MbahWage
https://www.bukalapak.com/p/fashion-pria/sepatu-169/formal/12og39-jual-sepatu-bally-kulit
Pagi itu Mbah Wage sedikit
sibuk karena mendapat undangan dari pak Camat untuk mengikuti upacara
detik-detik Proklamasi di lapangan kecamatan. Sibuk mencari sepatunya hadiah
dari komandannya yang pernah menyambanginya beberapa tahun kemarin sewaktu ada
acara reuni veteran angkatan 45 dan 49. Komandan dan juga teman baik Mbah Wage
memberikan hadiah sepatu baru. Senang bukan buatan, haru tak tertahankan,
selama Mbah Wage bertugas sebagai pasukan gerilya dulu tak pernah menggunakan
sepatu, bertempur dengan pasukan musuhpun dengan telanjang kaki. Meski Mbah
Wage juga sangat menginginkan punya sepatu baru. Tapi, ia tak pernah punya
kesempatan menggunakan sepatu dalam perang mempertahankan kedaulatan negeri ini. Keluar
masuk hutan, menuruni bukit, gunung, menyeberang sungai, melintasi sawah dengan
telanjang kaki. Batu, kerikil, pasir, lumpur ia lewati dengan senapan ditangan
siap menghabisi musuh-musuhnya. Mbah Wage termasuk pasukan yang bisa diandalkan
oleh komandannya karena ketangkasan dan keberaniannya serta kekuatannya yang
diatas rata-rata, penembak jitu, penyamar ulung, perenang hebat, penyusup
handal, jaduk bela diri. Membunuh musuh
dengan tidak menggunakan senjatapun sering ia lakukan. Sangat pantas sebagai
pasukan elite atau khusus. Cuma waktu itu belum ada pasukan elite ditubuh
Tentara Rakyat Indonesia.
Hadiah sepatu
itu ia taruh dilemari dekat ruang tamu, berhari-hari sepatu hadiah dari
komandannya itu ia pandangi, ia pegangi, lalu ia pakai. Dicoba jalan beberapa
langkah ke depan dan mundur ke belakang, maju gagah, mundur gagah, “enak
dipakai sepatu ini, pasti mahal harganya.” Batinnya. Ia copot lagi dan ia
masukkan ke dalam kardusnya dan dimasukkan lagi ke lemari. “Ah sayang, aku
pakai untuk apa? Perang sudah usai, tugasku juga sudah selesai. Tak ada
fungsinya. Aku juga sudah tua, untuk apa? Biarkan kusimpan dalam lemari saja.
Sebagai kenang-kenangan dari komandan.” Ucap Mbah Wage. Ia pun berlalu
meninggalkan sepatu baru itu dengan tenang. “Sudahlah, biarkan sepatu itu aku
simpan saja, siapa tahu ada yang memerlukannya.” Pikirnya lagi. Bertahun-tahun sepatu itu tak pernah ia lihat
dan dipegangi lagi. Seakan-akan hasrat untuk punya sepatu baru telah sirna
begitu saja. Bahkan lupa jika ia punya sepatu baru hadiah dari komandannya.
***
Beberapa hari
kemarin Si Tulaikah berantem dengan suaminya. Percekcokannya sampai ke
tetangga. Suara tangisan dan jeritan Tulaikah seperti orang kesetanan.
Kebetulan istri Mbah Wage yang belum sibuk bekerja di ladang menghampirinya.
Menanyakan apa duduk perkaranya? Ternyata si Mamad anak Tulaikah tak punya
sepatu untuk mengikuti Paskibraka di kecamatan. Si Mamad terpilih sebagai
Paskibraka namun ia belum punya sepatu. Dan sampai sekarang bapaknya Karmin
belum mampu untuk membelikannya karena suatu sebab beberapa bulan ini ia tak
bekerja karena proyek lagi mandek. Ketika setiap diingatkan tentang sepatu
Mamad langsung sensitif, marah-marah pastinya, puncaknya pagi ini ketika Mamad
sudah berangkat ke sekolah semua emosi itu diluapkan. Pintu rumah digedor-gedor
bahkan Tulaikah ketakutan dan kemudian berteriak-teriak histeris.
“Ada apa, Kah?
Beranntem kok terus apa tidak bosan?” Tanya istri Mbah Wage.
“Beberapa hari
ini Kang Karmin nganggur sedangkan Si Mamad belum punya sepatu untuk Paskibraka
di kecamatan, tadi pagi waktu aku ingatkan tentang sepatu Mamad langsung
marah-marah. Pintu dan dinding kayu itu ditendang hingga hampir jebol.”
Tulaikah tersedu-sedu ketakutan.
“Kapan
Paskibrakanya, Kah?” Tanya istri Mbah Wage lagi.
“Ya mesti
tanggal 17 Agustus, Mbah. Di saat hari ulang tahun Proklamasi kemerdekaan
kita.” Jawab Tulaikah.
“Sebentar,
dirumah ada sepatu milik Mbahmu, siapa tahu cukup untuk Si Mamad.” Istri Mbah
Wage mencoba menawarkan pada Tulaikah.
“Tak usah Mbah.
Terima kasih, terima kasih.” Secepatnya Tulaikah langsung menjawab. Bayangannya
sepatu itu pasti hanya cocok untuk pergi ke ladang supaya tidak tergores beling
atau tertusuk duri sewaktu bercocok tanam diladangnya Mbah Wage. Sepatu itu
terbuat dari karet dan dibawahnya ada benjolan-benjolan seperti sepatu bola
supaya tidak licin. Apa jadinya ketika Si Mamad memakainya, sudah pasti menjadi
guyonan teman-temannya karena salah atribut, bukan mau menjadi tim Paskibraka
namun menjadi tim sepak bola. Karena sepatu yang dipakai adalah jelmaan sepatu
bola.
Tanpa perduli
istri Mbah Wage tidak menggubrisnya ia tetap balik ke rumah ingin mengambil
sepatu milik suaminya itu yang telah disimpan dilemari depan. Tapi Tulaikah
juga tak mau kalah.
“Sudah, sudah,
Mbah tak usah repot-repot, biar besok Kang Karmin yang akan membelikannya
ditoko sepatu milik H. Kono. Karena hanya ditoko itu yang punya.” Bicara
Tulaikah pada istri Mbah Wage yang tetap ngotot
“Berapa harganya
sepatu itu, Kah?” Tanya istri Mbah Wage.
“Kemarin aku
sempat bertanya, sekitar 299 ribu, Mbah.” Jawab Tulaikah.
“Mahal. Kapan
kau belikan, dia?”
“Belum tahu ini
Mbah. Kang Karmin belum punya uang. Belum kerja beberapa hari ini. uangnya juga
masih untuk kebutuhan makan.”
“Lihat saja
dulu, Kah, siapa tahu cocok.” Tawar istri Mbah Wage lagi.
“Tidak usah,
Mbah. Terima kasih.”
“Sebentar, Kah,
kau bisa melihatnya dulu, kasihan Mamad. Mbah Wage sudah tidak membutuhkannya
lagi.”
“Tidak, Mbah.
Terima kasih.” Ngotot Tulaikah dengan bayangan dikepalanya yang tetap sama.
Sepatu untuk ke ladang dengan benjolan-benjolan dibawahnya laksana sepatu bola.
“Apa jadinya, apa jadinya.” Batinnya.
Dan istri Mbah
Wage pun pulang. Ia masih penasaran dengan Tulaikah yang tidak mau ia bantu.
“Ada apa ini ya, ah, sudahlah biar aku ambil saja sepatunya. Apa salahnya usaha
ingin membantu tetangga dalam kesulitan. Tak ada yang salah, justru lebih bagus
jika sepatu bapak bisa dimanfaatkan oleh orang yang membutuhkan.” Dengan
langkah yang tergontai-gontai istri Mbah Wage mengambil sepatu itu.
“Kah,
Tulaikah,….” Masih tak ada jawaban dari dalam rumah.
“Kah,
Tulaikah….”
“Iya. Silahkan
masuk.” Jawaban dari dalam rumahpun terdengar.
“Oh Mbah Wage,
ada apa lagi, Mbah?” Tanya Tulaikah penasaran.
“Ini loh
sepatunya, Kah. Coba buka dulu kardusnya.”
“Oh Mbah Wage,
benarkah ini sepatu Mbah Wage?” Hampir Tulaikhah tidak percaya, perlahan ia
membuka kardus sepatu itu. Ada tulisan didalamnya dengan kertas warna merah: Untuk Wage Kusnan. Kupersembahkan sepatu ini
untuk pahlawanku, pahlawan rakyat Indonesia. Prajurit terbaik yang pernah ku
kenal sepanjang masa. Dariku : Letnan Jenderal Djaka Artub Purnawirawan.
10-11-1999.
“Wah, sepatu
bagus ini, Mbah. Bisa dipinjam sama Si Mamad, Mbah?” Batin Tulaikah tak
percaya.
“Iya silahkan
biar dipakai sama Si Mamad dan kau tak perlu bertengkar lagi dengan suamimu.”
Jelas istri Mbah Wage.
“Terima kasih
Mbah.” Ucap Tulaikhah dengan memeluk istri Mbah Wage.
Tanpa membalas
ucapan terima kasih pada Tulaikhah, istri Mbah Wage pun pamit pulang. “Saya mau
menyusul Mbahmu di ladang, Kah.” Ucapnya kemudian berlalu.
***
Esoknya….
Dengan masih
bingung ia mencoba duduk dikursi depan lemarinya. Ia merenung, kemana perginya
sepatu baru itu? Sedangkan beberapa jam lagi ia akan berangkat upacara
Detik-Detik Proklamasi meski ia juga sempat menolaknya untuk hadir namun yang
meminta hadir adalah pak Camat putera dari komandannya Letnan Jenderal Djaka
Artub tak ada alasan untuk tidak hadir, akhirnya ia pun luluh dan bersedia
hadir. Ia masih merenung, mencari-cari sepatu itu.
“Kemana sepatu
itu ya, tiba-tiba menghilang?” Pikirnya masih terus mencari-cari sepatu hadiah
komandannya yang telah ia letakkan di lemarinya.
“Tak mungkin
kalau hilang, jelas ini,…” Sebelum Mbah Wage meneruskan pikirannya itu.
“Cari apa, Pak?
Dari tadi kok mondar-mandir didepan lemari.” Tanya istrinya.
“Cari sepatuku
hadiah dari komandan Djaka. Bu. Aku simpan dilemari ini tiba-tiba tidak ada.
Sedangkan pagi ini jam delapan aku mendapat undangan dari pak Camat untuk
mengikuti upacara detik-detik proklamasi di lapangan kecamatan. ” Jawab Mbah
Wage.
“Ya Allah, Pak.
Sepatu itu kemarin aku kasihkan pada Si Mamad untuk dipakai Paskibraka di
kecamatan juga. Tulaikhah habis berantem dengan suaminya karena belum bisa
membelikan sepatu untuk si Mamad. Suaminya beberapa hari ini tidak ada kerjaan
jadi belum bisa membelikan. Aku kasihan, Pak.” Jawab istri Mbah Wage dengan penuh
sesal.
“Sudahlah, Bu.
Tak apa jika sudah kau berikan pada Si Mamad. Sebenarnya aku enggan untuk
hadir. Namun, Pak Camat selalu memaksa aku untuk hadir dan aku sudah tak punya
alasan lagi.” Jawab Mbah Wage.
“Aku carikan
sepatu dimana ini, Pak?”
“Begini saja,
kau datang ke rumah Tulaikhah, ambilkan sepatunya Mamad biar aku pakai.”
“Baiklah, Pak.”
***
Istri Mbah Wage pun menghampiri rumah Tulaikhah.
“Tulaikhah, begini ya, Nduk. Bukan berarti aku punya
maksud untuk meminta lagi sepatunya. Namun, bisakah saya pinjam sepatunya Mamad
untuk Mbah Wage, karena dia juga mendapat undangan mengikuti upacara di
kecamatan.” Bicara pelan istri Mbah Wage.
Tulaikhah hanya diam, terpaku. Ia merasa telah merugikan
dan merepotkan istri Mbah Wage.
“Aduh, Mbah. Maafkan saya. Telah merepotkan Mbah Wage
jadinya.” Jawab Tulaikhah.
“Tak apa, Mbah Wage hanya ingin meminjam sepatunya
Mamad.”
“Baiklah.” Tak banyak bicara Tulaikhah kembali ke
belakang untuk mengambilkan sepatunya Mamad.
“Ini, Mbah sepatunya Mamad.” Dengan malu Tulaikhah
memberikan sepatu casual hitam yang telah rusak parah. Bagian depan sebelah
kiri sobek dengan kakinya hampir terlihat. Sedangkan bagian kanan yang belakang
juga telah sobek. Sepatunya Mamad memang sudah sangat tak layak, wajar jika ia
meminta sepatu baru untuk Paskibraka. Tak mungkin mengikuti Paskibraka menggunakan
sepatu yang tak layak akan menjadi pemandangan yang tidak layak pula.
Tapi istri Mbah Wage tak perduli dengan semua itu. Sepatu
milik Mamad yang memprihatinkan itu tetap ia bawa pulang untuk dipakai Mbah
Wage mengikuti upacara pagi ini. sesampai dirumah sepatu yang sudah tak layak
itu tetap Mbah Wage pakai. Ia padukan dengan seragam putih-putih dengan peci
hitam yang dipakai dengan gaya miring. Tapi sepatunya, casual hitam dengan
sobek depan belakang, keren, tidak berpenampilan seperti bekas pejuang namun
terlihat seperti mantan rocker. Tubuhnya yang kurus dan jangkung, hidungnya
yang mancung, matanya sedikit sipit, rambutnya sedikit panjang putih dan
berombak dengan peci hitam. Seakan ia mau tampil membawakan lagu untuk konser
bukan untuk mengikuti upacara. Aneh. Tapi hebat.
***
Mbah Wage pun berangkat dengan tenang. Tak ada sedikitpun
rasa risau dalam hatinya. Sepatunya Mamad yang tak layak ketika dipakainya
menjadi barang antik dan unik. Meski lusuh dan setengah rusak namun tetap
berwibawa. Meski ada pepatah jawa: Ajining
rogo soko busono, seakan tak berlaku bagi seorang prajurit terbaik, Wage
Kusnan. Ia sudah tak membutuhkan sanjungan dari banyak orang apalagi pencitraan
setinggi langit. Untuk apa? Ia sudah tak butuh itu semua, yang ia butuhkan
hanya pembuktian bukan pencitraan.
Mbah Wage datang
dan duduk dengan gagah di kursi undangan. Ada beberapa tamu undangan yang
menyalaminya ada juga tamu undangan yang sinis padanya. Mungkin dikira ia
adalah orang setengah gila. Karena dilihat dari seragamnya yang tidak pantas
itu mengandung asumsi oleh banyak orang. Sepatunya saja, wow, keren, tidak
semua orang kuat mental untuk memakainya, jangan-jangan sepatu dari loakan mana
itu? Mbah Wage tetap cuek. Dalam hati Mbah Wage masih kuat sebagai mantan
prajurit terbaik.
Ia pun ikut berdiri ketika pasukan pengibar bendera
sedang mengibarkan bendera. Ia melihat Mamad dengan gagah bertugas sebagai
pasukan inti pembawa bendera, tubuhnya tinggi, atletis, cakep, keren, dan
sepatunya sangat pas dengan penampilannya. Mbah Wage hingga merasa terharu
dengan kondisi Mamad. Dalam hatinya, “Kau memang pantas memakai sepatu itu,
Nak. Kau terlihat gagah, luar biasa, dan sepatumu sangat cocok. Kau lebih patut
memakainya, Nak.” Ada rasa haru dalam diri Mbah Wage. Ia tak marah sedikitpun.
Justru ia merasa tersanjung karena telah memberikan kesempatan pada Mamat untuk
bisa ikut tampil dalam pasukan Paskibraka dengan gagah dan sukses. Karena Mamad
adalah faktor kunci pembawa bendera dan pengibar bendera. Sukses tidaknya
upacara berada pada pundaknya. Apa jadinya, jika ia memakai sepatu ini, sangat
tak patut.
Upacarapun usai. Mbah Wage pun ikut beramah tamah di
pendopo kecamatan. Pak Camat yang mengundangnya secara pribadi menyalaminya dan
menceritakan kiprah dan perjuangan Mbah Wage sewaktu perang 10 Nopember dan
Agresi Belanda pada seluruh hadirin yang hadir untuk beramah tamah di pendopo.
Semua tersentak tak terkecuali seluruh undangan yang hadir, semua menyalami
Mbah Wage, bahkan Komandan Komando Rayon Militer memeluk Mbah Wage sambil
menangis tersedu-sedu, haru.
Sedangkan diluar pendopo beberapa anggota Paskibraka,
Mamad dan kawan-kawan dengan setia menunggu Mbah Wage selesai beramah tamah.
Ketika Mamad bertemu dengan Mbah Wage ia langsung memeluk Mbah Wage dan meminta
maaf atas sepatunya yang telah ia pakai. Sedangkan Mbah Wage hanya tersenyum
dan berkata lirih.
“Sepatumu
bagus, Nak. Nyaman tak tertahankan.” Lalu mereka foto bersama dan tertawa lepas
dengan bahagia.
Bangilan, 20
November 2017.
Rohmat
Sholihin
Penulis
anggota Komunitas Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda