Provokasi
Ia tersenyum
kecut melihat bangunan yang menjualang tinggi di tengah sawah yang menghampar
dengan padi menguning dan sebentar lagi siap untuk dipanen. Kedua matanya merah
menyala menahan amarah yang menggelora. Sekejap dilihatnya bangunan itu bercat
warna biru yang mengkilap dengan sinar matahari yang berhamburan. Di tengah-tengah
bangunan dengan ukuran panjang 8 meter kali 7 meter, pipa air lima dim menancap
persis di bagian bawah bangunan persegi yang menjulur tinggi itu. Bangunan penampung
air bersih dari program bantuan
pemerintah dengan biaya kurang lebih 1 Milyar. Hati Kurmin masih memaki-maki
melihat bangunan itu. Bangunan yang tak bersalah namun ingin dijadikan biang
kemarahan. Karena setiap bulan ia harus terus mengeluarkan uang untuk membayar
iuran air bersih sedangkan cadangan air untuk musim kemarau sangatlah susah.
Mengandalkan air sungai sudah tak mungkin karena airnya juga ikut mengering.
Sumur-sumur warga juga banyak yang telah habis. Ia menjadi gusar, dalam
pikirannya bahwa air ini diambil dari bumi yang telah ia pijak kenapa harus
susah-susah membayarnya setiap bulan. Dan uang yang telah dikeluarkan untuk
membayar kebutuhan air bersih juga tidak sedikit. Ia semakin marah. Apalagi
kini ia nunggak lima bulan belum bayar.
“Bangsat! Air disedot
dari lahan kami tapi kenapa kami masih harus membayarnya setiap bulan?” Hati
Kurmin masih mendesah marah. Ini kan air milik kami, milik warga semuanya. Aku
harus berbuat sesuatu agar air yang kami ambil bisa gratis. Katanya negeri ini
makmur tapi urusan air saja harus bayar.
“Ini hanya
akal-akalan dari badan-badan wakil desa yang tak becus bekerja, kemana lagi
uang-uang itu kalau bukan masuk ke saku-saku mereka, uh…mereka hanya pandai
bersandiwara di depan kami, mengelabuhi kami dengan dalih program-program
pemerintah, jebulnya mereka
pembohong. Uang-uang pembayaran air dari kami hanya untuk di korup.” Pikiran
Kurmin semakin jelalatan termainkan ambisi kemarahan.
“Aku harus
mengajak mereka yang juga ikut dirugikan, Kang Karjo, Kang Sumintro, Kang
Ramuno, dan Kang Hindarno. Mereka harus aku ajak bicara. Masalah ini tak boleh
dibiarkan karena masalah ini adalah masalah hajat orang banyak. Tak kan ada
kehidupan jika tak ada air. Air adalah kebutuhan pokok. Seharusnya air yang
diambil dari tanah-tanah kami bisa dimanfaatkan oleh kami tanpa harus membayar
setiap bulan hingga ratusan ribu rupiah. Hidup macam apa ini, heh!” Batin
Kurmin.
Beberapa hari
ini ia sibuk mondar-mandir ke rumah orang-orang yang bisa diajak untuk bergerak
untuk mengompori masalah air yang telah dikelola oleh desa itu. Tak jarang ia
juga sibuk nyerocos di warung-warung kopi yang ada di sekitar lingkungannya.
Memperjuangkan keinginan di warung kopi masih cara yang sangat efektif, ia
lihai memainkan kata-kata kepada banyak orang yang telah bergumul di warung
kopi, warung kopi adalah ruang balairung kawula alit yang membicarakan
mimpi-mimpi mereka. Mulai hal-hal yang penting hingga hal-hal yang kurang
penting. Warung kopi rumah kedua setelah rumahnya sendiri. Bahkan bisa menjadi
rumah utama, karena tanpa ke warung kopi hidup tak kan tenang.
“Tarif air
dari desa semakin menjulang tinggi ya, Kang.” Pancingnya dengan tenang.
“Iya, Kang
Kurmin. Sekarang bayar air paling sedikit 150ribu.” Balas Yu Misih sambil
buatkan kopi pelanggannya.
“Aku bulan
kemarin membayar 200ribu.” Balas orang di pojok warung sambil menghisap rokok
kreteknya dengan tenang.
“Itu 200ribu
per bulan, berapa jika dikalikan 12 bulan, Kang? Bisa kurang lebih 2 juta 4
ratus ribu, Kang, per-tahun.” Kang Kurmin mencoba menambahi sesekali melirik
orang tersebut.
“2 Juta 4
Ratus sudah bisa digunakan buat sumur bor.”
“Betul Kang.”
“Masak bayar
air sampai sebesar itu. Sedangkan kita tidak tahu kemana larinya uang-uang itu
mestinya kalau dikelola desa juga harus transparan toh hingga sampai detik ini
juga belum ada laporannya.” Bicara Kurmin lagi.
“Baiknya kau
bisa tanya Pak Inggi, Kang.” Timpal yang lain.
“Apa harus
begitu? Kenapa pihak desa tidak langsung melaporkan setiap keuangan yang telah
digunakan tanpa kita minta, kita ini kan sudah jelas sebagai warganya dan tidak
perlu harus bertanya, mereka itu sudah dididik secara propesional toh, Kang.”
Kurmin menjawab lagi dengan ketus. Rokoknya disulut lalu dihembuskan asapnya
dengan lantang ke udara. Ia menggumam seperti ahli teori konspirasi terkemuka.
“Orang-orang ini pasti bisa aku gerakkan untuk mendongkel masalah air minum
desa, bahwa seharusnya air yang telah diambil oleh warga itu harus gratis kalau
tidak tarifnya bisa diturunkan lebih kecil. Mau jadi apa desa ini jika mau minum
saja susahnya setengah mati? Kita hidup bukan di negeri orang tapi kita hidup
di tanah nenek moyang kita yang telah diwariskan untuk kesejahteraan kita,
heh.” Batinnya.
“Kata Badan
Perwakilan Desa, Pak Tarnu, membuat bangunan PAM Desa itu tidaklah mudah, Kang
Kurmin, katanya butuh empat tahun mengajukan proposal bantuan kepada kabupaten.
Karena dananya juga besar, 1 Milyar, Kang. Sudahlah Kang Kurmin kita terima
saja bagaimana pengelolaannya kita serahkan pada desa.” Ujar Warno di sampingnya
Kurmin.
“Loh, No, aku
ini kan warga, aku punya hak untuk bersuara, wajar aku bertanya tentang masalah
ini. Ini sudah zaman now, No. sudah
zaman repormasi, keterbukaan dan demokrasi, No. Tak ada salahnya aku mengajak
warga lainnya untuk menanyakan pada pemerintahan desa bagaimana solusi masalah
air desa ini. Tak bisa dibiarkan jika tarifnya air sampai begitu mahalnya.
Kalau usahaku ini berhasil, untuk menggratiskan tariff air, kau juga pasti akan
ikut merasakan toh, ya kalau tidak gratis kan bisa diturunkan tarifnya, kita
ini orang desa dan hanya mengandalkan ladang-ladang kita yang kebanyakan
keringnya daripada panennya.” Kurmin masih menceramahi Warno di sebelahnya.
Dan usaha itu
dilakukan oleh Kurmin setiap ia singgah di warung kopi, pertigaan, bahkan juga
di pasar. Ia masih getol terus memperjuangkan keinginannya. Ia juga berani
mendatangi ketua Badan Perwakilan Desa, Pak Tarnu menjelang tengah malam.
“Ada apa Min
tengah malam mau mampir ke rumahku? Sepertinya ada urusan penting, Min?” Tanya
Tarnu dengan tersenyum.
“Iya, Pak
Tarnu, aku mau tanya masalah PAM Desa.”
“Kenapa dengan
PAM Desa, Min?”
“Sejak PAM desa
itu dibangun dan sejak digunakan oleh warga ternyata tidak memberikan
kesejahteraan bahkan dengan tarifnya yang selangit membuat orang miskin,
seperti kami ini megap-megap untuk membayarnya. Apa begitu aturannya? Bahkan
sebelum ada PAM Desa ini untuk kebutuhan air gratis, Pak.” Kurmin langsung
menghujam tanya pada ketua BPD itu.
“Loh kan sudah
di sepakati bersama melalui rapat warga di Balai Desa bahwa tarifnya sudah
segitu, Min.”
“Itu hanya
sepakat warga yang hanya ikut-ikutan saja, Pak. Mereka hanya ikut bilang,
setujuuuuu…mereka tak tahu dan tak mengira sampai akhirnya begini. Tarif yang
mencekik.” Kurmin tak mau mengalah.
“Kenapa kau
tak usul waktu pertemuan itu?” Tanya ketua BPD sedikit keras karena merasa
kesal.
“Kami tak tahu
cara menghitungnya tarif, Pak.”
“Kan sudah
dijelaskan semuanya. Kalau meteran air itu semakin dipakai secara terus menerus
untuk kebutuhan lainnya juga semakin mahal karena meteran itu berputar terus.
Kau punya sapi di rumah kurang lebih empat, kau mandikan sapi-sapimu tiap hari
tiga kali, pagi, siang, sore, setiap hari, otomatis tarifnya mahal. Namun, jika
hanya untuk kebutuhan mandi, memasak, mencuci, saya kira tak kan mahal.” Ketua
BPD itu menjelaskan dengan panjang lebar.
“Kalau begitu
hadirnya PAM Desa hanya untuk mandi dan mencuci, ya Pak?”
“Ngawur kau,
Min.”
“Katanya
mahal, Pak.”
“Ya kita juga
harus memikirkan cara menggunakan dengan hemat, Min.”
“Dulu pakai
sumur resapan sendiri tak sampai begini, Pak BPD.”
Malam itu
menjadi suasana sedikit gerah. Ketua BPD beradu mulut dengan Kurmin, warga
desanya masalah PAM Desa. Kurmin sebagai warga desa merasa keberatan dengan
tarif PAM Desa yang mahal. Ia merasa mewakili warga desa yang telah mengeluh
tentang tarif itu. Sedangkan ketua BPD telah merapatkan bersama masyarakat di
Balai Desa dengan hasil yang telah di sepakati, dan laporannya juga telah
dikirimkan ke kantor kabupaten, sulit rasanya merubah kembali.
“Begini, Min,
semua keluh kesahmu saya tampung dan besok akan saya rapatkan dengan pemerintah
desa. Kau tak usah memanas-manasi ke warga lainnya. Beberapa hari hasilnya akan
dibahas di Balai Desa, sekarang kau pulang saja.” Jawaban ketua BPD sepertinya
tak mau panjang lebar menanggapi Kurmin.
“Saya tak
memanas-manasi yang lain, Pak.”
“Syukurlah,
dan sekarang pulanglah. Semua masih bisa dibicarakan.”
Kurmin tak
menjawab dan langsung berpamitan.
“Ini pasti tak
beres.” Bisik hati Kurmin.
Beberapa hari
telah berlalu hasilnya tetap nihil. Pihak desa belum juga ada tanda-tanda
menyelesaikan urusan PAM. Hati Kurmin marah. Ia merasa dipermainkan oleh Ketua
BPD Tarnu. “Dasar, pejabat kampungan, bisanya hanya menunda-nunda, kupikir aku
tidak bisa bertindak,” pikir Kurmin kesal. Ia pun segera berlalu dengan cekatan
menembus malam menuju warung Yu Misih.
Esoknya desa
menjadi gempar. PAM Desa telah menjadi macet, setetes pun air tak bisa keluar.
Semua warga menjadi kelimpungan, mandi tak bisa, masak susah, seakan-akan desa
menjadi kolaps. Kebutuhan air tak bisa diakses secara cepat. Semua aktifitas
desa terhenti beberapa jam. Setelah diperiksa pipa PAM telah rusak.
Semua warga,
tua, muda, laki-laki, perempuan, berduyun-duyun mendatangi kantor kepala desa.
Mereka menuntut tanggung jawab atas PAM yang macet padahal mereka telah
membayarnya. Mereka merasa dirugikan karena telah habis beberapa ratus ribu
setiap bulan untuk membayarnya.
“Tenang,
saudara-saudara, tenang, semua ini pasti akan bisa di atasi, tenang.” Pak Inggi
dengan tergopoh-gopoh mencoba menenangkan massa yang semakin membludak.
“Tak bisa Pak,
kita tak bisa tenang, sebelum PAM itu bisa beroperasi lagi, terus kita mau
minum, masak, pakai apa, Pak Inggi? Pakai air kencing sapi.” Teriak salah satu
dari mereka dengan setengah emosi.
“Ya, Pak
Inggi, sungai juga sudah mengering, sumur-sumur kami juga sudah tak berair.
Lantas kami harus bagaimana?” Protes warga.
“Kembalikan
uang kami. Kembalikan uang kami. Kembalikan uang kami sekarang juga!” Teriak-teriak
mereka sambil bergandengan tangan dan lunjak-lunjak persis mahasiswa demo di
depan gedung DPR.
Dari kejauhan
mobil patroli Polisi meraung-raung dan mendekat. Dengan senjata lengkap
beberapa personil itupun ingin segera membubarkan massa. Tidak semudah itu.
Massa semakin brutal. Kurmin tampil di depan dengan berapi-api ia berorasi,
membakar massa tiada henti, “bahwa bumi dan kekayaan air adalah milik negara
dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan seenaknya kita
mengelola untuk kebutuhan pribadi saja. Sudah sepatutnya harga air diturunkan
semurah-murahnya, kalau bisa gratis.” Orasinya.
Tepuk tangan
dari warga semakin bergemuruh dan membuncah ke seluruh ruangan kantor kepala
desa. Pak Inggi semakin ciut, pucat dan panik. Sedangkan kepala BPD tak
berkedip terus memandang Kurmin yang masih berorasi. Dalam pikiran Pak Tarnu
ada indikasi bahwa otak dalang semua ini adalah Kurmin meski ia belum berani
menuduh. Akan tetapi dari geliat Kurmin yang berapi-api jelas ada maunya. Tak
mungkin tak ada asap jika tak ada api, tak kan mungkin tak ada reaksi jika tak
ada aksi.
Setelah
beberapa hari kejadian itu, Kurmin pun ditangkap paksa oleh Polisi sewaktu
minum kopi di warung Yu Misih. Dari data yang ditemukan Pak Tarnu bahwa Kurmin
telah menunggak pembayarannya sampai lima bulan, ia merasa keberatan untuk membayarnya.
Lalu memprovokasi warga lainnya.
Kurmin tak
bisa berkutik, ia pun rela mendekam dalam penjara. Namun , dari kejadian itu,
Pak Inggi segera menurunkan tarif air agar tidak membuat kericuhan berikutnya.
Ada aksi tentu saja ada reaksi. Meski Kurmin telah ditangkap dan mendekam dalam
penjara tapi aksinya memang luar biasa. Tak pernah takut apa yang terjadi
apalagi dengan bayangan yang belum terjadi. Hasilnya harus ia bayar dengan
mahal.
Bangilan, Maret 2018.
Rohmat S.
Aktif di Komunitas Kali Kening
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda