Minggu, 12 November 2017

Membakar Rumah Warga

https://9fpgsajadeh.wordpress.com/2016/02/page/2/


Oleh. Rohmat Sholihin*
Pasukan V. Maukirt terus merayap menuju desa Bangilan. Jalan yang penuh air hujan tak jadi soal. Beberapa truk dan tank masih terus melaju meski beberapa kali berhenti karena terhalang medan jalan yang sulit. Tergenang air dan berlumpur, namun dengan mudah bisa teratasi. Kemudian berjalan lagi. Meski berniat akan kembali untuk membantu Pasukan Kapten C. Bloom dari serangan Pasukan Hizbullah, namun perintah atasan untuk terus melanjutkan perjalanan.
Target Pasukan Sersan V. Maukirt untuk menghalau beberapa serangan-serangan Pasukan Gerilya dan bersifat memecah kekuatan Pasukan Gerilya. Sehingga tidak terpusat untuk menyerang Pasukan Arendt dibawah komando Kapten C. Bloom.
Tepat pukul 22.00, iring-iringan Pasukan Sersan V. Maukirt mulai memasuki wilayah Bangilan. Desa ini tampak sepi. Gelap dan masih diiringi gerimis tipis-tipis. Tak ada orang berlalu-lalang dijalanan. Semua terlihat sibuk mendengkur dalam rumah mereka masing-masing. Sejenak iring-iringan Pasukan Sersan V. Maukirt berhenti di depan rumah orang Tionghoa. Ia perintahkan kepada anak buah untuk masuk ke dalam rumahnya. Tak lama keluarlah orang Tionghwa itu dengan wajah ketakutan. Ada beberapa perbincangan dengannya.
“Kamu tahu di mana markas tentara pengacau?” Tanya Sersan V. Maukirt.
“Tak tahu Tuan.” Jawab orang Tionghoa dengan terbata-bata.
“Ehm, kamu pasti tahu, katakanlah, jika kamu ingin tetap selamat.” Paksa Sersan.
“Benar, saya tidak tahu Tuan. Maaf, saya tidak berani bohong pada Tuan.”
“Bohong.” Bentak Sersan V. Maukirt.
“Saya jujur, Tuan. Saya tidak bohong.”
“Bawa istrinya ke sini!” Perintah Sersan V. Maukirt.
“Siap!” Jawab anak buah.
Tak seberapa lama istrinya digelandang keluar. Perempuan putih sipit dengan rambut lurus dan berjarik batik lurik Lasem itu merintih-rintih ketakuatan. Kedua matanya semakin sembab. Air matanya menetes keluar membasahi pipinya yang putih bersih.
“Jika tidak kamu beritahu info di mana markas kaum pengacau itu, perempuan cantik ini akan kami tembak.” Gertak Sersan V. Maukirt marah.
‘Baiklah, kami hitung dengan hitungan ketiga, jika belum kamu kasih tahu padaku, tembak perempuan ini!” Ancam lagi.
“Ampun Tuan, kami tidak tahu.” Jawab lelaki Tionghoa itu ketakutan.
“1, 2, ti-…” Hitung Sersan V. Maukirt.
“Tunggu, Tuan. Kami tidak tahu persis markas itu berada di mana, tuan? Tapi kemungkinan tempat yang tuan maksud ada disisi timur sungai itu tuan.”
“Dimana?”
“Disebelah situ Tuan.”
“Periksa!” Perintah Sersan V. Maukirt.
Beberapa tentara Belanda dengan baju loreng-loreng berlarian dengan menenteng senapan mendekati tempat disisi timur sungai. Menyusuri tempat yang mereka anggap sebagai markas kaum pengacau. Padahal Republik ini telah memerdekakan diri kurang lebih tiga tahun kemarin, kenapa Tentara Rakyat Indonesia disebut pengacau? Justru yang pengacau adalah mereka sendiri. Mereka masih juga belum kenyang mengeruk apapun dari bumi pertiwi ini. Manusia tak kan bakal merasakan kenyang sampai penjajahan diakhiri dari bumi manusia ini. Penjajahan atas diri manusia membuat tega membantainya lebih dari hewan sekalipun. Manusia menjadi tak berharga.
Tentara Belanda itu terus menyusuri rumah-rumah disepanjang timur sungai. Semuanya sepi. Sunyi. Kemungkinan mereka telah bersembunyi disuatu tempat yang aman. Menghindari tentara Belanda. Berita kedatangan tentara Belanda itu disampaikan oleh beberapa teliksandi yang bertugas. Hanya saja, masih ada beberapa laskar Hizbullah yang masih terus berjaga-jaga disekitar markasnya. Dan laskar Hizbullah itu tahu jika beberapa tentara Belanda telah menghampirinya. Sebelum tentara Belanda itu menghampirinya, kontak senjatapun terjadi. Suara desingan tembak menembak bersahut-sahutan diiringi gema takbir “Allahu Akbar” dari pejuang Hizbullah.
“Tembak terus, Kang. Jangan mau kalah. Ini adalah bumi kita, bumi pertiwi yang kita cintai.” Teriak salah satu pasukan Hizbullah.
“Siap, Kang Umar. Merdeka!” Sembari menembakkan senapannya pada tentara Belanda yang telah siaga.
“Kita kalah kekuatan, Kang.”
“Tak usah takut, Kang. Kita imbangi dengan serangan bertahan saja. Setelah itu kita mundur secara teratur. Beritahu yang lainnya. Jangan sampai ada korban bagi kita.”
“Baiklah, Kang.”
Dengan sigap beberapa Laskar Hizbullah menghalau Pasukan Belanda yang menyerang dengan membabi buta. Peluru-peluru senapan berdesingan. Tak kalah Laskar Hizbullah juga membalas dengan sengitnya. Kedua belah pihak masih menyerang dan sembunyi. Namun, setelah beberapa menit serangan terjadi tentara Belanda semakin mendominasi seiring dengan beberapa personilnya datang membantu. Kekuatan menjadi tidak seimbang lagi. Saatnya untuk mundur. Dengan begitu tiga personil Laskar Hizbullah bersamaan melemparkan granat ke arah pertahanan tentara Belanda dan diiringi tembakan bertubi-tubi.
“Munduuuur…!”
Serempak Laskar Hizbullah mundur dengan tetap menyerang, sesekali melemparkan lagi granat ke arah tentara Belanda. Perlahan-lahan suara tembakan mulai surut. Asap masih mengepul seperti orang sehabis membakar sampah. Kemudian sepi kembali.
Tentara Belanda mulai memeriksa keadaan sekitar.
“Bakar rumah ini!”
“Siap.”
Rumah kayu itupun sekejap dilahap api. Ludes bersama dengan kisah-kisah yang menyertainya. Tak ada korban jiwa. Namun, segala kisah dan sejarah telah lenyap termakan api. Rumah kawan Basyar itu sirna. Syukur, orangnya telah menyingkir. Rumah bisa dibangun lagi dan sejarah bisa dirintis kembali dengan semangat yang terus menyala tanpa sedikitpun surut.
Tentara Belanda itupun kembali ke rumah Tionghoa. Mereka mengambil beberapa makanan yang masih ada dirumah besar itu. Orang Tionghoa hanya duduk menggigil ketakutan, diam, dan pucat pasi. Yang menjadi kekhawatiran dalam hatinya adalah dibunuh istri dan anak-anaknya karena ia telah berbohong pada Belanda mengenai Markas Gerilya. Pikirannya mengawang-awang antara hidup dan mati, jika hanya barang-barang yang telah ia punyai dirampas itu hanya masalah kecil. Semua bisa dirajut kembali. Namun jika nyawa yang diambil dengan cara ditembak, lunaslah kehidupan yang ada pada dirinya.
“Ambil saja, Tuan, sepuas-puasnya.” Tiba-tiba orang Tionghoa itu angkat bicara.
“Ehm, kau punya pabrik kecap?” Tanya Sersan V. Maukirt pelan.
“Iya, Tuan.” Jawab orang Tionghoa itu dengan mengangguk.
“Kapan kau mulai merintisnya?”
“Sudah lebih dari lima tahun, Tuan.”
“Oh iya. Aku bawa semua kecap-kecapmu.”
“Silahkan, Tuan, ambil sepuasnya..”
Beberapa kecap-kecap yang telah ditaruh dalam botol-botol itupun diangkat ke dalam truk. Setelah semua dirasa cukup. Pasukan Belanda itupun melanjutkan perjalanannya kembali. Rumah besar orang Tionghoa yang ternyata pabrik kecap itupun ditinggalkan begitu saja. Belanda tak jadi menembaknya. Karena suatu alasan bahwa orang bersangkutan tak berpengaruh apapun dalam gerakan Agresi Militer yang telah dilancarkan.
Namun bukan berarti pasca peristiwa itu terjadi, selesai dan tak ada lagi peristiwa terjadi berikutnya. Pemandangan malam itu telah diawasi oleh beberapa orang pergerakan tentara Indonesia yang ternyata ada kesalahpahaman. Beberapa hari setelah itu, rumah besar pabrik kecap pertama di Bangilan itupun dibakar oleh tentara Gerilya karena mereka menganggap bahwa orang Tionghoa itu sebagai antek-antek Belanda karena memberikan beberapa informasi, dan memberikan bantuan bahan makanan kepada Belanda. Dengan bukti memberikan kecap berbotol-botol kepada Belanda. Padahal itu dilakukan hanya untuk menyelamatkan diri dari siksaan Belanda.
Sehingga rumah besar itupun dibangun lagi oleh kesatuan tentara Gerilya Indonesia wilayah kecamatan Bangilan di bawah komando Serma Sumantri sebagai ucapan permohonan maaf akibat salah paham. Dan pabrik kecap itupun beroperasi kembali. Dengan nama pabrik kecap cap Jempol. Nama bagus dengan arti dan simbol bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh Pasukan Gerilya dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia patut diancungi jempol.
Tentara Belanda tiba di Senori tengah malam persis. Hujan telah reda. langit-langit kembali terang benderang dengan ribuan bintang kerlap-kerlip, indah sekali. Tentara Belanda itu berhenti dirumah kepala desa yang besar nan luas. Orangnya telah pergi. Mengungsi. Rumah itupun disandera. Apapun yang ada dalam rumah dijarah. Ada banyak bahan makanan yang tersimpan digudang. Gabah yang telah ditaruh dalam karung bertumpuk-tumpuk menjadi incaran tentara Belanda. Mereka menganggap bahan-bahan makanan itu adalah stok bagi kaum pengacau semacam pasukan gerilya. Tak ada pilihan lagi kecuali membakar rumah seisi-isinya. Bumi hanguskan merupakan cara yang terbaik bagi mereka. Tanpa melihat bagaimana penderitaan bagi yang punya. Kelaparan, kesedihan, bahkan beberapa penyakit kekurangan gizi menjadi beban yang harus diderita. Perang bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan suatu permasalahan, karena akan ada lagi beban kemanusiaan yang tentu saja dampaknya akan lebih besar. Tapi justru perang dianggap suatu jalan untuk menyelesaikan masalah. Menakuti dan meneror agar seseorang atau sekelompok orang tertentu menjadi takluk. Untuk apa senjata-senjata canggih dibuat gagah-gagahan? Tentu saja jawabannya untuk keamanan dan untuk perlindungan. Padahal manusia selalu membuat dan menciptakan senjata perang dari ke hari tanpa kenal batas dan mau berhenti, selalu berlomba-lomba untuk membuat inovasi terbaru senjata-senjata canggih demi keamanan dan perlindungan dan tentu saja untuk kewibawaan suatu negara. Sehingga perang tak kan pernah berhenti jika inovasi senjata-senjata canggih juga tak mau berhenti.
Manusia sampai kapanpun juga tak pernah merasa cukup. Perang bukan hanya ditimbulkan oleh suatu permasalahan tertentu saja, namun saat ini perang sudah hampir disebabkan permasalahan yang kompleks. Alasan Belanda ingin menduduki Indonesia kembali dengan sistem agresi militer karena Indonesia mempunyai segala-galanya. Tentu saja masa depan yang luar biasa. Dan kemerdekaan bagi Indonesia bukan lagi suatu alasan bagi Belanda untuk tidak menjajah lagi. Selagi ada kesempatan untuk menguasai negara labil seperti Indonesia karena baru merdeka adalah kerja atau usaha yang menggiurkan untuk mendapatkan bumi surga seperti Indonesia. Negara mana yang tidak kepincut?
Maka semakin berkembangnya ekonomi kapitalis akan semakin menjadi rebutan bagi negara-negara maju untuk menguasai bumi pertiwi atas nama Republik Indonesia. Dari segi sumber daya alam yang melimpah ruah, dari segi sumber daya manusia murah meriah. Juga kebudayaan-kebudayaan lokal yang mendukung.
Tentara Belanda di bawah komando Sersan V. Maukirt terus melanjutkan perjalanan menuju Banyurip. Pasukan ini telat 1,5 jam dari koloninya yang telah lewat terlebih dahulu, yaitu Koloni Arendt dibawah komando Kapten C. Bloom. Tak ada pilihan lagi pasukan itu kecuali terus saja berlalu memburu waktu untuk menduduki Banyurip dan bergabung dengan pasukan lainnya, yaitu “Koloni Kieviet” dan “Koloni Arendt.”


Bangilan, Nopember 2017
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening. 


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda