Yang Terjungkal
Oleh. Rohmat
Sholihin*
http://serenemaklong.blogspot.co.id/2014/11/bahana-hasad.html
Nafas-nafas tersengal dari tubuh kering kerontang yang hampir
saja putus, suaranya seperti seruling yang ditiup saat lembayung senja, mendayu-dayu
mengiris sanubari, namun tak menyurutkan ia harus terus berlari terpincang-pincang,
seakan terlihat tubuhnya mau ambruk, lidahnya menjulur-julur seperti anjing
lapar, keringantnya tak lagi menetes karena isapan mineral dalam tubuhnya telah
mengering, perutnya telah menyatu dengan tulang tak ada lagi sisa makanan dalam
bentuk karbohidrat didalamnya. Dalam pikirannya selalu dihantui kematian dan
ketakutan. Ia terus berlari mencari tempat yang paling aman, hutan, gua,
sungai, pantai, bahkan gunung dengan jurang-jurangnya. Kakinya telah mengeras,
tangannya telah mengepal. Matanya menjadi cekung dan tajam menatap awan. Lebih parah
dari mayat hidup. Kali ini ia duduk tersungkur di bawah pohon mahoni, tangannya
menggerayang-gerayang pada gundukan tanah kering, apa yang ia cari? Tak jelas.
Jika ia ingat 45 tahun lalu ia bukanlah lelaki yang
malang seperti saat ini. Tubuhnya gagah perkasa dan kuat. Tinjunya saja sekali
kena musuh pasti tumbang. Tendangannya keras mematikan dan tentu saja mulutnya
laksana halilintar sekali berdentam. Berapa juta orang-orang terbunuh akibat
ulahmu. Tak lagi terhitung. Dan berapa kali orang-orang hilang entah kemana dengan
aksi mulutmu? Bejat. Dan berapa peluru yang menyembur bertubi-tubi membunuh
anak-anak muda yang tak berdosa. Kau katakan “revolusi” hanya tahi ayam dan bau
kentut yang mudah dipadamkan. Sekali berkuasa tetaplah berkuasa. Mereka yang
tak terima hanya kerikil jalanan, dekil, dan berdebu. Jika perlu di buldoser
saja biar gepeng dan lebur
berkeping-keping menjadi debu tak berguna, beterbangan kesana-kemari.
Kini tubuh rentamu telah menjadi mayat hidup,
bergentanyangan menyerupai hantu. Pada malam yang sunyi kau katakan lirih penuh
harap keadilan dari penguasa tertinggi Tuhan yang dulu kau anggap raib dari
kalbumu yang kering dan tandus.
“Malam, tunjukkanlah padaku jalan yang aman meski hanya
gelap yang kau tampakkan.” Bicaramu lirih tersapu angin malam. Komat-kamit
mulutmu seperti membaca mantra dan lafal-lafal dari guru spritualmu yang dulu
kau jadikan suara tuhan dan kini juga telah terjungkal oleh kesombongan dan
kerakusanmu terhadap kekuasaan. Keberadaannya juga tidak jelas, entah masih
hidup atau telah terbunuh oleh kemarahan hasil “revolusi” yang dulu kau tekan.
Bahkan tokoh-tokohnya kau culik dan kau bunuh seperti tikus-tikus got, kau
lemparkan ke sungai, sumur, jurang, laut bahkan jalanan.
“Aku menjadi rapuh oleh ambisi-ambisiku yang telah
meremukkan hatiku sebagai manusia. Lebih pantasnya aku bukan manusia namun
akulah iblis yang bertubuh manusia.” Ujarnya pada malam yang tetap membisu,
hanya rembulan tersenyum dengan sinarnya yang kian meredup tertutup awan
mendung yang makin menghitam.
“Sebentar lagi hujan, tanganku masih penuh dengan dosa
dan kotor.” Ia hentikan tangannya yang
dari tadi mengais-ngais gundukan tanah merah membara. Seakan-akan ingin
menghilangkan najis yang terkemas rapi dalam kepalan tangannya, agar debu-debu
bisa membasuh jejak kekejamannya dimasa lampau. Dan sejarah memang bisa diputar
balik oleh banyak kepentingan namun senandung kebenaran akan terekam jelas oleh
semesta alam. Meski terkubur. Dan kebenaran akan bangkit.
“Dimana mereka semua? Yang dulu selalu mengelu-elukan
suaraku, yang sembunyi diketiakku, yang berjalan dengan kaki-kakiku, yang
meronta-merengek dipundakku, bahkan menangis dipelukanku. Mereka tak ubahnya
kerbau dungu yang membisu dikala kelu. Mereka seakan-akan telah lenyap ditelan
bumi. Melupakan sesuatu yang telah menjadi sampah.” Ia terlihat lagi
kebingungan menatap rintik hujan yang turun kian lebat. Tubuhnya ia rebahkan
dengan telentang, putus asa, dan diam. Dingin tak lagi ia hiraukan. Ia ingin
mati namun tak juga mati. Angin duduk yang ia harapkan tak juga menyerang
jantungnya. Lapar yang menyerang seperti angin lalu, tubuhnya masih kuat dan
tak juga mati.
“Persetan dengan kemelut-kemelut lalu, itu hanya segala
cara untuk meraih posisi puncak, konspirasi tepatnya. Kini aku telah sendiri,
memilih jalan sunyi, pada suatu wilayah merah yang tak berujung, hampir semua
datar tak ada cekung dan tak ada batas tertentu untuk meraih harapan untuk
menjelma kembali menjadi manusia yang telah lama aku tinggalkan. Aku sekarang
bukan manusia namun iblis setengah manusia bukan manusia setengah iblis. Atau
mungkin sama saja. Ah…aku terjerambab di hitamnya sejarah perjalanan manusia
yang paling kelam. Sekelam jurang dalam neraka jahanam.” Ia masih saja terkapar
pada tanah merah yang penuh dengan air hujan. Ia biarkan tubuhnya semakin
tenggelam dalam genangan air hujan yang telah memerah. Telinganya semakin tak
kelihatan, rambutnya yang gimbal telah terendam, dan tentu saja mulut dan
hidungnya pun semakin terendam. Ia biarkan saja seperti menjemput kematian yang
telah ia rindukan. Namun, semakin matanya terpejam ia seperti masuk dalam ruang
yang mengerikan. Ia kembali semburat bangkit dengan nafas yang ngos-ngosan.
“Hah, bayangan
itu tak juga hilang. Apakah kematian seperti yang kubayangkan, mengerikan dan
mengerikan. Kenapa mereka juga harus aku bunuh? Jugakah mereka merasakan
bayangan seperti dalam pikiranku. Mengerikan, laksana tubuh dihempaskan dalam
ruang luas tak terbatas dengan api biru yang berkobar-kobar, kematian bukanlah
suatu penyelesaian akhir namun kematian membawa dampak perbuatan yang telah
dilakukan selama nafas dan tenaga masih terbungkus kuat dalam raga.” Dirinya
semakin kebingungan. Sendiri dan mencekam dalam gundukan tanah merah yang
sangat mengancam.
“Kenapa hewan
buas tidak juga menerkamku? Agar aku tak merasakan bayangan mengerikan itu
lagi.” Rintihnya dengan penuh harap.
“Matahari
bakarlah aku….”
“Angin
lemparkanlah aku….”
“Bulan tindihlah
tubuhku agar hancur lebur….”
“Oh Tuhan cabut
segera nyawaku….”
“Setan ambil
saja tubuhku…”
Keputus asa-anku
semakin menjadi-jadi namun tak juga sampai pada keinginanku yaitu.
“Kematian. Agar
aku terbebas dari rasa bersalah yang terus berputar-putar seperti hantu.”
“Sakit dan
sungguh pengalaman hidup muram ini menjadi siksa hidup yang kian menghujam.”
Lalu ia bangkit
dan kembali lagi berjalan terseot-seot menyusuri malam yang tak ada lagi
rembulan dan bintang, hanya ada suara pikirannya sendiri yang semakin kencang
menghiasi sekitarnya. Kesepian di hari tua seperti tiada habisnya. Sedangkan
hari-hari yang ia rasakan semakin mengendap-endap menjadi siksa yang pedih,
mengiris-iris pikirannya sendiri yang selalu tertekan oleh masa lalu yang telah
ia gunakan seperti pedang, membunuh dirinya sendiri. Namun ia tak juga mati.
Jika ia bunuh diri itu juga sama dengan kebiadaban yang telah ia lakukan dengan
otak, tangan, kaki, tubuh, dan mulutnya. Pembunuhan terhadap dirinya sendiri
belum tentu ia akan mati.
“Kemana lagi
kakiku akan melangkah? Dan setiap ruangnya hampir pernah terjamah dalam
pikiranku, tak terkecuali ruang angkasa. Atau mungkin? Oh tidaaaaak…kenapa
ruangan itu lagi, api biru menyala-nyala yang melumat tubuhku. Semakin aku
menghindari semakin jelas bayangan itu membuncah seperti hujan deras. Uuh…tak
ada lagi tempat untuk sembunyi. Gua-gua yang terdalam masih saja ada bayangan
itu. Hutan, jurang, gunung, selalu saja bayangan itu. Atau jangan-jangan aku
telah menjadi edan.” Ia menarik nafasnya lagi. Tersengal-sengal dan kemudian
berceloteh kembali.
“Manusia saja
tak mengenaliku bahwa aku adalah tokoh dibalik peristiwa kelabu itu.”
“Dan kenapa aku
harus lari? Aku telah takut dengan bayangan ketakutan itu sendiri.
Menindih-nindih alam pikirku dan hatiku seperti meregang maut.”
“Hukum mati?”
“Tak juga aku
ditangkap lalu ditembak atau di bom agar tubuhku hancur berkeping-keping.”
“Atau
jangan-jangan Tuhan masih sayang padaku, memberikan kesempatan hidup lama
padaku agar aku segera menebus dosa-dosaku dengan bertaubat. Menyesali dengan
khidmat seperti tokoh-tokoh kafir yang telah menemukan jalan kebenaran.”
“Semoga saja.”
“Tapi, aku
malu…”
“Tuhan hanya aku
jadikan tempat pelampiasan sesaat ketika aku terjepit seperti ini. Dimana Tuhan
ketika aku masih mempunyai kekuasaan, bahkan berkuasa memerintah melebihi
kekuasaan Tuhan.”
“Tuhan terlalu
suci menjadi tempatku bersimpuh.”
“Biarkan Tuhan
sendiri yang menilai dan menghukumku. Aku tak punya hak atas kehidupanku
kecuali Tuhan sendiri. Bahkan kematian yang telah lama aku inginkan tak juga
sampai. Tuhan belum memberikan kenikmatan kematian padaku. Entah kapan datang
waktu itu? Meski aku terlunta-lunta untuk mencapainya.”
“Ya, kematian
yang kata orang adalah kenikmatan abadi bahkan ada yang senang menghadapi
kematian. Karena ia akan kembali pada kehidupan berikutnya. Reinkarnasi dengan
waktu yang tak tentu.” Ia masih terus berjalan dengan lelah. Tak ada lagi harapan
dalam dadanya. Dan ia masih terlalu ketakutan dengan ambang batas kematian.
Bayangannya masih saja yang keluar adalah gulatan api dan ruangan yang tak ada
batasnya. Ia belum mampu melewati ketakuatn dan melawan ketakutan itu. Kesepian
dalam hatinya teramat menyerang pasca ia terpatahkan dengan senjata makan tuan,
revolusi tahi ayam. Revolusi tahi ayamnya telah membunuh karakternya sebagai
tokoh yang keblinger juga. Orang-orang dekatnya semakin menjauh. Jauh bahkan ia
telah menjadi tokoh yang terpinggirkan sampai ke pedalaman, suaranya saja tak
ada yang mendengar kecuali batu, pohon, dan gunung.
Tuhan membiarkan
ia gaduh dengan kecemasannya sendiri seperti kegaduhan-kegaduhan yang telah ia
buat ketika masih berkuasa. Ia terus berjalan terseok-seok membawa setumpuk
dosa kemanusiaan yang sangat kelam. Kematian tak juga menghampirinya namun
hanya membayangi ingatannya yang kian hari kian memprihatinkan. Sendiri dalam
kecemasan, terjungkal oleh pongah keangkuhannya.
Bangilan, 3 Oktober 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda