Marunis Gugur di Jatimalang-Senori
Oleh. Rohmat Sholihin*
Beberapa orang itu telah berembuk di bawah pohon sukun.
Dari bentuk wajah mereka tak ada yang tersenyum, semua hampir serius. Hanya
terkadang mulut mereka menyemburkan asap rokok dari tembakau yang telah ia
sulut dengan api. Bara api yang menyala dalam gelap malam semakin jelas ketika
mulut itu menghisapnya perlahan meski kemudian hilang lagi dalam kegelapan.
Suara-suara manusia itu sayup-sayup masih mengiringi malam di pinggir sungai
Sambong dengan arus airnya yang gemericik.
“Besok pasukan Belanda dari arah Montong akan
melintasi Laju Kidul dan akan menuju Banyurip, kang.”
“Lantas. Kita serang?”
“Ngawur.”
“Kau takut?”
“Bukan begitu kang, itu tindakan yang sangat ceroboh,
menyerang musuh dalam jumlah besar dan bersenjata lengkap dengan kekuatan yang
yang tidak seimbang, kang.”
“Kesuwen, kang.
Tunggu apa lagi. Belanda itu kurang ajar, mereka akan menduduki negeri kita
lagi, tentu saja mereka akan menjajah kita lagi.”
“Sungguh aku tak ingin lagi dijajah bangsa bule itu.”
“Kalau kita serang resikonya bukan hanya kita yang
menjadi korban, tapi penduduk-penduduk sekitar akan dihancurkan oleh pasukan
Belanda itu. Karena mereka ada di sekitar daerah peperangan, bisa-bisa penduduk
sekitar akan diluluhlantahkan dengan tank-tank mereka.”
Beberapa orang tampak manggut-manggut mendengarkan
penjelasan kepala kesatuan itu.
“Marunis, kau awasi saja dari pohon-pohon yang tinggi
itu dan jangan sekali kau lepaskan tembakan ke arahnya, berbahaya. Mereka akan
tahu gerakan kita.” Perintah kepala kesatuan itu lagi.
“Siap kang.” Jawab Marunis tegas.
“Perkiraan iring-iringan pasukan Belanda yang
dinamakan Pasukan Arend itu akan melintas tepat pukul 9 pagi.”
Suara renik-renik malam masih terus menggelayut
seiring dengan pertemuan beberapa pejuang yang tergabung dalam kesatuan gerilya
di desa Bangilan. Kesatuan-kesatuan itu membentuk beberapa pasukan, ada laskar
Hizbullah yang dipimpin oleh Mukhid dan bertugas mengawasi keamanan di daerah
Bangilan, Senori dan Singgahan. Markasnya ada di rumah saudara Basyar sebelah
timur sungai kecil yang melintas dari desa Sambong ke arah Weden sampai
Sendang-Senori. Untuk lebih memudahkan, orang banyak menyebut daerah itu dengan
sebutan wetan kali.
Sedangkan Marunis ini adalah anggota pasukan pengintai
dalam kesatuan Divisi I Ronggolawe. Ia mulai bertugas dan bergabung dengan
pasukan gerilya karena faktor dendam atas beberapa pembantaian keluarganya oleh
tentara Belanda. Anaknya, istrinya tak terkecuali ibunya terbunuh oleh
selonsong peluru tentara Belanda. Keluarganya dianggap mata-mata gerilya.
Hingga suatu sore gerimis tiba, matahari beranjak pulang, dan burung-burung
pipit menjerit-jerit pilu, dekat jalan kereta api jurusan Rembang-Bojonegoro,
dekat Stasiun Bangilan, keluarga itu dihabisi dengan cara diberondong dengan
senapan yang bersangkur. Marunis yang baru pulang dari berkebun dekat Simsim
tertunduk lesu dengan melolong seperti harimau lapar. Ia menggelepar-gelepar,
menangis sejadi-jadinya, tubuhnya gontai dan linglung tak sadarkan diri. Ia
hidup seperti menanggung sedih tiada terkira dan tak ada pilihan lain ia
bergabung dengan pasukan Gerilya karena ia ingin mati dengan cara tidak
sia-sia, ya, setidaknya ia mati membela tanah air tempat ia dilahirkan dan dicintai
ini jangan sampai diinjak-injak lagi oleh bangsa yang rakus seperti
kolonialisme Belanda.
Berkali-kali ia berhadapan langsung dengan Belanda,
bahkan ia tak merisaukan lagi tubuhnya atas tembakan-tembakan pasukan Belanda.
Ia terlalu berani melawan pasukan Belanda, namun tak satupun peluru Belanda
menembus dadanya. Kawan-kawannya sampai heran. Sungguh diluar pemikiran normal,
ketika ia terboncong oleh pasukan Belanda dan diberondong dengan senapan mesin,
tak satupun peluru itu bersarang dalam tubuhnya. Ia tak gentar sedikitpun, jika
dipikir secara nalar memang terkadang benar, nekat itu memang diperlukan. Namun
resikonya terlalu berbahaya. Mana ada hidup tanpa resiko. Semua yang terbilang
hidup selalu berhadapan dengan resiko. Hanya saja mati itu urusan Tuhan.
Marunis tak pernah takut dengan kematian. Dari ceritanya di pinggir kebun tebu
sewaktu gerilya, ia mengatakan kepada kawan-kawannya. Bahwa kematian itu hanya
sebuah perjalanan, dari kematian tubuh kita diuraikan untuk menjadi tumbuhan,
tumbuhan dimakan oleh binatang, dan binatang dimakan oleh manusia, dimakan
manusia makanan telah menjadi darah dan daging. Entah pemikiran Marunis ini
benar atau salah ia telah meyakininya dan menjadikan hatinya kebal dengan
ketakukan akan kematian.
Esoknya, jam 8 pagi tepat. Matahari garang menyapu
dunia. Marunis dan Karjo telah bersiap di atas pohon Mahoni yang menjulang
tinggi di pinggir jembatan sungai Jatimalang yang telah porak poranda. Dengan
senapan rampasan Jepang di tangan mereka mengamati jalanan yang masih sepi. Dari
atas pucuk pohon Mahoni hampir semua keadaan bisa dilihat. Termasuk orang yang
akan melewati jembatan dari dua arah, arah ke utara dan arah ke selatan. Ia
dengan sigap terus mengawasi keadaan sekitar. Dari kejauhan rombongan pasukan
Arend di bawah pimpinan Kapten C.Bloom dengan perlahan merayap. Beberapa tank
tempur dan truk pengangkut logistik pasukan terus beriring-iringan. Juga
beberapa wanita dan laki-laki dengan berpakaian biasa disuruh berjalan paling
depan. Sepertinya tidak ada kesan bahwa pasukan Belanda dalam jumlah besar akan
lewat. Cara ini bertujuan untuk mengelabuhi pasukan musuh yang ada di depannya.
Tak kan mengira jika di belakang ada pasukan tempur Belanda yang siap menyerang.
“Itulah taktik Belanda kang, menempatkan rakyat
pribumi untuk berjalan paling depan. Sehingga berkesan tidak mencurigakan.”
Bicara Marunis.
“Senjata mereka cukup lengkap, kang.”
“Takut?”
“Sedikit Kang.”
“Turun saja kau kang. Biar aku hadapi sendirian
Belanda laknat itu.”
“Jangan Kang, nanti aku bisa dimarahi ketua.”
Sudahlah nanti aku bertanggung jawab, atau kau tunggu
di bawah pohon.”
“Tidak, Kang. Aku bersamamu saja.”
“Serius?”
“Serius Kang.”
“Baiklah.”
“Mereka semakin dekat, Kang.”
“Stsstttt…tak usah banyak bicara.”
“Tak tahu di mana Kapten C. Bloom?”
“Entahlah?”
“Mereka tak kan bisa lewat, Kang.”
“Jika kutahu sang Kapten C. Bloom itu biar aku tembak
jidatnya saja. Biar mampus dan anak buahnya terpontang-panting.”
“Ingat pesan ketua Kang Mar, jangan tembak mereka,
kita hanya bertugas mengintai saja. Stststssssttt…mereka berhenti.”
“Iya.”
Iring-iringan Pasukan Arendt itu berhenti di Jembatan
Jatimalang yang rusak parah. Tank-tank dan truk pengangkut logistik juga ikut
berhenti, suaranya menderu-deru mengerikan. Beberapa orang pribumi yang
berjalan di garis depan disuruh turun ke sungai untuk melihat-lihat keadaan
sungai. Apakah ada sesuatu yang membahayakan atau tidak?, yang pasti keadaan
bawah sungai bebas ranjau yang telah dipasang oleh pasukan pejuang gerilya.
Keadaan tetap sepi. Rumah-rumah penduduk sepanjang
jalan Jatimalang-Senori hampir semua tertutup rapat. Tak ada yang keluar.
Terlihat semua penduduknya mengungsi untuk mencari tempat aman. Namun, ada
beberapa pasukan Arendt itu memeriksa beberapa rumah. Pintunya telah didobrak.
Masih saja sepi, tak ada orang di dalamnya. Beberapa pasukan Belanda itu masih
mendobrak rumah lainnya. Dan kali ini mereka berhasil menemukan sepasang suami
istri dalam keadaan ketakutan setengah mati. Sepasang suami istri yang telah
berusia lanjut itu berjalan terseot-seot dengan kedua tangan di atas kepala
pertanda tak ada perlawanan. Mereka digiring ke pos paling depan. Dan
mendapatkan beberapa pertanyaan tentang keberadaan penduduk sekitar. Namun,
sepasang istri itu hanya menjawab dengan gelengan kepala, setiap pertanyaan
selalu dibalas dengan gelengan kepala hingga membuat kesal pasukan Belanda,
lalu ditamparnya.
“Ampun, Ndoro, ampuuun. Kami benar-benar tak tahu
mereka berada di mana. Ampuuun.”
Satu pasukan lagi menendangnya. Sepasang suami-istri
itupun terjungkal. Mulutnya mulai berdarah. Mereka hanya diam menahan
kesakitan. Hanya matanya yang menerawang minta pertolongan. Tak ada yang
menolongnya, beberapa orang pribumi yang sibuk di bawah sungai itupun hanya
diam, tak berkutik, sesekali menyibukkan dirinya untuk mengangkat bambu-bambu
dan kayu berserakan disekitar jembatan yang telah hancur. Lain lagi situasi
diatas pohon mahoni, suara desahan nafas emosi kedua pasukan gerilya yang telah
mengintainya. Marunis dan Karjo. Kedua manusia itu saling berpegangan kuat
untuk saling menahan emosinya masing-masing.
“Jangan tembak. Kuatkan hatimu. Kuatkan!” Desak Karjo.
“Aku tak kuat Kang, aku tak kuat melihat penderitaan rakyat.
Mereka tak tahu-menahu, Kang.”
“Sabarlah. Jika kau tembak dia, kita sama saja bunuh
diri, Kang.”
“Tak perduli aku Kang.”
“Dor…dor…”
Seketika bunyi letusan senapan dari arah pohon mahoni
membuat pasukan Arendt pun tiarap dan sigap membalas dengan tembakan pula ke
arah pohon mahoni. Terjadilah tembak menembak yang tidak begitu lama. Ada
seorang dari anggota pasukan Arendt terkapar dengan luka di bagian dada.
Sedangkan dua orang yang ada di pucuk pohon Mahoni pun meloncat ke arah
semak-semak. Pasukan Arendt pun terus memberondong ke semak-semak. Kurang lebih
sepuluh menit suara tembakan dihentikan.
“Periksa!” Perintah seorang perwira Belanda dengan
tegas.
“Siap!”
Beberapa anggota pasukan dengan sigap masuk ke
semak-semak yang ada di bawah dekat jembatan. Tak berapa lama anggota itupun
kembali melapor.
“Dua anggota pasukan pengacau tertembak, Kapten.”
“Ambil senapannya.”
“Siap.”
Pasukan Arendt masih sigap mengamankan situasi. Waspada
pada serangan berikutnya. Dua pejuang gerilya yang mengintai dipohon mahoni
itupun tewas seketika. Marunis dan Karjo. Tertembak dan jatuh dari ketinggian
tujuh meter dari pohon Mahoni Sedangkan pasangan suami istri masih mendekam
dalam ketakutan bersama dengan beberapa tawanan yang sibuk membetulkan jembatan
yang hancur.
“Cepat bantu mereka!” Perintah seorang serdadu
Belanda.
“Baik Tuan.”
Membetulkan jembatan hancur dibutuhkan beberapa waktu.
Hingga menjelang waktu sore, jembatan Jatimalang berhasil digunakan untuk
menyeberang setelah memasang batu dan kayu. Tank-tank dan beberapa truk bersusah
payah untuk bisa melewati jembatan darurat. Kayu-kayu ditumpuk-tumpuk diatas
tanah dan batu untuk menutup sungai. Dan satu persatu tank-tank bisa
melewatinya meski belum semuanya.
Sedangkan mendung semakin menebal mengiringi bulan
Desember. Cuaca semakin tidak menguntungkan, jika hujan turun lebat takkan bisa
tank dan truk pengangkut logistik itu bisa menyeberang. Keadaan tanah yang
gembur dan licin menjadikan alat-alat berat itu takkan bisa lewat. Terpaksa
Kapten C. Bloom mencari jalur lain. Jika menginap tak kan mungkin. Dalam
situasi yang serba darurat jika pasukan besar itu menginap ditempat yang tidak
kondusif akan sangat menguntungkan pihak musuh.
Situasi seperti itu mendapatkan reaksi cepat dari
pejuang Gerilya. Dengan merayap pasukan
Gerilya dibawah kesatuan Hizbullah terus mendekati iring-iringan pasukan
Belanda. Pasukan Gerilya Hizbullah yang membawahi beberapa kecamatan yang ada
di wilayah Tuban selatan, kecamatan Bangilan, Senori dan Singgahan akan
mengadakan serangan mendadak. Serang dan sembunyi. Pasukan berkekuatan sekitar
70 tentara sukarela itu siap bertempur melawan pasukan Belanda dengan kekuatan
penuh. Antara senjata dan logistik sangat seimbang. Sedangkan pasukan Gerilya
hanya menggunakan senjata rampasan dari Jepang yang masih tersisa. Meski
lainnya menggunakan senjata pedang dan tombak.
Kapten C. Blom akhirnya membagi dua kekuatan. Beberapa
pasukan yang telah berhasil melewati jembatan masih dibawah kendali C. Bloom. Sedangkan satu lagi
pasukan yang belum bisa menyeberang akibat guyuran air hujan deras mengambil
jalur lain dibawah komando Sersan Van Maukirt. Terpaksa pasukan itu putar balik
mengambil jalur Lajukidul-Bangilan-Senori melalui jalan jurusan Bojonegoro-Jatirogo.
Mereka akan bertemu di desa Tapen-Senori kemudian menuju Banyurip.
Hujan masih terus turun, kilat menyambar-nyambar.
Jalanan semakin berlumpur, tank-tank terseot-seot, meraung-raung, susah untuk
maju. Seketika pasukan Hizbullah melancarkan serangan bertubi-tubi, kedua kubu
saling tembak, bunyi tembakan semakin mendesir bercampur kilat
menyambar-nyambar. Hampir seluruh pasukan Kapten C. Bloom tiarap. Lampu sorot
tankpun dinyalakan, mencari-cari sumber tembakan yang berjarak sekitar lima
puluh meter. Beberapa pasukan Belanda ada juga yang tertembak. Suaranya meraung-raung
memecah gemerlap hujan. Juga pasukan Gerilya Hizbullaah tak sedikit juga yang
tersungkur, tubuhnya bersimbah darah, timah panas telah bersarang ditubuhnya,
kelojotan menahan sakit, dingin, dan tak bangun lagi. Mereka adalah korban
perang. Perang yang telah mengkoyak-koyak jiwa untuk saling membunuh. Demi
tanah untuk berdiri impian-impian dikemudian hari. Demi anak-anak dan
generasi-generasi bangsa berikutnya untuk menarik nafas kebebasan, kemerdekaan,
dan kemajuan. Terlalu mahal untuk sebuah impian masa depan. Harta, darah, nyawa
pun harus melayang.
“Mundur!” perintah komandan Pasukan Gerilya Hizbullah.
“Tak usah, Kang. Kita gempur terus saja mereka.”
Bantah seorang personil.
“Mereka mulai menggunakan peluru tank.”
‘Tak usah takut, tank-tank itu tak bisa bergerak
karena hujan.”
“Apa hubungannya dengan hujan, Kang.”
“Jelas ada. Tanah yang berlumpur tak kan bisa
menggerakkan roda-roda baja itu.”
“Tapi tubuh tank itu bisa bergerak berputar, kang,
meski rodanya diam ditempat.”
“Awas tiarap, Kang!” bersamaan dengan teriakan itu
bunyi ledakan disertai dengan getaran maha dahsyat membuat beberapa pasukan
Gerilya Hizbullah mencelat. Suara raungan kesakitan dan takbir Allahu, Akbar
terus menggema. Semangat tempur mereka tak boleh sedikitpun kendor. Lumpur-lumpur
dan air berhamburan seperti disaput bencana gempa bumi yang dahsyat.
Tubuh-tubuh pun bergelimpangan. Sehingga teriakan kembali terdengar dari
komandan Pasukan Gerilya Hizbullah.
“Munduuuuur!”
Pasukan Gerilya Hizbullah itupun mundur dengan
perlahan. Namun bom-bom dari tank-tank masih terus ditembakkan. Lumpur-lumpur,
air, tumbuhan, juga tubuh-tubuh pejuang itupun berlompatan. Gema takbir Allahu
Akbar terus menggema memecah hujan yang tak juga mau reda. Darah mengalir dari
tubuh-tubuh yang bergelimpangan bercampur dengan air hujan, merah, mengerikan.
“Berlindunglah di balik pohon-pohon!” perintah komandan
Hizbullah yang juga terpontang-panting. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya
penuh lumpur dan tentu saja penuh darah karena luka terkena pecahan mortir dari
tank-tank pasukan Belanda.
“Allahu Akbar”
“Mundur!”
“Sembunyi dipohon-pohon.” Teriaknya.
Ketika semua Pasukan Gerilya Hizbullah mundur teratur
ke tempat-tempat aman. Beberapa pasukan pilihan masih bertahan dibeberapa
tempat strategis untuk terus melancarkan tembakan. Dengan catatan sebagai
pengamanan bagi yang telah bergerak mundur. Mereka menghitung ada lima tank
yang terus melakukan penembakan dengan senapan mesin dan peluru kendalinya.
Hingga banyak membuat kekuatan Pasukan Gerilya Hizbullah bergelimpangan.
Dengan cekatan, pasukan pilihan itu mengeluarkan beberapa
ranjau dari dalam tasnya. Kemudian menyelinap dalam semak-semak malam. Bergerak
laksana musang, cepat dan tak terlihat. Dalam sekejap pasukan itu telah berada
dengan jarak yang dekat dengan tank-tank yang terus memburu Pasukan Hizbullah
itu.
“Sebentar lagi tubuhmu akan rontok, keparat.” Batinnya.
Dengan cepat ranjau itu ditempelkan dibagian bawah
tank yang masih terus menembaki Pasukan Hizbullah. Langkah yang terlalu
berbahaya. Menyusup ke pihak musuh dengan jarak dekat. Kurang lebih dari
beberapa detik, ia meloncat lagi mencari tempat aman ke semak-semak malam.
Namun bayangan kedatangannya diketahui oleh beberapa Pasukan Belanda dan
langsung ditembakinya.
Sekejap, ledakan sekaliber dahsyat menggema,
menggetarkan seluruh Pasukan Belanda. Dan tank yang berada didepan itupun
ambrol seisi-isinya. Roda bajanya mengelupas dan bodynya terbakar. Dan tentu
saja tehnisi didalamnya mampus. Kemudian kedua pasukan yang bergolak itupun
terdiam. Tak ada suara tembakan, hujan masih terus mengguyur lebat, kilat masih
berkelebat dengan cahayanya menampakkan beberapa orang bergelimpangan.
Malam kembali sepi. Dan hujanpun tetap terus menari.
Nopember 2017
*Anggota Komunitas Kali Kening
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda