Jumat, 20 Oktober 2017

Putri Bah Tei # 13

Oleh. Rohmat Sholihin

https://advjourney.com/2014/05/05/serunya-satu-jam-menelusuri-goa-petruk/

Hari ke Lima.

Bertemu dengan Mpu Pancarita

Bah Tei masih sibuk berlatih dengan gurunya, Ki Baroto. Memperagakan jurus-jurusnya yang semakin hari semakin sempurna. Tubuhnya enteng seperti kapas. Meloncat-loncat lincah seperti tupai. Rambutnya yang panjang, hitam, terurai semakin indah dikipas-kipaskan angin, cantik, putih, sipit, dan menawan.
Jeritannya melengking, menambah suara alam menjadi ramai. Ki Baroto mengimbangi gerakan Bah Tei dengan mempesona. Sepasang anak manusia yang meliuk-liuk diudara, menari-nari dengan jurus-jurusnya yang tak biasa dilihat oleh banyak orang. Melumpuhkan dan mematikan. Bahkan mengejutkan. Ki Baroto menjadi kaget.
“Bah Tei, kau telah mengalami kemajuan pesat dalam belajar dasar ilmu kanoragan. Kau telah berhasil melalui fase-fase adaptasi dari jurus dasar Melebur Bayu Sukma meski belum sesempurna Jaka. Setidaknya jurus dasar ini sudah ampuh untuk melindungi dari serangan pendekar-pendekar lainnya. Tinggal kau terus berlatih lagi dengan tekun dan keras lagi.” Bicara Ki Baroto sambil mengelus-ngelus jenggotnya yang telah memutih.
“Baiklah Ki Baroto, saya berjanji pada diriku sendiri untuk lebih serius dalam mempelajari jurus yang aneh ini. Dan saya akan terus mengamalkan jurus hebat ini untuk kebenaran.” Senyum Bah Tei pada Ki Baroto sebagai rasa ucapan terima kasih yang amat dalam. Ia tumbuh dan besar di lingkungan kaum bangsawan China yang disiplin.  Babahnya selalu mendidiknya untuk selalu menghormati orang lain dan mengerti bagaimana mengucapkan rasa terima kasih kepada orang lain yang telah memberikan pertolongan meski sangat remeh sekalipun.
“Bagus Bah Tei, mempunyai kelebihan dalam diri kita, sebaiknya kita tidak boleh kikir terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan. Karena menolong orang dalam kesusahan itu hukumnya wajib.” Ki Baroto mengulangi sekali lagi dengan nada lumayan keras, “sekali lagi hukumnya wajib.” Itu tandanya bahwa apa yang telah diucapkan perlu untuk dicamkan dalam hati sebagai pelajaran hidup.
“Oh iya, untuk tapa Jaka masih lama ya Ki?” Tanya Bah Tei.
“Semoga saja ia kuat dengan ujian-ujian yang terus menempanya. Dan jika ia kuat tanpa sedikitpun goyah, tidak sampai lama harus menunggu empat puluh hari. Tergantung bagaimana jiwanya dalam memahami alam semesta lebih-lebih kepada sang bayu. Namun, Kakek yakin bahwa Jaka termasuk orang yang mumpuni dengan kemampuannya sehingga akan lebih mudah dalam menghadapi segala rintangan dengan jiwanya.” Jelas Ki Baroto. Sedangkan Bah Tei mendengarkan dengan manggut-manggut, ia berharap agar Jaka segera berhasil menyelesaikan ujian tapa brata dengan menyerupai kehidupan hewan lowo. Tidur dengan cara menggantung di dahan pohon. Ia sudah tak sabar untuk berbincang-bincang dengan pemuda Jaka yang telah ia rindukan. Dalam hatinya selalu berdoa dengan sungguh-sungguh agar Jaka selalu dalam lindungan Sang Pencipta. Karena tanpa perlindungan Sang Pencipta yang maha memberi kekuatan sangat sulit bisa lepas dari kesulitan-kesulitan yang ia hadapi.
“Sudahlah Bah Tei jangan kau menambahi beban pada Jaka, jiwanya akan meronta-ronta tidak tenang. Ia telah bermain dengan alam pikirnya sendiri, melalang buana dengan pikirannya jauh menembus batas.” Ki Baroto memberi semangat pada Bah Tei yang sedang merindukan Jaka.
“Baiklah Ki.” Bah Tei mengangguk pelan.
“Ssstttt….sepertinya ada kaki yang datang, Bah Tei. Ayo cepat kita lihat dari semak-semak itu.” Dalam sekejap dua tubuh itu bergerak ringan masuk ke dalam semak.
“Bagaimana dengan Jaka, Ki? Apakah dia akan ditemukan oleh mereka?” Tanya Bah Tei.
“InsyaAllah mereka tak kan bisa melihat karena tubuh Jaka di selimuti kabut bayu.” Terang Ki Baroto.
“Syukurlah.”
“Mereka mulai dekat, Bah Tei.”
Tak lama tiga orang berjalan mengendap-endap semakin dekat. Mereka juga curiga dengan keadaan disekelilingnya bahwa ada beberapa jejak kaki yang masih tertinggal. Itu berarti menandakan bahwa baru saja ada orang menjamah daerah sini.
“Ada jejak kaki yang masih tersisa, Kang”
“Iya, kelihatannya ini jejak kaki yang baru saja lewat daerah aneh ini.” 
“Apa, daerah aneh, Kang? Aneh bagaimana maksudmu, Kang?”
“Sepertinya siapapun yang masuk hutan dalam sekejap sirna seperti hantu.”
“Iya Kang benar-benar hutan angker.”
“Bukan lagi angker tapi seram.”
“Sama saja, Kang.”
“Iya.”
“Kita harus mencari dimana, Kang?”
“Ya tentu di hutan ini, Kang.”
“Oalah, Kang kirain di pasar.”
“Awas tak usah bercanda kita masuk wilayah hutan terlarang ini, Kang. Disamping gawat juga jarang manusia bisa kembali dalam keadaan selamat. Lebih baik diam saja, kita cari perempuan China itu bersama dengan pembantunya yang terkenal punya kemampuan silat yang mumpuni.”
“Heran, kenapa juragan Sarkawi sudah punya gundik banyak masih saja mau persunting putri China itu.”
“Bukan putri tapi anak Bangsawan Batik Lasem, Kang.”
“Maksud saya cantiknya ngalahkan putri China.”
“Kau tahu Putri China?”
“Tak pernah.”
“Ah, kau sok tahu, Kang.”
“Sssstttt….tak usah ngelantur. Kita ini bertugas mematai-matai mereka, bukan bercanda.”
“Baik, Kang.”
“Kenapa jejak-jejak kaki ini hilang sampai disini, Kang?”
“Pasti jejak kaki orang sakti.”
“Sudah barang tentu orang berani masuk dan tinggal dihutan ini bukanlah orang sembarangan, Kang. Setidaknya ia punya ilmu kanoragan yang cukup tinggi.”
“Betul juga, Kang.”
“Termasuk kita Kang.”
“Sakti, kita kan berani masuk wilayah hutan ini, Kang.”
“Hust…sakti gundulmu. Kita masuk wilayah ini karena terpaksa dengan tugas yang telah diberikan oleh juragan kita, Kang.”
“Wow, kau tidak sakti Kang?”
“Maksudku ilmuku belum nomor satu di tanah Jawi ini. Kita kan masih menjadi anak buah Juragan Sarkowi yang terkenal punya ilmu kanoragan cukup tinggi.”
“Kalau kita benar-benar sakti aku kira kita sudah menjadi raja atau paling tidak juragan.”
“Kenapa kau tidak jadi juragan saja?”
“Kan belum sakti.”
“Hany otakmu saja yang belum sakti.”
“Kenapa dengan otak saya, Kang?”
“Tidak apa-apa cuma banyak yang sudah putus syaraf-syarafnya.”
“Ah kau Kang bercanda.”
Kedua orang suruhan Sarkowi itu masih berdiri mematung memperhatikan jejak kaki-kaki yang telah putus dibeberapa tempat. Seakan kedua orang itu bingung arah langkah jejak kaki-kaki yang tak beraturan. Kelihatannya jejak kaki-kaki itu bukan mengarah untuk berjalan menyusuri jalanan tapi seakan memang disengaja diinjak-injak.
“Lihat Kang! Jejak-jejak kaki ini bukan sedang mau lewat tapi kelihatannya jejak kaki-kaki ini  seseorang yang bermukim disekitar sini.”
“Betul, Kang kita harus waspada. Jangan-jangan kita sedang diwasi, Kang.”
“Perasaanku juga begitu. Berjalan tenang saja untuk bersembunyi lagi, kita pura-pura tidak tahu, Kang. Ia masih disekitar sini.”
“Baik, Kang. Ingat pesan juragan Sarkowi kita hindari saja, jangan sampai kita berkelahi dengan mereka. Kita hanya bertugas untuk mematai-matai. Segera saja kita pergi, mudah-mudahan kita tidak sedang dikejar, Kang.”
“Baik, Kang.”
Mereka berdua pun segera bergegas pergi dengan tergesa-gesa. Tubuhnya dalam sekejap hilang dibalik pohon-pohon hutan.
Sedangkan dibalik semak-semak Bah Tei dan Ki Baroto tak bergeming memerhatikannya.
“Celaka Ki, mereka telah mengetahui tempat kita. Tidak kah sebaiknya kita kejar mereka Ki?.” Bah Tei mulai resah.
“Tak usah biarkan saja mereka pergi. Tak ada gunanya kita berkelahi dengan mereka. Jika mereka harus melapor pada juragannya lebih baik kita hadapi saja.”
“Kita kalah jumlah, Ki.”
“Belum tentu yang kalah jumlah akan kalah.”
“Baiklah, Ki, jika itu keputusan Ki Baroto.”
“Lebih baik kita istirahat sebentar sambil perhatikan tubuh Jaka.”
Bah Tei tak menjawab hanya mengangguk dengan pelan tanda setuju. Meski dalam pikirannya masih sedikit bergejolak tentang mata-mata Sarkowi. Namun itu sebentar, kemudian lewat. Hatinya kini masih menunggu Jaka yang masih melakukan tapa ngalong. Namun, ia tak mau larut ikut memikirkan Jaka. Pesan Ki Baroto jika ia ikut larut memikirkan Jaka bayangan tubuhnya akan masuk dalam pikiran Jaka yang sedang melalang buana menembus batas ruang dan waktu. Ia hanya mengawasi saja. Seakan tidak sedang terjadi apapun.
Tubuhnya Jaka terus diam, tenang, dan tak bergerak.
Dari beberapa meter tubuhnya disaksikan Bah Tei dan Ki Baroto. Ia masih terus berkomat-kamit membaca doa-doa yang telah diberikan oleh Ki Baroto. Jiwanya pun terhempas disuatu gua yang belum pernah terjangkau oleh siapapun. Gua Pancarita. Siapa yang masuk dalam gua ini tubuhnya akan mendengar suara-suara mendengung seperti orang bercerita. Lirih menusuk hati, keras membahana seperti api membakar ranting dan dahan. Jika kita terus mendengarkan dengungan-dengungan suara itu seakan tubuh kita menjadi pelaku utamanya. Tubuh kita menjadi peran utama. Karena hati kita terbawa oleh suasana. Konon, Gua Pancarita ini adalah tempat pertapaan Mpu Pancarito yang hidup antara tahun 1100 M. Ia dulu tukang bercerita di Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya. Kemudian Jayabaya memerintahkan kepada Mpu Pancarita untuk mencari wangsit berupa cerita di hutan Arjuna Lalijiwo dekat Gunung Arjuna. Berapa tahun ia menuliskan kisah-kisah yang ada disekitar hutan Arjuna Lalijiwa namun tulisan itu telah dianggap jelek oleh Raja Jayabaya yang terkenal sebagai Pujangga. Kembalilah Mpu Pancarita untuk mencari wangsit berupa cerita tapi ia tidak mencari sumber-sumber cerita didaerah itu lagi. Ia kecewa karena naskah ceritanya ditolak oleh Raja Jayabaya akhirnya dia berusaha mencari tempat yang aman, damai, jauh dari keramaian, untuk menyempurnakan naskah ceritanya tersebut, ia tapa brata di gua yang tak pernah dijamah oleh bangsa manusia, setiap hari ia selalu melantunkan naskah-naskah itu dengan diiringi suara gemericik air, angin, daun-daun, ranting, kilat, suaranya menjadikan terus bergaung didalam gua hingga menjadi cerita yang mengiri-iris hati.
Kini jiwanya Jaka terjebak ke tempat Gua Pancarita. Jiwanya seperti kebingungan, bertanya-tanya dalam hati.
“Gua apa ini?” Gumamnya. Ia semakin penasaran untuk terus masuk ke dalamnya. Sepi. Tak ada siapapun didalamnya. Hanya ada suara gemericik air yang terus menetes membentur batu. Suaranya indah bergaung membentuk nada. Ada banyak stalagmit dan stalaktit yang berkilau-kliau, meski gelap tapi sesekali memancarkan cahaya, indah sekali. Ruang-ruangnya yang nyaman, damai, terasa tempat hunian yang paling aman.
“Sepertinya tempat ini ada yang menghuni.” Pikir Jaka.
Sayup-sayup angin lirih berhembus. Menerpa tubuh Jaka pelan-pelan. Semakin lama semakin menusuk, dingin, menggigil. “Kenapa tiba-tiba berubah seperti ini?” Batin Jaka penasaran. Ia terus memperhatikan keadaan sekelilingnya, masih tetap gelap, Sedangkan dingin masih terus menyeruak menghajarnya semakin dingin menyayat kalbu. Membeku. Kembali ia memusatkan tenaganya untuk melawan rasa dingin yang menghebat. Ia duduk tersimpuh dengan tangan sendakep seperti orang bertapa. Matanya ia pejamkan. Lambat laun ia mulai mendengar suara-suara laksana suara orang mendongeng, suaranya berat, mendesah, melengking, berteriak, seperti membaca mantra. Namun suara yang ditangkap dalam telinga Jaka masih belum jelas.
“Siapa orang yang membaca mantra ini?” Kembali pikirannya penasaran.
“Ini sepertinya tutur-pitutur, tapi siapa gerangan? Ini jelas dilakukan oleh orang yang bukan sembarang orang. Ini pasti orang hebat yang melakukannya.” Hatinya terus bertanya-tanya. Hingga semakin jelas suara itu tertangkap oleh kedua telinganya. Tubuhnya yang telah menggigil kedinginan semakin hanyut terbawa suasana. Gua yang telah gelap tiba-tiba bercahaya. Stalaktit memancarkan cahayanya. Indah mempesona. Namun Jaka masih terserang dingin yang semakin hebat. Suara-suara pitutur tanpa rupa semakin perkasa memenuhi ruangan gua, seakan-akan ada kekuatan dahsyat yang telah memenuhi gua serasa mau ambrol. Sesak tak tertahankan. Suara-suara tanpa rupa seakan membawa beban berat berton-ton menyesaki ruangan gua dan seisinya. Jaka masih tetap duduk dengan tenang. Tubuhnya bergetar hebat melawan hentakan suara-suara tanpa rupa yang serasa membawa batu berton-ton, menjejalinya. Tubuhnya mulai mengerang, “kekuatan apa ini? Aneh. Aku ingin tahu siapa yang membacanya?” Tubuhnya mulai bergeser-geser. Suara-suara itu semakin menghebat. Namun Jaka masih kuat bertahan. Bertahan dengan hidung, mata, telinga, bahkan mulut mengeluarkan darah. Suara-suara seperti naskah cerita yang telah dibaca mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Ia berusaha mengerahkan semua tenaga dalam yang ia miliki. Tubuhnya seakan ingin mental ke belakang, ia terus berusaha kuat, kuat, dan kuat. “Aku harus kuat, aku ingin bertemu dengan orang yang punya suara hebat ini.” Dengan cepat Jaka mengeluarkan jurus andalannya. Perlahan tubuhnya mulai tegar. Meski masih bergetar dengan hebat.
Tak berapa lama. Keadaan gelap. Stalaktit kembali padam. Dan suara-suara tanpa rupa yang ia dengar kembali hadir tapi serasa dekat sekali, ada dihadapannya. Menyapanya.
“Anak muda sedang mencari siapa?” Suara misteri itu menyapa.
“Aku tidak mencari siapa-siapa, Kakek.” Dengan kaget Jaka menjawab.
“Kenapa kau bisa tahu dan berada di gua ini?”
“Aku tersesat kakek. Maafkan aku. Dan aku bukan bermaksud mengganggu Kakek.” Jawab Jaka.
“Kau siapa anak muda?” Tanya suara tanpa rupa.
“Aku Jaka, Kek. Kakek siapa?” Jawab Jaka.
“Aku Mpu Pancarita.” Seketika ruangan kembali menjadi terang benderang. Stalaktit dan stalagmit kembali bercahaya. Sosok jubah hitam, rambut panjang putih, jenggot panjang putih dengan tenang duduk dihadapan Jaka.
“Maafkan saya, Mpu.”
“Kau punya nyali Jaka. Dan kau berani masuk ke guaku ini tanpa lari tunggang langgang ketika mendengar suaraku dalam kegelapan. Aku sudah lama tidak pernah keluar gua, entah sudah berapa lama? Aku tak pernah menghitungnya. Dan sudah lama guaku tidak pernah dimasuki oleh manusia kecuali kelelawar, dan tikus-tikus untuk singgah. Dan apa yang kau inginkan?” Jelas Mpu Pancarita.
“Aku tidak menginginkan apa-apa, Mpu. Aku bisa bertemu dan berbincang dengan Mpu hati ini sudah merasa bahagia. Dalam pengembaraanku ini saya merasa bersyukur bisa bertemu dengan Mpu Pancarita.”
“Semoga kau tidak berbohong anak muda. Karena orang-orang sekarang sudah pandai berbohong. Membohongi orang tua, mencoba menuruti kemauan orang tua ketika lengah ia akan menikam dari belakang. Dan itu terjadi pada Kakang Gandring. Mati ditikam anak muda. Anak muda hanya silau pada kekuasaan semata.”
Jaka tidak menjawab, hanya diam menjadi pendengar setia pitutur dari Mpu Pancarita.
“Dan itu terjadi juga pada hampir perebutan tahta-tahta di luar sana. Aku sudah muak oleh kelakuan mereka semuanya. Mulai dari Kediri hingga Majapahit. Semua itu palsu. Hanya perebutan dan perebutan. Sedangkan nasib rakyat hanya sekian kecil saja yang terurus, hampir semua kelaparan, karena menanggung beban. Beban peperangan yang terus terjadi tanpa ada hentinya.”
Jaka terkesima dengan pitutur Mpu Pancarita yang mengesankan. Ia tak berani menyela sedikitpun pituturnya.
“Kini Demak juga mulai berseteru. Tapi hanya kecil. Seperti letupan api dari batu yang dibenturkan. Kecil. Namun dampaknya yang besar. Hanya dampaknya bukan kekuatan yang telah dibangunnya. Karena pikirannya belum mampu menandingi pikiran orang-orang putih dari selatan.”
Jaka masih belum paham. Hanya berusaha memahamkan dengan cara diam. Dalam hatinya ia merasa kagum dengan pitutur yang telah disampaikan oleh Mpu Pancarita.
“Demak juga akan perang saudara. Persis kelakuan para orang-orang yang silau akan tahta. Perebutan dan perebutan. Maka kau jangan silau anak muda. Karena dari kesilauannya itu mereka akan terjebak oleh caranya sendiri. Ia telah dijadikan domba-domba oleh orang-orang kulit putih yang lebih cerdas cara berpikirnya, mereka juga berbahaya melebihi ular dan buaya. Waspada, tapi mereka tak kunjung juga waspada. Masih mengulangi kebiasaan lama. Perebutan kekuasaan dan perempuan. Hingga mudah diadu domba.”
“Apakah itu maksudnya perang saudara, Mpu?” Tanya Joko.
“Betul. Saudara-saudara kita tak juga sadar akan kelemahannya itu.”
“Ilmu apa yang kau gunakan itu anak muda?” Tanya Mpu Pancarita.
‘Tak ada orang yang mampu bertahan di gua ini, kecuali jika ia punya nyali dan kemampuan yang hebat. Ternyata kau mampu bertahan di gua hingga telah bertemu denganku.” Mpu Pancarita bertutur lagi.
“Itu Ajian Cermin Tatakan Diri dari Ki Batoto.” Jaka menjawab dengan tenang.
Tak ada reaksi dari Mpu Pancarita. Dia hanya memperhatikan wajah Jaka. Kemudian ia mengeluarkan beberapa tulisan rapi yang ditulis di daun lontar dari dalam jubahnya yang hitam.
“Bacalah, anak muda. Suatu saat pasti berguna karena tulisan-tulisan ini tiada lagi yang mau mendengarkannya apalagi membacanya. Simpanlah. Jangan sampai hilang apalagi dicuri oleh orang yang berkelakuan buruk.” Bicara Mpu Pancarita.
Jaka hanya diam, tertunduk, dengan perasaan bahagia ia pun menerima tulisan-tulisan karangan Mpu Pancarita yang telah ditulis indah pada daun lontar.
“Terima kasih, Mpu.”
“Silahkan kau kembali pada pertapaanmu yang panjang dan melelahkan. Kau masih harus bersabar dan tabah untuk menghadapi cobaan-cobaan berikutnya.”
Jaka pun pamit kembali mencari jalan kelur. Dan gua pun gelap, gulita.

Bersambung…

Bangilan, 20 Oktober 2017.








Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda