Kamis, 16 November 2017

K3 Gokil[1] Habis

Dok. pribadi.

Oleh. Rohmat Sholihin*
Dia punya sebutan baru lagi. Pangeran AR Hirusugi. Tambah ngetrend lagi namanya setelah kena kutukan “Hantu Riyanto”, sedikit menggeser nama sebelumnya mas “Senja” meski ia sendiri tak pernah risau dengan semua itu. Tapi ternyata ide dan khayalan sungguh bisa membuat perut kocak terpingkal-pingkal. Aneh-aneh jadinya. Coba lihatlah tulisan-tulisan yang tertera pada group ini. Komunitas Kali Kening.
Ikal Hidayat:
“Ajiiiiiooooorrrr, sadis mainnya pelet.”
Mas Blind:
“Wkwkwkwkwkwwk…..”
Ikal Hidayat:
‘Uaseeeem…”
Aku:
“Awas lo ya, jangan sampai huruf t nya dihilangkan! Bahaya.”
Kafabih:
“Blewah-blewah sekarang sudah menggantikan es degan.”
AR Hirusugi:
“Ah, Ratu Sundar Banong muncul lagi, awas lo ya diracun Ratu Tria baru tahu rasa.”
Mas Blind:
“Wkwkwkw….”
“Kampret!”
“Aseeeeeem…Mas Blind sudah sarapan?”
“Ngopi…”
“Teras Coffe.”
“Caffe Bang Iwan.”
“Kajian-kajian”
Dan entah, kata-kata lucu dan gokil lain yang lebih terpingkal-pingkal. Seandainya handphone ku sanggup menyimpannya akan aku koleksi lalu ku edit dan dijadikan buku. Seru! Mungkin.
Seru bacanya, canda-tawa mengharu biru bagai wajah-wajah tanpa dosa dari anggota Komunitas Kali Kening. Seakan-akan tak ada yang sedikitpun mengeluh tentang harga cabai merah yang naik, harga bawang merah meroket, isu Ahok, semua terlihat enjoy bukan buatan. Jika aku pas baca group ini, rasa sedih, stress, kantuk pasti mlebat, karena kosel-kosel bacanya, bayanganku langsung tertuju wajah-wajah mereka yang lucu dan tanpa beban. Namun, kreatif habis, dan itu belum berapa artikel, cerpen, dan tulisan-tulisan lain yang dishare oleh para teman-teman. Mereka punya dunia sendiri yang ingin ia ciptakan sendiri dengan kebiasaan dan kebudayaan-kebudayaan sendiri tanpa mengganggu yang lain.
            Bahkan tulisan copas saja sangat jarang kita temukan di group Komunitas Kali Kening. Mereka enggan dan merasa malu meng-copas tulisan orang lain untuk gagah-gagahan. Toh, itu bukan hasil pemikiran sendiri. Ternyata mereka punya semboyan luar biasa: membaca setabah bebatuan, berfikir sejernih air, dan berkarya sederas arus sungai. Mana ada semboyan itu dipakai oleh yang lain? Kalau bukan Komunitas Kali Kening sendiri. Dari kebiasaan-kebiasaan itu cukup mudah dibaca oleh pikiran kita bahwa komunitas ini sudah menutup diri dengan politik kekuasaan. Karena yang ada dalam kepala mereka masing-masing hanya karya dalam bentuk tulisan atau literature, apapun gendernya. Kami sangat menghargai tulisan walau bagaimanapun bentuknya. Tulisan mempunyai jiwa dibalik makna yang ada didalamnya. Ketika sastrawan sekaliber Pramoedya ditanya oleh orang yang mewawancarainya, mana tulisan pak Pram yang paling bagus? Jawaban beliau, semua tulisan yang lahir dari tangan saya itu ibarat anak rohani saya semua. Ada yang berumur pendek, ada yang berumur panjang, semua itu saya berikan kebebasan untuk menempati dunianya. Jadi saya tak pernah mengatakan tulisan ini yang paling bagus.
            Ini pernah kualami sendiri dalam komunitas kali kening. Sengaja aku copas (copy paste) dari group sebelah. Bahkan mungkin kalimatnya tidak layak, karena kalimat itu mengandung unsur pornografi. Ada kata-kata, maaf, vagina,” aku sebut kata-katanya yang paling dianggap tabu, ya vagina, setiap kali ada kata-kata itu pemikiran kita langsung ke arah jorok. Ada anggota yang mengingatkan bahwa kalimat yang aku copas itu layak atau bukan?. Meski penghuni yang lain belum mempermasalahkan karena tak ada komentar. Entah mereka yang diam merasa kecewa atau mereka memang telah memaknai kata-kata vagina adalah hal yang biasa. Sejauh ini belum aku simpulkan rasa kekecewaan-kekecewaan yang berlangsung. Dalam hatiku sendiri meski tidak membenarkan. Sampai sekarang copas itu belum hilang karena memang aku belum bisa menghilangkannya. Masih menunggu Mas Ikal untuk diajari menghapus status di Whatsapp. Maklum masih gaptek. Sekali lagi saya sebagai pihak yang telah meneruskan status negatif itu saya mohon maaf. Meski saya pernah menulis kalimat yang lebih parah lagi joroknya dalam sebuah naskah Theatre Of My Country dalam lakon “Bilik-Bilik Tirani.” Namun media sosial belum canggih dan marak seperti saat ini. Sehingga tidak begitu terekspos. Dan belum ada yang meresponnya. Sekali lagi terima kasih atas kritik dan masukannya kawan-kawan. Karena apapun yang dibangun dan dibesarkan oleh kritik akan menjadi kekuatan dan sumber inspirasi yang hebat.
            Menarik lagi komunitas ini mengajak masyarakat untuk membudayakan membaca buku. Betapa pentingnya membaca, mengarungi kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam sebuah kotak kecil yang bernama buku. Ingin mengajak yang lain supaya melek tentang informasi dan pengetahuan. Agar otaknya tidak hanya berisi status ngeres dan tak berguna. Apalagi setiap waktu untuk dihabiskan membicarakan orang lain. Menurut istilah dikampungku, ngrasani wong. Istilah now, gosip.
            Percuma. Waktu yang telah kita pakai untuk menghirup oksigen ini hanya habis untuk beraktifitas gosip.
            Banyak kelompok-kelompok sukses hanya berawal dari banyak bercanda. Bercanda dengan sehat dan sportif tentunya. Termasuk komunitas kali kening yang awalnya hanya berapa orang personilnya namun mempunyai niat yang baik, tak tanggung-tanggung: ingin memajukan dunia literasi di sebuah pedesaan, desa Bangilan dan sekitarnya. Dan kini hampir semua orang kepingin tahu komunitas kali kening yang sedang booming. Tak tanggung-tanggung dalam waktu setahun berjalan ada banyak buku yang dilaunching, 15 karya buku dari teman-teman kali kening pun terbit. Buku-buku itu sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Daerah Kabupaten Tuban. Sejarah belum terpecahkan, dari zaman awal desa Bangilan dan sekitarnya itu berdiri dan ada sampai sekarang belum pernah melaunchingkan sebanyak 15 karya buku dalam waktu setahun. Luar biasa bukan? Namun meski tujuan komunitas kali kening itu baik bukan berarti pihak-pihak yang merasa tersaingi dan belum mengenal lebih dalam sangat wajar memberikan penilaian yang negatif. Itu boleh saja namun alangkah gentle-nya jika asumsi itu ditulis menjadi artikel, essai, atau semacamnya kemudian bisa dishare itu akan lebih bijak dan berani. Dari pada omongan nglantur yang belum tentu benar kepastiannya. Marilah kita latihan menganalisis bersama.
            Kalau dipikir sekilas memang bekerja dalam dunia literasi tak pernah ada untungnya. Apalagi dalam sebuah pedesaan yang notabene-nya tak begitu bergairah dalam dunia literasi. Sungguh pekerjaan orang-orang gila, eh maaf, orang-orang nekat. Nekat dengan modal semangat untuk bisa mewujudkan niat baik bagi orang banyak: membaca buku itu ibadah, maka membacalah agar lebih berpengetahuan. Lantas setelah membaca banyak buku masalah menjadi tuntas dan hidup menjadi cerdas. Bukan begitu maksudnya. Membaca banyak buku itu menyaring pengetahuan-pengetahuan yang ada agar kita banyak mengerti sejauh mana teori-teori yang ada dalam buku dengan kenyataan hidup di sekitar kita. Dan untuk mengembangkan pola pikir maju. Lihatlah budaya-budaya negara maju, mereka mempunyai masyarakat yang minat bacanya sangat tinggi. Seperti Finlandia yang terkenal dengan sebutan negara dengan sistem pendidikan nomor wahid dunia hampir setiap masyarakatnya menghabiskan waktunya untuk membaca buku setiap minggu lebih dari lima buku. Jika dibandingkan dengan negara kita, sangat jauh.
            Untuk mewujudkan semua keinginan itu tidak mungkin dibutuhkan satu hari atau dua hari tapi bertahun-tahun melalui proses kehidupan panjang. Sangat melelahkan ketika kita selalu mengharap kesuksesannya. Biarkan semua berproses alamiah, biar alam yang akan menentukan. Tidak bisa hasil perjuangan bisa dirasakan dalam waktu singkat. Membangun budaya bukanlah seperti membangun gubuk namun dalam membangun budaya diperlukan perencanaan matang dan keuletan serta kegigihan dalam kemauan yang tinggi. Yang terpenting teruslah berkarya, jangan pernah berhenti berkarya. Satu karya dalam setahun lebih bagus daripada tidak pernah berkarya sama sekali. Karena dari karya-karya itu membuktikan bahwa eksistensi kita masih ada. Teringat pepatah lama: saya berfikir maka saya ada, meski Mbah Soes lebih suka dengan, karena saya ada maka saya berfikir. Silahkan dibolak-balik sendiri kawan karena membolak-balikkan sesuatu itu sangat asyik. Lebih asyik lagi dibahas didalam group Komunitas Kali Kening yang gokil abis. Tentu saja ada yang menjadi korban dan kambing hitam. Tapi, tak usah marah dan mudah tersinggung apalagi hingga menyinggung unsur SARA. Siiiiip!

Bangilan, 16 Nopember 2017
*Penulis anggota komunitas kali kening.




[1] Gokil dalam kamus bahasa gaul mempunyai arti gila dalam hal positif.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda