Kamis, 21 September 2017

“Uh, kau…”


Oleh. Rohmat Sholihin*

http://www.cetmas.com/2016/01/kumpulan-puisi-cinta-sedih-karena-di-khianati-oleh-sang-kekasih.html
Kutatap Galang yang tergeletak pulas dikursi dengan perlahan. Ada sesayup kenangan wajah mas Hardi dalam pikiranku meski perlahan hilang tersapu malam. Suara jangkrik masih menderik-derik mengikuti nafasnya yang menderu-deru naik turun dengan nikmat.
“Maafkan aku, nak. Wajah bapakmu yang tertanam kuat pada wajahmu perlahan kini telah aku lupakan.” Desah batinnya yang meronta-ronta. Dan wajah lelaki kecil yang mendengkur tak ada jawaban hanya sibuk dengan mimpi-mimpinya yang ikut terbang dalam tidur pulasnya.
“Kau butuh pengganti dia, nak. Kau butuh orang untuk mengayomimu dan adikmu. Bapakmu telah pergi dengan segudang permasalahan yang berat aku selesaikan, nak. Tagihan dan hutang bapakmu yang tidak sedikit tak kan mungkin ibu pikir sendiri.  Sebentar lagi seratus hari kematian bapakmu juga membutuhkan dana besar juga, nak.” Pikirannya masih mengembara ke segala penjuru alam pikiran, tentu saja kecemasan yang ia dapat. Tangannya yang gemetar berusaha diusapkan pada keningnya yang mulai mengering, mengerut, dan menua akibat benturan-benturan beban hidup yang ia sandang, janda dengan anak dua. Lalu ia berusaha mendekati cermin dekat kursi anaknya yang tertidur. Ia lihat perlahan-lahan wajah sayunya meski ketakutan setengah mati, menjadi tua dan tak menarik lagi, sehingga lelaki enggan mendekati untuk menjadikan istri. Malam masih tetap terus berlalu dan ia masih setia menikmati malam dengan sendiri dan kecemasan, ia belum berani beranjak tidur. Kedua matanya masih alot untuk terpejam, pikirannya masih kalut. Pada Galang yang tertidur pulas ia tumpahkan kecemasan hatinya. Kepada Lia, adiknya, ia tumpahkan kekesalan hatinya, status sebagai janda sungguh luar biasa berat. Godaan-godaan terus datang bertubi-tubi silih berganti. Dan ia menjadi limbung, pikiran dan hatinya seakan berada dipersimpangan jalan yang penuh kedilemaan, keraguan dan kecemasan. Terasa termainkan. Belum lagi masalah hutang suaminya yang juga belum terbayar sepersenpun.
            Sedangkan Kurdi, lelaki beristri dan beranak dua, teman kantor tempat ia bekerja terus menggodanya. Memberikan janji-janji indahnya, “jika kau bersedia menikah denganku, istriku dirumah segera akan kuceraikan.” Kalimat ini terus mengawang-awang dibalik tirai malam. Wajah lelaki itu seakan menyembul dari luar jendela dengan angin malam yang mulai dingin. Datang dan menggoda untuk segera menemaniku dalam kesepian. Senyumnya menyeringai diantara bibirnya yang menghitam, asap rokok tentu biangnya. Mengajakku menghabiskan malam yang masih sendiri, disini, dirumah kenangan bersama bayangan almarhum mas Hardi.
“Aku tahu ini tidak benar, aku tahu, aku kurang ajar, dia masih punya istri dan anak dirumah, kenapa dia kukasih harapan?”
“Uh, aku bingung, aku sendirian berkecamuk menghadapi kesepian dan terombang-ambing oleh tanda tanya besar pada diriku. Sejujurnya aku butuh lelaki disampingku, aku tak kuat bertempur dengan kesepian didunia ini. Aku masih muda, masih punya banyak harapan untuk berlabuh ke tempat kebahagiaan. Aku tak kuat hidup sendirian dengan warisan setumpuk hutang.”
“Kemarin kau dengan terang-terangan menyatakan maksud hatimu padaku, kau katakan tertarik padaku sejak kakiku berada sekantor denganmu. Namun kau berani menyatakan ketika suamiku meninggal akibat penyakit kronis yang dideritanya, leukemia. Dan ucapanmu yang tak terduga itu kini mengganggu pikiranku. Dan malam tak kan mau memberikan jawaban karena ia bisu lebih dari seribu bisu sekalipun.”
Pikirannya masih terus berkecamuk. Terkadang ia menyalahkan Tuhannya kenapa suami sebagai orang yang ia cintai dan ia hormati tega dipanggil-Nya. Namun itu hanya pikiran nakal semata, nalarnya masih kuat bahwa urusan hidup dan mati adalah hak sang pencipta dan tidak bisa diganggu gugat. Siapapun yang hidup bisa juga menghadapi kematian kapanpun dan tiada yang tahu. Hanya ia bingung menghadapi kesendirian sehingga mendatangkan pikiran-pikiran nakal, ia lelah dan butuh sentuhan, tentu saja sentuhan manis dari lelaki idaman, sedangkan lelaki yang datang disekitarnya adalah Kurdi. Lelaki tajir dengan segala kebaikan yang terus menggodanya disela-sela kebimbangan yang telah ia hadapi. Namun, sungguh sayang Kurdi bukanlah lelaki yang sendirian menunggu kereta kencana dengan manis senyumnya tapi, Kurdi telah beristri dan beranak pinak. Dan mungkinkah ia sebagai lelaki akan berbuat nekat dengan menceraikan istrinya kemudian beralih ke pelukanku?, “oh tidaaaak,…” teriakku perlahan memecah keheningan malam. “Tapi?....., tapi apa, selama ini ia yang paling mengerti hatiku.” Bisik hatinya. Dan kemarin Kurdi telah menyerahkan sejumlah uang yang jumlahnya juga tidak sedikit, sepuluh juta untuk membantu selamatan seratus harinya mas Hardi.
Ia juga sadar masalah yang ia hadapi banyak juga dialami oleh perempuan lainnya. Namun, ia tak kuat berjalan dengan status janda beranak dua. Ia tak mau diklaim oleh orang sebagai wanita tak laku. Ia butuh lelaki yang sanggup mengayomi segala keterbatasannya. Ia lemah tanpa lelaki. Tapi bukan semua lelaki ia mau, setidaknya yang menjadi idolanya adalah lelaki yang mapan, mandiri dan juga baik terhadap anak-anaknya, masalah wajah tampan atau tidak, tak penting, yang paling penting mapan secara ekonomi, kurang lebih dengan usia dibawah lima puluh tahun. Dan hatiku mengalir mendekat pada kau. Inikah akibat kita terlalu berdekatan, meski hubungan sebatas mitra kerja tapi benar apa yang pernah dikatakan nenek ketika menjelang pernikahanku dengan mas Hardi, “tresno kuwi jalaran teko kulino, trisno kuwi jalaran teko glibet.” Dan itu Kurdi yang datang setiap waktu untuk selalu mendekatiku. Bahkan juga mencukupi segala kebutuhan hidupku terutama masalah keuangan yang akhir-akhir ini menjadi kendalaku. Gajiku tak kan cukup menutup dan mencukupi hidupku dan anak-anakku.
Dan hadirnya Kurdi telah memberikan harapan hatiku yang gersang. Namun, aku bingung dan ragu dengan statusnya lelaki yang masih beristri. Jika aku mau dijadikan istri kedua, itu lain lagi. Mesti hatiku tetap ingin menjadi istri utama. Setidaknya aku juga memikirkan nasib masa depan anak-anakku dikemudian hari.
“Apa ia harus aku terima, oh tidak, bagaimana nasib istri dan anak-anaknya dirumah? Meskipun ia sekarang tak suka dengan istrinya karena alasan dijodohkan tapi setidaknya jika ia tak suka dengan istrinya kenapa sampai punya anak dua? Tentu saja ia juga menikmati hubungannya.” Pikiranku semakin ruwet. Seperti juga hatiku. Tapi Kurdi telah merebut sisi hatiku yang lain. Kurdi begitu loyal dan perhatian terhadap kesulitan-kesulitan yang kualami. Baik kesulitan masalah materi dan kesulitan situasi rumah tanggaku kini. Seputar anak-anak, sekolah anak-anak, hutang-hutang suamiku, mertuaku, orang tuaku, karirku, bahkan masalah-masalah pribadiku; kosmetik sampai busana-busana yang aku inginkan. Hampir semua dalam jangkauan Kurdi, lelaki beristri namun perhatian dan tajir itu. Bahkan Kurdi sendiri pernah bilang disuatu siang dikantin kantor. Ia bercerita dengan tanpa beban situasi rumah tangganya, bahwa ia kini jarang pulang ke rumah istrinya, paling-paling hanya pulang satu jam untuk menjenguk anak-anaknya setelah itu pergi lagi. Situasi rumah tangganya sudah tidak harmonis, begitu ia menjelaskan padaku disiang itu. Dan aku hanya diam mendengarkan dengan seksama sedangkan hatiku masih ragu untuk menerimanya. Karena ia masih menjadi suami yang sah dari istrinya dirumah.
            “Maafkan aku, mas. Maafkan aku. Aku tak punya pilihan lagi kecuali harus mencari sosok baru dalam hidupku. Secuilpun cinta dan hormatku padamu tak kan lekang oleh waktu. Hanya saja, lihatlah Galang, Lia, mereka butuh sosok seorang bapak yang akan mengisi hari-hari berikutnya, mas. Mereka butuh masa depan, dan itupun aku tak kuat membiayainya sendirian, mas. Maafkan aku, mas. Cinta memang tak tampak tapi hati tak bisa dipungkiri, aku rapuh tanpamu, mas.” Mataku memandang Galang, Lia yang masih mendengkur pulas.
Bayanganmu datang lagi. Mengganti bayangan mendiang suamiku yang baru saja menghilang. “Aku akan selalu membantumu, Narti, sekuat tenagaku.” Kalimat itu terngiang jelas. Mengawang-awang mengisi sepinya malam. “Hah, aku capek, lelah, bingung.” Nafasku mendesah dengan berat. Rembulan hanya diam, mematung dari kejauhan, sepertiku.
 Bulan Agustus telah tiba dan kesempatan untuk saling mengenal lebih dekat terbuka selebar-lebarnya ketika ada tugas kunjungan kantor keluar kota untuk pelatihan suatu program tertentu selama kurang lebih tiga hari. Kau sibuk menawariku untuk berangkat bersama. Ada bunga-bunga merekah dalam hatimu. Kau begitu semangat untuk bisa berangkat bersama. Akupun demikian sebagai perempuan yang kesepian juga tak keberatan untuk bisa berteman denganmu, siapa lagi orang yang akan memperhatikanku lebih dari wanita istimewa. Namun, kita berdua lupa bahwa kita belumlah menjadi pasangan yang resmi sebagai suami istri yang sah. Namun kita telah melangkah terlalu jauh, jauh, dan jauh sampai ke angkasa. Segala norma agama dan adat istiadat ketimuran telah kita terjang. Hingga kita telah melakukan hal-hal yang tak pantas dilakukan. Kita telah menjadi pasangan yang gelap, kita telah menjalin perselingkuhan. Dan kita selalu bertemu ditempat-tempat yang kita mau, hotel, losmen, dan tempat-tempat yang kita suka. Pertemuan semakin sering dan kau tak lagi menawariku untuk menikah seperti niatmu dulu. Hingga aku beranikan diri untuk bertanya.
“Kapan kau akan menceraikan istrimu, Mas?” Tanyaku yang sedikit membuatmu kaget.
Kau tak langsung jawab. Sejenak berfikir dan kemudian dengan berat berkata pelan.
“Secepatnya.”
Aku tatap lagi matamu. Dalam hatiku membatin, “dimanapun lelaki sama, sama bejatnya.”
Suatu pagi, perempuan itu mondar-mandir diruangan tunggu kantorku. Sesekali melihat arlojinya, tak ada kesan wajah ceria, dari kaca riben kuperhatikan ia begitu cemas. Menunggu seseorang entah siapa yang ditunggu. Kurdi yang biasanya sudah datang pagi ini juga belum datang. Padahal biasanya ia datang lebih awal dan menyapaku dengan semyumnya yang sok manis. “Huh, Kurdi lagi, Kurdi lagi,…” memang dalam kantor jika tidak ada teman suasana terasa hambar. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari jika tanpa teman hidup terasa lebih pedih dan menyakitkan.
“Ibu Narti, ada yang mencari ibu.” Satpam itu masuk dan berbicara sopan padaku.
“Siapa? Ya, suruh masuk.” Jawabku pelan.
“Baik bu.”
Tak berapa lama perempuan itupun masuk. Aku tersenyum penasaran.
“Silahkan Ibu, apa yang bisa saya bantu?” tawarku dengan ramah.
“Apakah ibu ini bernama Ibu Narti?” tanyanya dengan pelan dengan kecemasan.
“Iya, Ibu. Ada apa?”
Sekali ia pandangi aku dengan perlahan. Seakan-akan ada yang ingin disampaikan dengan bahasa hati.
“Maaf Ibu, aku adalah istri Kurdi.” Ia bicara pelan dengan menatapku, tak ada kesan marah, tak ada kesan kesal, tak ada kesan permusuhan, namun dalam hatinya seakan ia berharap penuh, tolong jangan ganggu suami orang. Aku terkejut namun aku tatap matanya sekali lagi. Ada keteduhan dikedua matanya dan aku tak berani bicara hanya menunggunya.
“Mas Kurdi sering cerita tentang kau, Bu Narti, teman sekantor. Makanya aku langsung mencari Bu Narti.” Terang perempuan yang mengaku istri Kurdi.
“Tolong nanti jika pak Kurdi datang suruh mampir ke rumah, anak-anak sedang sakit dan terus menanyakan bapaknya. Karena telah lebih dari tiga hari ia tidak pulang. Biasanya ia pulang meski hanya sebentar. Untuk menyempatkan bertemu dengan anak-anak. Tolong ya bu sampaikan pada pak Kurdi. Apalagi yang si kecil kemarin sempat kejang-kejang karena demamnya terlalu tinggi, dan selalu memanggil-manggil bapaknya.” Aku masih terkesima dengan apa yang baru saja dikatakan perempuan itu. Hampir saja aku mengira ia akan melabrakku karena suaminya telah berbuat selingkuh denganku. Ternyata perempuan itu hanya menyuruhnya untuk pulang, untuk menjenguk anak-anaknya yang sedang sakit dan butuh kasih sayang seorang bapak. Tuhan akan melaknatku sebagai perempuan gatal, janda yang telah merebut lelaki dari anak-anaknya. Aku pandangi sekali lagi perempuan kalem ini.
“Baik, Ibu, nanti aku sampaikan.” Jawabku terbata-bata. Dan aku tak sanggup lagi menatap matanya yang cemas namun teduh. Aku tak punya harga diri menatap perempuan tangguh seperti istrinya meskipun telah dikhianatinya. Ia tetap menjadi perempuan yang berpikiran positif meski tak pernah menyangka apa kesibukan lelakinya diluar rumah? Brengsekkah lelakinya? Dan tentu saja aku tahu jawabnya. Tak terasa aku teringat anak-anakku dirumah. Hingga aku pun menangis. “Maafkan aku, ibu, maafkan aku.” Bisik hatiku.
“Apakah kemarin ada dan masuk kerja, Ibu?”
“Iya, Pak Kurdi ada.”
“Tolong sampaikan padanya ya Bu untuk pulang sebentar.”
“Iya, Bu nanti aku sampaikan padanya.”
Perempuan itu pun berlalu. Kurdi juga belum datang. Hatiku merasa terkoyak-koyak, rasa cinta yang mulai tumbuh seketika luruh. “Kurdiiiiiiiii, persetan denganmu.” Aku pun bangkit meninjukan kepalku dengan kuat. Sedangkan segala sesuatu yang telah kuberikan padanya menjadikan aku blingsatan. “Uh…Kurdi, brengsek kau.” Lalu ia menutup hati juga kedua matanya. Sedangkan bayangan mas Hardi datang bertalu-talu seperti hantu. “Semua ini juga salah dan ulahku.” Iapun tertunduk lesu.
Bangilan, Agustus 2017.
*Penulis anggota komunitas kali kening.


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda