K3 Gokil[1] Habis
Dok. pribadi.
Oleh. Rohmat Sholihin*
Dia punya sebutan baru lagi. Pangeran AR Hirusugi. Tambah ngetrend lagi
namanya setelah kena kutukan “Hantu Riyanto”, sedikit menggeser nama sebelumnya
mas “Senja” meski ia sendiri tak pernah risau dengan semua itu. Tapi ternyata
ide dan khayalan sungguh bisa membuat perut kocak terpingkal-pingkal. Aneh-aneh
jadinya. Coba lihatlah tulisan-tulisan yang tertera pada group ini. Komunitas
Kali Kening.
Ikal Hidayat:
“Ajiiiiiooooorrrr,
sadis mainnya pelet.”
Mas Blind:
“Wkwkwkwkwkwwk…..”
Ikal Hidayat:
‘Uaseeeem…”
Aku:
“Awas lo ya,
jangan sampai huruf t nya dihilangkan! Bahaya.”
Kafabih:
“Blewah-blewah
sekarang sudah menggantikan es degan.”
AR Hirusugi:
“Ah, Ratu Sundar
Banong muncul lagi, awas lo ya diracun Ratu Tria baru tahu rasa.”
Mas Blind:
“Wkwkwkw….”
“Kampret!”
“Aseeeeeem…Mas
Blind sudah sarapan?”
“Ngopi…”
“Teras Coffe.”
“Caffe Bang
Iwan.”
“Kajian-kajian”
Dan entah,
kata-kata lucu dan gokil lain yang lebih terpingkal-pingkal. Seandainya
handphone ku sanggup menyimpannya akan aku koleksi lalu ku edit dan dijadikan
buku. Seru! Mungkin.
Seru bacanya, canda-tawa mengharu biru bagai wajah-wajah tanpa dosa dari
anggota Komunitas Kali Kening. Seakan-akan tak ada yang sedikitpun mengeluh
tentang harga cabai merah yang naik, harga bawang merah meroket, isu Ahok, semua
terlihat enjoy bukan buatan. Jika aku pas baca group ini, rasa sedih, stress,
kantuk pasti mlebat, karena kosel-kosel bacanya, bayanganku langsung tertuju wajah-wajah
mereka yang lucu dan tanpa beban. Namun, kreatif habis, dan itu belum berapa
artikel, cerpen, dan tulisan-tulisan lain yang dishare oleh para teman-teman.
Mereka punya dunia sendiri yang ingin ia ciptakan sendiri dengan kebiasaan dan
kebudayaan-kebudayaan sendiri tanpa mengganggu yang lain.
Bahkan tulisan copas saja sangat
jarang kita temukan di group Komunitas Kali Kening. Mereka enggan dan merasa
malu meng-copas tulisan orang lain untuk gagah-gagahan. Toh, itu bukan hasil
pemikiran sendiri. Ternyata mereka punya semboyan luar biasa: membaca setabah bebatuan, berfikir sejernih
air, dan berkarya sederas arus sungai. Mana ada semboyan itu dipakai oleh
yang lain? Kalau bukan Komunitas Kali Kening sendiri. Dari kebiasaan-kebiasaan
itu cukup mudah dibaca oleh pikiran kita bahwa komunitas ini sudah menutup diri
dengan politik kekuasaan. Karena yang ada dalam kepala mereka masing-masing hanya
karya dalam bentuk tulisan atau literature, apapun gendernya. Kami sangat
menghargai tulisan walau bagaimanapun bentuknya. Tulisan mempunyai jiwa dibalik
makna yang ada didalamnya. Ketika sastrawan sekaliber Pramoedya ditanya oleh
orang yang mewawancarainya, mana tulisan pak Pram yang paling bagus? Jawaban
beliau, semua tulisan yang lahir dari tangan saya itu ibarat anak rohani saya
semua. Ada yang berumur pendek, ada yang berumur panjang, semua itu saya
berikan kebebasan untuk menempati dunianya. Jadi saya tak pernah mengatakan
tulisan ini yang paling bagus.
Ini pernah kualami sendiri dalam
komunitas kali kening. Sengaja aku copas (copy
paste) dari group sebelah. Bahkan mungkin kalimatnya tidak layak, karena kalimat
itu mengandung unsur pornografi. Ada kata-kata, maaf, vagina,” aku sebut
kata-katanya yang paling dianggap tabu, ya vagina, setiap kali ada kata-kata
itu pemikiran kita langsung ke arah jorok. Ada anggota yang mengingatkan bahwa
kalimat yang aku copas itu layak atau bukan?. Meski penghuni yang lain belum
mempermasalahkan karena tak ada komentar. Entah mereka yang diam merasa kecewa
atau mereka memang telah memaknai kata-kata vagina adalah hal yang biasa.
Sejauh ini belum aku simpulkan rasa kekecewaan-kekecewaan yang berlangsung.
Dalam hatiku sendiri meski tidak membenarkan. Sampai sekarang copas itu belum
hilang karena memang aku belum bisa menghilangkannya. Masih menunggu Mas Ikal
untuk diajari menghapus status di Whatsapp. Maklum masih gaptek. Sekali lagi saya sebagai pihak yang telah meneruskan status
negatif itu saya mohon maaf. Meski saya pernah menulis kalimat yang lebih parah
lagi joroknya dalam sebuah naskah Theatre
Of My Country dalam lakon “Bilik-Bilik Tirani.” Namun media sosial belum
canggih dan marak seperti saat ini. Sehingga tidak begitu terekspos. Dan belum
ada yang meresponnya. Sekali lagi terima kasih atas kritik dan masukannya kawan-kawan. Karena apapun yang dibangun dan dibesarkan oleh kritik akan menjadi kekuatan dan sumber inspirasi yang hebat.
Menarik lagi komunitas ini mengajak
masyarakat untuk membudayakan membaca buku. Betapa pentingnya membaca,
mengarungi kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam sebuah kotak kecil yang
bernama buku. Ingin mengajak yang lain supaya melek tentang informasi dan
pengetahuan. Agar otaknya tidak hanya berisi status ngeres dan tak berguna.
Apalagi setiap waktu untuk dihabiskan membicarakan orang lain. Menurut istilah
dikampungku, ngrasani wong. Istilah now, gosip.
Percuma. Waktu yang telah kita pakai
untuk menghirup oksigen ini hanya habis untuk beraktifitas gosip.
Banyak kelompok-kelompok sukses
hanya berawal dari banyak bercanda. Bercanda dengan sehat dan sportif tentunya.
Termasuk komunitas kali kening yang awalnya hanya berapa orang personilnya
namun mempunyai niat yang baik, tak tanggung-tanggung: ingin memajukan dunia
literasi di sebuah pedesaan, desa Bangilan dan sekitarnya. Dan kini hampir
semua orang kepingin tahu komunitas kali kening yang sedang booming. Tak tanggung-tanggung dalam
waktu setahun berjalan ada banyak buku yang dilaunching, 15 karya buku dari
teman-teman kali kening pun terbit. Buku-buku itu sekarang menjadi koleksi
Perpustakaan Daerah Kabupaten Tuban. Sejarah belum terpecahkan, dari zaman awal
desa Bangilan dan sekitarnya itu berdiri dan ada sampai sekarang belum pernah
melaunchingkan sebanyak 15 karya buku dalam waktu setahun. Luar biasa bukan?
Namun meski tujuan komunitas kali kening itu baik bukan berarti pihak-pihak
yang merasa tersaingi dan belum mengenal lebih dalam sangat wajar memberikan
penilaian yang negatif. Itu boleh saja namun alangkah gentle-nya jika asumsi itu ditulis menjadi artikel, essai, atau
semacamnya kemudian bisa dishare itu akan lebih bijak dan berani. Dari pada
omongan nglantur yang belum tentu benar kepastiannya. Marilah kita latihan
menganalisis bersama.
Kalau dipikir sekilas memang bekerja
dalam dunia literasi tak pernah ada untungnya. Apalagi dalam sebuah pedesaan
yang notabene-nya tak begitu bergairah dalam dunia literasi. Sungguh pekerjaan
orang-orang gila, eh maaf, orang-orang nekat. Nekat dengan modal semangat untuk
bisa mewujudkan niat baik bagi orang banyak: membaca buku itu ibadah, maka membacalah agar lebih berpengetahuan.
Lantas setelah membaca banyak buku masalah menjadi tuntas dan hidup menjadi
cerdas. Bukan begitu maksudnya. Membaca banyak buku itu menyaring
pengetahuan-pengetahuan yang ada agar kita banyak mengerti sejauh mana
teori-teori yang ada dalam buku dengan kenyataan hidup di sekitar kita. Dan
untuk mengembangkan pola pikir maju. Lihatlah budaya-budaya negara maju, mereka
mempunyai masyarakat yang minat bacanya sangat tinggi. Seperti Finlandia yang
terkenal dengan sebutan negara dengan sistem pendidikan nomor wahid dunia
hampir setiap masyarakatnya menghabiskan waktunya untuk membaca buku setiap
minggu lebih dari lima buku. Jika dibandingkan dengan negara kita, sangat jauh.
Untuk mewujudkan semua keinginan itu
tidak mungkin dibutuhkan satu hari atau dua hari tapi bertahun-tahun melalui
proses kehidupan panjang. Sangat melelahkan ketika kita selalu mengharap
kesuksesannya. Biarkan semua berproses alamiah, biar alam yang akan menentukan.
Tidak bisa hasil perjuangan bisa dirasakan dalam waktu singkat. Membangun
budaya bukanlah seperti membangun gubuk namun dalam membangun budaya diperlukan
perencanaan matang dan keuletan serta kegigihan dalam kemauan yang tinggi. Yang
terpenting teruslah berkarya, jangan pernah berhenti berkarya. Satu karya dalam
setahun lebih bagus daripada tidak pernah berkarya sama sekali. Karena dari
karya-karya itu membuktikan bahwa eksistensi kita masih ada. Teringat pepatah
lama: saya berfikir maka saya ada, meski Mbah Soes lebih suka dengan, karena
saya ada maka saya berfikir. Silahkan dibolak-balik sendiri kawan karena
membolak-balikkan sesuatu itu sangat asyik. Lebih asyik lagi dibahas didalam
group Komunitas Kali Kening yang gokil abis. Tentu saja ada yang menjadi korban
dan kambing hitam. Tapi, tak usah marah dan mudah tersinggung apalagi hingga menyinggung
unsur SARA. Siiiiip!
Bangilan, 16 Nopember 2017
*Penulis anggota komunitas kali kening.
Label: Essai
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda