Senin, 28 Agustus 2017

Panjat Pinang

http://motobikerz.com/archives/6845

Oleh. Rohmat Sholihin*
Wanita setengah baya itu terkejut setengah mati. Dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup kencang, dan bibirnya gemetar pucat pasi. Melihat seorang pemuda yang baru datang dengan berpakaian rapi, kemeja biru muda, bercelana biru tua, bersepatu, dan membawa tas kecil untuk memasuki rumahnya. Dengan tenang pemuda itu mengeluarkan buku catatan warna ungu batik dari dalam tas kecilnya.
“Ibu Kastijah, hari ini ibu harus melunasi pinjaman ibu. 750 ribu plus bunga 12 bulan jadi totalnya, satu juta tiga ratus ribu.” Bicara pemuda rapi itu.
            “Ampun nak, ibu belum bisa membayar hutang ibu hari ini, bisakah kau kasih kesepatan beberapa hari lagi, nak.” Orang tua itu berkata pelan dengan gemetar.
            “Tidak bisa, bu. Kalaupun itu bisa bunganya akan bertambah lagi. Gimana, ibu? Ibu mau?” Jawab anak muda yang berdandan rapi dengan sedikit menggertak.
Ibu setengah baya itu masih diam, menahan nafas yang masih tersengal-sengal. Ia berfikir dan membayangkan bunga hutangnya yang kian selangit. Sesekali batuknya tersendat-sendat akibat penyakit asma yang telah bertahun-tahun ia derita. Ia pun memohon lagi pada pemuda rapi yang duduk didepannya.
            “Tidak bisakah bunganya dikurangi, nak? Beberapa hari saja?” pinta wanita setengah baya.
            “Tidak bisa, bu. Bunga tetaplah bunga, jika tidak dibayar bunga itu akan terus bertambah sesuai dengan perjanjian awal, ibu, atau uang pokoknya saja yang harus ibu bayar sehingga bunganya tak lagi berkembang” Jawab pemuda rapi itu dengan ketus.
            “Belum bisa nak, saya hanya minta tambahan beberapa hari saja, nak.” Jawab ibu lagi.
            “Aduh, yang dimarahi atasan itu saya, bu. Bukan ibu, karena ibu telat untuk melunasinya.” Jawab pemuda rapi dengan sedikit kesal.
            “Iya nak, tapi anakku butuh membayar buku-buku dan keperluan disekolah awal tahun ajaran baru ini.”
            “Bukankah sekolah sekarang gratis, bu?”
            “Tidak nak, untuk buku-buku pelajaran baru tidak gratis, nak. Harus beli.”
            “Kapan ibu akan melunasinya?”
            “Sepuluh hari lagi, nak.”
            “Baiklah ibu dan tentu saja nanti bunganya bertambah. Pihak kantor akan selalu menghitungnya.”
            “Tidakkah ada sedikit keringanan, nak?”
            “Aku tidak punya wewenang tentang usulan itu, bu. Maaf. Sampai bertemu sepuluh hari lagi. Tentu saja, harus sudah lunas.” Pemuda rapi itu kemudian berdiri dan berlalu.
Ibu itu hanya memandang pemuda rapi dengan mata nanar. Mengulur waktu hanya akan menambah bunga semakin tinggi dan mencekik. Namun bagaimana lagi, ia hanya bisa melakukan cara itu, karena memang tak ada lagi uang untuk digunakan melunasinya. Kebutuhan sekolah anaknya semakin banyak, membayar buku-buku pelajaran, membayar agustusan, membayar seragam baru dan masih banyak lagi pengeluaran-pengeluaran lainnya. Sedangkan jualan sayur-mayur setiap hari uangnya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Kepada rentenir lah, semua permasalahan ia limpahkan. Namun, permasalahan semakin runyam dan runyam, bunganya terus menumpuk seperti gunung, membesar siap meletus dan menghancurkan segalanya. Rentenir dimanapun tempatnya selalu menjadi lintah darat, bukan hanya menghisap tapi juga melumpuhkan.
            “Kenapa ibu menjadi gemetar?” Tanya anaknya yang baru saja keluar dari kamarnya.
            “Itu nak,….”
            “Itu siapa, bu?”
            “Pegawai koperasi nak. Ibu punya pinjaman yang belum bisa melunasinya.”
            “Aku mendengar percakapan dari dalam kamar, seakan-akan ibu menjadi pihak yang terjepit. Pemuda itu selalu menjelaskan bunganya akan tambah dan tambah seakan-akan tidak ada rasa toleran sedikitpun.” Protes anaknya.
            “Begitulah nak kalau pinjam uang dikoperasi, jika molor membayarnya bunganya akan selalu bertambah dan bertambah bahkan ada banyak kasus orang-orang yang punya banyak hutang di bank dalam jumlah jutaan dan tidak bisa melunasinya, rumah, tanah, mobil, perusahaan, sebagai jaminan harus rela untuk disita.” Terang ibu dan sesekali harus batuk-batuk.
            “Lantas kita akan membayar kapan, Ibu?” Tanya anaknya.
            “Belum tahu, nak. Ibu belum ada uang. Hasil penjualan sayur juga tidak seperti dulu. Sekarang hampir semua orang sudah pada pinter untuk meniru, jika usaha itu sedikit jalan orang lain banyak yang meniru. Termasuk menjual hasil tanaman sayur. Semakin banyak barangnya semakin bersaing harganya tentu saja kualitas barang menjadi pilihan pembeli.” Terang Ibu.
            “Sedangkan tanah yang kita miliki tak seluas milik mereka, nak. Tanah kita hanya berada dipekarangan belakang rumah, sempit, hasilnya tidak banyak. Hasil jualnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Terang ibu lagi.
Anaknya hanya mematung mendengarkan ibunya bicara dengan perlahan-lahan sesekali memegangi dadanya yang masih sesak. Sebentar anaknya menyodorkan gelas yang berisi air.
            “Silahkan minum, ibu. Ibu tidak usah terlalu memikirkannya, pasti akan ada jalan untuk melunasi pinjaman itu, ibu. Aku khawatir nanti sakitnya ibu tambah parah dan kita akan menjadi bingung lagi, ibu.” Bicara anaknya.
            “Tapi kita akan membayar kapan, nak? Uangnya belum ada. Kita hanya mengandalkan menjual sayur tapi itu tidak cukup.”
            Anaknya masih mematung memikirkannya.
            “Kita jual motor tua itu, bu. Motor peninggalan bapak yang masih tersisa.” Usul anaknya.
            Ibunya masih diam. Tak menjawab usul anaknya. Matanya tertuju pada motor tua GL 100 warna merah didepannya yang menyimpan banyak kenangan ketika pertama kali dibeli dengan hasil jerih payah suaminya. Suaminya yang bekerja diproyek bangunan mendapatkan borongan pengecatan beberapa ruang yang hasilnya bisa digunakan membeli motor sewaktu ibu hamil kamu, nak. Betapa bahagianya ibu dan bapakmu bisa membeli motor itu. Ibu dibonceng bapakmu berjalan-jalan menyusuri kampung dan kota. Namun begitu cepatnya waktu berlalu, nak. Ketika bapakmu pulang hanya tinggal nama sewaktu kembali bekerja dikota. Bapakmu meninggal ditempat kerja karena jatuh dari lantai sembilan dikawasan proyek Kuningan-Jakarta. Tubuhnya remuk, nak. Kasihan bapak. pihak perusahaan memberikan uang santunan yang aku belikan tanah dibelakang rumah yang kita tempati ini. Dan jika ibu memetik sayurnya dan menjualnya ke pasar hati ibu selalu mengingat bapakmu, nak. Andaikan ia masih ada ditengah-tengah kita, takkan begini jadinya. Tak terasa air mata menetes membasahi pipi wanita separuh baya yang sudah berkerut.
            “Ibu menangis, ibu tidak setuju? Tak apa, bu. Aku tahu itu motor penuh kenangan ibu bersama almarhum bapak. Bagi ibu, motor tua itu adalah jelmaan jiwa raga bapak. Motor yang tidak pernah protes diajak kemanapun pergi meski orang yang membelinya telah pergi selamanya.” Bicara anaknya.
            “Iya nak. Ibu masih merasakan getaran hati jika melihat motor tua itu. Seakan-akan bapakmu masih menyapa dan tersenyum padaku. Hatiku menganggap bahwa bapak masih berada ditengah-tengah kita.” Jelas ibu.
            “Sudahlah ibu. Pasti ada jalan. Tuhan masih bersama kita.” Anaknya mencoba menyemangatinya.
Setelah selesai bicara, anaknya tidak meneruskan pembicaraan itu lagi. Ia tak tega melihat ibunya sedih dan ia lebih memilih pergi ke belakang dan merenung untuk ikut mencari solusinya, melunasi hutang-hutang ibu pada rentenir. “Apa aku harus berhenti sekolah dan bekerja? Ah ibu jelas tidak setuju niatku ini. Ibu telah berkorban banyak untuk membiayaiku agar aku bisa terus bersekolah.” Tiba-tiba niat itu terlintas dalam pikiranku.
Suara batuk ibunya diruang depan semakin bertambah parah. Mendengarnya, hati semakin teriris. Apalagi yang harus bisa diperbuat? Ibunya semakin tua dan rapuh. Tak mungkin harus terus memikirkan kebutuhan-kebutuhannya. Ia bertambah kalut. Sedangkan ia tak bisa berbuat apa-apa selain belajar dan sekolah. Mau bekerja jelas tak bisa. Kecuali bekerja sambilan setelah pulang sekolah, itupun waktunya telah habis digunakan untuk membantu ibunya dikebun belakang rumah untuk memetik sayuran dan mengikatnya menjadi berikat-ikat yang siap dijual ke pasar esok harinya. Ada kerja sambilan, namun tidak setiap hari ia lakukan. Memetik buah kelapa milik H. Munir yang punya beberapa pohon kelapa dikebunnya. Dan juga pohon-pohon kelapa milik warga lainnya. Hasilnya sangat lumayan bisa digunakan untuk membeli segala keperluan sekolah. Ia memang terkenal paling mahir dalam memanjat pohon kelapa. Apakah ini memang sudah faktor keturunan?, karena bapaknya dulu adalah pemanjat pohon kelapa yang paling tersohor. Nyalinya sungguh kuat diketinggian dan skillnya sangat jempolan. Bahkan bapaknya mati terjatuh dari lantai sembilan waktu mengerjai apartemen gedung pencakar langit bukan karena tiada sebab. Desas-desus berkembang bahwa tali pengamannya sengaja diputus oleh seseorang sahabat yang telah mengkhiantinya karena rasa iri. Namun, ibu tidak mau menuduh siapa pelakunya. Ibu hanya menyerahkan semua kepada Tuhan. Ibu menerima kalau musibah itu adalah murni kecelakaan bukan karena akibat ulah seseorang. Meski disisi lain ibu terkadang punya niat untuk menguaknya namun apalah daya kemampuan seorang perempuan rumah tangga yang hanya bisa mengurusi urusan dapur dan sumur takkan punya kemampuan untuk berbuat lebih. Bukti-bukti itupun juga belum seratus persen benar.masih harus dibuktikan oleh beberapa saksi. Ibu tak tahu dan tidak kenal siapa saksi-saksinya, dan akankah mereka bersedia atau tidak untuk menjadi saksi sedangkan bosnya hanya diam dan tak pernah memberikan solusi akan langkah-langkah itu. Ibu sudah pasrah dan menerima musibah itu. Ibunya hanya bisa menarik nafas panjang setiap kali ia akan berangkat untuk memetik buah kelapa.
Dua hari setelah itu.
Ia memutuskan untuk mengikuti lomba panjat pinang dikecamatan yang setiap tahun diadakan pada bulan Agustus dalam rangka memperingati ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Hadiahnya lumayan, beberapa juta telah dipersiapkan oleh panitia kecamatan. Setidaknya dalam hatinya mampu meraih hadiahnya. Dan dalam pikirannya hanya ada satu kata, melunasi hutang-hutang pada rentenir itu. Setiap hari bunganya selalu meraung-raung, mencekik segala kebutuhan hidup, menumpuk-numpuk menjadi lahar yang mematikan. “Aku harus bisa merebut hadiahnya. Dan hutang-hutang ibu akan aku lunasi.” Tekad bajanya. Namun, niat itu masih tersendat-sendat oleh keraguannya sendiri, bayangan dikepalanya tergambar jelas wajah ibunya. Kenapa? Ia dari dulu selalu punya keinginan untuk ikut kompetisi panjat pinang tapi trauma ibunya akan bapaknya yang telah runtuh terjatuh. Ia selalu mengurungkan niatnya itu. Dan baru kali ini ia akan tampil beserta dengan timnya. Diam-diam ia harus mewujudkannya.
Siang, terik matahari semakin panas bersinar. Namun tidak menyurutkan orang-orang untuk berduyun-duyun mendatangi lomba panjat pinang di halaman pasar kecamatan. Tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, semua pada ikut menyaksikan hiburan yang telah menjadi tradisi tahunan ini. Pohon pinang yang telah tegap kokoh berdiri menjadi saksi bisu oleh sejarah peradaban manusia. Setiap tahun selalu saja ada yang menjadi pemecah rekor. Menggapai pucuknya dengan cepat dan selamat. Dan mengambil beberapa hadiah yang telah ditata rapi dipucuknya. Ada radio, tape recorder, vcd player, baju taqwa, kaos oblong, sarung, handphone, rokok berapa tang, bahkan ada amplop berisi uang jutaan. Tapi jangan tanya kesulitannya untuk bisa meraih puncaknya, diperlukan perjuangan dan kekompakan tim yang solid serta fisik yang prima dan skill memanjat yang handal untuk bisa mencapai pohon pinang yang telah dihaluskan kulit luarnya dan diolesi oli stempet hingga berwarna cokelat kehitam-hitaman. Lalat saja enggan mendekat, tentu saja akan terpeleset. Cecak, tokek yang punya perekat dibantalan kakinya dijamin takkan sanggup merayapnya. Namun, dengan kesabaran, keuletan, kerja keras, fisik yang prima dan skill yang mumpuni, pohon pinang itupun dapat ia taklukan bersama dengan timnya. Tak lebih dari durasi waktu satu jam lebih sedikit. Rekorpun terpecahkan.
Sepuluh hari berlalu dengan hati yang berdegup kencang. Ibu itu semakin sedih dan khawatir. Tentu saja anaknya tahu, apa yang telah dirasakan oleh ibunya?. Ia lalu mendekati ibunya dan berkata dengan pelan.
“Ibu, maafkan aku, aku telah melunasi hutang ibu kemarin siang sewaktu aku pulang dari sekolah. Hutang ibu semuanya satu juta tiga ratus ribu rupiah. Maafkan aku ibu, aku tidak sempat beritahu ibu.” Ucapnya pelan didepan ibunya yang telah duduk diruang tamu dengan perasaan yang cemas.
“Jadi…..”
“Iya ibu.”
“Uang darimana, nak?”
Ia belum bisa jawab dengan pasti masih ada keraguan dalam hatinya.
“Nak, jujurlah.”
“Panjat pinang, ibu.”
“Apa, nak?”
“Panjat pinang, ibu.”
Tak ada kemarahan yang terpancar dari raut muka ibunya, hanya terkejut tak percaya dan rasa haru. Kemudian tubuh renta dengan terbatuk-batuk memeluk anak kebanggannya itu.
“Kau anak yang baik, kau adalah titisan bapakmu yang telah Tuhan titipkan pada ibu.”

Bangilan, 29 Agustus 2017.

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.



           
           
           

           

            

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda