Senin, 16 Oktober 2017

“Huda Never Dies”


http://bobotoh.id/baca/innalillahi-kiper-persela-khoirul-huda-ngantunkeun

            Sepak bola tanah air kembali berduka. Kiper terbaik Persela Khoirul Huda (38 tahun) telah gugur di medan perang. Kenapa perang? Bukankah ini dalam pertandingan sepak bola. Ya, karena sepak bola tanah air situasinya seperti perang. Dari tahun 2000 sampai 2017 banyak korban berjatuhan, mulai dari sang legendaris Persebaya Eri Erianto (26 tahun) menghembuskan nafas terakhir dalam pertandingan di Stadion Gelora 10 Nopember Surabaya pada tanggal 3 April 2000 versus PSIM Yogyakarta bertabrakan dengan pemain asal PSIM asal Gabon Samson Noujine Kinga. Seketika pingsan dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya. Kemudian dinyatakan meninggal karena serangan jantung.  Disusul dengan Jumadi Abdi (26 tahun) pemain PKT Bontang, akibat benturan keras dengan pemain Persela Lamongan Deny Tarkas pada pertandingan 7 Maret 2009. Mengalami cidera berat pada organ vital bagian dalam lantaran infeksi berat yang disebabkan oleh kuman yang keluar dari usus halus Jumadi Abdi yang bocor. Ngeri. Ada lagi Akli Fairuz (26 tahun) pemain Persiraja yang berbenturan dengan kiper PSAP Sigit Agus Rohman dalam laga Divisi Utama pada 10 Mei 2014 di Stadion H. Dhimurthala, Lampineung. Pemain Persiraja Banda Aceh itupun meninggal setelah dirawat enam hari kemudian di Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh.
            Khoirul Huda yang akrab dipanggil Huda ini harus tumbang di laga pertandingan melawan PSP Semen Padang di Stadion Surajaya lamongan setelah bertabrakan dengan Ramon Rodriguez Mesquita teman setim yang akan mengamankan daerah pertahanannya pada menit ke-45 di babak pertama. Sungguh naas nasib kiper kawakan Persela yang luar biasa itu. Setia selama 18 tahun membela Persela Lamongan dan tak pernah merumput di tim tetangga, maaf maksudnya tim atau klub lain meski selalu digoda dengan iming-iming fasilitas dan gaji tinggi. Ia komitmen dengan Persela Lamongan yang ia bela sampai ajal menjemput. Suatu capaian tertinggi seseorang yang patut kita apresiasi bersama, khususnya masyarakat kota Soto Lamongan yang telah ia besarkan. Ia rela mati demi membela Persela Lamongan. Berjuang sampai titik darah penghabisan. Nilai pengorbanannya sama dengan pahlawan, kesetiaanya, semangatnya, bahkan harus dengan darah dan nyawa. Semoga saja pengorbanannya tak pernah dilupakan oleh banyak orang, terutama masyarakat Indoensia bahkan masyarakat dunia. Lagi-lagi pecinta sepak bola Persela Lamongan. Jasmerah kata Soekarno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dosa besar.
            Beberapa kasus seperti di atas memang kejadian yang tidak bisa kita prediksi karena mereka sedang bermain ditengah-tengah lapangan untuk mempermainkan si kulit bundar, dan mereka selalu berharap tentang kemenangan. Seperti penulis singgung diatas bahwa bertanding sepak bola ibarat melakoni peperangan karena mereka bertempur habis-habisan hingga meraih kemenangan, bukankah dalam peperangan juga berhubungan dengan bertahan, menyerang, untuk mencapai kemenangan? Meski ungkapannya lebay tapi kenyataannya memang demikian karena dalam sepak bola ada unsur-unsur kekerasan yang bisa timbul didalamnya. Baik untuk melindungi diri maupun untuk kebutuhan tim. Dan itu berlaku sah-sah saja selama tidak menimbulkan pelanggaran yang dinilai oleh wasit sebagai pemimpin pertandingan. Meski tak jarang pemimpin pertandingan terkadang terkena kekerasan itu sendiri. Padahal secara aturan hukum dalam pertandingan sepak bola wasitlah kasta tertinggi yang keputusannya tak boleh dibantah oleh para pemain. Itupun banyak yang dilanggar, wasit masih menjadi incaran amuk oleh para pemain bahkan penonton atau supporter yang tak punya hak apapun karena ia hanya menonton saja hanya bersifat memberi dukungan.
            Pekerjaan Rumah seperti ini harus menjadi perhatian PSSI secara intens dan serius. Karena bagaimanapun juga sekecil apapun pelanggaran dalam sepak bola sepatutnya mendapatkan perhatian penuh. Jangan pernah diremehkan. Selalu terus meningkatkan kualitas dan prestasi terbaik dan itu bisa dimulai dari badan PSSI sebagai induknya sepak bola di tanah air Indonesia. Saya yakin PSSI pasti bisa apalagi ketua umumnya adalah seorang Jenderal yang sudah terbiasa menangani urusan besar. Urusan kedaulatan negara saja mampu diatasi dengan gemilang apalagi urusan hiburan olah raga sepak bola. Pasti bisa. PSSI punya badan Komisi Disiplin (KOMDIS), badan PSSI ini bisa dimaksimalkan agar sepak bola Indonesia bisa kembali berjaya meski dimulai dari kata disiplin. Tim kesehatan juga perlu terus diperhatikan demi keselamatan para pemain. Ayo PSSI pasti bisa. Agar sepak bola di Indonesia kembali punya unsur menghibur namun hiburan yang bukan mengerikan, seperti tawuran, kekerasan yang mengarah ke arah pembunuhan. Sehingga kita sebagai pendukung salah satu tim kesayangan enggan untuk datang memberikan dukungan ke Stadion karena takut terjebak dalam perang antar supporter.
            Mas “Huda” atau nama lengkapnya Choirul Huda yang lahir di Lamongan, 2 Juni 1980 ini adalah salah satu kiper terbaik Indonesia juga seorang figur yang menyenangkan. Supel dan selalu berkomitmen tinggi dalam membela tim Persela Lamongan selama 18 tahun, namun kini ia telah pergi dengan gagah laksana ksatria bertempur sampai mati dalam medan laga, tak pernah menyerah sejengkalpun demi perjuangan. Banyak kiprah dan prestasi untuk Persela Lamongan yang telah kau capai. Kau telah menjadi sang legenda, namamu akan selalu terukir dalam dada. Huda Never Dies. Lewat tulisan pendek ini yang hanya bisa saya lakukan untuk mengenangmu. Selamat jalan sang legenda Persela doa kami semua menyertaimu.

Bangilan, 17 Oktober 2017.
Rohmat Sholihin
Eks pemain sepak bola amatiran yang tinggal di desa Bangilan.
           

            

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda