Maskot
http://pontianak.tribunnews.com/2015/05/03/busana-etnik-dari-bahan-daur-ulang
Oleh. Rohmat Sholihin*
Bu Mila memasuki ruangan kelasku dengan membawa catatan kertas putih. Lalu
duduk dimeja guru dengan penuh wibawanya. Kaca matanya mengarah kepada seisi
ruangan tanpa berkedip sedikitpun. Sesekali pulpen yang ia pegang, ia tuliskan
pada kertas putih itu. Entah apa yang ia tulis? Tak ada yang tahu, hanya hati
menebak-nebak, pasti bu Milla akan memilih anak-anak untuk mengikuti perlombaan
karena bulan ini adalah bulan Agustus, bulan penuh dengan kegiatan lomba dalam
rangka memperingati hari ulang tahun Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang
jatuh pada tanggal 17 Agustus.
Dalam pikiranku membayangkan,
bagaimana menjadi pemeran seorang putri maskot dalam karnaval? Dengan berdandan
cantik, memakai baju indah berjuntai-juntai, memakai lipstik, memakai sanggul
dengan kerlap-kerlip mahkotanya, bersepatu indah, senyum cantik indah mempesona.
Semua penonton pasti akan tertuju padaku, semua mendekat lalu mengambil gambar
untuk diabadikannya, fotoku akan dipajang kemana-mana, di Facebook, WhatsApp,
BB, Messenger, dan media sosial lainnya. Serasa aku menjadi bintang idola anak
semua bangsa. Seluruh dunia akan menyaksikan gambar-gambar indahku yang telah
dibagikan.
Sekali lagi bu Milla aku pandangi.
Dan ia tersenyum manis yang tidak biasa ia lakukan padaku. Ia katakan dengan
lirih namun telingaku menangkap suara itu dengan kuat.
“Nem, kau ku pilih jadi maskot ya.”
Bicaranya padaku dengan senyum manisnya.
“Oh iya,” aku terkejut tapi dalam
hatiku menjerit-jerit bahagia. Tepat seperti apa yang aku impikan.
“Apa tidak salah, bu Milla?” Jawabku
untuk meyakinkan.
“Tidak, kau jadi maskot, Nem.” Jawab
bu Milla pasti.
Hatiku melonjak
girang, senang bukan buatan. Inilah yang aku inginkan. Lebih tepatnya pikiran
untuk menjadi maskot ada sejak aku masih kecil. Ketika sering diajak Emak
melihat karnaval dikecamatan setiap bulan Agustus. Dan tanpa basa-basi aku
jawab, “iya bu.” Meski hatiku sedikit kecut namun masih kalah dengan
keinginanku yang menghentak luar biasa.
“Baiklah, Nem aku catat ya, sekalian
ini surat pemberitahuan dari sekolah untuk orang tuamu dirumah.” Bu Milla
menyodorkan surat padaku. Hatiku kembali ragu, aku terima atau tidak. “Ah,
sudahlah aku terima saja, setidaknya ada langkah-langkah lain yang bisa
kupertimbangkan dengan Emak dirumah.” Batinku sambil kupegang surat
pemberitahuan itu.
“Untuk format rias dan kostumnya dua
hari lagi, Nem. Nanti aku beritahukan lagi padamu. Agar kau bisa mencari perias
dan kostum disalon yang kau inginkan. Oh iya, kamu pesan duluan ke salon agar
tak keduluan yang lain.” Bicara Bu Milla yang terus mengiang-ngiang
ditelingaku. Aku hanya tersenyum meski hati ini agak kecut dan ragu. Kenapa?
Emak dirumah apakah setuju dengan keinginanku. Keinginan yang telah lama
menggumpal dalam pikiran dan hatiku. Emak pasti tak punya uang. Musim tanam jagung
di tanah persilan belum juga panen.
Baru saja tanam, sedangkan modal tanam yang pinjam dari bank dengan setoran
waktu panen tiba, kini telah habis. Belanja kebutuhan setiap hari juga ngebon di Toko Bu Kaji Endang kian
menumpuk-numpuk. Belum lagi setoran sepeda motor yang tiap bulan harus bayar.
“Ah, bagaimana ini? Aku jadi bingung, kenapa aku tadi dengan percaya diri
menerima tawaran Bu Milla sedangkan kondisi ekonomi keluargaku lagi kesulitan.”
Batinku membuncah-buncah. Mataku menerawang tak semangat lagi ketika pertama
kali namaku disebut oleh bu Milla. “Ah, sudahlah. Kesempatan tidak datang dua
kali. Aku akan tetap izin sama Emak. Siapa tahu Emak masih punya uang slempitan yang disimpan di bawah bantal,
diatas lemari, atau dibawah baju-bajunya.” Hatiku masih berontak dengan
alasan-alasan dan kemungkinan-kemungkinan yang kecil harapan dan bertautan
dengan keinginanku yang masih berputar-putar mencari solusinya.
Mendengar aku akan dijadikan maskot.
Tak semua kawan-kawan bersikap senang. Bahkan mereka yang tak suka hanya
bersikap sinis padaku. Sedikitpun tak ada rasa empati meski hanya sekedar
memberikan support. Apalagi si Mouly yang kaya, namun bodinya yang tak
mendukung. Tapi tetap saja bu Milla memilihnya karena ia telah menyanggupi
untuk menyewa mobil truk Fuso besar yang akan ia sulap untuk dijadikan taman
istana raja untuk sang putri. Dan tentu saja semua biaya ia yang akan
menanggungnya. Luar biasa. Menjadi kaya itu memang mulia. Semua urusan menjadi
mudah. Bapaknya yang kaya sebagai bos di sebuah perusahaan selalu
memanjakannya. Apa yang ia inginkan selalu saja terwujud. Sedangkan aku sebagai
anak petani miskin sulit berbuat sesuatu. Selalu saja kesulitan pada uang,
uang, dan uang. Sampai kapan miskin selalu mengikuti kehidupanku? Menyulitkan
langkah-langkahku. “Ah, sudahlah. Kita semua punya kelemahan dan kelebihan. Aku
tak mau membuang-buang waktu hanya untuk berandai-andai. Percuma. Aku masih
punya waktu berfikir dan membicarakan dengan Emak dirumah. Jika memang
cita-citaku untuk menjadi maskot hanya sebatas angan, apa boleh buat. Anak
seorang Emak sebagai petani persil yang berkeinginan menjadi maskot karnaval
hanya sebuah impian saja. Padahal semua orang berhak dan berkesempatan untuk
menjadi maskot, bukan hanya orang yang berduit saja namun aku juga bisa menjadi
maskot. ” Hatiku masih meronta-ronta dibuatnya.
Ketika sampai dirumah kucari Emak
yang sudah tak ada lagi dirumah. Pasti masih berada di hutan untuk bercocok
tanam jagung. Menggapai sejuta harapan untuk menghidupi keluarga ini. Keluarga
yang telah ditinggal sang bapak karena meninggal terpatok ular dihutan sewaktu
menunggui tanaman kacang mendekati musim panen tiba. Emaklah pejuang sejati
dalam keluarga. Hingga kini masih kuat berjibaku melawan angan-angan. Tak ada orang
hebat didunia ini sehebat Emak. Dan akupun segera menyusul Emak ke kebun.
“Emak…” Panggilku.
“Iya, Nem, ada apa? Sudah pulang?”
Jawab Emak dengan senyum senang.
“Aku dipilih bu Milla untuk menjadi maskot
karnaval, Emak.”
“Oh iya. Tapi…” jawab Emak dengan
sedikit tertekan.
“Tapi apa Emak? Bukankah kita senang
Emak, dipilih bu Milla untuk menjadi maskot.”
Emak masih diam
memandangiku dengan penuh ketulusan. Seakan-akan ada yang hilang dariku. Tak
berkedip sedikitpun. Mata Emak yang indah berkaca-kaca.
“Memang kau cantik, Nem. Kulitmu
putih, tubuhmu tinggi semampai, rambutmu panjang hitam dan lebat, alismu juga bagus, hidungmu seperti noni-noni
Belanda, dan matamu indah sekali. Emak membayangkan kau, betapa cantiknya anak
Emak ketika berjalan paling depan dengan diiringi dayang-dayang. Tapi, Nem…”
‘Tapi apa Emak?”
“Uang simpanan Emak telah habis
untuk modal tanam jagung dan belanja untuk kebutuhan sehari-hari. Adikmu juga
butuh membayar LKS yang kemarin belum Emak kasih. Cicilan sepeda motor juga
belum ku bayar.” Bicara Emak dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi aku telah dipilih bu Milla,
Emak.”
“Iya aku tahu, Nem. Karena kau
cantik. Dan aku tak tahu kenapa kau cantik, Nem? Karena yang ngasih itu Tuhan.
Aku yang hanya sebagai petani persilan yang miskin tapi punya anak yang cantik
sepertimu. Kau tak berdandan saja sudah cantik , apalagi berdandan?” Bicara ibu
lagi.
“Ah Emak.”
“Tahun kemarin Lek Tumi cerita waktu
si Kinkinarti mengikuti karnaval dan merias di salon habis sekitar 750ribu
padahal tidak menjadi maskot, Nem. Kalau maskot bisa jadi sejuta lebih. Uang
darimana lagi, Nem? Mau utang rentenir tak bisa kubayangkan bunganya, pasti
selangit dan mencekik.” Bicara pelan Emak lalu mengusap dahinya yang penuh
dengan keringat.
Aku hanya
terdiam. Rasa kecewa singgah lagi dalam hati. Dan Emak paling mengerti tentang
perasaanku.
“Coba besok bilang sama bu Milla,
kau tetap ikut, tapi aku sendiri yang akan merias dan menentukan pilihan
bajunya.” Jawab Emak tegas.
“Emak, kau serius, Emak.”
“Iya, aku serius, Nem.”
“Nem akan dipermak Emak jadi maskot
apa?”
“Nanti kalau sudah waktunya akan
Emak beritahu. Ayo kita pulang! Hari telah berangsur sore.” Ajak Emak.
Mereka berduapun pulang dengan
langkah yang tetap percaya bahwa esok hari masih menjadi miliknya. Meski hidup
dalam kesulitan dan itu tidak menjadi biang kendala untuk terus mengabdi kepada
dirinya dan keluarganya. Hidup tidak hanya tenggelam dalam kesedihan karena
keadaan, hidup itu merdeka, bebas menentukan pilihan mesti harus bersusah payah
untuk mewujudkannya. Semua orang selalu berkutat dengan kelemahannya
masing-masing meski sisi lain punya banyak kelebihan. Terkadang itu tidak
disadarinya.
Dan ketika aku bertemu bu Milla
disekolah aku utarakan keinginan Emak padanya. Tak ada protes, bu Milla hanya
mendukung saja. Karena bu Milla hanya ingin aku ikut dan berada dalam bagian
team karnaval tahun ini. Hanya baru tahun ini aku bersedia menjadi bagian dari
team karnaval disekolahku, dua tahun kemarin aku tak mau. Menginjak kelas tiga
aku baru bersedia.
Beberapa hari ini Emak selalu pulang
sore menjelang petang. Jika aku tanya, Emak hanya diam. Tidurpun selalu malam.
Bangun fajar dan sudah menghilang. Emak semakin sibuk dan sibuk. Jarang
bersenda gurau lagi setiap akan tidur malam, ditanah persil juga hanya sebentar
dan aku disuruh cepat pulang. Seakan-akan Emak menutup diri beberapa hari ini.
Aku bingung dan khawatir. Apakah Emak terbebani dengan keinginanku menjadi
maskot? Aku kasihan pada Emak, jika tak bisa dipaksa lebih baik aku batalkan
saja. Daripada harus menyiksa Emak.
Saat pulang sekolah dan kurang dari dua hari pelaksanaan karnaval, aku
belum tahu akan menjadi apa? Emak tak pernah bercerita lagi padaku tentang
rencananya itu. Aku sendiri tak berani menanyakannya lagi. Malam menjelang
tidur aku dipanggil Emak diruang tengah. Duduk dan menanyakan lagi rencanaku
menjadi maskot.
“Nem, kau masih ingin menjadi maskot? Kok tak pernah lagi kau bicara
tentang itu Nem.” Tanya Emak pelan.
“Entahlah, Emak. Aku kasihan pada Emak.”
“Kasihan….”
“Iya, Emak.”
“Aku berani hidup tidak untuk minta dikasihani oleh siapapun, Nem.
Termasuk kau sendiri sebagai anakku. Aku hidup merdeka, Nem. Merdeka menentukan
langkahku kemana kita pergi?” Jawab Emak.
“Lantas, Emak, Nem akan jadi maskot apa?” Tanyaku pelan.
“Kemarilah, Nem. Kau ini sudah cantik sejak dalam kandunganku. Kau ini
cantik sebagai takdir Tuhan. Dan kecantikanmu adalah anugerah dari Tuhan
sebagai kelebihan anak manusia. Kau hanya butuh aku rias sendiri, tak usah ke
salon dengan make-up yang tebal untuk menutupi kulit pipimu yang sudah putih
bersih ini. Kau hanya butuh dipoles sedikit saja.” Bicara ibu meyakinkanku.
“Nem akan menjadi maskot apa, Emak?” Tanyaku lagi.
“Nem akan menjelma sebagai Putri Klobot Alas Gede.” Jawab Emak percaya
diri.
“Seperti apa Emak? Nem penasaran sekali. Sepertinya Emak memberikan
kejutan pada Nem.” Nem tersenyum bahagia.
“Sebentar aku ambilkan model bajunya. Pasti cocok untuk anak cantik
sepertimu, Nem.” Emak meninggalkan Nem sendirian duduk diruang tengah. Menunggu
Emaknya masuk keruang kamarnya. Dan benar, tak berapa lama Emak keluar dengan
membawa seuntai gaun indah dari bahan alami klobot jagung yang telah dipermak
dengan rapi dan unik. Unik dengan selempang klobot yang dipadu dengan gaya
batik yang eksotik. Aku tak percaya Emak bisa mengerjakan model baju yang hebat
begini. Aku tertegun tak percaya. Khayalku menjulang tinggi ke awan, seakan
model gaun baju didepanku adalah gaun baju yang dikirim malaikat Jibril dari
langit. Jatuh secara tiba-tiba. Air mataku menetes. Aku tampar pipiku
berulang-ulang hingga terasa panas. Apakah aku mimpi malam ini? Oh tidak, ini
nyata, Emak. Aku peluk Emak dengan kebahagiaan yang mahal tiada tara. Emakku,
malaikatku yang sengaja Tuhan kirim untuk menemaniku.
Siang itu cuaca tidak terlalu panas, mendung namun tidak hujan. Malamnya
yang telah diguyur hujan membuat siang itu menjadi teduh dan tidak berdebu. Aku
berjalan dengan senyum bangga. Tentu saja bangga dengan Emakku yang telah
menyulapku menjadi maskot Putri Klobot Alas Gede di karnaval Agustusan. Luar
biasa. Dahsyat tak terhingga. Semua orang terkagum-kagum dengan baju Emak.
Alami, unik dan eksotik. Gemas dan penasaran dengan gaun yang telah kupakai.
Berjuntai-juntai seperti putri salju padahal bahannya hanya dari klobot jagung
emak didapur belakang. Aku tak habis pikir, Emak memang luar biasa. Idenya
brilian.
Berganti-ganti orang untuk berfoto ria denganku. Sengaja mengabadikan
keunikan penampilanku. Dan hampir semua penonton meneriaki namaku. Hebat bukan
buatan. Sungguh menawan. Gambarku bercerai-berai dan berhamburan memenuhi dunia
maya hingga menjadi penampilan yang paling viral. Sekali lagi aku tampar kedua
pipiku, apakah aku mimpi? Tentu saja tidak. Telingaku dipenuhi oleh suara bu
Milla dari pengeras suara yang tiada henti mengelu-elukan penampilanku, meski
semua peserta juga ikut disebut dengan mendayu-dayu.
Keterangan:
Persilan, merupakan kegiatan bercocok tanam dengan
menyewa kawasan hutan.
Ngebon, berhutang.
Slempitan, sisa uang yang disimpan disuatu
tempat.
Bangilan,
Agustus 2017.
*Penulis anggota
Komunitas Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda