Membakar Rumah Warga
https://9fpgsajadeh.wordpress.com/2016/02/page/2/
Oleh. Rohmat Sholihin*
Pasukan V. Maukirt terus merayap menuju desa Bangilan.
Jalan yang penuh air hujan tak jadi soal. Beberapa truk dan tank masih terus
melaju meski beberapa kali berhenti karena terhalang medan jalan yang sulit.
Tergenang air dan berlumpur, namun dengan mudah bisa teratasi. Kemudian
berjalan lagi. Meski berniat akan kembali untuk membantu Pasukan Kapten C.
Bloom dari serangan Pasukan Hizbullah, namun perintah atasan untuk terus
melanjutkan perjalanan.
Target Pasukan Sersan V. Maukirt untuk menghalau
beberapa serangan-serangan Pasukan Gerilya dan bersifat memecah kekuatan
Pasukan Gerilya. Sehingga tidak terpusat untuk menyerang Pasukan Arendt dibawah
komando Kapten C. Bloom.
Tepat pukul 22.00, iring-iringan Pasukan Sersan V.
Maukirt mulai memasuki wilayah Bangilan. Desa ini tampak sepi. Gelap dan masih
diiringi gerimis tipis-tipis. Tak ada orang berlalu-lalang dijalanan. Semua
terlihat sibuk mendengkur dalam rumah mereka masing-masing. Sejenak
iring-iringan Pasukan Sersan V. Maukirt berhenti di depan rumah orang Tionghoa.
Ia perintahkan kepada anak buah untuk masuk ke dalam rumahnya. Tak lama
keluarlah orang Tionghwa itu dengan wajah ketakutan. Ada beberapa perbincangan
dengannya.
“Kamu tahu di mana markas tentara pengacau?” Tanya
Sersan V. Maukirt.
“Tak tahu Tuan.” Jawab orang Tionghoa dengan
terbata-bata.
“Ehm, kamu pasti tahu, katakanlah, jika kamu ingin
tetap selamat.” Paksa Sersan.
“Benar, saya tidak tahu Tuan. Maaf, saya tidak berani
bohong pada Tuan.”
“Bohong.” Bentak Sersan V. Maukirt.
“Saya jujur, Tuan. Saya tidak bohong.”
“Bawa istrinya ke sini!” Perintah Sersan V. Maukirt.
“Siap!” Jawab anak buah.
Tak seberapa lama istrinya digelandang keluar.
Perempuan putih sipit dengan rambut lurus dan berjarik batik lurik Lasem itu
merintih-rintih ketakuatan. Kedua matanya semakin sembab. Air matanya menetes keluar
membasahi pipinya yang putih bersih.
“Jika tidak kamu beritahu info di mana markas kaum
pengacau itu, perempuan cantik ini akan kami tembak.” Gertak Sersan V. Maukirt
marah.
‘Baiklah, kami hitung dengan hitungan ketiga, jika
belum kamu kasih tahu padaku, tembak perempuan ini!” Ancam lagi.
“Ampun Tuan, kami tidak tahu.” Jawab lelaki Tionghoa
itu ketakutan.
“1, 2, ti-…” Hitung Sersan V. Maukirt.
“Tunggu, Tuan. Kami tidak tahu persis markas itu
berada di mana, tuan? Tapi kemungkinan tempat yang tuan maksud ada disisi timur
sungai itu tuan.”
“Dimana?”
“Disebelah situ Tuan.”
“Periksa!” Perintah Sersan V. Maukirt.
Beberapa tentara Belanda dengan baju loreng-loreng
berlarian dengan menenteng senapan mendekati tempat disisi timur sungai.
Menyusuri tempat yang mereka anggap sebagai markas kaum pengacau. Padahal
Republik ini telah memerdekakan diri kurang lebih tiga tahun kemarin, kenapa
Tentara Rakyat Indonesia disebut pengacau? Justru yang pengacau adalah mereka
sendiri. Mereka masih juga belum kenyang mengeruk apapun dari bumi pertiwi ini.
Manusia tak kan bakal merasakan kenyang sampai penjajahan diakhiri dari bumi
manusia ini. Penjajahan atas diri manusia membuat tega membantainya lebih dari
hewan sekalipun. Manusia menjadi tak berharga.
Tentara Belanda itu terus menyusuri rumah-rumah
disepanjang timur sungai. Semuanya sepi. Sunyi. Kemungkinan mereka telah
bersembunyi disuatu tempat yang aman. Menghindari tentara Belanda. Berita
kedatangan tentara Belanda itu disampaikan oleh beberapa teliksandi yang
bertugas. Hanya saja, masih ada beberapa laskar Hizbullah yang masih terus
berjaga-jaga disekitar markasnya. Dan laskar Hizbullah itu tahu jika beberapa
tentara Belanda telah menghampirinya. Sebelum tentara Belanda itu
menghampirinya, kontak senjatapun terjadi. Suara desingan tembak menembak
bersahut-sahutan diiringi gema takbir “Allahu Akbar” dari pejuang Hizbullah.
“Tembak terus, Kang. Jangan mau kalah. Ini adalah bumi
kita, bumi pertiwi yang kita cintai.” Teriak salah satu pasukan Hizbullah.
“Siap, Kang Umar. Merdeka!” Sembari menembakkan senapannya
pada tentara Belanda yang telah siaga.
“Kita kalah kekuatan, Kang.”
“Tak usah takut, Kang. Kita imbangi dengan serangan
bertahan saja. Setelah itu kita mundur secara teratur. Beritahu yang lainnya.
Jangan sampai ada korban bagi kita.”
“Baiklah, Kang.”
Dengan sigap beberapa Laskar Hizbullah menghalau
Pasukan Belanda yang menyerang dengan membabi buta. Peluru-peluru senapan
berdesingan. Tak kalah Laskar Hizbullah juga membalas dengan sengitnya. Kedua
belah pihak masih menyerang dan sembunyi. Namun, setelah beberapa menit
serangan terjadi tentara Belanda semakin mendominasi seiring dengan beberapa
personilnya datang membantu. Kekuatan menjadi tidak seimbang lagi. Saatnya
untuk mundur. Dengan begitu tiga personil Laskar Hizbullah bersamaan
melemparkan granat ke arah pertahanan tentara Belanda dan diiringi tembakan
bertubi-tubi.
“Munduuuur…!”
Serempak Laskar Hizbullah mundur dengan tetap
menyerang, sesekali melemparkan lagi granat ke arah tentara Belanda.
Perlahan-lahan suara tembakan mulai surut. Asap masih mengepul seperti orang
sehabis membakar sampah. Kemudian sepi kembali.
Tentara Belanda mulai memeriksa keadaan sekitar.
“Bakar rumah ini!”
“Siap.”
Rumah kayu itupun sekejap dilahap api. Ludes bersama
dengan kisah-kisah yang menyertainya. Tak ada korban jiwa. Namun, segala kisah
dan sejarah telah lenyap termakan api. Rumah kawan Basyar itu sirna. Syukur,
orangnya telah menyingkir. Rumah bisa dibangun lagi dan sejarah bisa dirintis
kembali dengan semangat yang terus menyala tanpa sedikitpun surut.
Tentara Belanda itupun kembali ke rumah Tionghoa. Mereka
mengambil beberapa makanan yang masih ada dirumah besar itu. Orang Tionghoa
hanya duduk menggigil ketakutan, diam, dan pucat pasi. Yang menjadi
kekhawatiran dalam hatinya adalah dibunuh istri dan anak-anaknya karena ia
telah berbohong pada Belanda mengenai Markas Gerilya. Pikirannya
mengawang-awang antara hidup dan mati, jika hanya barang-barang yang telah ia
punyai dirampas itu hanya masalah kecil. Semua bisa dirajut kembali. Namun jika
nyawa yang diambil dengan cara ditembak, lunaslah kehidupan yang ada pada
dirinya.
“Ambil saja, Tuan, sepuas-puasnya.” Tiba-tiba orang
Tionghoa itu angkat bicara.
“Ehm, kau punya pabrik kecap?” Tanya Sersan V. Maukirt
pelan.
“Iya, Tuan.” Jawab orang Tionghoa itu dengan
mengangguk.
“Kapan kau mulai merintisnya?”
“Sudah lebih dari lima tahun, Tuan.”
“Oh iya. Aku bawa semua kecap-kecapmu.”
“Silahkan, Tuan, ambil sepuasnya..”
Beberapa kecap-kecap yang telah ditaruh dalam
botol-botol itupun diangkat ke dalam truk. Setelah semua dirasa cukup. Pasukan
Belanda itupun melanjutkan perjalanannya kembali. Rumah besar orang Tionghoa
yang ternyata pabrik kecap itupun ditinggalkan begitu saja. Belanda tak jadi
menembaknya. Karena suatu alasan bahwa orang bersangkutan tak berpengaruh
apapun dalam gerakan Agresi Militer yang telah dilancarkan.
Namun bukan berarti pasca peristiwa itu terjadi,
selesai dan tak ada lagi peristiwa terjadi berikutnya. Pemandangan malam itu telah
diawasi oleh beberapa orang pergerakan tentara Indonesia yang ternyata ada
kesalahpahaman. Beberapa hari setelah itu, rumah besar pabrik kecap pertama di
Bangilan itupun dibakar oleh tentara Gerilya karena mereka menganggap bahwa
orang Tionghoa itu sebagai antek-antek Belanda karena memberikan beberapa informasi,
dan memberikan bantuan bahan makanan kepada Belanda. Dengan bukti memberikan
kecap berbotol-botol kepada Belanda. Padahal itu dilakukan hanya untuk
menyelamatkan diri dari siksaan Belanda.
Sehingga rumah besar itupun dibangun lagi oleh
kesatuan tentara Gerilya Indonesia wilayah kecamatan Bangilan di bawah komando
Serma Sumantri sebagai ucapan permohonan maaf akibat salah paham. Dan pabrik
kecap itupun beroperasi kembali. Dengan nama pabrik kecap cap Jempol. Nama
bagus dengan arti dan simbol bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh Pasukan
Gerilya dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia patut diancungi
jempol.
Tentara Belanda tiba di Senori tengah malam persis.
Hujan telah reda. langit-langit kembali terang benderang dengan ribuan bintang
kerlap-kerlip, indah sekali. Tentara Belanda itu berhenti dirumah kepala desa
yang besar nan luas. Orangnya telah pergi. Mengungsi. Rumah itupun disandera.
Apapun yang ada dalam rumah dijarah. Ada banyak bahan makanan yang tersimpan
digudang. Gabah yang telah ditaruh dalam karung bertumpuk-tumpuk menjadi
incaran tentara Belanda. Mereka menganggap bahan-bahan makanan itu adalah stok
bagi kaum pengacau semacam pasukan gerilya. Tak ada pilihan lagi kecuali
membakar rumah seisi-isinya. Bumi hanguskan merupakan cara yang terbaik bagi
mereka. Tanpa melihat bagaimana penderitaan bagi yang punya. Kelaparan,
kesedihan, bahkan beberapa penyakit kekurangan gizi menjadi beban yang harus
diderita. Perang bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan suatu permasalahan,
karena akan ada lagi beban kemanusiaan yang tentu saja dampaknya akan lebih
besar. Tapi justru perang dianggap suatu jalan untuk menyelesaikan masalah.
Menakuti dan meneror agar seseorang atau sekelompok orang tertentu menjadi
takluk. Untuk apa senjata-senjata canggih dibuat gagah-gagahan? Tentu saja
jawabannya untuk keamanan dan untuk perlindungan. Padahal manusia selalu
membuat dan menciptakan senjata perang dari ke hari tanpa kenal batas dan mau
berhenti, selalu berlomba-lomba untuk membuat inovasi terbaru senjata-senjata
canggih demi keamanan dan perlindungan dan tentu saja untuk kewibawaan suatu
negara. Sehingga perang tak kan pernah berhenti jika inovasi senjata-senjata
canggih juga tak mau berhenti.
Manusia sampai kapanpun juga tak pernah merasa cukup.
Perang bukan hanya ditimbulkan oleh suatu permasalahan tertentu saja, namun
saat ini perang sudah hampir disebabkan permasalahan yang kompleks. Alasan
Belanda ingin menduduki Indonesia kembali dengan sistem agresi militer karena
Indonesia mempunyai segala-galanya. Tentu saja masa depan yang luar biasa. Dan
kemerdekaan bagi Indonesia bukan lagi suatu alasan bagi Belanda untuk tidak
menjajah lagi. Selagi ada kesempatan untuk menguasai negara labil seperti Indonesia
karena baru merdeka adalah kerja atau usaha yang menggiurkan untuk mendapatkan
bumi surga seperti Indonesia. Negara mana yang tidak kepincut?
Maka semakin berkembangnya ekonomi kapitalis akan
semakin menjadi rebutan bagi negara-negara maju untuk menguasai bumi pertiwi
atas nama Republik Indonesia. Dari segi sumber daya alam yang melimpah ruah,
dari segi sumber daya manusia murah meriah. Juga kebudayaan-kebudayaan lokal
yang mendukung.
Tentara Belanda di bawah komando Sersan V. Maukirt
terus melanjutkan perjalanan menuju Banyurip. Pasukan ini telat 1,5 jam dari
koloninya yang telah lewat terlebih dahulu, yaitu Koloni Arendt dibawah komando
Kapten C. Bloom. Tak ada pilihan lagi pasukan itu kecuali terus saja berlalu
memburu waktu untuk menduduki Banyurip dan bergabung dengan pasukan lainnya,
yaitu “Koloni Kieviet” dan “Koloni Arendt.”
Bangilan, Nopember 2017
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda