Senin, 06 November 2017

MENIKAHI KEBENCIAN

http://oketekno.com/hiburan/tag/song-joong-ki/page/7/

Menikahimu adalah menikahi kebencian, ibarat diri dikuntit matahari. Tergepar-gepar, kepanasan. Ada bara luka dalam hatimu, menganga, semakin menganga tersapu angin, merintih lalu terkapar, kelelahan. Dan sampai kapan kita mampu bertahan? Sedangkan rembulan enggan keluar, batinnya masih menyenbunyikan luka hati yang terus menjelma menjadi dendam. Andaikan aku bisa menghindar ketika kita bertemu di kota kesedihan. Namun kau menamparku dengan hatimu yang kelu. Keras sampai pilu. Dan sejak malam dikota kesedihan itu mulutmu yang lebih pantas disebut serigala selalu membual. Kau terus menyumpahi waktu. Kenapa peluang waktu bisa mempertemukan kita dikota kesedihan yang masih menyimpan dendam?
“Hahaha…waktu itu seperti dadu.” Mulutmu menyeringai dengan kaki-kaki kurusmu berdiri mengangkangiku. Sombong bagai Firaun. Menantangku.
“Maksudmu?”
“Bertemu kau hanya kebencian tak tertahankan. Kau membawa sial dengan segudang dan seisinya. Terkadang berada dilevel-level angka satu dan setersunya.” Telunjukmu yang bagai duri tanjang mengancamku. Matamu bagai elang siap menerkamku. Begitu kecewanya kau denganku, menabur genderang perang dikota kesedihan. Bibirmu yang kemarin terlihat ranum, basah, berubah menjadi buah pare yang bergelantungan, pahit seperti kalimat-kalimat yang kau ucapkan.
“Sial tak selamanya sial, dan benci belum tentu benci. Terkadang dibalik kebencian ada sampah cinta yang bisa didaur ulang.”
“Cieh…” kau meludah dengan riak-riakmu yang kental serta melecehkan.
“Tuhan menciptakan benci adalah untuk kebencian bukan untuk cinta.” Katamu perlahan dengan bibir yang kau encepkan, sewot. Meski kalimatmu ada kesalahan namun juga bisa dibenarkan. Manusia dengan kebencian adalah berbanding lurus dengan cinta.
“Bisakah kebencian itu kau redam? Kita ini sudah bertemu dalam kota kesedihan kenapa masih kau tambahi dengan kebencian. Tenagamu akan bercerai berai lalu kau akan terkulai lemas oleh kekecewaan.”
“Tahu apa kau tentang benci?”
“Tentu saja, tahu lebih dalam dari hatimu yang hanya bisa membenciku.”
“Aneh.”
“Oh iya, sudah sejak dalam pikiran jika aku aneh.”
“Kenapa kau masih mendekatiku?”
“Karena nenek sihir pernah mengutuk ketika sepasang kekasih yang baru saja berikrar untuk membangun bahtera hidup bersama dengan orang paling dicintainya, tiba-tiba cinta yang bersemayam dalam hati sang perempuan dicuri dan dibawa lari oleh Gendruwo, dan pada kota kesedihanlah cinta bisa diketemukan.”
“Bukankah itu hanya Gerduwonen….”
“Itulah jika Gerduwonen dilawan dengan emosi dan kebencian, ia akan semakin edan, memaki-maki bahkan akan berlari pergi.”
“Kau dibohongi oleh nenek sihir.”
“Bisa juga. Tapi bagaimana jika nenek sihir itu benar.”
“Ugh…kau semakin edan…”
“Biarlah asal aku tidak memelihara kebencian yang bisa meluluhlantahkan energimu yang besar itu. Kau akan lumpuh dengan kebencian dalam hatimu.”
“Siapa bilang?”
“Aku.”
“Cukup.”
“Kau hanya memperkeruh masalah saja. Semua apapun tentang kau tetap menjadi kebencianku.”
“Dan semua tentang mu karena kau dihantui perasaan yang masih nakal termainkan oleh masa lalumu yang tak kesampaian hingga menjelma menjadi dendam. Karena orang-orang yang kau anggap baik tak juga berani mengajakmu mengarungi hidup bersama.”
“Dari siapa cerita itu?, kau mengarangnya?”
“Tidak, kau sendiri yang cerita sebelum kau bertemu aku di kota kesedihan ini. dan sebelum kau terganggu dengan penyakit kebingunganmu atau orang-orang disini menyebutmu kau diserang Gendruwonen[1], kau mudah lupa sekarang.”
“Kau memang seperti Gendruwo.”
“Aku?”
“Iya, siapa lagi?”
“Kau juga.”
“Kita sama-sama Gendruwo?”
“Tidak. Hanya kau.”
“Bukan, kau yang seperti….”
Sebelum dia melanjutkan bualannya. Ada rasa emosi yang telah mendesir kuat menyergap ubun-ubunku yang telah memanas sejak beberapa jam tadi. Emosi anak manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk nafsu. Nafsu itu telah menguasai diriku hingga aku harus menyergapmu kuat-kuat. Tiba-tiba diriku telah berubah menjadi serigala jantan yang buas, lapar dan ganas. Kau merintih melawan namun apalah daya hatimu hanya bisa menyimpan dendam tak kan kuat melawan hasratku yang telah kuat menancap sejam tadi.
Hingga malam pertama yang telah berlalu dikota kesedihan membuatmu pasrah. Kau kalah, kau menyerah, takdir anak manusia yang telah dipertemukan di kota kesedihan mampu menyihirmu, merubah paradigma sederhanamu bahwa kodrat manusia perempuan adalah berteman dengan lelaki dan bukan rembulan. Kenapa rembulan? Rembulan hanya bayangan dari kejauhan, indah namun jauh untuk digayuh. Meski hadirnya kembali indah setiap malam tapi ia hanya bayangan yang tak jua mau mendekat. Begitu juga mantan-mantan yang berserakan. Ia telah usai mengisi ruang hati yang lalu.
Benar apa yang telah diramalkan nenek sihir dengan sapu lidinya bahwa kota kesedihan telah merubah kenangan-kenangan kekecewaan menjadi kenangan indah yang mampu menghapus keragu-raguan. Esok masih indah dengan canda, senyum hangat bersamamu yang telah menyergapku. Kau lebih tahu apa yang aku butuhkan daripada apa yang telah mereka pikirkan dengan janji-janji yang sedikitpun tak pernah ditepati. Akhirnya aku tahu bahwa kau bukanlah syetan seperti Gendruwo tapi kau malaikat penabur benih cinta yang telah tumbuh berbunga-bunga di taman hatiku. Kesabaranmu, keuletanmu telah meremukkan relung hatiku yang telah dilanda kebencian.
“Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta, kepadaku. Beri sedikit waktu biar cinta datang karena terbiasa, terbiasa[2]…”
“Kau menyanyi?”
“Ya untuk menghibur diri. Karena untuk mengejar cinta sepertinya dibutuhkan keberanian juga pengorbanan.”
Tak ada suaramu karena kau hanya diam tenggelam dikota kesedihan. Hampir semua kenangan-kenangan lama kau campakkan begitu saja. Seperti melepas bajumu satu-persatu. Lantas, kau tidur dengan hangat dalam pelukan. Kenyamanan adalah segalanya melebihi uang dan tahta. Menikahi kebencian tak kan selamanya.


Bangilan, 12 Oktober 2017.
Rohmat Sholihin*
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.








[1] Menurut kepercayaan orang Jawa diserang rasa bimbang biasanya ketika akan melangsungkan pernikahan. Sehingga menjadi ragu bahkan timbul pertengkaran-pertengkaran dengan pasangannya hanya karena kasus yang tidak jelas.
[2] Lagu Dewa 19.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda