Nisan Merah
https://lakonhidup.com/2016/10/09/kisah-ganjil-seorang-penggali-kubur/
Oleh. Rohmat
Sholihin*
Suatu malam pekat. Ayah bercerita padaku diberanda rumah.
Tiada bulan, tiada bintang, hanya angin malam berhembus lirih menerpa rambut
ayah yang beruban. Putihnya berkilau menghias malam. Hanya gigi Ayah yang tak
lagi genap menari-nari, sibuk berbicara tentang kuburan pojok kampung dekat
pohon-pohon bambu. Kuburan orang yang tak dikenal dan sudah ada lama ketika
kampung ini didirikan oleh Ki Demang Joyo. Kuburan itu agak aneh dan berbeda
dengan kuburan lainnya. Pertama, panjangnya kuburan itu diatas rata-rata
kuburan normal, hampir ada dua meter lebih. Jika dipikir-pikir apa benar jasad
yang ada dalam gundukan tanah itu mempunyai ukuran ketinggian yang begitu
panjangnya. Jika itu memang nyata aku tak bisa membayangkan manusia dengan
ketinggian lebih dari dua meter. pemain basket seperti Michael Jordan, Hakim
Olajuwon saja ketika bermain basket terlihat begitu mengerikan, manusia dengan
ketinggian yang super, berlari-lari, kesana-kemari, seperti raksasa. Benar-benar
manusia luar biasa. Apalagi jika melakukan aksi slum dunk, wow fantastis.
Kedua, nisannya terbuat dari batu yang berwarna merah. Mengesankan. Memang. Jika
malam remang-remang dengan pencahayaan lampu bohlam lima watt, nisan itu
menyala-nyala seakan membakar apa yang ada disekitarnya.
Dan banyak cerita, siapa sebenarnya tokoh dalam kuburan
yang bernisan merah itu tak ada yang pasti. Semua orang selalu bercerita dengan
berbeda-beda, tak ada suatu cerita yang nyata berdasarkan sejarah dengan
bukti-bukti otentik. Hingga yang aku simpulkan sendiri dalam pikiranku menjadi
membingungkan. Sulit menarik kesimpulan dari banyak cerita yang berbeda. Namun
semua aku anggap benar, termasuk cerita dari Ayahku sendiri.
“Ada yang mengatakan jika ia adalah pendatang dari tanah
Persia, namanya Syekh Reis. Lengkapnya juga tak jelas. Namun juga belum benar
seutuhnya karena tak ada bukti-bukti yang jelas seperti tulisan arab, baik
tahun kematian atau juga nama pada nisannya. Hanya diceritakan jika ia adalah
tokoh yang ahli dalam kelautan Islam.” Jelas Ayah.
“Apa karena nisannya yang merah dan tidak ada penanda
aksara arab hanya karena orang-orang pribumi waktu itu belum bisa menulis arab,
Ayah.” Jawabku sekenanya.
“Bisa juga. Bahkan ada yang mengatakan bahwa itu bukan
kuburan hanya senjata-senjata milik Jepang yang sengaja dikubur agar tidak
dirampas oleh tentara sekutu dalam Perang Dunia kedua.” Kali ini Ayah
menjelaskan dengan paras yang tetap tenang.
“Apa pernah ada yang tahu?” Tanyaku.
Ayah hanya menggeleng pelan. Bahwa ia benar-benar tak
tahu.
“Hanya desas-desus, Nak. Namun cerita dari Mbah Wage,
bahwa dulu ia juga ikut mengangkut ratusan senapan, granat, bayonet, samurai,
revolver, dalam peti-peti yang telah dikemas secara rapi. Diangkut dalam truk
dan dibawa ke suatu tempat dengan pengawalan tentara Dai Nipon secara ketat.
Sepertinya sebuah gua dengan gundukan tanah menyerupai bukit namun tidak begitu
tinggi, terkesan samar tak kelihatan dari beberapa pandangan meski akan sangat
terlihat jika kita mendekat. Beberapa orang menurunkan peti-peti yang berisi
senjata itu untuk dimasukkan ke dalam gua, ternyata di dalam gua sudah ada
pasukan Dai Nipon dengan senjata lengkap yang ikut mengawal mereka. Mbah Wage
merasakan ada getaran jahat dari mereka. Hampir semua pekerja itu ditembaki
oleh tentara Dai Nipon untuk dibinasakan dengan dalih menghilangkan jejak. Mbah
Wage roboh namun tak satupun senjata mengeninya, hanya cipratan darah dari
pekerja-pekerja yang mengenai tubuhnya. Dikira ia juga sudah ikut mati.”
“Tepatnya di gua mana, Ayah?” Aku semakin penasaran.
“Kamu tahu bukit Tanggung? Lokasinya ada disekitar tempat
itu.” Tangan Ayah sambil menunjuk arah ke utara meskipun jaraknya sekitar lima
belas kilo meter dari tempat ini.
“Aku belum pernah dan tidak tahu gua itu, Ayah. Lantas
apa hubungannya dengan nisan merah, Ayah?” Tanyaku dengan sedikit bingung, apa
benar senjata-senjata milik Jepang telah dikubur di nisan merah. Sepertinya
tidak ada hubungannya sama sekali.
“Pengangkut senjata-senjata itu dibagi menjadi dua bagian,
yang satu untuk berangkat ke gua Tanggung, dan yang satunya dikuburan pojok
kampung itu. Senjata-senjata itu bisa dijangkau untuk digunakan ketika keadaan
genting. Itupun juga masih belum benar ceritanya.” Ayah pun sedikit ragu untuk
mengatakannya.
“Apa tidak dibongkar saja, Ayah?”
“Tak ada yang berani, Nak. Pernah seluruh pamong desa dan
tokoh-tokoh masyarakat akan melakukan itu namun anehnya ketika pembongkaran
akan dimulai, tiba-tiba hujan turun begitu lebatnya, angin mendesing-desing
seperti hantu, langit gelap, petir menyambar berkali-kali bahkan ada yang
mengenai seorang warga, bergelimpangan seketika meski bisa diselamatkan, dan
bisa selamat hingga kini, itu Mbah Mat Petir dengan sebutan petir menandakan
bahwa ia pernah diserempet petir. Orang menjerit-jerit dan lari tunggang
langgang. Pembongkaranpun dihentikan seketika. Dan tempat itupun banjir.
Tergenang air.”
“Apa Mbah Wage bisa keluar dari gua itu, Ayah?”
“Iya. Ia selamat namun beberapa tahun ia menghilang tidak
langsung kembali ke rumahnya. Takutnya ditangkap lagi Jepang lalu dieksekusi.
Ia memilih pulang setelah Jepang kalah dengan sekutu dan kembali ke negaranya
lagi. Ia pun didesak oleh beberapa orang untuk membantu mengambil harta karun
di gua itu. Ia tak berani karena ia mempercayai bahwa harta karun yang telah
lama mengendap disuatu tempat pasti dijaga oleh para lelembut. Dan Mbah Wage
sedikit ketakutan tentang itu.”
“Jika ia bersedia menjadi petunjuk jalan, lumayan
harta-harta itu bisa diberikan pada negara sebagai kekayaan kebudayaan dan bisa
menjadi koleksi barang-barang museum. Juga bisa sebagai bahan penelitian
tentang peninggalan bersejarah.”
“Tak bisa begitu, Nak. Antek-antek Amerika sebagai wakil
sekutu akan memperkarakannya. Lebih baik biarkan saja.”
“Kita kan sudah menjadi negara merdeka, Ayah. Negara
besar ini bebas menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan negara lain. Titik,
dan itu tak bisa diganggu gugat.” Jawabku ngeyel.
“Itu hanya teori Nak. Negara kita belum bisa berdiri
sendiri dan mandiri. Hutang-hutang masih selangit, barang-barang masih impor,
dan kebijakan-kebijakan masih disetir dengan negara lain.” Jelas Ayah sambil
senyum sinis.
“Bahkan nisan merah yang ada dipojok kampung kita masih
terawat hingga kini. Entah siapa yang ada dalamnya dan yang jelas masyarakat
kita mengeramatkannya. Setiap tahun selalu ada perayaan, pentas wayang kulit
semalam suntuk, dan pengajian.”
“Itu baru-baru saja, Nak. Dulu tak ada ritual semacam
itu. Yang ada sindir dan bermain judi dua hari dua malam. Ada judi dadu, dan glundungan. Glundungan itu judi yang
menggunakan media bola kecil dan lapangan yang terbuat dari kayu dengan luas
kurang lebih satu meter dan diplitur halus di kasih nomor satu sampai dua belas
yang diacak dan bola kecil digulirkan hingga dinomor mana bola itu akan
berhenti dan itulah yang beruntung, yang ikut nombok tinggal melemparkan uang
dinomor yang telah disediakan pada kain yang ditulisi nomor satu sampai dua
belas.” Kemudian Ayah diam sejenak lantas diteruskannya lagi.
“Orang-orang berteriak rame sekali. Asyik tak ketulungan
sampai pagi, yang kalah juga menderita karena jutaan rupiah harus raib dari
dompetnya sedangkan yang menang senang tak tertahankan. Yang ikut bukan hanya
masyarakat dari sekitar sini saja, Nak, orang-orang kampung lain juga
berduyun-duyun ikut datang dan bermain judi sampai pagi. namun jika bandarnya
kalah ya langsung kukut.”
“Iya, Ayah dimanapun judi selalu mengundang banyak orang
untuk datang dan ikut bermain. Kalah menang tak jadi soal, itu hanya masalah
keberuntungan namun jika hati telah panas, terbawa emosi tak jarang mereka harus
berakhir dengan pertengkaran dan saling membunuh.” Tambahku.
“Aku ingat ketika sebuah kota dibangun dengan uang lotre
mampu berkembang dengan begitu pesatnya. Lihatlah kota-kota judi dunia hampir
mereka selalu memberikan pelayanan seperti disurga, mengundang banyak pendatang
untuk singgah dan menghambur-hamburkan modalnya untuk berjudi. Borgata Hotel Casino
& Spa (Atlantic City), Casino Lisboa (Lisbon Portugal), MGM Grand Las Vegas
(Las Vegas USA), Sands Macau (Macau China), MGM Grand Macau (Macau, China),
Tusk Rio Casino Resort (Klerksdrop, Afrika Selatan), Casino Macau (Macau,
China), dan masih banyak lagi kota-kota yang maju pesat dengan modal uang judi,
namun ditambah lagi dengan pelengkap yaitu pelacuran.” Bicara Ayah
menyala-nyala.
“Di negeri ini juga pernah memperbolehkan dana lotre yang
dananya digunakan untuk memajukan dunia olahraga namun tak bisa bertahan lama,
sumbangan dana sosial berhadiah. Yang mendapatkan kecaman dari para tokoh-tokoh
agama. Akhirnya dibubarkan.”
“Lebih baik memang begitu, Nak. Negara tidak mengajarkan
masyarakatnya untuk berjudi. Meski ini juga masih hanya sebatas teori. Buktinya
masih banyak perjudian-perjudian yang terselubung dibalik dinding undang-undang.
Perjudian itu sudah ada dan berkembang sejak masa lampau sebelum negeri ini
berdiri. Sulit untuk menghilangkannya. Meski Raja Dangdut Rhoma Irama
menyanyikan efek lagu Judi masih saja
tak bisa membuat masyarakat jera.”
“Heran…”
“Kenapa?”
“Itulah dunia, Nak. Antara hitam dan putih selalu
berjalan bersamaan, saling melengkapi dan saling memberikan nilai masing-masing,
tergantung bagaimana kita saja yang harus pandai menilainya.” Ayah menghela
nafas dengan perlahan serasa ia puas dengan semua keterangan yang telah
disampaikan padaku. Aku hanya memperhatikan cerita Ayah, aku tak tahu jasad
yang ada pada nisan merah itu siapa? Yang jelas sampai hari ini masyarakat
sekitar telah mengkeramatkan tempat itu. Aku hanya ikut meramaikan jika haul
nisan merah itu tiba. Banyak orang menyebutnya Mbah Merah sesuai dengan warna
nisannya. Bahkan selentingan lagi yang beredar dengan desas-desus entah dari
siapa, nisan merah itu adalah kuburan orang Belanda yang pertama kali
menyebarkan faham merah di negeri ini yang identik dengan komunis. “Ini yang
lebih gila, bukannya Mr. Snevliet mati di negaranya sendiri? Kenapa dibawa-bawa
sampai disini? Keterlaluan. Bisa-bisa nya sejarah dibuat putar balik. Dan
itupun masih saja ada yang mau percaya, ini lebih bodoh lagi.” Batinku
menanggapi isu yang tak masuk akal. Kabar tentang siapa jasad yang ada pada
nisan merah sampai sekarang juga belum terkuak atau jangan-jangan memang
sengaja dibuat seperti itu. Tak jelas dan buram. “Ah bisa saja aku mengatakan
kalau itu makam Syekh Siti Jenar sedikit masuk akal, bukannya Syekh Siti Jenar
terkenal dengan sebutan Syekh Lemah Abang atau merah. Siapa tahu, kan sama-sama
tak tahu, edan.” Akupun menyeruput kopiku lantas mengambil sebatang rokok dan
aku sulut sedangkan asapnya aku hembuskan kuat-kuat ke udara.
Bangilan, 6 Oktober 2017.
*Penulis aktif di Komunitas
Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda