Jumat, 06 Oktober 2017

Nisan Merah


https://lakonhidup.com/2016/10/09/kisah-ganjil-seorang-penggali-kubur/

Oleh. Rohmat Sholihin*

            Suatu malam pekat. Ayah bercerita padaku diberanda rumah. Tiada bulan, tiada bintang, hanya angin malam berhembus lirih menerpa rambut ayah yang beruban. Putihnya berkilau menghias malam. Hanya gigi Ayah yang tak lagi genap menari-nari, sibuk berbicara tentang kuburan pojok kampung dekat pohon-pohon bambu. Kuburan orang yang tak dikenal dan sudah ada lama ketika kampung ini didirikan oleh Ki Demang Joyo. Kuburan itu agak aneh dan berbeda dengan kuburan lainnya. Pertama, panjangnya kuburan itu diatas rata-rata kuburan normal, hampir ada dua meter lebih. Jika dipikir-pikir apa benar jasad yang ada dalam gundukan tanah itu mempunyai ukuran ketinggian yang begitu panjangnya. Jika itu memang nyata aku tak bisa membayangkan manusia dengan ketinggian lebih dari dua meter. pemain basket seperti Michael Jordan, Hakim Olajuwon saja ketika bermain basket terlihat begitu mengerikan, manusia dengan ketinggian yang super, berlari-lari, kesana-kemari, seperti raksasa. Benar-benar manusia luar biasa. Apalagi jika melakukan aksi slum dunk, wow fantastis. Kedua, nisannya terbuat dari batu yang berwarna merah. Mengesankan. Memang. Jika malam remang-remang dengan pencahayaan lampu bohlam lima watt, nisan itu menyala-nyala seakan membakar apa yang ada disekitarnya.
            Dan banyak cerita, siapa sebenarnya tokoh dalam kuburan yang bernisan merah itu tak ada yang pasti. Semua orang selalu bercerita dengan berbeda-beda, tak ada suatu cerita yang nyata berdasarkan sejarah dengan bukti-bukti otentik. Hingga yang aku simpulkan sendiri dalam pikiranku menjadi membingungkan. Sulit menarik kesimpulan dari banyak cerita yang berbeda. Namun semua aku anggap benar, termasuk cerita dari Ayahku sendiri.
            “Ada yang mengatakan jika ia adalah pendatang dari tanah Persia, namanya Syekh Reis. Lengkapnya juga tak jelas. Namun juga belum benar seutuhnya karena tak ada bukti-bukti yang jelas seperti tulisan arab, baik tahun kematian atau juga nama pada nisannya. Hanya diceritakan jika ia adalah tokoh yang ahli dalam kelautan Islam.” Jelas Ayah.
            “Apa karena nisannya yang merah dan tidak ada penanda aksara arab hanya karena orang-orang pribumi waktu itu belum bisa menulis arab, Ayah.” Jawabku sekenanya.
            “Bisa juga. Bahkan ada yang mengatakan bahwa itu bukan kuburan hanya senjata-senjata milik Jepang yang sengaja dikubur agar tidak dirampas oleh tentara sekutu dalam Perang Dunia kedua.” Kali ini Ayah menjelaskan dengan paras yang tetap tenang.
            “Apa pernah ada yang tahu?” Tanyaku.
            Ayah hanya menggeleng pelan. Bahwa ia benar-benar tak tahu.
            “Hanya desas-desus, Nak. Namun cerita dari Mbah Wage, bahwa dulu ia juga ikut mengangkut ratusan senapan, granat, bayonet, samurai, revolver, dalam peti-peti yang telah dikemas secara rapi. Diangkut dalam truk dan dibawa ke suatu tempat dengan pengawalan tentara Dai Nipon secara ketat. Sepertinya sebuah gua dengan gundukan tanah menyerupai bukit namun tidak begitu tinggi, terkesan samar tak kelihatan dari beberapa pandangan meski akan sangat terlihat jika kita mendekat. Beberapa orang menurunkan peti-peti yang berisi senjata itu untuk dimasukkan ke dalam gua, ternyata di dalam gua sudah ada pasukan Dai Nipon dengan senjata lengkap yang ikut mengawal mereka. Mbah Wage merasakan ada getaran jahat dari mereka. Hampir semua pekerja itu ditembaki oleh tentara Dai Nipon untuk dibinasakan dengan dalih menghilangkan jejak. Mbah Wage roboh namun tak satupun senjata mengeninya, hanya cipratan darah dari pekerja-pekerja yang mengenai tubuhnya. Dikira ia juga sudah ikut mati.”
            “Tepatnya di gua mana, Ayah?” Aku semakin penasaran.
            “Kamu tahu bukit Tanggung? Lokasinya ada disekitar tempat itu.” Tangan Ayah sambil menunjuk arah ke utara meskipun jaraknya sekitar lima belas kilo meter dari tempat ini.
            “Aku belum pernah dan tidak tahu gua itu, Ayah. Lantas apa hubungannya dengan nisan merah, Ayah?” Tanyaku dengan sedikit bingung, apa benar senjata-senjata milik Jepang telah dikubur di nisan merah. Sepertinya tidak ada hubungannya sama sekali.
            “Pengangkut senjata-senjata itu dibagi menjadi dua bagian, yang satu untuk berangkat ke gua Tanggung, dan yang satunya dikuburan pojok kampung itu. Senjata-senjata itu bisa dijangkau untuk digunakan ketika keadaan genting. Itupun juga masih belum benar ceritanya.” Ayah pun sedikit ragu untuk mengatakannya.
            “Apa tidak dibongkar saja, Ayah?”
            “Tak ada yang berani, Nak. Pernah seluruh pamong desa dan tokoh-tokoh masyarakat akan melakukan itu namun anehnya ketika pembongkaran akan dimulai, tiba-tiba hujan turun begitu lebatnya, angin mendesing-desing seperti hantu, langit gelap, petir menyambar berkali-kali bahkan ada yang mengenai seorang warga, bergelimpangan seketika meski bisa diselamatkan, dan bisa selamat hingga kini, itu Mbah Mat Petir dengan sebutan petir menandakan bahwa ia pernah diserempet petir. Orang menjerit-jerit dan lari tunggang langgang. Pembongkaranpun dihentikan seketika. Dan tempat itupun banjir. Tergenang air.”
            “Apa Mbah Wage bisa keluar dari gua itu, Ayah?”
            “Iya. Ia selamat namun beberapa tahun ia menghilang tidak langsung kembali ke rumahnya. Takutnya ditangkap lagi Jepang lalu dieksekusi. Ia memilih pulang setelah Jepang kalah dengan sekutu dan kembali ke negaranya lagi. Ia pun didesak oleh beberapa orang untuk membantu mengambil harta karun di gua itu. Ia tak berani karena ia mempercayai bahwa harta karun yang telah lama mengendap disuatu tempat pasti dijaga oleh para lelembut. Dan Mbah Wage sedikit ketakutan tentang itu.”
            “Jika ia bersedia menjadi petunjuk jalan, lumayan harta-harta itu bisa diberikan pada negara sebagai kekayaan kebudayaan dan bisa menjadi koleksi barang-barang museum. Juga bisa sebagai bahan penelitian tentang peninggalan bersejarah.”
            “Tak bisa begitu, Nak. Antek-antek Amerika sebagai wakil sekutu akan memperkarakannya. Lebih baik biarkan saja.”
            “Kita kan sudah menjadi negara merdeka, Ayah. Negara besar ini bebas menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan negara lain. Titik, dan itu tak bisa diganggu gugat.” Jawabku ngeyel.
            “Itu hanya teori Nak. Negara kita belum bisa berdiri sendiri dan mandiri. Hutang-hutang masih selangit, barang-barang masih impor, dan kebijakan-kebijakan masih disetir dengan negara lain.” Jelas Ayah sambil senyum sinis.
            “Bahkan nisan merah yang ada dipojok kampung kita masih terawat hingga kini. Entah siapa yang ada dalamnya dan yang jelas masyarakat kita mengeramatkannya. Setiap tahun selalu ada perayaan, pentas wayang kulit semalam suntuk, dan pengajian.”
            “Itu baru-baru saja, Nak. Dulu tak ada ritual semacam itu. Yang ada sindir dan bermain judi dua hari dua malam. Ada judi dadu, dan glundungan. Glundungan itu judi yang menggunakan media bola kecil dan lapangan yang terbuat dari kayu dengan luas kurang lebih satu meter dan diplitur halus di kasih nomor satu sampai dua belas yang diacak dan bola kecil digulirkan hingga dinomor mana bola itu akan berhenti dan itulah yang beruntung, yang ikut nombok tinggal melemparkan uang dinomor yang telah disediakan pada kain yang ditulisi nomor satu sampai dua belas.” Kemudian Ayah diam sejenak lantas diteruskannya lagi.
            “Orang-orang berteriak rame sekali. Asyik tak ketulungan sampai pagi, yang kalah juga menderita karena jutaan rupiah harus raib dari dompetnya sedangkan yang menang senang tak tertahankan. Yang ikut bukan hanya masyarakat dari sekitar sini saja, Nak, orang-orang kampung lain juga berduyun-duyun ikut datang dan bermain judi sampai pagi. namun jika bandarnya kalah ya langsung kukut.”
            “Iya, Ayah dimanapun judi selalu mengundang banyak orang untuk datang dan ikut bermain. Kalah menang tak jadi soal, itu hanya masalah keberuntungan namun jika hati telah panas, terbawa emosi tak jarang mereka harus berakhir dengan pertengkaran dan saling membunuh.” Tambahku.
            “Aku ingat ketika sebuah kota dibangun dengan uang lotre mampu berkembang dengan begitu pesatnya. Lihatlah kota-kota judi dunia hampir mereka selalu memberikan pelayanan seperti disurga, mengundang banyak pendatang untuk singgah dan menghambur-hamburkan modalnya untuk berjudi. Borgata Hotel Casino & Spa (Atlantic City), Casino Lisboa (Lisbon Portugal), MGM Grand Las Vegas (Las Vegas USA), Sands Macau (Macau China), MGM Grand Macau (Macau, China), Tusk Rio Casino Resort (Klerksdrop, Afrika Selatan), Casino Macau (Macau, China), dan masih banyak lagi kota-kota yang maju pesat dengan modal uang judi, namun ditambah lagi dengan pelengkap yaitu pelacuran.” Bicara Ayah menyala-nyala.
            “Di negeri ini juga pernah memperbolehkan dana lotre yang dananya digunakan untuk memajukan dunia olahraga namun tak bisa bertahan lama, sumbangan dana sosial berhadiah. Yang mendapatkan kecaman dari para tokoh-tokoh agama. Akhirnya dibubarkan.”
            “Lebih baik memang begitu, Nak. Negara tidak mengajarkan masyarakatnya untuk berjudi. Meski ini juga masih hanya sebatas teori. Buktinya masih banyak perjudian-perjudian yang terselubung dibalik dinding undang-undang. Perjudian itu sudah ada dan berkembang sejak masa lampau sebelum negeri ini berdiri. Sulit untuk menghilangkannya. Meski Raja Dangdut Rhoma Irama menyanyikan efek lagu Judi masih saja tak bisa membuat masyarakat jera.”
            “Heran…”
            “Kenapa?”
            “Itulah dunia, Nak. Antara hitam dan putih selalu berjalan bersamaan, saling melengkapi dan saling memberikan nilai masing-masing, tergantung bagaimana kita saja yang harus pandai menilainya.” Ayah menghela nafas dengan perlahan serasa ia puas dengan semua keterangan yang telah disampaikan padaku. Aku hanya memperhatikan cerita Ayah, aku tak tahu jasad yang ada pada nisan merah itu siapa? Yang jelas sampai hari ini masyarakat sekitar telah mengkeramatkan tempat itu. Aku hanya ikut meramaikan jika haul nisan merah itu tiba. Banyak orang menyebutnya Mbah Merah sesuai dengan warna nisannya. Bahkan selentingan lagi yang beredar dengan desas-desus entah dari siapa, nisan merah itu adalah kuburan orang Belanda yang pertama kali menyebarkan faham merah di negeri ini yang identik dengan komunis. “Ini yang lebih gila, bukannya Mr. Snevliet mati di negaranya sendiri? Kenapa dibawa-bawa sampai disini? Keterlaluan. Bisa-bisa nya sejarah dibuat putar balik. Dan itupun masih saja ada yang mau percaya, ini lebih bodoh lagi.” Batinku menanggapi isu yang tak masuk akal. Kabar tentang siapa jasad yang ada pada nisan merah sampai sekarang juga belum terkuak atau jangan-jangan memang sengaja dibuat seperti itu. Tak jelas dan buram. “Ah bisa saja aku mengatakan kalau itu makam Syekh Siti Jenar sedikit masuk akal, bukannya Syekh Siti Jenar terkenal dengan sebutan Syekh Lemah Abang atau merah. Siapa tahu, kan sama-sama tak tahu, edan.” Akupun menyeruput kopiku lantas mengambil sebatang rokok dan aku sulut sedangkan asapnya aku hembuskan kuat-kuat ke udara.

Bangilan, 6 Oktober 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening.
           

            

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda