Selasa, 05 Juni 2018

Provokasi



Ia tersenyum kecut melihat bangunan yang menjualang tinggi di tengah sawah yang menghampar dengan padi menguning dan sebentar lagi siap untuk dipanen. Kedua matanya merah menyala menahan amarah yang menggelora. Sekejap dilihatnya bangunan itu bercat warna biru yang mengkilap dengan sinar matahari yang berhamburan. Di tengah-tengah bangunan dengan ukuran panjang 8 meter kali 7 meter, pipa air lima dim menancap persis di bagian bawah bangunan persegi yang menjulur tinggi itu. Bangunan penampung air bersih dari  program bantuan pemerintah dengan biaya kurang lebih 1 Milyar. Hati Kurmin masih memaki-maki melihat bangunan itu. Bangunan yang tak bersalah namun ingin dijadikan biang kemarahan. Karena setiap bulan ia harus terus mengeluarkan uang untuk membayar iuran air bersih sedangkan cadangan air untuk musim kemarau sangatlah susah. Mengandalkan air sungai sudah tak mungkin karena airnya juga ikut mengering. Sumur-sumur warga juga banyak yang telah habis. Ia menjadi gusar, dalam pikirannya bahwa air ini diambil dari bumi yang telah ia pijak kenapa harus susah-susah membayarnya setiap bulan. Dan uang yang telah dikeluarkan untuk membayar kebutuhan air bersih juga tidak sedikit. Ia semakin marah. Apalagi kini ia nunggak lima bulan belum bayar.
“Bangsat! Air disedot dari lahan kami tapi kenapa kami masih harus membayarnya setiap bulan?” Hati Kurmin masih mendesah marah. Ini kan air milik kami, milik warga semuanya. Aku harus berbuat sesuatu agar air yang kami ambil bisa gratis. Katanya negeri ini makmur tapi urusan air saja harus bayar.
“Ini hanya akal-akalan dari badan-badan wakil desa yang tak becus bekerja, kemana lagi uang-uang itu kalau bukan masuk ke saku-saku mereka, uh…mereka hanya pandai bersandiwara di depan kami, mengelabuhi kami dengan dalih program-program pemerintah, jebulnya mereka pembohong. Uang-uang pembayaran air dari kami hanya untuk di korup.” Pikiran Kurmin semakin jelalatan termainkan ambisi kemarahan.
“Aku harus mengajak mereka yang juga ikut dirugikan, Kang Karjo, Kang Sumintro, Kang Ramuno, dan Kang Hindarno. Mereka harus aku ajak bicara. Masalah ini tak boleh dibiarkan karena masalah ini adalah masalah hajat orang banyak. Tak kan ada kehidupan jika tak ada air. Air adalah kebutuhan pokok. Seharusnya air yang diambil dari tanah-tanah kami bisa dimanfaatkan oleh kami tanpa harus membayar setiap bulan hingga ratusan ribu rupiah. Hidup macam apa ini, heh!” Batin Kurmin.
Beberapa hari ini ia sibuk mondar-mandir ke rumah orang-orang yang bisa diajak untuk bergerak untuk mengompori masalah air yang telah dikelola oleh desa itu. Tak jarang ia juga sibuk nyerocos di warung-warung kopi yang ada di sekitar lingkungannya. Memperjuangkan keinginan di warung kopi masih cara yang sangat efektif, ia lihai memainkan kata-kata kepada banyak orang yang telah bergumul di warung kopi, warung kopi adalah ruang balairung kawula alit yang membicarakan mimpi-mimpi mereka. Mulai hal-hal yang penting hingga hal-hal yang kurang penting. Warung kopi rumah kedua setelah rumahnya sendiri. Bahkan bisa menjadi rumah utama, karena tanpa ke warung kopi hidup tak kan tenang.
“Tarif air dari desa semakin menjulang tinggi ya, Kang.” Pancingnya dengan tenang.
“Iya, Kang Kurmin. Sekarang bayar air paling sedikit 150ribu.” Balas Yu Misih sambil buatkan kopi pelanggannya.
“Aku bulan kemarin membayar 200ribu.” Balas orang di pojok warung sambil menghisap rokok kreteknya dengan tenang.
“Itu 200ribu per bulan, berapa jika dikalikan 12 bulan, Kang? Bisa kurang lebih 2 juta 4 ratus ribu, Kang, per-tahun.” Kang Kurmin mencoba menambahi sesekali melirik orang tersebut.
“2 Juta 4 Ratus sudah bisa digunakan buat sumur bor.”
“Betul Kang.”
“Masak bayar air sampai sebesar itu. Sedangkan kita tidak tahu kemana larinya uang-uang itu mestinya kalau dikelola desa juga harus transparan toh hingga sampai detik ini juga belum ada laporannya.” Bicara Kurmin lagi.
“Baiknya kau bisa tanya Pak Inggi, Kang.” Timpal yang lain.
“Apa harus begitu? Kenapa pihak desa tidak langsung melaporkan setiap keuangan yang telah digunakan tanpa kita minta, kita ini kan sudah jelas sebagai warganya dan tidak perlu harus bertanya, mereka itu sudah dididik secara propesional toh, Kang.” Kurmin menjawab lagi dengan ketus. Rokoknya disulut lalu dihembuskan asapnya dengan lantang ke udara. Ia menggumam seperti ahli teori konspirasi terkemuka. “Orang-orang ini pasti bisa aku gerakkan untuk mendongkel masalah air minum desa, bahwa seharusnya air yang telah diambil oleh warga itu harus gratis kalau tidak tarifnya bisa diturunkan lebih kecil. Mau jadi apa desa ini jika mau minum saja susahnya setengah mati? Kita hidup bukan di negeri orang tapi kita hidup di tanah nenek moyang kita yang telah diwariskan untuk kesejahteraan kita, heh.” Batinnya.
“Kata Badan Perwakilan Desa, Pak Tarnu, membuat bangunan PAM Desa itu tidaklah mudah, Kang Kurmin, katanya butuh empat tahun mengajukan proposal bantuan kepada kabupaten. Karena dananya juga besar, 1 Milyar, Kang. Sudahlah Kang Kurmin kita terima saja bagaimana pengelolaannya kita serahkan pada desa.” Ujar Warno di sampingnya Kurmin.
“Loh, No, aku ini kan warga, aku punya hak untuk bersuara, wajar aku bertanya tentang masalah ini. Ini sudah zaman now, No. sudah zaman repormasi, keterbukaan dan demokrasi, No. Tak ada salahnya aku mengajak warga lainnya untuk menanyakan pada pemerintahan desa bagaimana solusi masalah air desa ini. Tak bisa dibiarkan jika tarifnya air sampai begitu mahalnya. Kalau usahaku ini berhasil, untuk menggratiskan tariff air, kau juga pasti akan ikut merasakan toh, ya kalau tidak gratis kan bisa diturunkan tarifnya, kita ini orang desa dan hanya mengandalkan ladang-ladang kita yang kebanyakan keringnya daripada panennya.” Kurmin masih menceramahi Warno di sebelahnya.
Dan usaha itu dilakukan oleh Kurmin setiap ia singgah di warung kopi, pertigaan, bahkan juga di pasar. Ia masih getol terus memperjuangkan keinginannya. Ia juga berani mendatangi ketua Badan Perwakilan Desa, Pak Tarnu menjelang tengah malam.
“Ada apa Min tengah malam mau mampir ke rumahku? Sepertinya ada urusan penting, Min?” Tanya Tarnu dengan tersenyum.
“Iya, Pak Tarnu, aku mau tanya masalah PAM Desa.”
“Kenapa dengan PAM Desa, Min?”
“Sejak PAM desa itu dibangun dan sejak digunakan oleh warga ternyata tidak memberikan kesejahteraan bahkan dengan tarifnya yang selangit membuat orang miskin, seperti kami ini megap-megap untuk membayarnya. Apa begitu aturannya? Bahkan sebelum ada PAM Desa ini untuk kebutuhan air gratis, Pak.” Kurmin langsung menghujam tanya pada ketua BPD itu.
“Loh kan sudah di sepakati bersama melalui rapat warga di Balai Desa bahwa tarifnya sudah segitu, Min.”
“Itu hanya sepakat warga yang hanya ikut-ikutan saja, Pak. Mereka hanya ikut bilang, setujuuuuu…mereka tak tahu dan tak mengira sampai akhirnya begini. Tarif yang mencekik.” Kurmin tak mau mengalah.
“Kenapa kau tak usul waktu pertemuan itu?” Tanya ketua BPD sedikit keras karena merasa kesal.
“Kami tak tahu cara menghitungnya tarif, Pak.”
“Kan sudah dijelaskan semuanya. Kalau meteran air itu semakin dipakai secara terus menerus untuk kebutuhan lainnya juga semakin mahal karena meteran itu berputar terus. Kau punya sapi di rumah kurang lebih empat, kau mandikan sapi-sapimu tiap hari tiga kali, pagi, siang, sore, setiap hari, otomatis tarifnya mahal. Namun, jika hanya untuk kebutuhan mandi, memasak, mencuci, saya kira tak kan mahal.” Ketua BPD itu menjelaskan dengan panjang lebar.
“Kalau begitu hadirnya PAM Desa hanya untuk mandi dan mencuci, ya Pak?”
“Ngawur kau, Min.”
“Katanya mahal, Pak.”
“Ya kita juga harus memikirkan cara menggunakan dengan hemat, Min.”
“Dulu pakai sumur resapan sendiri tak sampai begini, Pak BPD.”
Malam itu menjadi suasana sedikit gerah. Ketua BPD beradu mulut dengan Kurmin, warga desanya masalah PAM Desa. Kurmin sebagai warga desa merasa keberatan dengan tarif PAM Desa yang mahal. Ia merasa mewakili warga desa yang telah mengeluh tentang tarif itu. Sedangkan ketua BPD telah merapatkan bersama masyarakat di Balai Desa dengan hasil yang telah di sepakati, dan laporannya juga telah dikirimkan ke kantor kabupaten, sulit rasanya merubah kembali.
“Begini, Min, semua keluh kesahmu saya tampung dan besok akan saya rapatkan dengan pemerintah desa. Kau tak usah memanas-manasi ke warga lainnya. Beberapa hari hasilnya akan dibahas di Balai Desa, sekarang kau pulang saja.” Jawaban ketua BPD sepertinya tak mau panjang lebar menanggapi Kurmin.
“Saya tak memanas-manasi yang lain, Pak.”
“Syukurlah, dan sekarang pulanglah. Semua masih bisa dibicarakan.”
Kurmin tak menjawab dan langsung berpamitan.
“Ini pasti tak beres.” Bisik hati Kurmin.
Beberapa hari telah berlalu hasilnya tetap nihil. Pihak desa belum juga ada tanda-tanda menyelesaikan urusan PAM. Hati Kurmin marah. Ia merasa dipermainkan oleh Ketua BPD Tarnu. “Dasar, pejabat kampungan, bisanya hanya menunda-nunda, kupikir aku tidak bisa bertindak,” pikir Kurmin kesal. Ia pun segera berlalu dengan cekatan menembus malam menuju warung Yu Misih.
Esoknya desa menjadi gempar. PAM Desa telah menjadi macet, setetes pun air tak bisa keluar. Semua warga menjadi kelimpungan, mandi tak bisa, masak susah, seakan-akan desa menjadi kolaps. Kebutuhan air tak bisa diakses secara cepat. Semua aktifitas desa terhenti beberapa jam. Setelah diperiksa pipa PAM telah rusak.
Semua warga, tua, muda, laki-laki, perempuan, berduyun-duyun mendatangi kantor kepala desa. Mereka menuntut tanggung jawab atas PAM yang macet padahal mereka telah membayarnya. Mereka merasa dirugikan karena telah habis beberapa ratus ribu setiap bulan untuk membayarnya.
“Tenang, saudara-saudara, tenang, semua ini pasti akan bisa di atasi, tenang.” Pak Inggi dengan tergopoh-gopoh mencoba menenangkan massa yang semakin membludak.
“Tak bisa Pak, kita tak bisa tenang, sebelum PAM itu bisa beroperasi lagi, terus kita mau minum, masak, pakai apa, Pak Inggi? Pakai air kencing sapi.” Teriak salah satu dari mereka dengan setengah emosi.
“Ya, Pak Inggi, sungai juga sudah mengering, sumur-sumur kami juga sudah tak berair. Lantas kami harus bagaimana?” Protes warga.
“Kembalikan uang kami. Kembalikan uang kami. Kembalikan uang kami sekarang juga!” Teriak-teriak mereka sambil bergandengan tangan dan lunjak-lunjak persis mahasiswa demo di depan gedung DPR.
Dari kejauhan mobil patroli Polisi meraung-raung dan mendekat. Dengan senjata lengkap beberapa personil itupun ingin segera membubarkan massa. Tidak semudah itu. Massa semakin brutal. Kurmin tampil di depan dengan berapi-api ia berorasi, membakar massa tiada henti, “bahwa bumi dan kekayaan air adalah milik negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan seenaknya kita mengelola untuk kebutuhan pribadi saja. Sudah sepatutnya harga air diturunkan semurah-murahnya, kalau bisa gratis.” Orasinya.
Tepuk tangan dari warga semakin bergemuruh dan membuncah ke seluruh ruangan kantor kepala desa. Pak Inggi semakin ciut, pucat dan panik. Sedangkan kepala BPD tak berkedip terus memandang Kurmin yang masih berorasi. Dalam pikiran Pak Tarnu ada indikasi bahwa otak dalang semua ini adalah Kurmin meski ia belum berani menuduh. Akan tetapi dari geliat Kurmin yang berapi-api jelas ada maunya. Tak mungkin tak ada asap jika tak ada api, tak kan mungkin tak ada reaksi jika tak ada aksi.
Setelah beberapa hari kejadian itu, Kurmin pun ditangkap paksa oleh Polisi sewaktu minum kopi di warung Yu Misih. Dari data yang ditemukan Pak Tarnu bahwa Kurmin telah menunggak pembayarannya sampai lima bulan, ia merasa keberatan untuk membayarnya. Lalu memprovokasi warga lainnya.
Kurmin tak bisa berkutik, ia pun rela mendekam dalam penjara. Namun , dari kejadian itu, Pak Inggi segera menurunkan tarif air agar tidak membuat kericuhan berikutnya. Ada aksi tentu saja ada reaksi. Meski Kurmin telah ditangkap dan mendekam dalam penjara tapi aksinya memang luar biasa. Tak pernah takut apa yang terjadi apalagi dengan bayangan yang belum terjadi. Hasilnya harus ia bayar dengan mahal.


Bangilan, Maret 2018.
Rohmat S.   
Aktif di Komunitas Kali Kening   


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda