“Uh, kau…”
Oleh. Rohmat Sholihin*
http://www.cetmas.com/2016/01/kumpulan-puisi-cinta-sedih-karena-di-khianati-oleh-sang-kekasih.html
Kutatap Galang yang tergeletak pulas dikursi dengan perlahan. Ada sesayup
kenangan wajah mas Hardi dalam pikiranku meski perlahan hilang tersapu malam.
Suara jangkrik masih menderik-derik mengikuti nafasnya yang menderu-deru naik
turun dengan nikmat.
“Maafkan aku,
nak. Wajah bapakmu yang tertanam kuat pada wajahmu perlahan kini telah aku
lupakan.” Desah batinnya yang meronta-ronta. Dan wajah lelaki kecil yang
mendengkur tak ada jawaban hanya sibuk dengan mimpi-mimpinya yang ikut terbang
dalam tidur pulasnya.
“Kau butuh
pengganti dia, nak. Kau butuh orang untuk mengayomimu dan adikmu. Bapakmu telah
pergi dengan segudang permasalahan yang berat aku selesaikan, nak. Tagihan dan
hutang bapakmu yang tidak sedikit tak kan mungkin ibu pikir sendiri. Sebentar lagi seratus hari kematian bapakmu
juga membutuhkan dana besar juga, nak.” Pikirannya masih mengembara ke segala
penjuru alam pikiran, tentu saja kecemasan yang ia dapat. Tangannya yang
gemetar berusaha diusapkan pada keningnya yang mulai mengering, mengerut, dan
menua akibat benturan-benturan beban hidup yang ia sandang, janda dengan anak
dua. Lalu ia berusaha mendekati cermin dekat kursi anaknya yang tertidur. Ia
lihat perlahan-lahan wajah sayunya meski ketakutan setengah mati, menjadi tua
dan tak menarik lagi, sehingga lelaki enggan mendekati untuk menjadikan istri.
Malam masih tetap terus berlalu dan ia masih setia menikmati malam dengan
sendiri dan kecemasan, ia belum berani beranjak tidur. Kedua matanya masih alot
untuk terpejam, pikirannya masih kalut. Pada Galang yang tertidur pulas ia
tumpahkan kecemasan hatinya. Kepada Lia, adiknya, ia tumpahkan kekesalan
hatinya, status sebagai janda sungguh luar biasa berat. Godaan-godaan terus
datang bertubi-tubi silih berganti. Dan ia menjadi limbung, pikiran dan hatinya
seakan berada dipersimpangan jalan yang penuh kedilemaan, keraguan dan
kecemasan. Terasa termainkan. Belum lagi masalah hutang suaminya yang juga
belum terbayar sepersenpun.
Sedangkan Kurdi, lelaki beristri dan
beranak dua, teman kantor tempat ia bekerja terus menggodanya. Memberikan
janji-janji indahnya, “jika kau bersedia menikah denganku, istriku dirumah
segera akan kuceraikan.” Kalimat ini terus mengawang-awang dibalik tirai malam.
Wajah lelaki itu seakan menyembul dari luar jendela dengan angin malam yang mulai
dingin. Datang dan menggoda untuk segera menemaniku dalam kesepian. Senyumnya
menyeringai diantara bibirnya yang menghitam, asap rokok tentu biangnya.
Mengajakku menghabiskan malam yang masih sendiri, disini, dirumah kenangan
bersama bayangan almarhum mas Hardi.
“Aku tahu ini
tidak benar, aku tahu, aku kurang ajar, dia masih punya istri dan anak dirumah,
kenapa dia kukasih harapan?”
“Uh, aku
bingung, aku sendirian berkecamuk menghadapi kesepian dan terombang-ambing oleh
tanda tanya besar pada diriku. Sejujurnya aku butuh lelaki disampingku, aku tak
kuat bertempur dengan kesepian didunia ini. Aku masih muda, masih punya banyak
harapan untuk berlabuh ke tempat kebahagiaan. Aku tak kuat hidup sendirian
dengan warisan setumpuk hutang.”
“Kemarin kau
dengan terang-terangan menyatakan maksud hatimu padaku, kau katakan tertarik
padaku sejak kakiku berada sekantor denganmu. Namun kau berani menyatakan
ketika suamiku meninggal akibat penyakit kronis yang dideritanya, leukemia. Dan
ucapanmu yang tak terduga itu kini mengganggu pikiranku. Dan malam tak kan mau
memberikan jawaban karena ia bisu lebih dari seribu bisu sekalipun.”
Pikirannya masih
terus berkecamuk. Terkadang ia menyalahkan Tuhannya kenapa suami sebagai orang
yang ia cintai dan ia hormati tega dipanggil-Nya. Namun itu hanya pikiran nakal
semata, nalarnya masih kuat bahwa urusan hidup dan mati adalah hak sang
pencipta dan tidak bisa diganggu gugat. Siapapun yang hidup bisa juga
menghadapi kematian kapanpun dan tiada yang tahu. Hanya ia bingung menghadapi
kesendirian sehingga mendatangkan pikiran-pikiran nakal, ia lelah dan butuh
sentuhan, tentu saja sentuhan manis dari lelaki idaman, sedangkan lelaki yang
datang disekitarnya adalah Kurdi. Lelaki tajir dengan segala kebaikan yang
terus menggodanya disela-sela kebimbangan yang telah ia hadapi. Namun, sungguh
sayang Kurdi bukanlah lelaki yang sendirian menunggu kereta kencana dengan
manis senyumnya tapi, Kurdi telah beristri dan beranak pinak. Dan mungkinkah ia
sebagai lelaki akan berbuat nekat dengan menceraikan istrinya kemudian beralih
ke pelukanku?, “oh tidaaaak,…” teriakku perlahan memecah keheningan malam. “Tapi?.....,
tapi apa, selama ini ia yang paling mengerti hatiku.” Bisik hatinya. Dan kemarin
Kurdi telah menyerahkan sejumlah uang yang jumlahnya juga tidak sedikit,
sepuluh juta untuk membantu selamatan seratus harinya mas Hardi.
Ia juga sadar masalah yang ia hadapi banyak juga dialami oleh perempuan
lainnya. Namun, ia tak kuat berjalan dengan status janda beranak dua. Ia tak
mau diklaim oleh orang sebagai wanita tak laku. Ia butuh lelaki yang sanggup
mengayomi segala keterbatasannya. Ia lemah tanpa lelaki. Tapi bukan semua
lelaki ia mau, setidaknya yang menjadi idolanya adalah lelaki yang mapan, mandiri
dan juga baik terhadap anak-anaknya, masalah wajah tampan atau tidak, tak
penting, yang paling penting mapan secara ekonomi, kurang lebih dengan usia
dibawah lima puluh tahun. Dan hatiku mengalir mendekat pada kau. Inikah akibat
kita terlalu berdekatan, meski hubungan sebatas mitra kerja tapi benar apa yang
pernah dikatakan nenek ketika menjelang pernikahanku dengan mas Hardi, “tresno kuwi jalaran teko kulino, trisno kuwi jalaran teko glibet.” Dan
itu Kurdi yang datang setiap waktu untuk selalu mendekatiku. Bahkan juga
mencukupi segala kebutuhan hidupku terutama masalah keuangan yang akhir-akhir
ini menjadi kendalaku. Gajiku tak kan cukup menutup dan mencukupi hidupku dan
anak-anakku.
Dan hadirnya Kurdi telah memberikan harapan hatiku yang gersang. Namun,
aku bingung dan ragu dengan statusnya lelaki yang masih beristri. Jika aku mau
dijadikan istri kedua, itu lain lagi. Mesti hatiku tetap ingin menjadi istri
utama. Setidaknya aku juga memikirkan nasib masa depan anak-anakku dikemudian
hari.
“Apa ia harus
aku terima, oh tidak, bagaimana nasib istri dan anak-anaknya dirumah? Meskipun
ia sekarang tak suka dengan istrinya karena alasan dijodohkan tapi setidaknya
jika ia tak suka dengan istrinya kenapa sampai punya anak dua? Tentu saja ia
juga menikmati hubungannya.” Pikiranku semakin ruwet. Seperti juga hatiku. Tapi
Kurdi telah merebut sisi hatiku yang lain. Kurdi begitu loyal dan perhatian
terhadap kesulitan-kesulitan yang kualami. Baik kesulitan masalah materi dan kesulitan
situasi rumah tanggaku kini. Seputar anak-anak, sekolah anak-anak, hutang-hutang
suamiku, mertuaku, orang tuaku, karirku, bahkan masalah-masalah pribadiku;
kosmetik sampai busana-busana yang aku inginkan. Hampir semua dalam jangkauan
Kurdi, lelaki beristri namun perhatian dan tajir itu. Bahkan Kurdi sendiri
pernah bilang disuatu siang dikantin kantor. Ia bercerita dengan tanpa beban
situasi rumah tangganya, bahwa ia kini jarang pulang ke rumah istrinya,
paling-paling hanya pulang satu jam untuk menjenguk anak-anaknya setelah itu
pergi lagi. Situasi rumah tangganya sudah tidak harmonis, begitu ia menjelaskan
padaku disiang itu. Dan aku hanya diam mendengarkan dengan seksama sedangkan
hatiku masih ragu untuk menerimanya. Karena ia masih menjadi suami yang sah
dari istrinya dirumah.
“Maafkan aku, mas. Maafkan aku. Aku
tak punya pilihan lagi kecuali harus mencari sosok baru dalam hidupku. Secuilpun
cinta dan hormatku padamu tak kan lekang oleh waktu. Hanya saja, lihatlah
Galang, Lia, mereka butuh sosok seorang bapak yang akan mengisi hari-hari berikutnya,
mas. Mereka butuh masa depan, dan itupun aku tak kuat membiayainya sendirian,
mas. Maafkan aku, mas. Cinta memang tak tampak tapi hati tak bisa dipungkiri,
aku rapuh tanpamu, mas.” Mataku memandang Galang, Lia yang masih mendengkur
pulas.
Bayanganmu
datang lagi. Mengganti bayangan mendiang suamiku yang baru saja menghilang. “Aku
akan selalu membantumu, Narti, sekuat tenagaku.” Kalimat itu terngiang jelas.
Mengawang-awang mengisi sepinya malam. “Hah, aku capek, lelah, bingung.”
Nafasku mendesah dengan berat. Rembulan hanya diam, mematung dari kejauhan,
sepertiku.
Bulan Agustus telah tiba dan kesempatan
untuk saling mengenal lebih dekat terbuka selebar-lebarnya ketika ada tugas
kunjungan kantor keluar kota untuk pelatihan suatu program tertentu selama
kurang lebih tiga hari. Kau sibuk menawariku untuk berangkat bersama. Ada
bunga-bunga merekah dalam hatimu. Kau begitu semangat untuk bisa berangkat
bersama. Akupun demikian sebagai perempuan yang kesepian juga tak keberatan
untuk bisa berteman denganmu, siapa lagi orang yang akan memperhatikanku lebih
dari wanita istimewa. Namun, kita berdua lupa bahwa kita belumlah menjadi
pasangan yang resmi sebagai suami istri yang sah. Namun kita telah melangkah
terlalu jauh, jauh, dan jauh sampai ke angkasa. Segala norma agama dan adat
istiadat ketimuran telah kita terjang. Hingga kita telah melakukan hal-hal yang
tak pantas dilakukan. Kita telah menjadi pasangan yang gelap, kita telah
menjalin perselingkuhan. Dan kita selalu bertemu ditempat-tempat yang kita mau,
hotel, losmen, dan tempat-tempat yang kita suka. Pertemuan semakin sering dan
kau tak lagi menawariku untuk menikah seperti niatmu dulu. Hingga aku beranikan
diri untuk bertanya.
“Kapan kau akan menceraikan istrimu, Mas?” Tanyaku yang sedikit membuatmu
kaget.
Kau tak langsung jawab. Sejenak berfikir dan kemudian dengan berat
berkata pelan.
“Secepatnya.”
Aku tatap lagi matamu. Dalam hatiku membatin, “dimanapun lelaki sama,
sama bejatnya.”
Suatu pagi, perempuan itu mondar-mandir diruangan tunggu kantorku.
Sesekali melihat arlojinya, tak ada kesan wajah ceria, dari kaca riben
kuperhatikan ia begitu cemas. Menunggu seseorang entah siapa yang ditunggu.
Kurdi yang biasanya sudah datang pagi ini juga belum datang. Padahal biasanya
ia datang lebih awal dan menyapaku dengan semyumnya yang sok manis. “Huh, Kurdi
lagi, Kurdi lagi,…” memang dalam kantor jika tidak ada teman suasana terasa
hambar. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari jika tanpa teman hidup terasa lebih
pedih dan menyakitkan.
“Ibu Narti, ada yang mencari ibu.” Satpam itu masuk dan berbicara sopan
padaku.
“Siapa? Ya, suruh masuk.” Jawabku pelan.
“Baik bu.”
Tak berapa lama perempuan itupun masuk. Aku tersenyum penasaran.
“Silahkan Ibu, apa yang bisa saya bantu?” tawarku dengan ramah.
“Apakah ibu ini bernama Ibu Narti?” tanyanya dengan pelan dengan
kecemasan.
“Iya, Ibu. Ada apa?”
Sekali ia pandangi aku dengan perlahan. Seakan-akan ada yang ingin
disampaikan dengan bahasa hati.
“Maaf Ibu, aku adalah istri Kurdi.” Ia bicara pelan dengan menatapku, tak
ada kesan marah, tak ada kesan kesal, tak ada kesan permusuhan, namun dalam
hatinya seakan ia berharap penuh, tolong jangan ganggu suami orang. Aku
terkejut namun aku tatap matanya sekali lagi. Ada keteduhan dikedua matanya dan
aku tak berani bicara hanya menunggunya.
“Mas Kurdi sering cerita tentang kau, Bu Narti, teman sekantor. Makanya aku
langsung mencari Bu Narti.” Terang perempuan yang mengaku istri Kurdi.
“Tolong nanti jika pak Kurdi datang suruh mampir ke rumah, anak-anak
sedang sakit dan terus menanyakan bapaknya. Karena telah lebih dari tiga hari
ia tidak pulang. Biasanya ia pulang meski hanya sebentar. Untuk menyempatkan
bertemu dengan anak-anak. Tolong ya bu sampaikan pada pak Kurdi. Apalagi yang
si kecil kemarin sempat kejang-kejang karena demamnya terlalu tinggi, dan
selalu memanggil-manggil bapaknya.” Aku masih terkesima dengan apa yang baru
saja dikatakan perempuan itu. Hampir saja aku mengira ia akan melabrakku karena
suaminya telah berbuat selingkuh denganku. Ternyata perempuan itu hanya
menyuruhnya untuk pulang, untuk menjenguk anak-anaknya yang sedang sakit dan butuh
kasih sayang seorang bapak. Tuhan akan melaknatku sebagai perempuan gatal,
janda yang telah merebut lelaki dari anak-anaknya. Aku pandangi sekali lagi perempuan
kalem ini.
“Baik, Ibu, nanti aku sampaikan.” Jawabku terbata-bata. Dan aku tak
sanggup lagi menatap matanya yang cemas namun teduh. Aku tak punya harga diri menatap
perempuan tangguh seperti istrinya meskipun telah dikhianatinya. Ia tetap
menjadi perempuan yang berpikiran positif meski tak pernah menyangka apa
kesibukan lelakinya diluar rumah? Brengsekkah lelakinya? Dan tentu saja aku
tahu jawabnya. Tak terasa aku teringat anak-anakku dirumah. Hingga aku pun
menangis. “Maafkan aku, ibu, maafkan aku.” Bisik hatiku.
“Apakah kemarin ada dan masuk kerja, Ibu?”
“Iya, Pak Kurdi ada.”
“Tolong sampaikan padanya ya Bu untuk pulang sebentar.”
“Iya, Bu nanti aku sampaikan padanya.”
Perempuan itu pun berlalu. Kurdi juga belum datang. Hatiku merasa
terkoyak-koyak, rasa cinta yang mulai tumbuh seketika luruh. “Kurdiiiiiiiii,
persetan denganmu.” Aku pun bangkit meninjukan kepalku dengan kuat. Sedangkan
segala sesuatu yang telah kuberikan padanya menjadikan aku blingsatan. “Uh…Kurdi,
brengsek kau.” Lalu ia menutup hati juga kedua matanya. Sedangkan bayangan mas
Hardi datang bertalu-talu seperti hantu. “Semua ini juga salah dan ulahku.” Iapun
tertunduk lesu.
Bangilan,
Agustus 2017.
*Penulis anggota komunitas kali kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda