Panjat Pinang
http://motobikerz.com/archives/6845
Oleh. Rohmat
Sholihin*
Wanita
setengah baya itu terkejut setengah mati. Dadanya terasa sesak, jantungnya
berdegup kencang, dan bibirnya gemetar pucat pasi. Melihat seorang pemuda yang
baru datang dengan berpakaian rapi, kemeja biru muda, bercelana biru tua, bersepatu,
dan membawa tas kecil untuk memasuki rumahnya. Dengan tenang pemuda itu
mengeluarkan buku catatan warna ungu batik dari dalam tas kecilnya.
“Ibu Kastijah,
hari ini ibu harus melunasi pinjaman ibu. 750 ribu plus bunga 12 bulan jadi
totalnya, satu juta tiga ratus ribu.” Bicara pemuda rapi itu.
“Ampun
nak, ibu belum bisa membayar hutang ibu hari ini, bisakah kau kasih kesepatan
beberapa hari lagi, nak.” Orang tua itu berkata pelan dengan gemetar.
“Tidak
bisa, bu. Kalaupun itu bisa bunganya akan bertambah lagi. Gimana, ibu? Ibu mau?”
Jawab anak muda yang berdandan rapi dengan sedikit menggertak.
Ibu setengah baya itu masih diam,
menahan nafas yang masih tersengal-sengal. Ia berfikir dan membayangkan bunga
hutangnya yang kian selangit. Sesekali batuknya tersendat-sendat akibat
penyakit asma yang telah bertahun-tahun ia derita. Ia pun memohon lagi pada
pemuda rapi yang duduk didepannya.
“Tidak
bisakah bunganya dikurangi, nak? Beberapa hari saja?” pinta wanita setengah
baya.
“Tidak
bisa, bu. Bunga tetaplah bunga, jika tidak dibayar bunga itu akan terus
bertambah sesuai dengan perjanjian awal, ibu, atau uang pokoknya saja yang
harus ibu bayar sehingga bunganya tak lagi berkembang” Jawab pemuda rapi itu
dengan ketus.
“Belum
bisa nak, saya hanya minta tambahan beberapa hari saja, nak.” Jawab ibu lagi.
“Aduh,
yang dimarahi atasan itu saya, bu. Bukan ibu, karena ibu telat untuk
melunasinya.” Jawab pemuda rapi dengan sedikit kesal.
“Iya
nak, tapi anakku butuh membayar buku-buku dan keperluan disekolah awal tahun
ajaran baru ini.”
“Bukankah
sekolah sekarang gratis, bu?”
“Tidak
nak, untuk buku-buku pelajaran baru tidak gratis, nak. Harus beli.”
“Kapan
ibu akan melunasinya?”
“Sepuluh
hari lagi, nak.”
“Baiklah
ibu dan tentu saja nanti bunganya bertambah. Pihak kantor akan selalu
menghitungnya.”
“Tidakkah
ada sedikit keringanan, nak?”
“Aku
tidak punya wewenang tentang usulan itu, bu. Maaf. Sampai bertemu sepuluh hari
lagi. Tentu saja, harus sudah lunas.” Pemuda rapi itu kemudian berdiri dan
berlalu.
Ibu itu hanya memandang pemuda
rapi dengan mata nanar. Mengulur waktu hanya akan menambah bunga semakin tinggi
dan mencekik. Namun bagaimana lagi, ia hanya bisa melakukan cara itu, karena
memang tak ada lagi uang untuk digunakan melunasinya. Kebutuhan sekolah anaknya
semakin banyak, membayar buku-buku pelajaran, membayar agustusan, membayar
seragam baru dan masih banyak lagi pengeluaran-pengeluaran lainnya. Sedangkan
jualan sayur-mayur setiap hari uangnya belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu. Kepada rentenir lah, semua permasalahan ia limpahkan.
Namun, permasalahan semakin runyam dan runyam, bunganya terus menumpuk seperti
gunung, membesar siap meletus dan menghancurkan segalanya. Rentenir dimanapun
tempatnya selalu menjadi lintah darat, bukan hanya menghisap tapi juga
melumpuhkan.
“Kenapa
ibu menjadi gemetar?” Tanya anaknya yang baru saja keluar dari kamarnya.
“Itu
nak,….”
“Itu
siapa, bu?”
“Pegawai
koperasi nak. Ibu punya pinjaman yang belum bisa melunasinya.”
“Aku
mendengar percakapan dari dalam kamar, seakan-akan ibu menjadi pihak yang
terjepit. Pemuda itu selalu menjelaskan bunganya akan tambah dan tambah
seakan-akan tidak ada rasa toleran sedikitpun.” Protes anaknya.
“Begitulah
nak kalau pinjam uang dikoperasi, jika molor membayarnya bunganya akan selalu
bertambah dan bertambah bahkan ada banyak kasus orang-orang yang punya banyak
hutang di bank dalam jumlah jutaan dan tidak bisa melunasinya, rumah, tanah,
mobil, perusahaan, sebagai jaminan harus rela untuk disita.” Terang ibu dan
sesekali harus batuk-batuk.
“Lantas
kita akan membayar kapan, Ibu?” Tanya anaknya.
“Belum
tahu, nak. Ibu belum ada uang. Hasil penjualan sayur juga tidak seperti dulu.
Sekarang hampir semua orang sudah pada pinter untuk meniru, jika usaha itu
sedikit jalan orang lain banyak yang meniru. Termasuk menjual hasil tanaman sayur.
Semakin banyak barangnya semakin bersaing harganya tentu saja kualitas barang menjadi
pilihan pembeli.” Terang Ibu.
“Sedangkan
tanah yang kita miliki tak seluas milik mereka, nak. Tanah kita hanya berada
dipekarangan belakang rumah, sempit, hasilnya tidak banyak. Hasil jualnya hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Terang ibu lagi.
Anaknya hanya mematung
mendengarkan ibunya bicara dengan perlahan-lahan sesekali memegangi dadanya
yang masih sesak. Sebentar anaknya menyodorkan gelas yang berisi air.
“Silahkan
minum, ibu. Ibu tidak usah terlalu memikirkannya, pasti akan ada jalan untuk
melunasi pinjaman itu, ibu. Aku khawatir nanti sakitnya ibu tambah parah dan kita
akan menjadi bingung lagi, ibu.” Bicara anaknya.
“Tapi
kita akan membayar kapan, nak? Uangnya belum ada. Kita hanya mengandalkan
menjual sayur tapi itu tidak cukup.”
Anaknya
masih mematung memikirkannya.
“Kita
jual motor tua itu, bu. Motor peninggalan bapak yang masih tersisa.” Usul
anaknya.
Ibunya
masih diam. Tak menjawab usul anaknya. Matanya tertuju pada motor tua GL 100
warna merah didepannya yang menyimpan banyak kenangan ketika pertama kali
dibeli dengan hasil jerih payah suaminya. Suaminya yang bekerja diproyek
bangunan mendapatkan borongan pengecatan beberapa ruang yang hasilnya bisa digunakan
membeli motor sewaktu ibu hamil kamu, nak. Betapa bahagianya ibu dan bapakmu
bisa membeli motor itu. Ibu dibonceng bapakmu berjalan-jalan menyusuri kampung
dan kota. Namun begitu cepatnya waktu berlalu, nak. Ketika bapakmu pulang hanya
tinggal nama sewaktu kembali bekerja dikota. Bapakmu meninggal ditempat kerja karena
jatuh dari lantai sembilan dikawasan proyek Kuningan-Jakarta. Tubuhnya remuk,
nak. Kasihan bapak. pihak perusahaan memberikan uang santunan yang aku belikan
tanah dibelakang rumah yang kita tempati ini. Dan jika ibu memetik sayurnya dan
menjualnya ke pasar hati ibu selalu mengingat bapakmu, nak. Andaikan ia masih
ada ditengah-tengah kita, takkan begini jadinya. Tak terasa air mata menetes
membasahi pipi wanita separuh baya yang sudah berkerut.
“Ibu
menangis, ibu tidak setuju? Tak apa, bu. Aku tahu itu motor penuh kenangan ibu
bersama almarhum bapak. Bagi ibu, motor tua itu adalah jelmaan jiwa raga bapak.
Motor yang tidak pernah protes diajak kemanapun pergi meski orang yang membelinya
telah pergi selamanya.” Bicara anaknya.
“Iya
nak. Ibu masih merasakan getaran hati jika melihat motor tua itu. Seakan-akan
bapakmu masih menyapa dan tersenyum padaku. Hatiku menganggap bahwa bapak masih
berada ditengah-tengah kita.” Jelas ibu.
“Sudahlah
ibu. Pasti ada jalan. Tuhan masih bersama kita.” Anaknya mencoba
menyemangatinya.
Setelah selesai bicara, anaknya
tidak meneruskan pembicaraan itu lagi. Ia tak tega melihat ibunya sedih dan ia lebih
memilih pergi ke belakang dan merenung untuk ikut mencari solusinya, melunasi
hutang-hutang ibu pada rentenir. “Apa aku harus berhenti sekolah dan bekerja? Ah
ibu jelas tidak setuju niatku ini. Ibu telah berkorban banyak untuk membiayaiku
agar aku bisa terus bersekolah.” Tiba-tiba niat itu terlintas dalam pikiranku.
Suara batuk
ibunya diruang depan semakin bertambah parah. Mendengarnya, hati semakin
teriris. Apalagi yang harus bisa diperbuat? Ibunya semakin tua dan rapuh. Tak
mungkin harus terus memikirkan kebutuhan-kebutuhannya. Ia bertambah kalut. Sedangkan
ia tak bisa berbuat apa-apa selain belajar dan sekolah. Mau bekerja jelas tak
bisa. Kecuali bekerja sambilan setelah pulang sekolah, itupun waktunya telah
habis digunakan untuk membantu ibunya dikebun belakang rumah untuk memetik
sayuran dan mengikatnya menjadi berikat-ikat yang siap dijual ke pasar esok
harinya. Ada kerja sambilan, namun tidak setiap hari ia lakukan. Memetik buah
kelapa milik H. Munir yang punya beberapa pohon kelapa dikebunnya. Dan juga
pohon-pohon kelapa milik warga lainnya. Hasilnya sangat lumayan bisa digunakan
untuk membeli segala keperluan sekolah. Ia memang terkenal paling mahir dalam
memanjat pohon kelapa. Apakah ini memang sudah faktor keturunan?, karena
bapaknya dulu adalah pemanjat pohon kelapa yang paling tersohor. Nyalinya
sungguh kuat diketinggian dan skillnya sangat jempolan. Bahkan bapaknya mati
terjatuh dari lantai sembilan waktu mengerjai apartemen gedung pencakar langit
bukan karena tiada sebab. Desas-desus berkembang bahwa tali pengamannya sengaja
diputus oleh seseorang sahabat yang telah mengkhiantinya karena rasa iri.
Namun, ibu tidak mau menuduh siapa pelakunya. Ibu hanya menyerahkan semua
kepada Tuhan. Ibu menerima kalau musibah itu adalah murni kecelakaan bukan
karena akibat ulah seseorang. Meski disisi lain ibu terkadang punya niat untuk
menguaknya namun apalah daya kemampuan seorang perempuan rumah tangga yang
hanya bisa mengurusi urusan dapur dan sumur takkan punya kemampuan untuk
berbuat lebih. Bukti-bukti itupun juga belum seratus persen benar.masih harus
dibuktikan oleh beberapa saksi. Ibu tak tahu dan tidak kenal siapa
saksi-saksinya, dan akankah mereka bersedia atau tidak untuk menjadi saksi
sedangkan bosnya hanya diam dan tak pernah memberikan solusi akan
langkah-langkah itu. Ibu sudah pasrah dan menerima musibah itu. Ibunya hanya bisa
menarik nafas panjang setiap kali ia akan berangkat untuk memetik buah kelapa.
Dua hari
setelah itu.
Ia memutuskan
untuk mengikuti lomba panjat pinang dikecamatan yang setiap tahun diadakan pada
bulan Agustus dalam rangka memperingati ulang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia. Hadiahnya lumayan, beberapa juta telah dipersiapkan oleh panitia
kecamatan. Setidaknya dalam hatinya mampu meraih hadiahnya. Dan dalam
pikirannya hanya ada satu kata, melunasi hutang-hutang pada rentenir itu.
Setiap hari bunganya selalu meraung-raung, mencekik segala kebutuhan hidup,
menumpuk-numpuk menjadi lahar yang mematikan. “Aku harus bisa merebut
hadiahnya. Dan hutang-hutang ibu akan aku lunasi.” Tekad bajanya. Namun, niat
itu masih tersendat-sendat oleh keraguannya sendiri, bayangan dikepalanya
tergambar jelas wajah ibunya. Kenapa? Ia dari dulu selalu punya keinginan untuk
ikut kompetisi panjat pinang tapi trauma ibunya akan bapaknya yang telah runtuh
terjatuh. Ia selalu mengurungkan niatnya itu. Dan baru kali ini ia akan tampil
beserta dengan timnya. Diam-diam ia harus mewujudkannya.
Siang, terik
matahari semakin panas bersinar. Namun tidak menyurutkan orang-orang untuk berduyun-duyun
mendatangi lomba panjat pinang di halaman pasar kecamatan. Tua, muda,
anak-anak, laki-laki, perempuan, semua pada ikut menyaksikan hiburan yang telah
menjadi tradisi tahunan ini. Pohon pinang yang telah tegap kokoh berdiri
menjadi saksi bisu oleh sejarah peradaban manusia. Setiap tahun selalu saja ada
yang menjadi pemecah rekor. Menggapai pucuknya dengan cepat dan selamat. Dan mengambil
beberapa hadiah yang telah ditata rapi dipucuknya. Ada radio, tape recorder,
vcd player, baju taqwa, kaos oblong, sarung, handphone, rokok berapa tang,
bahkan ada amplop berisi uang jutaan. Tapi jangan tanya kesulitannya untuk bisa
meraih puncaknya, diperlukan perjuangan dan kekompakan tim yang solid serta
fisik yang prima dan skill memanjat yang handal untuk bisa mencapai pohon
pinang yang telah dihaluskan kulit luarnya dan diolesi oli stempet hingga
berwarna cokelat kehitam-hitaman. Lalat saja enggan mendekat, tentu saja akan
terpeleset. Cecak, tokek yang punya perekat dibantalan kakinya dijamin takkan
sanggup merayapnya. Namun, dengan kesabaran, keuletan, kerja keras, fisik yang
prima dan skill yang mumpuni, pohon pinang itupun dapat ia taklukan bersama
dengan timnya. Tak lebih dari durasi waktu satu jam lebih sedikit. Rekorpun terpecahkan.
Sepuluh hari
berlalu dengan hati yang berdegup kencang. Ibu itu semakin sedih dan khawatir. Tentu
saja anaknya tahu, apa yang telah dirasakan oleh ibunya?. Ia lalu mendekati
ibunya dan berkata dengan pelan.
“Ibu, maafkan
aku, aku telah melunasi hutang ibu kemarin siang sewaktu aku pulang dari
sekolah. Hutang ibu semuanya satu juta tiga ratus ribu rupiah. Maafkan aku ibu,
aku tidak sempat beritahu ibu.” Ucapnya pelan didepan ibunya yang telah duduk
diruang tamu dengan perasaan yang cemas.
“Jadi…..”
“Iya ibu.”
“Uang darimana,
nak?”
Ia belum bisa
jawab dengan pasti masih ada keraguan dalam hatinya.
“Nak,
jujurlah.”
“Panjat
pinang, ibu.”
“Apa, nak?”
“Panjat
pinang, ibu.”
Tak ada
kemarahan yang terpancar dari raut muka ibunya, hanya terkejut tak percaya dan rasa
haru. Kemudian tubuh renta dengan terbatuk-batuk memeluk anak kebanggannya itu.
“Kau anak yang
baik, kau adalah titisan bapakmu yang telah Tuhan titipkan pada ibu.”
Bangilan, 29 Agustus 2017.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda