaki yang masih tertinggal. Itu berarti menandakan bahwa baru
saja ada orang menjamah daerah sini.
“Ada jejak kaki yang masih tersisa, Kang”
“Iya, kelihatannya ini jejak kaki yang baru
saja lewat daerah aneh ini.”
“Apa, daerah aneh, Kang? Aneh bagaimana
maksudmu, Kang?”
“Sepertinya siapapun yang masuk hutan dalam
sekejap sirna seperti hantu.”
“Iya Kang benar-benar hutan angker.”
“Bukan lagi angker tapi seram.”
“Sama saja, Kang.”
“Iya.”
“Kita harus mencari dimana, Kang?”
“Ya tentu di hutan ini, Kang.”
“Oalah, Kang kirain di pasar.”
“Awas tak usah bercanda kita masuk wilayah
hutan terlarang ini, Kang. Disamping gawat juga jarang manusia bisa kembali
dalam keadaan selamat. Lebih baik diam saja, kita cari perempuan China itu bersama
dengan pembantunya yang terkenal punya kemampuan silat yang mumpuni.”
“Heran, kenapa juragan Sarkawi sudah punya
gundik banyak masih saja mau persunting putri China itu.”
“Bukan putri tapi anak Bangsawan Batik Lasem,
Kang.”
“Maksud saya cantiknya ngalahkan putri China.”
“Kau tahu Putri China?”
“Tak pernah.”
“Ah, kau sok tahu, Kang.”
“Sssstttt….tak usah ngelantur. Kita ini
bertugas mematai-matai mereka, bukan bercanda.”
“Baik, Kang.”
“Kenapa jejak-jejak kaki ini hilang sampai
disini, Kang?”
“Pasti jejak kaki orang sakti.”
“Sudah barang tentu orang berani masuk dan
tinggal dihutan ini bukanlah orang sembarangan, Kang. Setidaknya ia punya ilmu
kanoragan yang cukup tinggi.”
“Betul juga, Kang.”
“Termasuk kita Kang.”
“Sakti, kita kan berani masuk wilayah hutan
ini, Kang.”
“Hust…sakti gundulmu. Kita masuk wilayah ini
karena terpaksa dengan tugas yang telah diberikan oleh juragan kita, Kang.”
“Wow, kau tidak sakti Kang?”
“Maksudku ilmuku belum nomor satu di tanah Jawi
ini. Kita kan masih menjadi anak buah Juragan Sarkowi yang terkenal punya ilmu
kanoragan cukup tinggi.”
“Kalau kita benar-benar sakti aku kira kita
sudah menjadi raja atau paling tidak juragan.”
“Kenapa kau tidak jadi juragan saja?”
“Kan belum sakti.”
“Hany otakmu saja yang belum sakti.”
“Kenapa dengan otak saya, Kang?”
“Tidak apa-apa cuma banyak yang sudah putus
syaraf-syarafnya.”
“Ah kau Kang bercanda.”
Kedua orang suruhan Sarkowi itu masih berdiri
mematung memperhatikan jejak kaki-kaki yang telah putus dibeberapa tempat.
Seakan kedua orang itu bingung arah langkah jejak kaki-kaki yang tak beraturan.
Kelihatannya jejak kaki-kaki itu bukan mengarah untuk berjalan menyusuri
jalanan tapi seakan memang disengaja diinjak-injak.
“Lihat Kang! Jejak-jejak kaki ini bukan sedang
mau lewat tapi kelihatannya jejak kaki-kaki ini
seseorang yang bermukim disekitar sini.”
“Betul, Kang kita harus waspada. Jangan-jangan
kita sedang diwasi, Kang.”
“Perasaanku juga begitu. Berjalan tenang saja
untuk bersembunyi lagi, kita pura-pura tidak tahu, Kang. Ia masih disekitar
sini.”
“Baik, Kang. Ingat pesan juragan Sarkowi kita
hindari saja, jangan sampai kita berkelahi dengan mereka. Kita hanya bertugas
untuk mematai-matai. Segera saja kita pergi, mudah-mudahan kita tidak sedang
dikejar, Kang.”
“Baik, Kang.”
Mereka berdua pun segera bergegas pergi dengan
tergesa-gesa. Tubuhnya dalam sekejap hilang dibalik pohon-pohon hutan.
Sedangkan dibalik semak-semak Bah Tei dan Ki
Baroto tak bergeming memerhatikannya.
“Celaka Ki, mereka telah mengetahui tempat
kita. Tidak kah sebaiknya kita kejar mereka Ki?.” Bah Tei mulai resah.
“Tak usah biarkan saja mereka pergi. Tak ada
gunanya kita berkelahi dengan mereka. Jika mereka harus melapor pada juragannya
lebih baik kita hadapi saja.”
“Kita kalah jumlah, Ki.”
“Belum tentu yang kalah jumlah akan kalah.”
“Baiklah, Ki, jika itu keputusan Ki Baroto.”
“Lebih baik kita istirahat sebentar sambil
perhatikan tubuh Jaka.”
Bah Tei tak menjawab hanya mengangguk dengan
pelan tanda setuju. Meski dalam pikirannya masih sedikit bergejolak tentang
mata-mata Sarkowi. Namun itu sebentar, kemudian lewat. Hatinya kini masih
menunggu Jaka yang masih melakukan tapa ngalong. Namun, ia tak mau larut ikut
memikirkan Jaka. Pesan Ki Baroto jika ia ikut larut memikirkan Jaka bayangan
tubuhnya akan masuk dalam pikiran Jaka yang sedang melalang buana menembus
batas ruang dan waktu. Ia hanya mengawasi saja. Seakan tidak sedang terjadi
apapun.
Tubuhnya Jaka terus diam, tenang, dan tak
bergerak.
Dari beberapa meter tubuhnya disaksikan Bah Tei
dan Ki Baroto. Ia masih terus berkomat-kamit membaca doa-doa yang telah
diberikan oleh Ki Baroto. Jiwanya pun terhempas disuatu gua yang belum pernah
terjangkau oleh siapapun. Gua Pancarita. Siapa yang masuk dalam gua ini
tubuhnya akan mendengar suara-suara mendengung seperti orang bercerita. Lirih
menusuk hati, keras membahana seperti api membakar ranting dan dahan. Jika kita
terus mendengarkan dengungan-dengungan suara itu seakan tubuh kita menjadi
pelaku utamanya. Tubuh kita menjadi peran utama. Karena hati kita terbawa oleh
suasana. Konon, Gua Pancarita ini adalah tempat pertapaan Mpu Pancarito yang
hidup antara tahun 1100 M. Ia dulu tukang bercerita di Kerajaan Kediri pada
masa Raja Jayabaya. Kemudian Jayabaya memerintahkan kepada Mpu Pancarita untuk
mencari wangsit berupa cerita di hutan Arjuna Lalijiwo dekat Gunung Arjuna.
Berapa tahun ia menuliskan kisah-kisah yang ada disekitar hutan Arjuna Lalijiwa
namun tulisan itu telah dianggap jelek oleh Raja Jayabaya yang terkenal sebagai
Pujangga. Kembalilah Mpu Pancarita untuk mencari wangsit berupa cerita tapi ia
tidak mencari sumber-sumber cerita didaerah itu lagi. Ia kecewa karena naskah
ceritanya ditolak oleh Raja Jayabaya akhirnya dia berusaha mencari tempat yang
aman, damai, jauh dari keramaian, untuk menyempurnakan naskah ceritanya
tersebut, ia tapa brata di gua yang tak pernah dijamah oleh bangsa manusia,
setiap hari ia selalu melantunkan naskah-naskah itu dengan diiringi suara
gemericik air, angin, daun-daun, ranting, kilat, suaranya menjadikan terus
bergaung didalam gua hingga menjadi cerita yang mengiri-iris hati.
Kini jiwanya Jaka terjebak ke tempat Gua
Pancarita. Jiwanya seperti kebingungan, bertanya-tanya dalam hati.
“Gua apa ini?” Gumamnya. Ia semakin penasaran
untuk terus masuk ke dalamnya. Sepi. Tak ada siapapun didalamnya. Hanya ada
suara gemericik air yang terus menetes membentur batu. Suaranya indah bergaung membentuk
nada. Ada banyak stalagmit dan stalaktit yang berkilau-kliau, meski gelap tapi
sesekali memancarkan cahaya, indah sekali. Ruang-ruangnya yang nyaman, damai,
terasa tempat hunian yang paling aman.
“Sepertinya tempat ini ada yang menghuni.”
Pikir Jaka.
Sayup-sayup angin lirih berhembus. Menerpa
tubuh Jaka pelan-pelan. Semakin lama semakin menusuk, dingin, menggigil.
“Kenapa tiba-tiba berubah seperti ini?” Batin Jaka penasaran. Ia terus
memperhatikan keadaan sekelilingnya, masih tetap gelap, Sedangkan dingin masih
terus menyeruak menghajarnya semakin dingin menyayat kalbu. Membeku. Kembali ia
memusatkan tenaganya untuk melawan rasa dingin yang menghebat. Ia duduk
tersimpuh dengan tangan sendakep seperti orang bertapa. Matanya ia pejamkan.
Lambat laun ia mulai mendengar suara-suara laksana suara orang mendongeng,
suaranya berat, mendesah, melengking, berteriak, seperti membaca mantra. Namun
suara yang ditangkap dalam telinga Jaka masih belum jelas.
“Siapa orang yang membaca mantra ini?” Kembali
pikirannya penasaran.
“Ini sepertinya tutur-pitutur, tapi siapa
gerangan? Ini jelas dilakukan oleh orang yang bukan sembarang orang. Ini pasti
orang hebat yang melakukannya.” Hatinya terus bertanya-tanya. Hingga semakin
jelas suara itu tertangkap oleh kedua telinganya. Tubuhnya yang telah menggigil
kedinginan semakin hanyut terbawa suasana. Gua yang telah gelap tiba-tiba
bercahaya. Stalaktit memancarkan cahayanya. Indah mempesona. Namun Jaka masih
terserang dingin yang semakin hebat. Suara-suara pitutur tanpa rupa semakin
perkasa memenuhi ruangan gua, seakan-akan ada kekuatan dahsyat yang telah
memenuhi gua serasa mau ambrol. Sesak tak tertahankan. Suara-suara tanpa rupa
seakan membawa beban berat berton-ton menyesaki ruangan gua dan seisinya. Jaka
masih tetap duduk dengan tenang. Tubuhnya bergetar hebat melawan hentakan
suara-suara tanpa rupa yang serasa membawa batu berton-ton, menjejalinya.
Tubuhnya mulai mengerang, “kekuatan apa ini? Aneh. Aku ingin tahu siapa yang
membacanya?” Tubuhnya mulai bergeser-geser. Suara-suara itu semakin menghebat.
Namun Jaka masih kuat bertahan. Bertahan dengan hidung, mata, telinga, bahkan
mulut mengeluarkan darah. Suara-suara seperti naskah cerita yang telah dibaca
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Ia berusaha mengerahkan semua
tenaga dalam yang ia miliki. Tubuhnya seakan ingin mental ke belakang, ia terus
berusaha kuat, kuat, dan kuat. “Aku harus kuat, aku ingin bertemu dengan orang
yang punya suara hebat ini.” Dengan cepat Jaka mengeluarkan jurus andalannya.
Perlahan tubuhnya mulai tegar. Meski masih bergetar dengan hebat.
Tak berapa lama. Keadaan gelap. Stalaktit
kembali padam. Dan suara-suara tanpa rupa yang ia dengar kembali hadir tapi
serasa dekat sekali, ada dihadapannya. Menyapanya.
“Anak muda sedang mencari siapa?” Suara misteri
itu menyapa.
“Aku tidak mencari siapa-siapa, Kakek.” Dengan
kaget Jaka menjawab.
“Kenapa kau bisa tahu dan berada di gua ini?”
“Aku tersesat kakek. Maafkan aku. Dan aku bukan
bermaksud mengganggu Kakek.” Jawab Jaka.
“Kau siapa anak muda?” Tanya suara tanpa rupa.
“Aku Jaka, Kek. Kakek siapa?” Jawab Jaka.
“Aku Mpu Pancarita.” Seketika ruangan kembali
menjadi terang benderang. Stalaktit dan stalagmit kembali bercahaya. Sosok
jubah hitam, rambut panjang putih, jenggot panjang putih dengan tenang duduk
dihadapan Jaka.
“Maafkan saya, Mpu.”
“Kau punya nyali Jaka. Dan kau berani masuk ke
guaku ini tanpa lari tunggang langgang ketika mendengar suaraku dalam
kegelapan. Aku sudah lama tidak pernah keluar gua, entah sudah berapa lama? Aku
tak pernah menghitungnya. Dan sudah lama guaku tidak pernah dimasuki oleh
manusia kecuali kelelawar, dan tikus-tikus untuk singgah. Dan apa yang kau
inginkan?” Jelas Mpu Pancarita.
“Aku tidak menginginkan apa-apa, Mpu. Aku bisa
bertemu dan berbincang dengan Mpu hati ini sudah merasa bahagia. Dalam
pengembaraanku ini saya merasa bersyukur bisa bertemu dengan Mpu Pancarita.”
“Semoga kau tidak berbohong anak muda. Karena
orang-orang sekarang sudah pandai berbohong. Membohongi orang tua, mencoba
menuruti kemauan orang tua ketika lengah ia akan menikam dari belakang. Dan itu
terjadi pada Kakang Gandring. Mati ditikam anak muda. Anak muda hanya silau
pada kekuasaan semata.”
Jaka tidak menjawab, hanya diam menjadi
pendengar setia pitutur dari Mpu Pancarita.
“Dan itu terjadi juga pada hampir perebutan
tahta-tahta di luar sana. Aku sudah muak oleh kelakuan mereka semuanya. Mulai
dari Kediri hingga Majapahit. Semua itu palsu. Hanya perebutan dan perebutan.
Sedangkan nasib rakyat hanya sekian kecil saja yang terurus, hampir semua
kelaparan, karena menanggung beban. Beban peperangan yang terus terjadi tanpa
ada hentinya.”
Jaka terkesima dengan pitutur Mpu Pancarita
yang mengesankan. Ia tak berani menyela sedikitpun pituturnya.
“Kini Demak juga mulai berseteru. Tapi hanya
kecil. Seperti letupan api dari batu yang dibenturkan. Kecil. Namun dampaknya
yang besar. Hanya dampaknya bukan kekuatan yang telah dibangunnya. Karena
pikirannya belum mampu menandingi pikiran orang-orang putih dari selatan.”
Jaka masih belum paham. Hanya berusaha
memahamkan dengan cara diam. Dalam hatinya ia merasa kagum dengan pitutur yang
telah disampaikan oleh Mpu Pancarita.
“Demak juga akan perang saudara. Persis
kelakuan para orang-orang yang silau akan tahta. Perebutan dan perebutan. Maka
kau jangan silau anak muda. Karena dari kesilauannya itu mereka akan terjebak
oleh caranya sendiri. Ia telah dijadikan domba-domba oleh orang-orang kulit
putih yang lebih cerdas cara berpikirnya, mereka juga berbahaya melebihi ular
dan buaya. Waspada, tapi mereka tak kunjung juga waspada. Masih mengulangi
kebiasaan lama. Perebutan kekuasaan dan perempuan. Hingga mudah diadu domba.”
“Apakah itu maksudnya perang saudara, Mpu?”
Tanya Joko.
“Betul. Saudara-saudara kita tak juga sadar
akan kelemahannya itu.”
“Ilmu apa yang kau gunakan itu anak muda?”
Tanya Mpu Pancarita.
‘Tak ada orang yang mampu bertahan di gua ini,
kecuali jika ia punya nyali dan kemampuan yang hebat. Ternyata kau mampu
bertahan di gua hingga telah bertemu denganku.” Mpu Pancarita bertutur lagi.
“Itu Ajian Cermin Tatakan Diri dari Ki Batoto.”
Jaka menjawab dengan tenang.
Tak ada reaksi dari Mpu Pancarita. Dia hanya
memperhatikan wajah Jaka. Kemudian ia mengeluarkan beberapa tulisan rapi yang
ditulis di daun lontar dari dalam jubahnya yang hitam.
“Bacalah, anak muda. Suatu saat pasti berguna
karena tulisan-tulisan ini tiada lagi yang mau mendengarkannya apalagi
membacanya. Simpanlah. Jangan sampai hilang apalagi dicuri oleh orang yang
berkelakuan buruk.” Bicara Mpu Pancarita.
Jaka hanya diam, tertunduk, dengan perasaan
bahagia ia pun menerima tulisan-tulisan karangan Mpu Pancarita yang telah
ditulis indah pada daun lontar.
“Terima kasih, Mpu.”
“Silahkan kau kembali pada pertapaanmu yang
panjang dan melelahkan. Kau masih harus bersabar dan tabah untuk menghadapi
cobaan-cobaan berikutnya.”
Jaka pun pamit kembali mencari jalan kelur. Dan
gua pun gelap, gulita.
Bersambung…
Bangilan, 20 Oktober 2017.
Label: Dongeng serial