Aura Ketika Berlibur di China
Hanya ada dua cara
untuk menjalani hidup. Salah satu cara adalah seolah-olah keajaiban itu tidak
ada. Cara lainnya adalah seolah-olah segala sesuatu adalah keajaiban. Albert
Enstein
Oleh. Rohmat Sholihin*
https://kumparan.com/stephanie-elia/10-etika-berlibur-ke-china-jangan-bersiul-dan-harus-tepat-waktu
Aura, sekarang kau sudah naik kelas empat. Kau
mendapatkan peringkat delapan dikelasmu. Tak apalah, peringkat delapan sudah
bagus. Peringkat tak harus satu. Dan sesuai dengan janji ayahmu jika kau
mendapatkan peringkat sepuluh besar kau akan diajak berlibur di China. Betapa senangnya
hatimu. Siang, malam selalu tersenyum riang gembira. Tak sabar ingin segera
terbang berlibur kesana. Kenapa harus ke China? Karena ayahmu ada bisnis di
China. Kebetulan bersamaan dengan libur sekolahmu. Ayahmu seorang pengusaha
kayu dan akan mengirim kayu jati dalam jumlah besar dan berkualitas super dan
terbaik didunia, jati Randublatung-Blora.
Waktu yang kau tunggu-tunggupun tiba. Dengan pesawat China Airlines kau terbang melintasi
gunung dan samudera. Tinggi membius langit, memecah awan dan menerjang angin.
Selang enam jam kaupun sampai. Wajah tegangmu dari efek perjalanan udara
perlahan-lahan sirna. Senyum seutas manis kembali tersimpul dari bibirmu yang
mungil. Dan kaupun bergegas menuju hotel untuk beristirahat dengan ayah dan
mamamu. Melepas lelah, penat, dan rasa kantuk. Tapi kau terlihat tetap segar
dan bahagia, rasa capek hilang termakan oleh rasa senang. Kini, kaki mungilmu
telah berjejak di bumi Negeri Tirai Bambu. Negeri yang punya tembok besar. Dan
negeri yang dengan jumlah penduduk terpadat didunia, 1 milyar lebih. Negeri
yang terkenal dengan slogan tak perduli
kucing warna apa yang penting bisa menangkap tikus, Mr. deng Xiaoping.
Malamnya kau bersama dengan ayah dan mamamu menikmati
malam di kota Shenzen. Gemerlap dan mengasyikkan, seakan-akan kau berdiri
mematung di kota Jakarta, tepatnya Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kota
Shenzen ini hampir mirip Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, di Shenzen
disebut (CFCV), China Folk Culture
Villages lebih menonjolkan hasil kebudayaan-kebudayaan bangsa China.
Shenzen dikemas menjadi pertunjukan budaya 56 suku bangsa China dan 24 kampung
dalam ukuran yang sebenarnya, lengkap dengan berbagai kesenian, tradisi, dan
arsitektur berbagai macam suku China. Tak henti-hentinya kau tersenyum bahagia,
bisa menikmati kota Shenzen dengan ayah dan mamamu. Dan kau menjadi banyak tahu
suku-suku yang ada di China. Persis juga di negerimu sendiri punya banyak
suku-suku bangsa yang sulit kita sebutkan satu-persatu karena terlalu banyak.
Lebih dari 300 suku bangsa sebagai saudaramu sendiri di bumi pertiwi,
Indonesia. Juga mempunyai kebudayaan-kebudayaan serta tradisi yang unik dan
eksotis.
“Aura, dinegeri kita sendiri juga punya banyak suku-suku
bangsa. Dan itu semua adalah saudara kita. Kita hidup dalam satu naungan negara
besar yaitu Indonesia.” Jelas ayahmu dengan memegang pundakmu dengan pelan.
“Oh iya, Ayah.”
Mama yang dari tadi hanya tersenyum gembira kini mulai
ikut bicara.
“Manusia telah terpecah menjadi bangsa-bangsa dan
suku-suku, tapi setidaknya itu bukan berarti menjadi alasan untuk saling
menguasai namun lebih indah untuk saling mengenal dan bekerja sama dengan
bahasa dan karakter sebagai manusia.”
“Betul itu, Ma. Ayah setuju. Kita berlibur disini bukan
hanya untuk jalan-jalan dan bersenang-senang tapi Ayah ada urusan bisnis dengan
Mr. Chen Cihong dan besok akan kita temui dirumahnya.”
“Kenapa dirumahnya, Ayah? Tidakkah dikantor atau diruang
pertemuan khusus?” Tanya Aura penasaran.
“Sengaja Mr. Chen Cihong mengundangku dirumahnya. Ia
sudah kenal dengan Ayah lebih dari dua puluh tahun dan hubungan Ayah dengan Mr.
Chen Cihong sudah sangat dekat, Aura. Dan tentu saja ia akan menjamu kita,
spesial lagi untukmu, Aura. Tepat di hari liburan sekolahmu.” Jawab ayah
tenang.
Di kota Shenzen kau juga menikmati pertunjukan CFC, Carnival Parade atau Pawai Karnaval
Budaya. Kau menjerit-jerit histeris ketika melihat tari-tarian tradisional yang
diperagakan dengan main egrang, lincah dan menjentik-jentik, lucu namun
energik. Tak kalah hebat Dewa Monyet, Sun Go Kong juga muncul dengan
adegan-adegannya yang agresif dan penuh atraktif, meloncat-loncat
kesana-kemari, lincah tiada tanding persis seperti suasana dalam stasiun
televisi swasta yang biasa kau lihat sore menjelang maghrib dirumah. Kau
menjadi bagian dan berperan sebagai penonton.
“Ayah, itu Sun Go Kong, hebat.” Teriak Aura.
“Iya. Luar biasa.” Jawab ayah.
“Itu ada lagi putri-putri kerajaan, Ayah. Cantik-cantik
seperti karnaval dibulan Agustus di kota kita.”
“Itu, selir-selir dari Dinasti Tang, Aura.”
“Apa itu selir?”
“Selir itu istri raja, Aura.” Jawab mama.
“Istri sebanyak itu.”
“Iya, karena suami-suami mereka ada yang telah gugur
dipertempuran dan seorang raja harus bertanggung jawab. Akhirnya Raja
menjadikan perempuan-perempuan itu menjadi selir.” Jawab ayah sekenanya.
“Kasihan.”
“Kenapa, Aura?”
“Suaminya telah mati dimedan pertempuran.”
“Lihat, itu ada suku-suku dari Mongolia, Korea, Mancuria,
dan Miao. Dan suku Miao itu persis dengan tipikal suku Jawa, baik kulit dan
wajahnya.” Ayah mengalihkan pembicaraan.
“Persis ya, Ayah seperti kita. Suku Jawa.”
“Kau bukan hanya dari suku Jawa saja, Nak. Kau ada
beberapa darah keturunan dalam dirimu. Ayah keturunan dari Jawa-Arab-Mongolia,
Mamamu ada darah Jawa-Portugis-Sunda.” Terang ayah dengan mendekapmu mesra.
Sedangkan Mama memegang tangan Ayah erat sekali. Keluarga kecil bahagia yang sedang
menikmati liburan bersama di China.
Setelah menikmati kota Shenzen hingga puas dengan segala
keluh kesah keramaiannya, kaupun diajak singgah oleh ayahmu ke kota Shantou
yang terletak di Guang Dong, China bagian selatan. Dikota inilah teman ayahmu
Mr. Chen Cihong sebagai pengusaha besar kayu tinggal. Tak tanggung-tanggung
hampir berapa juta kubik kayu setiap pengiriman ke China. Ayahmu menjadi
pemasok utama kebutuhan akan ekspor kayu dibawah kendali Mr. Chen Cihong bahkan
kebutuhan kayu seluruh daratan China pusatnya ada di pelabuhan kota Shantou. Disamping sebagai pusat perkayuan, kota Shantou juga terkenal dengan Guang Dong Goward China Circuit Tekhnology Corporation atau
perusahaan pembuat layar, juga dekat dengan gedung DPR. Menarik bukan? Kau
mengikuti ayahmu dengan perlahan memasuki rumah yang mirip istana, seluas
25.400 meter persegi, rumah seluas ukuran satu kecamatan, ruangan kamarnya ada
506 kamar, dan kau memilih kamar dibagian atas yang menghadap danau buatan yang
dikelilingi dua patung naga raksasa dengan lidahnya yang menjulur-julur seperti
api, bola matanya yang merah marah, cakar-cakar kakinya yang tajam, siungnya
yang selalu basah oleh air liur, dan tubuhnya yang panjang meliuk-liuk, konon
patung naga raksasa itu dibuat untuk menghormati keluarga kerajaan pada masa
Dinasti Ming sebagai pemimpin yang berwibawa seperti naga.
“Huan Ying, Aura.”
Sapa Mr. Chen Cihong dengan bahasa mandarin sambil tersenyum lebar. Lalu menjulurkan
tangan kanannya untuk mengajakmu berjabat tangan. Dan kau hanya senyum kecil
sambil meraih tangannya namun kau sedikitpun tak tahu maksud dan arti
ucapannya. Ayah dan mamamu mengikuti untuk berjabat tangan dengan akrab. Ayah
dan Mr. Chen Cihong duduk dengan santai diruang depan yang luas dengan banyak
aneka minuman dan makanan, sepertinya lebih pas dibuat ruang kafe, musik
mandarin yang mendayu-dayu perlahan-lahan mulai terdengar dari piano yang telah
dimainkan oleh musisi perempuan cantik, putih dan menawan. Serasa kau seperti
bidadari yang baru saja turun dari langit. Asing namun bahagia.
Kau berjalan-jalan melihat ruangan luas yang penuh dengan
galeri lukisan dan foto-foto, kedua bola matamu tersekat pada beberapa foto lusuh
dan kurang pantas untuk dipajang. Tanganmu serasa kaku, kedua kakimu tak juga
mau beranjak pergi, tersekat seperti patung, nafasmu yang naik turun, mulutmu
terkunci rapat-rapat, alismu semakin mengerling, ayahmu dan mamamu serta Mr.
Chen Cihong masih terus berbincang-bincang, mau berteriak tak sanggup, mau
berlari tak kuat, hanya mematung dan kaku seperti robot. Seakan-akan perasaanmu
terjerat masuk ke dalam lukisan itu. Lukisan hutan gundul dengan dikelilingi
hewan-hewan yang naas dan beberapa bencana alam yang menerjang pemukiman ribuan
rumah penduduk, mereka menangis, kelaparan, kehausan bahkan menjemput kematian,
tanah-tanah tandus terhampar, kekeringan, tanah longsor dengan ratusan korban
menghiasinya, ada mesin-mesin berat pengangkut gelondongan kayu dengan beberapa
orang berpose menantang dengan gergaji sensonya ditangan kanan. Tubuhmu menjadi
limbung, keringat dingin terus merembes membasahi telapak tangan dan dahimu,
kau ketakutan, dan hanya ketakutan, kebahagiaan yang baru saja berputar-putar
pada relung hatimu berubah drastis. Kau menjadi seperti anak yang terasuki
iblis secara tiba-tiba, lalu kau menjerit sekencang-kencangnya.
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak…” seisi ruanganpun menjadi
kaget, sontak berlari mendekat dan memeluk tubuhmu yang telah basah oleh
keringat dingin yang menghebat serta pucat pasi.
“Ada apa Aura, kau kenapa? Kau sakit?” Tanya mamamu
tergopoh-gopoh bingung. Kau masih saja diam, lalu menangis sesenggukan seperti
menahan seribu godam kepedihan dalam hatimu.
“Aura kau kenapa, Sayang, tiba-tiba kau histeris begini?”
Tanya ayahmu khawatir sambil memegang dadamu yang masih tersengal-sengal.
“Aura Wei Shenme?”
Bicara Mr. Chen Cihong kaget.
Dan kau masih terus menangis sesenggukan. Alunan musik terhenti.
Semua menjadi kaget dan ikut menghampiri dirimu yang telah ketakutan. Tak lama
kaupun diajak menuju kamar atas sesuai dengan pilihanmu. Kau menerawang
jendela, kedua matamu tertuju pada danau dan patung naga raksasa.
Perlahan-lahan suaramu keluar memecah hingar-bingar di kerajaan Mr. Chen
Cihong.
“Mama, kenapa ayah tega pada mereka?” Bicaramu pelan pada
mama.
“Ada apa Aura? Mereka siapa?” Jawab mama penasaran.
“Mama tak lihat, ada beberapa deretan foto paling pojok,
bahwa Ayah telah menghabisi hutan-hutan kita, hingga ada banyak monyet, burung,
babi hutan, rusa, ayam hutan, merak, ular, tupai, dan lainnya mati karena
rumahnya telah dihanguskan.” Mata Aura berkaca-kaca.
Mamamu terdiam seperti hilang ingatan. Tak kuasa ia
bicara, hanya desahan nafasnya ikut larut dalam bicaramu.
“Belum lagi bencana banjir, tanah longsor, kekeringan,
terus terjadi setiap tahun, Ma. Ada banyak pohon-pohon harus ditebang, jati,
mahoni, sengon, trembesi, akasia, sawo, randu, akasia, semuanya hampir dihabisi
oleh Ayah. Ayah telah tega merusak hutannya sendiri namun yang lain harus mati.
Dan di pelabuhan kota Shantou ini semua pohon-pohon itu terkumpul. Jutaan
hektar setiap tahun hutan tropis kita tinggal kenangan, Ma.” Aura terus bicara
ngelantur seperti tutur orang dewasa.
Mamamu masih terus menggeleng-geleng tak percaya dan tak
kuasa ia terus menangis. Kemudian menutup kedua matanya dengan tangannya yang
telah menyesal. Sedangkan ayahmu tak juga datang menghampiri kamarmu karena
masih sibuk berbincang-bincang dengan koleganya. Hanya ada wanita muda, cantik,
rapi, menarik dengan berpakaian hitam putih mengetuk pintu kamarmu lalu masuk
dan menyodorkan minuman dingin dimejamu.
Bangilan, 21 September 2017.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda