“Cita-Cita dalam Sepatu Dahlan”
https://twitter.com/sepatudahlan
Membaca kisah orang hebat membutuhkan persiapan emosi dan pemikiran yang
serba hebat. Karena untuk memahami pemikiran-pemikiran orang hebat itu tidaklah
mudah namun menantang dan membikin kita seperti orang terhipnotis. Tertantang
dengan segala kisah yang sangat dramatis. Terharu dengan segala kisah pilu.
Ternyata orang-orang hebat itu mempunyai pengalaman-pengalaman yang tidak semua
orang kuat, jika pengalaman itu pahit, pahitnya melebihi empedu, jika
pengalaman itu manis, manisnya melebihi gula sekalipun. Dunia seakan digenggam
dengan kepalan tangannya, dunia seakan milik mereka. Seperti membaca kisah “Sepatu Dahlan” (Trilogi Novel Inspirasi
Dahlan Iskan) karya Krishna Pabhicara membuatku terhuyung-huyung pilu
dengan segala kisah yang telah dialami tokoh hebat seperti Dahlan Iskan. Kita
sebagai pembaca seakan diseret pelan-pelan oleh gaya bahasa yang begitu
menarik, eksotis dari penulis sekelas Krishna Pabhicara atau lebih dikenal
dengan sebutan Daeng Marewa. Ia menceritakan kisah Dahlan Iskan mulai dari
kecil yang hidup dalam kemelaratan karena keadaan. Seperti apa yang telah
dikutip dari Dahlan Iskan sendiri pada halaman pembuka bahwa : “Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani
apa adanya.” Kutipan ini menggambarkan realitas yang telah dihadapi oleh
banyak orang-orang sekarang, dengan gaya hidup yang seakan di sesuaikan dengan
apa yang telah dihadapi oleh lingkungan sekarang, dimana hidup dalam kungkungan
kemajuan informasi yang sangat tinggi, hampir semua orang melakukan aktifitas
hidupnya tak luput dari alat komunikasi yaitu gadget canggih yang telah
menyebarkan banyak kebudayaan-kebudayaan globalisasi yang berhasil menuntun
pikiran banyak orang didunia. Mereka tak bisa lepas dari yang namanya viral dan
popularitas. Sehingga banyak orang-orang yang hidup dalam kemiskinan ikut larut
dalam situasi yang tidak pernah menguntungkan nasibnya. Gaya hidup dan
sosialita manusia modern menjadi primadona dan penasaran untuk diikuti namun
sangat menyesatkan karena kesulitan yang mereka hadapi adalah kemiskinan bukan
kelaparan.
Ya, kemiskinan bukanlah sama dengan
kelaparan. Kemiskinan yang dialami Dahlan Iskan dan masyarakat yang berada di
Kebon Dalem-Magetan bukanlah kelaparan, atau besok dan besoknya lagi tak bisa
makan. Tapi lebih tepatnya adalah kemiskinan dan kebodohan. Mereka hidup
ditanah yang gembur dan subur dengan kebun tebu yang berhektar-hektar, namun
tanah-tanah subur itu bukanlah milik mereka namun milik tuan-tuan tanah yang
super kaya dan tanah-tanah yang lain adalah milik negara. Mereka masih bisa
makan sehari-hari layaknya orang normal, namun kebudayaan mereka yang telah
dibodohkan oleh sistem yang jahat. Mereka hanya sebagai kuli yang bekerja
dikebun-kebun tebu milik juragan tanah. Mereka dibayar, digaji meski hasilnya
kecil dan hanya untuk menyumbal perut mereka dari kelaparan sehingga tak ada
kesempatan untuk menyumbal otak mereka dengan pengetahuan-pengetahuan yang bisa
merubah cara berfikir dan juga prinsip hidup mereka. Pengetahuan yang ada di
sekolah bagaikan barang langka yang hanya milik kaum priyayi saja. Mereka
sebagai anak kuli enggan dan merasa tak kuat karena berbenturan dengan keadaan
mereka yaitu kemiskinan. Belum lagi mereka yang tak bisa mengelola kekayaannya
karena permodalan. Lama-lama pun habis. Sehingga untuk mencukupi kebutuhan
hidup tiada cara lain kecuali harus menjual tanah-tanah mereka pada tuan-tuan
tanah. Sehingga tanah mereka rela terjual dan mereka rela bekerja menggarap
tanah-tanahnya yang telah terjual.
Dalam halaman pembuka ada lagi catatan pengarang yang juga tak kalah
menarik :
Sumur-sumur
tua di Soco, Cigrok, dan Dusun Dadapan benar-benar ada, cuma sekarang sudah
berbeda dengan kondisi tahun 1948-1964. Laskar Merah dan Front Demokrasi Rakyat
pernah mewarnai perjalanan hidup bangsa Indonesia. Pembantaian missal terhadap
anggota atau simpatisan PKI-tanpa tuduhan atau pengadilan-juga pernah terjadi.
Negeri ini memang sebuah pigura yang full
colour, ibarat lukisan adalah lukisan yang
lengkap, baik
tanah nya yang luas, hutannya yang luas, sungainya yang panjang, lautnya yang
luas, hasil kekayaannya yang besar, juga masyarakatnya yang beraneka macam.
Namun juga tak kalah kisah-kisah heroik, kisah-kisah kekerasan yang menguras
banyak air mata serta kesedihan. Kisah perjalanan anak bangsa yang tak luput
dari kekhilafan demi sebuah perebutan kekuasaan. Buku ini sedikit menceritakan
tentang tragedi sejarah di negeri ini, pembantaian PKI. Berapa ribu nyawa harus
melayang demi stabilitas nasional, menghancurkan sampai akar-akarnya, atau bisa
juga disebut pembersihan etnis. Meski PKI hanyalah sebuah partai politik.
Dahlan kecil lebih memilih
pendidikan pesantren Takeran meski dalam hatinya merindukan bersekolah di umum
seperti SMP Magetan. Karena niatnya untuk bersekolah di SMP Magetan mendapatkan
tentangan dari sang Bapak. Sang Bapak lebih memilihkan ia untuk mencari ilmu di
pesantren dan juga bersekolah di MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah
Aliyah). Akibat kemiskinan banyak juga orang-orang miskin seusia Dahlan ketika
bersekolah tidak memakai sepatu, mereka berangkat sekolah dengan nyeker, tak terkecuali Dahlan kecil
betapa merindukannya ia terhadap sepatu untuk bersekolah, seperti dalam
kutipannya : Terima kasih masih diizinkan
sekolah meskipun Dahlan sudah bikin Bapak kecewa. Tapi, Dahlan tidak mau
sekolah di Tsanawiyah Takeran. Apapun resikonya, Dahlan harus sekolah di SMP
Magetan. Dahlan tahu alasan bapak pasti karena biaya sekolah yang selangit,
buku-buku yang mahal, seragam yang tak terbeli, belum lagi harus ada sepatu dan
sepeda. Dahlan janji, tak perlu pakai sepatu atau sepeda ke sekolah. Pak. Dahlan
bisa jalan walau tanpa alas kaki. Dahlan kuat, Pak. Boleh ya, Pak?
Meski akhirnya Dahlan harus rela
menghabiskan waktunya untuk menempa pendidikan di pesantren Takeran. Dengan
waktu yag terus berjalan, akhirnya Dahlan menikmati pendidikan pesantren. Ia
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan pesantren Takeran yang sudah berdiri
sejak tahun 1880, bahkan bisa dikatakan pendidikan pesantren tertua di daerah
Magetan. Ia mondok di Kyai Mursyid dan banyak belajar hidup dari Kyai Musrsyid.
Pendidikan pesantren yang telah
membentuk kepribadian Dahlan yang santun, sabar, dan juga ulet dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan hidup di kemudian hari. Buktinya, ia mampu membuktikan
bahwa seorang santri juga bisa menjadi CEO Jawa Pos dan beberapa bisnis-bisnis
lainnya bahkan telah berhasil sampai ke sekelas Menteri tepatnya Menteri BUMN
era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Kabinet Indonesia Bersatu
jilid II.
Lebih mengiris-iris hati lagi,
kisah-kisahnya pak Dahlan dalam berjuang dan bertahan dengan penyakitnya yang
mematikan yaitu kanker hati atau sirosis. Dan penyakit ini juga telah membunuh
saudara-saudara Dahlan Iskan di Magetan. Hingga ia memutuskan untuk ganti hati di rumah
sakit Tianjin China. Ia mampu bertahan hidup hingga sekarang. Tentu saja dengan
hatinya yang baru, ia mulai kehidupan baru baik semangat, optimis dan keceriaan
hidup. Meski pada dasarnya makna kehidupan adalah bertahan untuk hidup. Lebih
detail lagi silahkan membaca kisah novel yang mengharu biru dengan judul Sepatu Dahlan. Karena A. Fuadi penulis
buku Negeri 5 Menara bilang, “Ini jenis
buku yang bikin candu! Saya tak mampu berhenti membalik halaman sampai tamat.”
Rohmat Sholihin
Anggota Komunitas Kali Kening.
Anggota Komunitas Kali Kening.
Label: Resensi Buku
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda