Harga Cabai dan Tulisan
http://www.metrosulawesi.com/article/ibu-rumah-tangga-keluhkan-kenaikan-harga-cabai
Harga cabai saat ini menjulang tinggi, kira-kira
mendekati level harga Rp. 125.000,00/kg, ada yang sampai Rp. 160.000,00/kg.
Jika dibandingkan dengan harga beras jauh, harga beras yang umum di konsumsi
oleh masyarakat berkisar dengan harga Rp. 9000,00-15.000,00/kg, meskipun ada
yang masih murah bisa sekitar Rp. 6000,00-7000,00/kg. Saya kurang tahu apakah
harga cabai juga akan mengikuti harga international sesuai dengan harga BBM dunia
atau juga mengikuti naik turunnya mata uang Dolar USA.
Sah-sah saja, harga cabai turun naik. Namun yang menjadi
sumpyoh tak lain masyarakat kecil yang penghasilannya sangat terbatas. Mereka
harus menjerit untuk bisa makan hanya dengan sambal yang bahannya dari cabai. Apa
mereka harus makan dengan nasi dan garam doang?
Kata Bang Haji Rhoma sungguh terlalu. Negara Indonesia yang dalam syair lagunya
tidak berubah 150 juta penduduk Indonesia, yang telah mendiami pulau 17.506
pulau yang hampir semua kaya akan sumber daya alam dan subur namun merasa
gulung komeng ketika harga cabai menjulang tinggi. Kenapa? Tak lain karena sumber daya manusia kita
yang kurang diberdayakan oleh kebijakan pemerintah yang memihak kepada para
petani dan nelayan. Kebijakan yang mana, Bro? Lihat saja lah, harga pupuk melambung
tinggi dan sulit barangnya ketika menjelang musim tanam, ketika musim panen
harga terjun bebas, bahkan demi kemudahan akan mendapatkan pupuk dan
fasilitas-fasilitas lainnya mereka kaum petani harus dikotak-kotak dengan
kelompok-kelompok tani dengan indikasi ada muatan politis didalamnya, artinya
orang partai turun tangan sendiri dengan membuat kelompok-kelompok tani yang
notabene-nya ada unsur dibalik batu, eh, ada unsur timbal baliknya. Sehingga petani
yang tidak merasa ikut dalam kelompoknya merasa enggan untuk mendapatkan pupuk
dan fasilitas yang lain.
Begitu juga peranan modal yang telah digelontorkan pihak
bank besar-besaran dan mudah aksesnya namun apalah daya ketika harga pupuk kian
mahal dan sulit, harga terjun bebas ketika panen. Waktu setoran bank tiba
ternyata sisa uang hanya sangat minim tak sepadan dengan pikiran dan tenaga yang
telah dikeluarkan oleh petani. Ada tangan-tangan yang tak terlihat seperti
jaring laba-laba yang menyandera langkah dan peranan petani kita untuk maju dan
sejahtera.
Semenjak ekonomi kapitalis mendominasi dunia. Tak ada
tempat lubang atau celah untuk menghindar. Semua apapun telah dihitung untung
dan rugi. Termasuk buang hajatpun tak luput dari sistem kapitalis. Uang seperti
tuhan. Bahkan telah menggeser nilai-nilai ketuhanan itu sendiri. Maaf meminjam
istilah tokoh filsuf Nietzsche, bahwa
tuhan telah mati. Karena banyak nilai-nilai dalam keagamaan harus berubah
mengikuti hingar-bingar kapitalis raya yang kian menghantam seisi alam. Nilai-nilai
ketuhanan telah banyak dilanggar oleh manusianya sendiri sehingga tak berlaku
lagi. Termasuk dalam ekonomi uang tetap menjadi nilai yang paling dominan. Nilai
uang sangat menentukan bagi perkembangan zaman.
Kembali ke harga cabai. Siapa yang tidak butuh cabai
dalam hal memasak? Hampir semua membutuhkan, ibu rumah tangga, dan bisnis
makanan baik diwarung, pabrik maupun restoran. Jika harga cabai meninggi, sudah
pasti harga akan mengikuti naik, kalau tidak bisa naik dipastikan ada indikasi mengurangi
mutu atau kualitas yang terkadang berbuat nakal dengan mengganti rasa pedasnya cabe
dengan yang lain. Karena dituntut untuk terus menarik para konsumen. Sedangkan konsumen
ikut ngamuk-ngamuk jika harganya ikut naik padahal harga bahan dasar seperti cabai
telah naik. Siapa yang salah? Tak semudah itu untuk saling menyalahkan. Namun semua
apapun dalam pemerintahan sudah pasti ada yang menangani dan mengatur dalam
sebuah kebijakan. Jika pemerintah cerdas mereka akan menawarkan solusi dan
membina sebelum jauh hari gejala itu akan terjadi. Tanpa memperdulikan lagi unsur
kepentingan politis tertentu. Karena rakyat kecil akan lebih mudah dan memahami
jika hidupnya sejahtera dan makmur sudah pastianya akan bisa menilai siapa yang
layak untuk menjadi panutan atau pemimpin
tanpa gembar-gembor bicara melalui pengeras suara dengan sejuta program yang
hasilnya nol persen alias tanpa ada realisasi. Rakyat akan menjadi mantap
dengan pilihannya yang sudah terbukti dengan kebijakan-kebijakan yang lebih
memihaknya. Ingat bicara pemerintah harus ada kebijakan yang akan diambil dan
diterapkan kepada masyarakatnya. Percuma studi banding keluar negeri dengan
alasan “kungker” yang menghabiskan uang rakyat trilyunan namun hasil kerjanya
tidak pernah mengena sasaran. Lebih baik dana “kungker” yang besar itu
digunakan untuk membantu fasilitas rakyat kecil yang kesulitan untuk
mengembangkan usahanya. Itu lebih realistis.
Lantas apa hubungannya harga cabai dengan tulisan seperti
pada judul diatas? Harga cabai boleh sekali waktu melambung tinggi, mendominasi
harga emas atau pesawat tempur sekalipun, toh tanaman cabai bisa ditanam dengan
mudah di negeri kita yang subur. Dalam sekejap kebutuhan cabai bisa diatasi. Rakyat
kecil masih bisa menikmati pedasnya cabai. Namun jika harga tulisan yang naik?
Harga tulisan jenis apa? Semuanya. Negeri ini yang tidak suka dengan tulisan
tentu saja tidak begitu tertarik bahkan acuh tak acuh. Sedangkan tulisan yang
masih banyak terbilang gratis saja masyarakat kita enggan melahapnya. Untuk apa?
Mereka masih tak tahu manfaat tulisan dalam kehidupannya sendiri. Mereka masih
sibuk dengan urusan perut, bukan urusan pikiran. Padahal urusan perut dan
urusan pikiran sama-sama penting. Dan semua itu kita kembalikan lagi pada
kebijakan-kebijakan yang telah dipikirkan oleh pemerintahan sebagai institusi
yang paling bertanggung jawab dalam negeri ini. Dengan pikiran harga cabai yang
tinggi masih bisa dipikirkan, sedangkan masalah pikiran perut tak juga mau
mengerti.
Bangilan, 31 Oktober 2017.
Rohmat Sholihin*
*Anggota Komunitas Kali Kening
Label: Esai
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda