Senin, 30 Oktober 2017

Harga Cabai dan Tulisan

http://www.metrosulawesi.com/article/ibu-rumah-tangga-keluhkan-kenaikan-harga-cabai
            Harga cabai saat ini menjulang tinggi, kira-kira mendekati level harga Rp. 125.000,00/kg, ada yang sampai Rp. 160.000,00/kg. Jika dibandingkan dengan harga beras jauh, harga beras yang umum di konsumsi oleh masyarakat berkisar dengan harga Rp. 9000,00-15.000,00/kg, meskipun ada yang masih murah bisa sekitar Rp. 6000,00-7000,00/kg. Saya kurang tahu apakah harga cabai juga akan mengikuti harga international sesuai dengan harga BBM dunia atau juga mengikuti naik turunnya mata uang Dolar USA.
            Sah-sah saja, harga cabai turun naik. Namun yang menjadi sumpyoh tak lain masyarakat kecil yang penghasilannya sangat terbatas. Mereka harus menjerit untuk bisa makan hanya dengan sambal yang bahannya dari cabai. Apa mereka harus makan dengan nasi dan garam doang? Kata Bang Haji Rhoma sungguh terlalu. Negara Indonesia yang dalam syair lagunya tidak berubah 150 juta penduduk Indonesia, yang telah mendiami pulau 17.506 pulau yang hampir semua kaya akan sumber daya alam dan subur namun merasa gulung komeng ketika harga cabai menjulang tinggi.  Kenapa? Tak lain karena sumber daya manusia kita yang kurang diberdayakan oleh kebijakan pemerintah yang memihak kepada para petani dan nelayan. Kebijakan yang mana, Bro? Lihat saja lah, harga pupuk melambung tinggi dan sulit barangnya ketika menjelang musim tanam, ketika musim panen harga terjun bebas, bahkan demi kemudahan akan mendapatkan pupuk dan fasilitas-fasilitas lainnya mereka kaum petani harus dikotak-kotak dengan kelompok-kelompok tani dengan indikasi ada muatan politis didalamnya, artinya orang partai turun tangan sendiri dengan membuat kelompok-kelompok tani yang notabene-nya ada unsur dibalik batu, eh, ada unsur timbal baliknya. Sehingga petani yang tidak merasa ikut dalam kelompoknya merasa enggan untuk mendapatkan pupuk dan fasilitas yang lain.
            Begitu juga peranan modal yang telah digelontorkan pihak bank besar-besaran dan mudah aksesnya namun apalah daya ketika harga pupuk kian mahal dan sulit, harga terjun bebas ketika panen. Waktu setoran bank tiba ternyata sisa uang hanya sangat minim tak sepadan dengan pikiran dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh petani. Ada tangan-tangan yang tak terlihat seperti jaring laba-laba yang menyandera langkah dan peranan petani kita untuk maju dan sejahtera.
            Semenjak ekonomi kapitalis mendominasi dunia. Tak ada tempat lubang atau celah untuk menghindar. Semua apapun telah dihitung untung dan rugi. Termasuk buang hajatpun tak luput dari sistem kapitalis. Uang seperti tuhan. Bahkan telah menggeser nilai-nilai ketuhanan itu sendiri. Maaf meminjam istilah tokoh filsuf  Nietzsche, bahwa tuhan telah mati. Karena banyak nilai-nilai dalam keagamaan harus berubah mengikuti hingar-bingar kapitalis raya yang kian menghantam seisi alam. Nilai-nilai ketuhanan telah banyak dilanggar oleh manusianya sendiri sehingga tak berlaku lagi. Termasuk dalam ekonomi uang tetap menjadi nilai yang paling dominan. Nilai uang sangat menentukan bagi perkembangan zaman.
            Kembali ke harga cabai. Siapa yang tidak butuh cabai dalam hal memasak? Hampir semua membutuhkan, ibu rumah tangga, dan bisnis makanan baik diwarung, pabrik maupun restoran. Jika harga cabai meninggi, sudah pasti harga akan mengikuti naik, kalau tidak bisa naik dipastikan ada indikasi mengurangi mutu atau kualitas yang terkadang berbuat nakal dengan mengganti rasa pedasnya cabe dengan yang lain. Karena dituntut untuk terus menarik para konsumen. Sedangkan konsumen ikut ngamuk-ngamuk jika harganya ikut naik padahal harga bahan dasar seperti cabai telah naik. Siapa yang salah? Tak semudah itu untuk saling menyalahkan. Namun semua apapun dalam pemerintahan sudah pasti ada yang menangani dan mengatur dalam sebuah kebijakan. Jika pemerintah cerdas mereka akan menawarkan solusi dan membina sebelum jauh hari gejala itu akan terjadi. Tanpa memperdulikan lagi unsur kepentingan politis tertentu. Karena rakyat kecil akan lebih mudah dan memahami jika hidupnya sejahtera dan makmur sudah pastianya akan bisa menilai siapa yang layak untuk menjadi panutan atau  pemimpin tanpa gembar-gembor bicara melalui pengeras suara dengan sejuta program yang hasilnya nol persen alias tanpa ada realisasi. Rakyat akan menjadi mantap dengan pilihannya yang sudah terbukti dengan kebijakan-kebijakan yang lebih memihaknya. Ingat bicara pemerintah harus ada kebijakan yang akan diambil dan diterapkan kepada masyarakatnya. Percuma studi banding keluar negeri dengan alasan “kungker” yang menghabiskan uang rakyat trilyunan namun hasil kerjanya tidak pernah mengena sasaran. Lebih baik dana “kungker” yang besar itu digunakan untuk membantu fasilitas rakyat kecil yang kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Itu lebih realistis.
            Lantas apa hubungannya harga cabai dengan tulisan seperti pada judul diatas? Harga cabai boleh sekali waktu melambung tinggi, mendominasi harga emas atau pesawat tempur sekalipun, toh tanaman cabai bisa ditanam dengan mudah di negeri kita yang subur. Dalam sekejap kebutuhan cabai bisa diatasi. Rakyat kecil masih bisa menikmati pedasnya cabai. Namun jika harga tulisan yang naik? Harga tulisan jenis apa? Semuanya. Negeri ini yang tidak suka dengan tulisan tentu saja tidak begitu tertarik bahkan acuh tak acuh. Sedangkan tulisan yang masih banyak terbilang gratis saja masyarakat kita enggan melahapnya. Untuk apa? Mereka masih tak tahu manfaat tulisan dalam kehidupannya sendiri. Mereka masih sibuk dengan urusan perut, bukan urusan pikiran. Padahal urusan perut dan urusan pikiran sama-sama penting. Dan semua itu kita kembalikan lagi pada kebijakan-kebijakan yang telah dipikirkan oleh pemerintahan sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dalam negeri ini. Dengan pikiran harga cabai yang tinggi masih bisa dipikirkan, sedangkan masalah pikiran perut tak juga mau mengerti.

Bangilan, 31 Oktober 2017.
Rohmat Sholihin*

*Anggota Komunitas Kali Kening

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda