“Huda Never Dies”
http://bobotoh.id/baca/innalillahi-kiper-persela-khoirul-huda-ngantunkeun
Sepak
bola tanah air kembali berduka. Kiper terbaik Persela Khoirul Huda (38 tahun)
telah gugur di medan perang. Kenapa perang? Bukankah ini dalam pertandingan
sepak bola. Ya, karena sepak bola tanah air situasinya seperti perang. Dari tahun
2000 sampai 2017 banyak korban berjatuhan, mulai dari sang legendaris Persebaya
Eri Erianto (26 tahun) menghembuskan nafas terakhir dalam pertandingan di
Stadion Gelora 10 Nopember Surabaya pada tanggal 3 April 2000 versus PSIM
Yogyakarta bertabrakan dengan pemain asal PSIM asal Gabon Samson Noujine Kinga.
Seketika pingsan dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya.
Kemudian dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Disusul dengan Jumadi Abdi (26 tahun) pemain
PKT Bontang, akibat benturan keras dengan pemain Persela Lamongan Deny Tarkas
pada pertandingan 7 Maret 2009. Mengalami cidera berat pada organ vital bagian
dalam lantaran infeksi berat yang disebabkan oleh kuman yang keluar dari usus
halus Jumadi Abdi yang bocor. Ngeri. Ada lagi Akli Fairuz (26 tahun) pemain Persiraja yang
berbenturan dengan kiper PSAP Sigit Agus Rohman dalam laga Divisi
Utama pada 10 Mei 2014 di Stadion H. Dhimurthala, Lampineung. Pemain Persiraja
Banda Aceh itupun meninggal setelah dirawat enam hari kemudian di Rumah Sakit
Zainal Abidin Banda Aceh.
Khoirul
Huda yang akrab dipanggil Huda ini harus tumbang di laga pertandingan melawan PSP
Semen Padang di Stadion Surajaya lamongan setelah bertabrakan dengan Ramon Rodriguez
Mesquita teman setim yang akan mengamankan daerah pertahanannya pada menit
ke-45 di babak pertama. Sungguh naas nasib kiper kawakan Persela yang luar
biasa itu. Setia selama 18 tahun membela Persela Lamongan dan tak pernah
merumput di tim tetangga, maaf maksudnya tim atau klub lain meski selalu digoda
dengan iming-iming fasilitas dan gaji tinggi. Ia komitmen dengan Persela
Lamongan yang ia bela sampai ajal menjemput. Suatu capaian tertinggi seseorang yang
patut kita apresiasi bersama, khususnya masyarakat kota Soto Lamongan yang
telah ia besarkan. Ia rela mati demi membela Persela Lamongan. Berjuang sampai
titik darah penghabisan. Nilai pengorbanannya sama dengan pahlawan,
kesetiaanya, semangatnya, bahkan harus dengan darah dan nyawa. Semoga saja
pengorbanannya tak pernah dilupakan oleh banyak orang, terutama masyarakat
Indoensia bahkan masyarakat dunia. Lagi-lagi pecinta sepak bola Persela
Lamongan. Jasmerah kata Soekarno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dosa besar.
Beberapa
kasus seperti di atas memang kejadian yang tidak bisa kita prediksi karena
mereka sedang bermain ditengah-tengah lapangan untuk mempermainkan si kulit
bundar, dan mereka selalu berharap tentang kemenangan. Seperti penulis singgung
diatas bahwa bertanding sepak bola ibarat melakoni peperangan karena mereka
bertempur habis-habisan hingga meraih kemenangan, bukankah dalam peperangan
juga berhubungan dengan bertahan, menyerang, untuk mencapai kemenangan? Meski ungkapannya
lebay tapi kenyataannya memang demikian karena dalam sepak bola ada unsur-unsur
kekerasan yang bisa timbul didalamnya. Baik untuk melindungi diri maupun untuk
kebutuhan tim. Dan itu berlaku sah-sah saja selama tidak menimbulkan
pelanggaran yang dinilai oleh wasit sebagai pemimpin pertandingan. Meski tak
jarang pemimpin pertandingan terkadang terkena kekerasan itu sendiri. Padahal secara
aturan hukum dalam pertandingan sepak bola wasitlah kasta tertinggi yang
keputusannya tak boleh dibantah oleh para pemain. Itupun banyak yang dilanggar,
wasit masih menjadi incaran amuk oleh para pemain bahkan penonton atau supporter
yang tak punya hak apapun karena ia hanya menonton saja hanya bersifat memberi
dukungan.
Pekerjaan
Rumah seperti ini harus menjadi perhatian PSSI secara intens dan serius. Karena
bagaimanapun juga sekecil apapun pelanggaran dalam sepak bola sepatutnya
mendapatkan perhatian penuh. Jangan pernah diremehkan. Selalu terus
meningkatkan kualitas dan prestasi terbaik dan itu bisa dimulai dari badan PSSI
sebagai induknya sepak bola di tanah air Indonesia. Saya yakin PSSI pasti bisa
apalagi ketua umumnya adalah seorang Jenderal yang sudah terbiasa menangani
urusan besar. Urusan kedaulatan negara saja mampu diatasi dengan gemilang
apalagi urusan hiburan olah raga sepak bola. Pasti bisa. PSSI
punya badan Komisi Disiplin (KOMDIS), badan PSSI ini bisa dimaksimalkan agar
sepak bola Indonesia bisa kembali berjaya meski dimulai dari kata disiplin. Tim kesehatan juga perlu terus diperhatikan demi keselamatan para pemain. Ayo PSSI
pasti bisa. Agar sepak bola di Indonesia kembali punya unsur menghibur namun
hiburan yang bukan mengerikan, seperti tawuran, kekerasan yang mengarah ke arah
pembunuhan. Sehingga kita sebagai pendukung salah satu tim kesayangan enggan
untuk datang memberikan dukungan ke Stadion karena takut terjebak dalam perang
antar supporter.
Mas “Huda”
atau nama lengkapnya Choirul Huda yang lahir di Lamongan, 2 Juni 1980 ini
adalah salah satu kiper terbaik Indonesia juga seorang figur yang menyenangkan.
Supel dan selalu berkomitmen tinggi dalam membela tim Persela Lamongan selama
18 tahun, namun kini ia telah pergi dengan gagah laksana ksatria bertempur
sampai mati dalam medan laga, tak pernah menyerah sejengkalpun demi perjuangan.
Banyak kiprah dan prestasi untuk Persela Lamongan yang telah kau capai. Kau telah
menjadi sang legenda, namamu akan selalu terukir dalam dada. Huda Never Dies. Lewat
tulisan pendek ini yang hanya bisa saya lakukan untuk mengenangmu. Selamat jalan
sang legenda Persela doa kami semua menyertaimu.
Bangilan, 17 Oktober 2017.
Rohmat
Sholihin
Eks pemain sepak
bola amatiran yang tinggal di desa Bangilan.
Label: Essai
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda