Selasa, 03 Oktober 2017

Yang Terjungkal


Oleh. Rohmat Sholihin*

http://serenemaklong.blogspot.co.id/2014/11/bahana-hasad.html
            Nafas-nafas tersengal dari tubuh kering kerontang yang hampir saja putus, suaranya seperti seruling yang ditiup saat lembayung senja, mendayu-dayu mengiris sanubari, namun tak menyurutkan ia harus terus berlari terpincang-pincang, seakan terlihat tubuhnya mau ambruk, lidahnya menjulur-julur seperti anjing lapar, keringantnya tak lagi menetes karena isapan mineral dalam tubuhnya telah mengering, perutnya telah menyatu dengan tulang tak ada lagi sisa makanan dalam bentuk karbohidrat didalamnya. Dalam pikirannya selalu dihantui kematian dan ketakutan. Ia terus berlari mencari tempat yang paling aman, hutan, gua, sungai, pantai, bahkan gunung dengan jurang-jurangnya. Kakinya telah mengeras, tangannya telah mengepal. Matanya menjadi cekung dan tajam menatap awan. Lebih parah dari mayat hidup. Kali ini ia duduk tersungkur di bawah pohon mahoni, tangannya menggerayang-gerayang pada gundukan tanah kering, apa yang ia cari? Tak jelas.
            Jika ia ingat 45 tahun lalu ia bukanlah lelaki yang malang seperti saat ini. Tubuhnya gagah perkasa dan kuat. Tinjunya saja sekali kena musuh pasti tumbang. Tendangannya keras mematikan dan tentu saja mulutnya laksana halilintar sekali berdentam. Berapa juta orang-orang terbunuh akibat ulahmu. Tak lagi terhitung. Dan berapa kali orang-orang hilang entah kemana dengan aksi mulutmu? Bejat. Dan berapa peluru yang menyembur bertubi-tubi membunuh anak-anak muda yang tak berdosa. Kau katakan “revolusi” hanya tahi ayam dan bau kentut yang mudah dipadamkan. Sekali berkuasa tetaplah berkuasa. Mereka yang tak terima hanya kerikil jalanan, dekil, dan berdebu. Jika perlu di buldoser saja biar gepeng dan lebur berkeping-keping menjadi debu tak berguna, beterbangan kesana-kemari.
            Kini tubuh rentamu telah menjadi mayat hidup, bergentanyangan menyerupai hantu. Pada malam yang sunyi kau katakan lirih penuh harap keadilan dari penguasa tertinggi Tuhan yang dulu kau anggap raib dari kalbumu yang kering dan tandus.
            “Malam, tunjukkanlah padaku jalan yang aman meski hanya gelap yang kau tampakkan.” Bicaramu lirih tersapu angin malam. Komat-kamit mulutmu seperti membaca mantra dan lafal-lafal dari guru spritualmu yang dulu kau jadikan suara tuhan dan kini juga telah terjungkal oleh kesombongan dan kerakusanmu terhadap kekuasaan. Keberadaannya juga tidak jelas, entah masih hidup atau telah terbunuh oleh kemarahan hasil “revolusi” yang dulu kau tekan. Bahkan tokoh-tokohnya kau culik dan kau bunuh seperti tikus-tikus got, kau lemparkan ke sungai, sumur, jurang, laut bahkan jalanan.
            “Aku menjadi rapuh oleh ambisi-ambisiku yang telah meremukkan hatiku sebagai manusia. Lebih pantasnya aku bukan manusia namun akulah iblis yang bertubuh manusia.” Ujarnya pada malam yang tetap membisu, hanya rembulan tersenyum dengan sinarnya yang kian meredup tertutup awan mendung yang makin menghitam.
            “Sebentar lagi hujan, tanganku masih penuh dengan dosa dan kotor.”  Ia hentikan tangannya yang dari tadi mengais-ngais gundukan tanah merah membara. Seakan-akan ingin menghilangkan najis yang terkemas rapi dalam kepalan tangannya, agar debu-debu bisa membasuh jejak kekejamannya dimasa lampau. Dan sejarah memang bisa diputar balik oleh banyak kepentingan namun senandung kebenaran akan terekam jelas oleh semesta alam. Meski terkubur. Dan kebenaran akan bangkit.
            “Dimana mereka semua? Yang dulu selalu mengelu-elukan suaraku, yang sembunyi diketiakku, yang berjalan dengan kaki-kakiku, yang meronta-merengek dipundakku, bahkan menangis dipelukanku. Mereka tak ubahnya kerbau dungu yang membisu dikala kelu. Mereka seakan-akan telah lenyap ditelan bumi. Melupakan sesuatu yang telah menjadi sampah.” Ia terlihat lagi kebingungan menatap rintik hujan yang turun kian lebat. Tubuhnya ia rebahkan dengan telentang, putus asa, dan diam. Dingin tak lagi ia hiraukan. Ia ingin mati namun tak juga mati. Angin duduk yang ia harapkan tak juga menyerang jantungnya. Lapar yang menyerang seperti angin lalu, tubuhnya masih kuat dan tak juga mati.
            “Persetan dengan kemelut-kemelut lalu, itu hanya segala cara untuk meraih posisi puncak, konspirasi tepatnya. Kini aku telah sendiri, memilih jalan sunyi, pada suatu wilayah merah yang tak berujung, hampir semua datar tak ada cekung dan tak ada batas tertentu untuk meraih harapan untuk menjelma kembali menjadi manusia yang telah lama aku tinggalkan. Aku sekarang bukan manusia namun iblis setengah manusia bukan manusia setengah iblis. Atau mungkin sama saja. Ah…aku terjerambab di hitamnya sejarah perjalanan manusia yang paling kelam. Sekelam jurang dalam neraka jahanam.” Ia masih saja terkapar pada tanah merah yang penuh dengan air hujan. Ia biarkan tubuhnya semakin tenggelam dalam genangan air hujan yang telah memerah. Telinganya semakin tak kelihatan, rambutnya yang gimbal telah terendam, dan tentu saja mulut dan hidungnya pun semakin terendam. Ia biarkan saja seperti menjemput kematian yang telah ia rindukan. Namun, semakin matanya terpejam ia seperti masuk dalam ruang yang mengerikan. Ia kembali semburat bangkit dengan nafas yang ngos-ngosan.
“Hah, bayangan itu tak juga hilang. Apakah kematian seperti yang kubayangkan, mengerikan dan mengerikan. Kenapa mereka juga harus aku bunuh? Jugakah mereka merasakan bayangan seperti dalam pikiranku. Mengerikan, laksana tubuh dihempaskan dalam ruang luas tak terbatas dengan api biru yang berkobar-kobar, kematian bukanlah suatu penyelesaian akhir namun kematian membawa dampak perbuatan yang telah dilakukan selama nafas dan tenaga masih terbungkus kuat dalam raga.” Dirinya semakin kebingungan. Sendiri dan mencekam dalam gundukan tanah merah yang sangat mengancam.
“Kenapa hewan buas tidak juga menerkamku? Agar aku tak merasakan bayangan mengerikan itu lagi.” Rintihnya dengan penuh harap.
“Matahari bakarlah aku….”
“Angin lemparkanlah aku….”
“Bulan tindihlah tubuhku agar hancur lebur….”
“Oh Tuhan cabut segera nyawaku….”
“Setan ambil saja tubuhku…”
Keputus asa-anku semakin menjadi-jadi namun tak juga sampai pada keinginanku yaitu.
“Kematian. Agar aku terbebas dari rasa bersalah yang terus berputar-putar seperti hantu.”
“Sakit dan sungguh pengalaman hidup muram ini menjadi siksa hidup yang kian menghujam.”
Lalu ia bangkit dan kembali lagi berjalan terseot-seot menyusuri malam yang tak ada lagi rembulan dan bintang, hanya ada suara pikirannya sendiri yang semakin kencang menghiasi sekitarnya. Kesepian di hari tua seperti tiada habisnya. Sedangkan hari-hari yang ia rasakan semakin mengendap-endap menjadi siksa yang pedih, mengiris-iris pikirannya sendiri yang selalu tertekan oleh masa lalu yang telah ia gunakan seperti pedang, membunuh dirinya sendiri. Namun ia tak juga mati. Jika ia bunuh diri itu juga sama dengan kebiadaban yang telah ia lakukan dengan otak, tangan, kaki, tubuh, dan mulutnya. Pembunuhan terhadap dirinya sendiri belum tentu ia akan mati.
“Kemana lagi kakiku akan melangkah? Dan setiap ruangnya hampir pernah terjamah dalam pikiranku, tak terkecuali ruang angkasa. Atau mungkin? Oh tidaaaaak…kenapa ruangan itu lagi, api biru menyala-nyala yang melumat tubuhku. Semakin aku menghindari semakin jelas bayangan itu membuncah seperti hujan deras. Uuh…tak ada lagi tempat untuk sembunyi. Gua-gua yang terdalam masih saja ada bayangan itu. Hutan, jurang, gunung, selalu saja bayangan itu. Atau jangan-jangan aku telah menjadi edan.” Ia menarik nafasnya lagi. Tersengal-sengal dan kemudian berceloteh kembali.
“Manusia saja tak mengenaliku bahwa aku adalah tokoh dibalik peristiwa kelabu itu.”
“Dan kenapa aku harus lari? Aku telah takut dengan bayangan ketakutan itu sendiri. Menindih-nindih alam pikirku dan hatiku seperti meregang maut.”
“Hukum mati?”
“Tak juga aku ditangkap lalu ditembak atau di bom agar tubuhku hancur berkeping-keping.”
“Atau jangan-jangan Tuhan masih sayang padaku, memberikan kesempatan hidup lama padaku agar aku segera menebus dosa-dosaku dengan bertaubat. Menyesali dengan khidmat seperti tokoh-tokoh kafir yang telah menemukan jalan kebenaran.”
“Semoga saja.”
“Tapi, aku malu…”
“Tuhan hanya aku jadikan tempat pelampiasan sesaat ketika aku terjepit seperti ini. Dimana Tuhan ketika aku masih mempunyai kekuasaan, bahkan berkuasa memerintah melebihi kekuasaan Tuhan.”
“Tuhan terlalu suci menjadi tempatku bersimpuh.”
“Biarkan Tuhan sendiri yang menilai dan menghukumku. Aku tak punya hak atas kehidupanku kecuali Tuhan sendiri. Bahkan kematian yang telah lama aku inginkan tak juga sampai. Tuhan belum memberikan kenikmatan kematian padaku. Entah kapan datang waktu itu? Meski aku terlunta-lunta untuk mencapainya.”
“Ya, kematian yang kata orang adalah kenikmatan abadi bahkan ada yang senang menghadapi kematian. Karena ia akan kembali pada kehidupan berikutnya. Reinkarnasi dengan waktu yang tak tentu.” Ia masih terus berjalan dengan lelah. Tak ada lagi harapan dalam dadanya. Dan ia masih terlalu ketakutan dengan ambang batas kematian. Bayangannya masih saja yang keluar adalah gulatan api dan ruangan yang tak ada batasnya. Ia belum mampu melewati ketakuatn dan melawan ketakutan itu. Kesepian dalam hatinya teramat menyerang pasca ia terpatahkan dengan senjata makan tuan, revolusi tahi ayam. Revolusi tahi ayamnya telah membunuh karakternya sebagai tokoh yang keblinger juga. Orang-orang dekatnya semakin menjauh. Jauh bahkan ia telah menjadi tokoh yang terpinggirkan sampai ke pedalaman, suaranya saja tak ada yang mendengar kecuali batu, pohon, dan gunung.
Tuhan membiarkan ia gaduh dengan kecemasannya sendiri seperti kegaduhan-kegaduhan yang telah ia buat ketika masih berkuasa. Ia terus berjalan terseok-seok membawa setumpuk dosa kemanusiaan yang sangat kelam. Kematian tak juga menghampirinya namun hanya membayangi ingatannya yang kian hari kian memprihatinkan. Sendiri dalam kecemasan, terjungkal oleh pongah keangkuhannya.

Bangilan, 3 Oktober 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening





             


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda