Jumat, 13 Oktober 2017

“Cita-Cita dalam Sepatu Dahlan”

https://twitter.com/sepatudahlan
Membaca kisah orang hebat membutuhkan persiapan emosi dan pemikiran yang serba hebat. Karena untuk memahami pemikiran-pemikiran orang hebat itu tidaklah mudah namun menantang dan membikin kita seperti orang terhipnotis. Tertantang dengan segala kisah yang sangat dramatis. Terharu dengan segala kisah pilu. Ternyata orang-orang hebat itu mempunyai pengalaman-pengalaman yang tidak semua orang kuat, jika pengalaman itu pahit, pahitnya melebihi empedu, jika pengalaman itu manis, manisnya melebihi gula sekalipun. Dunia seakan digenggam dengan kepalan tangannya, dunia seakan milik mereka. Seperti membaca kisah “Sepatu Dahlan” (Trilogi Novel Inspirasi Dahlan Iskan) karya Krishna Pabhicara membuatku terhuyung-huyung pilu dengan segala kisah yang telah dialami tokoh hebat seperti Dahlan Iskan. Kita sebagai pembaca seakan diseret pelan-pelan oleh gaya bahasa yang begitu menarik, eksotis dari penulis sekelas Krishna Pabhicara atau lebih dikenal dengan sebutan Daeng Marewa. Ia menceritakan kisah Dahlan Iskan mulai dari kecil yang hidup dalam kemelaratan karena keadaan. Seperti apa yang telah dikutip dari Dahlan Iskan sendiri pada halaman pembuka bahwa : “Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.” Kutipan ini menggambarkan realitas yang telah dihadapi oleh banyak orang-orang sekarang, dengan gaya hidup yang seakan di sesuaikan dengan apa yang telah dihadapi oleh lingkungan sekarang, dimana hidup dalam kungkungan kemajuan informasi yang sangat tinggi, hampir semua orang melakukan aktifitas hidupnya tak luput dari alat komunikasi yaitu gadget canggih yang telah menyebarkan banyak kebudayaan-kebudayaan globalisasi yang berhasil menuntun pikiran banyak orang didunia. Mereka tak bisa lepas dari yang namanya viral dan popularitas. Sehingga banyak orang-orang yang hidup dalam kemiskinan ikut larut dalam situasi yang tidak pernah menguntungkan nasibnya. Gaya hidup dan sosialita manusia modern menjadi primadona dan penasaran untuk diikuti namun sangat menyesatkan karena kesulitan yang mereka hadapi adalah kemiskinan bukan kelaparan.
            Ya, kemiskinan bukanlah sama dengan kelaparan. Kemiskinan yang dialami Dahlan Iskan dan masyarakat yang berada di Kebon Dalem-Magetan bukanlah kelaparan, atau besok dan besoknya lagi tak bisa makan. Tapi lebih tepatnya adalah kemiskinan dan kebodohan. Mereka hidup ditanah yang gembur dan subur dengan kebun tebu yang berhektar-hektar, namun tanah-tanah subur itu bukanlah milik mereka namun milik tuan-tuan tanah yang super kaya dan tanah-tanah yang lain adalah milik negara. Mereka masih bisa makan sehari-hari layaknya orang normal, namun kebudayaan mereka yang telah dibodohkan oleh sistem yang jahat. Mereka hanya sebagai kuli yang bekerja dikebun-kebun tebu milik juragan tanah. Mereka dibayar, digaji meski hasilnya kecil dan hanya untuk menyumbal perut mereka dari kelaparan sehingga tak ada kesempatan untuk menyumbal otak mereka dengan pengetahuan-pengetahuan yang bisa merubah cara berfikir dan juga prinsip hidup mereka. Pengetahuan yang ada di sekolah bagaikan barang langka yang hanya milik kaum priyayi saja. Mereka sebagai anak kuli enggan dan merasa tak kuat karena berbenturan dengan keadaan mereka yaitu kemiskinan. Belum lagi mereka yang tak bisa mengelola kekayaannya karena permodalan. Lama-lama pun habis. Sehingga untuk mencukupi kebutuhan hidup tiada cara lain kecuali harus menjual tanah-tanah mereka pada tuan-tuan tanah. Sehingga tanah mereka rela terjual dan mereka rela bekerja menggarap tanah-tanahnya yang telah terjual.
Dalam halaman pembuka ada lagi catatan pengarang yang juga tak kalah menarik :
            Sumur-sumur tua di Soco, Cigrok, dan Dusun Dadapan benar-benar ada, cuma sekarang sudah berbeda dengan kondisi tahun 1948-1964. Laskar Merah dan Front Demokrasi Rakyat pernah mewarnai perjalanan hidup bangsa Indonesia. Pembantaian missal terhadap anggota atau simpatisan PKI-tanpa tuduhan atau pengadilan-juga pernah terjadi.
Negeri ini memang sebuah pigura yang full colour, ibarat lukisan adalah lukisan yang
lengkap, baik tanah nya yang luas, hutannya yang luas, sungainya yang panjang, lautnya yang luas, hasil kekayaannya yang besar, juga masyarakatnya yang beraneka macam. Namun juga tak kalah kisah-kisah heroik, kisah-kisah kekerasan yang menguras banyak air mata serta kesedihan. Kisah perjalanan anak bangsa yang tak luput dari kekhilafan demi sebuah perebutan kekuasaan. Buku ini sedikit menceritakan tentang tragedi sejarah di negeri ini, pembantaian PKI. Berapa ribu nyawa harus melayang demi stabilitas nasional, menghancurkan sampai akar-akarnya, atau bisa juga disebut pembersihan etnis. Meski PKI hanyalah sebuah partai politik.
            Dahlan kecil lebih memilih pendidikan pesantren Takeran meski dalam hatinya merindukan bersekolah di umum seperti SMP Magetan. Karena niatnya untuk bersekolah di SMP Magetan mendapatkan tentangan dari sang Bapak. Sang Bapak lebih memilihkan ia untuk mencari ilmu di pesantren dan juga bersekolah di MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah). Akibat kemiskinan banyak juga orang-orang miskin seusia Dahlan ketika bersekolah tidak memakai sepatu, mereka berangkat sekolah dengan nyeker, tak terkecuali Dahlan kecil betapa merindukannya ia terhadap sepatu untuk bersekolah, seperti dalam kutipannya : Terima kasih masih diizinkan sekolah meskipun Dahlan sudah bikin Bapak kecewa. Tapi, Dahlan tidak mau sekolah di Tsanawiyah Takeran. Apapun resikonya, Dahlan harus sekolah di SMP Magetan. Dahlan tahu alasan bapak pasti karena biaya sekolah yang selangit, buku-buku yang mahal, seragam yang tak terbeli, belum lagi harus ada sepatu dan sepeda. Dahlan janji, tak perlu pakai sepatu atau sepeda ke sekolah. Pak. Dahlan bisa jalan walau tanpa alas kaki. Dahlan kuat, Pak. Boleh ya, Pak?
            Meski akhirnya Dahlan harus rela menghabiskan waktunya untuk menempa pendidikan di pesantren Takeran. Dengan waktu yag terus berjalan, akhirnya Dahlan menikmati pendidikan pesantren. Ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan pesantren Takeran yang sudah berdiri sejak tahun 1880, bahkan bisa dikatakan pendidikan pesantren tertua di daerah Magetan. Ia mondok di Kyai Mursyid dan banyak belajar hidup dari Kyai Musrsyid.
            Pendidikan pesantren yang telah membentuk kepribadian Dahlan yang santun, sabar, dan juga ulet dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup di kemudian hari. Buktinya, ia mampu membuktikan bahwa seorang santri juga bisa menjadi CEO Jawa Pos dan beberapa bisnis-bisnis lainnya bahkan telah berhasil sampai ke sekelas Menteri tepatnya Menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.
            Lebih mengiris-iris hati lagi, kisah-kisahnya pak Dahlan dalam berjuang dan bertahan dengan penyakitnya yang mematikan yaitu kanker hati atau sirosis. Dan penyakit ini juga telah membunuh saudara-saudara Dahlan Iskan di Magetan.  Hingga ia memutuskan untuk ganti hati di rumah sakit Tianjin China. Ia mampu bertahan hidup hingga sekarang. Tentu saja dengan hatinya yang baru, ia mulai kehidupan baru baik semangat, optimis dan keceriaan hidup. Meski pada dasarnya makna kehidupan adalah bertahan untuk hidup. Lebih detail lagi silahkan membaca kisah novel yang mengharu biru dengan judul Sepatu Dahlan. Karena A. Fuadi penulis buku Negeri 5 Menara bilang, “Ini jenis buku yang bikin candu! Saya tak mampu berhenti membalik halaman sampai tamat.”


Rohmat Sholihin
Anggota Komunitas Kali Kening.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda