Perempuan Itu
https://amaranthp.wordpress.com/category/%D0%BC%D0%BE%D0%B5-%D1%82%D0%B2%D0%BE%D1%80%D1%87%D0%B5%D1%81%D1%82%D0%B2%D0%BE/%D1%80%D0%B0%D0%B7%D0%BC%D0%B8%D1%81%D0%BB%D0%B8/
Oleh. Rohmat
Sholihin*
Bangunan megah
bergaya kolonial Belanda itu masih megah berdiri. Hanya orang-orangnya saja
yang berganti-ganti. Orang lama pindah lalu mati. Orang baru datang
menggantikan orang lama dan melakukan aktifitas seperti yang dulu. Mengurusi
lumbung pangan dari berbagai macam hasil bumi. Padi, jagung, kedelai, serta kacang
hijau. Masih ingat, dilantai pojok sebelah kanan dekat pohon kelapa tertera
tulisan angka Agustus 1921. Mungkin pada tahun tersebut bangunan rumah ini
mulai dibangun. Sudah ada sebelum negeri ini merdeka.
Bangunan rumahnya
masih seperti dulu, baik warna cat, halaman, taman, dan juga tanah lapang yang
telah diplester untuk mengeringkan padi. Lebih tepatnya rumah pertanian: rumah untuk
pembenihan benih padi. Hanya saja kita tak bisa menyamakan suasana dan empati para
penghuninya. Dulu ketika aku usia belasan tahun sering bermain dan menghabiskan
waktu senja dengan teman-teman dengan bermain bola ditanah lapang itu. Asyik
dan riang. Masa kecil yang menyenangkan. Ditemani pohon kelapa yang
berjejer-jejer, pohon mangga, pohon pisang, dan tentu saja tanaman padi yang
hijau menghampar. Kaki-kaki kecil kita berlari-larian mengejar bola dan harapan
hingga suatu saat kita sadar, kita telah hidup dan dibesarkan pada alam yang
luar biasa, indah dan menawan. Tak ada persaingan, kecuali bersaing melesakkan
bola plastik ke gawang yang terbuat dari batu. Kita menyebutnya dengan sebutan “gooool”,
hadiah terindah dari permainan bola. Kita berteriak-teriak gembira. Seakan-akan
dunia kita genggam seutuhnya. Bermain bola ditengah-tengah sawah yang sejuk
dengan perkampungan yang sulit kita lupakan yaitu, kampung halaman. Rumah warga
pinggir sawah yang berjejer-jejer dan berdempet-dempet memberikan kesan
kedamaian. Suara bel kereta api kuno yang akan singgah di stasiun Bangilan menambah
suasana kehidupan desaku yang permai seperti dalam kehidupan di negeri dongeng.
Setelah
beberapa tahun hingga aku menginjak dewasa rumah itu masih seperti semula,
masih berdiri kokoh. Hanya saja anak-anak bermain disekitar halaman tak aku
temukan lagi. Anak-anak riang bermain bola juga tak aku dapati. Anak-anak
bermain layang-layang juga tak tampak, apalagi anak-anak mencari ikan
disungai-sungai kecil disekitarnya, juga tak ada. Yang aku lihat semua sibuk
bekerja, tanah lapang bersemen ada lagi satu. Penuh dengan padi dan jagung yang
lagi dikeringkan. Taman-tamannya yang penuh dengan pohon mangga, jambu, pisang,
ketela berubah menjadi taman gersang, berganti garasi mobil disisi kanan beserta
mobil baru. Suara kereta api pun telah lama sirna beserta stasiunnya.
Bangunan rumah
dari bambu dan sumur dibelakang tak aku temukan juga. Dulu sewaktu aku bermain
petak umpet sering masuk dirumah itu dan bersembunyi ditumpukan jerami. Aman
seaman-amannya. Sampai berjam-jam kawanku tak kan bisa menemukanku, hingga
menjadi kesal lalu ditinggal pulang. Tinggal aku sendiri kasak-kusuk menahan
rasa gatal akibat alergi jerami. Tak sadar ternyata kawanku telah lama pulang.
Sungguh kasihan, tak apa, hatiku tetap merasa senang, bisa bermain sepuas-puasnya
sampai petang.
Lama-kelamaan
rumah bambu itu mulai berpenghuni. Seorang buruh tani dan berperan ganda
menjadi penjaga rumah megah itu. Hingga awal tragedi bermula. Cerita ini sulit
aku lupakan karena ada dan nyata menghiasi kehidupanku, menghiasi masa
kanak-kanakku yang begitu bahagia. Seorang buruh tani mempunyai anak perempuan
yang telah berumur. Namun tak juga laki-laki datang untuk melamarnya dan
menikahinya. Berlarut-larut waktu itu terus berlalu. Tak juga ada laki-laki
yang datang melamarnya. Menurut orang-orang disekitarku jika perempuan yang
telah berumur dua lima tahun ke atas belum juga menikah ada dua arti, pertama:
ia tak laku, kedua: ia kadaluarsa sehingga para lelaki merasa enggan untuk
menikahinya. Apalagi perempuan itu dianggap oleh banyak orang ia mempunyai
keanehan dan kejanggalan. Namun, aku sendiri tak pernah melihat gelagat itu karena
memang aku tak paham, belum cukup umur. Hanya menurutku perempuan itu baik,
sering memberikanku minum di saat kelelahan bermain bola. Dan aku tak melihat
suatu kejanggalan pada dirinya. Menurutku semua baik-baik saja. Tapi,
pemuda-pemuda sering mengartikan ia kelainan. Apanya? Aku juga tidak tahu ia
masih menjadi perempuan yang baik sebagaimana perempuan pada umumnya, memasak,
menimba air, menyapu rumahnya, berpenampilan sewajarnya, belanja, dan membantu
kedua orangtuanya di sawah. Tak ada tanda-tanda kejanggalan, lebih tepatnya
perempuan aneh. Tapi aku pernah sekali melihat beberapa pertengkaran terjadi
antara perempuan itu dengan kakaknya pada suatu siang yang lengang.
“Kau semalam
kemana, Ti? Anak perempuan suka kelayapan.”
“Itu urusanku,
kak, kenapa kau ikut campur?”
“Aku ini
kakakmu, tahu? Kalau sampai terjadi sesuatu hal padamu, siapa yang tanggung
jawab? Kau ini anak perempuan harus tahu bagaimana menjaga kehormatan
keluargamu.”
“Kehormatan
apa, kak? Sok tahu kamu tentang kehormatan.”
“Kehormatan
sebagai anak perempuan, agar orang lain tak menganggap macam-macam padamu, Ti.”
“Macam-macam….”
“Iya kau ini
sudah waktunya menikah tapi belum juga datang pria yang ingin melamarmu.”
“Lantas…”
“Semua pria
enggan, Ti, jika melihat kau berkelakuan seperti tidak wajar, malam-malam
keluar sendirian dan pulang tengah malam.”
“Aku tak butuh
pria yang akan menikahiku kalau menikah itu hanya urusan bawah perut, saja.
Kalau sudah melakukan itu kenapa harus menikah.”
“Kau ini
ngawur ya, Ti. Huuus,..jangan teruskan ucapanmu. Kau ini perempuan, kenapa
harus ngomong begitu?”
“Suka-suka
aku, kehidupanku adalah aku sendiri, segala sesutau resiko juga aku sendiri
yang menanggung, segala perbuatan yang aku lakukan aku yang merasakan, bukan
kau.”
“Tapi aku
kakakmu, saudaramu.”
“Dari dulu aku
sudah tahu, kakak.”
“Kau memancing
kemarahanku, Ti.”
“Kau sendiri
yang merasa terpancing.”
Perempuan itu
masih saja terus menanggapi bicara kakaknya dengan memasak didapur.
“Kau itu
sering kesurupan, Ti. Jika keluar sendirian berbahaya. Siapa nanti yang akan
menolongmu?”
“Aku baik-baik
saja. Aku sudah sembuh, ada kang I yang telah mengobatiku.”
“Siapa?”
“Kang I.”
Kakaknya tak
bertanya lagi. Terdiam sejenak kemudian memandangi wajah adiknya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ada
perasaan cemas dalam hati laki-laki itu. Ia pandangi wajah adiknya lagi. Ia
merasa iba pada adiknya yang lama menderita penyakit epilepsi. Tubuhnya sering
kejang-kejang tak ada sebab.
“Kau
diobatinya?” lalu ia tanya lagi.
“Iya, kenapa?”
Kakaknya tak
meneruskan pembicaraan lagi dalam hatinya menangkap kejanggalan yang belum juga
ia omongkan. Ia pendam dalam-dalam dan berharap semoga hanya pikiran buruk saja
yang ada pada batok kepalanya.
Setelah itu
aku tak tahu pembicaraan apa lagi yang mereka bincangkan.
Hari-hari
berjalan biasa tak ada yang aneh. Masih saja aku dan kawan-kawan menghabiskan
waktu bermain disekitar rumah benih itu. Namun, beberapa hari aku tidak bertemu
perempuan itu. Biasanya menyodorkan air minum dalam kendi tanah liat yang
segar, tak pernah ada lagi. Desas-desus, ia telah pergi dari rumah tanpa pamit.
Karena ia telah hamil. Dan benar apa yang dicemaskan kakaknya. Kang I-lah
biangnya. Laki-laki yang telah bersuami dan beranak-pinak itu pelakunya,
laki-laki yang juga bekerja sebagai kuli harian merangkap asisten mantri
pertanian yang tega menodai perempuan lugu itu. Kakaknya menjadi marah, ia
selalu mencari kang I, tentu saja ia ingin melukainya bahkan membunuhnya.
Beberapa bulan
perempuan itu belum juga pulang ke rumah. Dan hari-hari tetap seperti biasa.
Rumah tua dengan bangunan arsitektur kolonial Belanda masih tetap utuh, asri,
dan sejuk. Angin sawah yang selalu berhembus lirih seakan-akan membawakan kabar
damai sepanjang hari. Bumi pertiwi yang asri dan kaya selalu memberikan hasil
bumi yang melimpah-ruah. Benih-benih selalu tumbuh dengan baik, air tetap
jernih berkilau, burung-burung terus berkicau riang seriang hatiku dan
kawan-kawan yang selalu menghiasi hari-harinya. Padi panen, berganti tanam
jagung, jagung panen, berganti tanam kacang hijau begitu seterusnya. Hingga suatu
pagi aku melihat sosok perempuan dengan perut buncit sedang termenung didepan
rumah bambu. Pandangannya kosong. Aku bisa menebak siapa dia. Tapi aku tak
berani menyapa karena dari raut wajahnya, terlihat ia sedang galau. Aku hanya
mengawasi dari jauh sambil menunggu kawan-kawan datang untuk menyapa hari
dengan main, main, main sepuasnya.
Kabarnya ia
telah dinikahi oleh kang I, meski pernikahan tak resmi secara pemerintahan, tapi
sah menurut agama, perkawinan siri. Namun, Kang I masih sangat jarang terlihat
karena takut pada kakaknya, bisa-bisa ia dibunuh. Awalnya berlagak mengobati
penyakit epilepsinya, lama-lama tergoda dengan molek tubuhnya. Akhirnya kasus
pun terjadi. Ia hamil. Dan kini usia kehamilannya semakin tua. Celoteh
orang-orang kampung semakin menggila, namun perempuan itu tetap seperti biasa.
Ia telah menjadi dirinya sendiri dengan keterbatsan-keterbatasan yang ia miliki
sebagai manusia perempuan pada umumnya. Hanya saja, kakak dan keluarganya yang
kurang begitu suka. Ia tetap tegar dan tak pernah menyesali hasil perbuatannya.
Masa bodoh dengan itu semua. Ia tetaplah perempuan yang punya naluri keibuan
meski terkadang perempuan lain mencampakkan sifat itu, rela membuang bayi yang
masih orok, menggugurkan janin demi menutupi aib. Ia juga ingin seperti
perempuan-perempuan yang lain, menggendong anak, menyuapi anak, bersenda gurau
dengan keluarga, tapi keadaan yang membuat ia harus tersisih dengan lingkungan
ia hidup, sering kesurupan, gila, tak waras, epilepsi, aneh, bahkan akhir-akhir
ini ia harus rela dengan julukan perempuan sundal. Ah terlalu naas sebutan itu.
Bulan
Agustusan tiba. Tanaman jagung melambai-lambai menyambut rumah tua dengan
mesra. Sebentar lagi dipanen dan masuk digudang. Segala hiburan digelar untuk
memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu saja tak
ketinggalan konser musik dangdut di lapangan kecamatan. Penonton-penonton
bergoyang dengan indahnya sesekali ada yang liar. Polisi dengan pentungan tak
kuasa menahan itu semua, sebagai jalan keluar dibiarkan saja apa yang mereka
suka, berjingkrak-jingkrak awuran, asal tak mengganggu para biduan yang sedang
menghibur dipanggung. Tiba-tiba sekelompok orang berduyun-duyun menggerombol
disuatu tempat. Semakin ramai dan ricuh. Aku penasaran untuk mendekatinya.
“Astaghfirullohaladziim, perempuan dengan perut buncit menggelepar-gelepar
kesurupan. Ya, itu kau. Apa yang baru saja terjadi? Tak ada yang tahu.” Batinku
bingung dan apa yang harus aku lakukan. Beberapa orang membopongnya menuju
Puskesmas. Setelah itu aku tak tahu nasibnya. Hiburan dangdut tetap terus
melaju, mendayu-dayu. Orang-orang masih sibuk menikmatinya.
Esoknya dan
esoknya. Ia telah meninggal dalam proses persalinan bersama dengan bayi yang
ada dalam rahimnya. “Innalillahiwainnalillahirojiun.” Ia telah pergi bersama
bayangan-bayangan yang belum pernah dicapainya. Menjadi perempuan yang ingin
menggendong anak, menyuapi anak, merawat anak, dan bercengkerama dengan
keluarga.
Dan rumah tua
bergaya kolonial Belanda itu masih tegak berdiri, manis, pahitnya kehidupan tak
pernah merobohkan dindingnya.
Bangilan, 31 Agustus 2017.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda