MENIKAHI KEBENCIAN
http://oketekno.com/hiburan/tag/song-joong-ki/page/7/
Menikahimu
adalah menikahi kebencian, ibarat diri dikuntit matahari. Tergepar-gepar,
kepanasan. Ada bara luka dalam hatimu, menganga, semakin menganga tersapu
angin, merintih lalu terkapar, kelelahan. Dan sampai kapan kita mampu bertahan?
Sedangkan rembulan enggan keluar, batinnya masih menyenbunyikan luka hati yang
terus menjelma menjadi dendam. Andaikan aku bisa menghindar ketika kita bertemu
di kota kesedihan. Namun kau menamparku dengan hatimu yang kelu. Keras sampai
pilu. Dan sejak malam dikota kesedihan itu mulutmu yang lebih pantas disebut
serigala selalu membual. Kau terus menyumpahi waktu. Kenapa peluang waktu bisa
mempertemukan kita dikota kesedihan yang masih menyimpan dendam?
“Hahaha…waktu
itu seperti dadu.” Mulutmu menyeringai dengan kaki-kaki kurusmu berdiri
mengangkangiku. Sombong bagai Firaun. Menantangku.
“Maksudmu?”
“Bertemu kau
hanya kebencian tak tertahankan. Kau membawa sial dengan segudang dan seisinya.
Terkadang berada dilevel-level angka satu dan setersunya.” Telunjukmu yang
bagai duri tanjang mengancamku. Matamu bagai elang siap menerkamku. Begitu
kecewanya kau denganku, menabur genderang perang dikota kesedihan. Bibirmu yang
kemarin terlihat ranum, basah, berubah menjadi buah pare yang bergelantungan,
pahit seperti kalimat-kalimat yang kau ucapkan.
“Sial tak
selamanya sial, dan benci belum tentu benci. Terkadang dibalik kebencian ada
sampah cinta yang bisa didaur ulang.”
“Cieh…” kau
meludah dengan riak-riakmu yang kental serta melecehkan.
“Tuhan
menciptakan benci adalah untuk kebencian bukan untuk cinta.” Katamu perlahan
dengan bibir yang kau encepkan, sewot. Meski kalimatmu ada kesalahan namun juga
bisa dibenarkan. Manusia dengan kebencian adalah berbanding lurus dengan cinta.
“Bisakah
kebencian itu kau redam? Kita ini sudah bertemu dalam kota kesedihan kenapa
masih kau tambahi dengan kebencian. Tenagamu akan bercerai berai lalu kau akan
terkulai lemas oleh kekecewaan.”
“Tahu apa kau
tentang benci?”
“Tentu saja,
tahu lebih dalam dari hatimu yang hanya bisa membenciku.”
“Aneh.”
“Oh iya, sudah
sejak dalam pikiran jika aku aneh.”
“Kenapa kau
masih mendekatiku?”
“Karena nenek
sihir pernah mengutuk ketika sepasang kekasih yang baru saja berikrar untuk
membangun bahtera hidup bersama dengan orang paling dicintainya, tiba-tiba
cinta yang bersemayam dalam hati sang perempuan dicuri dan dibawa lari oleh
Gendruwo, dan pada kota kesedihanlah cinta bisa diketemukan.”
“Bukankah itu
hanya Gerduwonen….”
“Itulah jika
Gerduwonen dilawan dengan emosi dan kebencian, ia akan semakin edan,
memaki-maki bahkan akan berlari pergi.”
“Kau dibohongi
oleh nenek sihir.”
“Bisa juga.
Tapi bagaimana jika nenek sihir itu benar.”
“Ugh…kau semakin
edan…”
“Biarlah asal
aku tidak memelihara kebencian yang bisa meluluhlantahkan energimu yang besar
itu. Kau akan lumpuh dengan kebencian dalam hatimu.”
“Siapa
bilang?”
“Aku.”
“Cukup.”
“Kau hanya
memperkeruh masalah saja. Semua apapun tentang kau tetap menjadi kebencianku.”
“Dan semua
tentang mu karena kau dihantui perasaan yang masih nakal termainkan oleh masa
lalumu yang tak kesampaian hingga menjelma menjadi dendam. Karena orang-orang
yang kau anggap baik tak juga berani mengajakmu mengarungi hidup bersama.”
“Dari siapa
cerita itu?, kau mengarangnya?”
“Tidak, kau
sendiri yang cerita sebelum kau bertemu aku di kota kesedihan ini. dan sebelum
kau terganggu dengan penyakit kebingunganmu atau orang-orang disini menyebutmu
kau diserang Gendruwonen[1],
kau mudah lupa sekarang.”
“Kau memang
seperti Gendruwo.”
“Aku?”
“Iya, siapa
lagi?”
“Kau juga.”
“Kita
sama-sama Gendruwo?”
“Tidak. Hanya
kau.”
“Bukan, kau
yang seperti….”
Sebelum dia
melanjutkan bualannya. Ada rasa emosi yang telah mendesir kuat menyergap ubun-ubunku
yang telah memanas sejak beberapa jam tadi. Emosi anak manusia yang telah
diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk nafsu. Nafsu itu telah menguasai diriku
hingga aku harus menyergapmu kuat-kuat. Tiba-tiba diriku telah berubah menjadi
serigala jantan yang buas, lapar dan ganas. Kau merintih melawan namun apalah
daya hatimu hanya bisa menyimpan dendam tak kan kuat melawan hasratku yang
telah kuat menancap sejam tadi.
Hingga malam
pertama yang telah berlalu dikota kesedihan membuatmu pasrah. Kau kalah, kau
menyerah, takdir anak manusia yang telah dipertemukan di kota kesedihan mampu
menyihirmu, merubah paradigma sederhanamu bahwa kodrat manusia perempuan adalah
berteman dengan lelaki dan bukan rembulan. Kenapa rembulan? Rembulan hanya
bayangan dari kejauhan, indah namun jauh untuk digayuh. Meski hadirnya kembali
indah setiap malam tapi ia hanya bayangan yang tak jua mau mendekat. Begitu
juga mantan-mantan yang berserakan. Ia telah usai mengisi ruang hati yang lalu.
Benar apa yang
telah diramalkan nenek sihir dengan sapu lidinya bahwa kota kesedihan telah
merubah kenangan-kenangan kekecewaan menjadi kenangan indah yang mampu
menghapus keragu-raguan. Esok masih indah dengan canda, senyum hangat bersamamu
yang telah menyergapku. Kau lebih tahu apa yang aku butuhkan daripada apa yang
telah mereka pikirkan dengan janji-janji yang sedikitpun tak pernah ditepati.
Akhirnya aku tahu bahwa kau bukanlah syetan seperti Gendruwo tapi kau malaikat
penabur benih cinta yang telah tumbuh berbunga-bunga di taman hatiku. Kesabaranmu,
keuletanmu telah meremukkan relung hatiku yang telah dilanda kebencian.
“Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku
meski kau tak cinta, kepadaku. Beri sedikit waktu biar cinta datang karena
terbiasa, terbiasa[2]…”
“Kau
menyanyi?”
“Ya untuk
menghibur diri. Karena untuk mengejar cinta sepertinya dibutuhkan keberanian
juga pengorbanan.”
Tak ada
suaramu karena kau hanya diam tenggelam dikota kesedihan. Hampir semua
kenangan-kenangan lama kau campakkan begitu saja. Seperti melepas bajumu
satu-persatu. Lantas, kau tidur dengan hangat dalam pelukan. Kenyamanan adalah
segalanya melebihi uang dan tahta. Menikahi kebencian tak kan selamanya.
Bangilan, 12 Oktober 2017.
Rohmat Sholihin*
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.
[1] Menurut kepercayaan orang
Jawa diserang rasa bimbang biasanya ketika akan melangsungkan pernikahan.
Sehingga menjadi ragu bahkan timbul pertengkaran-pertengkaran dengan
pasangannya hanya karena kasus yang tidak jelas.
[2] Lagu Dewa 19.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda