Senin, 20 November 2017

MbahWage

https://www.bukalapak.com/p/fashion-pria/sepatu-169/formal/12og39-jual-sepatu-bally-kulit
    Pagi itu Mbah Wage sedikit sibuk karena mendapat undangan dari pak Camat untuk mengikuti upacara detik-detik Proklamasi di lapangan kecamatan. Sibuk mencari sepatunya hadiah dari komandannya yang pernah menyambanginya beberapa tahun kemarin sewaktu ada acara reuni veteran angkatan 45 dan 49. Komandan dan juga teman baik Mbah Wage memberikan hadiah sepatu baru. Senang bukan buatan, haru tak tertahankan, selama Mbah Wage bertugas sebagai pasukan gerilya dulu tak pernah menggunakan sepatu, bertempur dengan pasukan musuhpun dengan telanjang kaki. Meski Mbah Wage juga sangat menginginkan punya sepatu baru. Tapi, ia tak pernah punya kesempatan menggunakan sepatu dalam perang  mempertahankan kedaulatan negeri ini. Keluar masuk hutan, menuruni bukit, gunung, menyeberang sungai, melintasi sawah dengan telanjang kaki. Batu, kerikil, pasir, lumpur ia lewati dengan senapan ditangan siap menghabisi musuh-musuhnya. Mbah Wage termasuk pasukan yang bisa diandalkan oleh komandannya karena ketangkasan dan keberaniannya serta kekuatannya yang diatas rata-rata, penembak jitu, penyamar ulung, perenang hebat, penyusup handal,  jaduk bela diri. Membunuh musuh dengan tidak menggunakan senjatapun sering ia lakukan. Sangat pantas sebagai pasukan elite atau khusus. Cuma waktu itu belum ada pasukan elite ditubuh Tentara Rakyat Indonesia.
Hadiah sepatu itu ia taruh dilemari dekat ruang tamu, berhari-hari sepatu hadiah dari komandannya itu ia pandangi, ia pegangi, lalu ia pakai. Dicoba jalan beberapa langkah ke depan dan mundur ke belakang, maju gagah, mundur gagah, “enak dipakai sepatu ini, pasti mahal harganya.” Batinnya. Ia copot lagi dan ia masukkan ke dalam kardusnya dan dimasukkan lagi ke lemari. “Ah sayang, aku pakai untuk apa? Perang sudah usai, tugasku juga sudah selesai. Tak ada fungsinya. Aku juga sudah tua, untuk apa? Biarkan kusimpan dalam lemari saja. Sebagai kenang-kenangan dari komandan.” Ucap Mbah Wage. Ia pun berlalu meninggalkan sepatu baru itu dengan tenang. “Sudahlah, biarkan sepatu itu aku simpan saja, siapa tahu ada yang memerlukannya.” Pikirnya lagi.  Bertahun-tahun sepatu itu tak pernah ia lihat dan dipegangi lagi. Seakan-akan hasrat untuk punya sepatu baru telah sirna begitu saja. Bahkan lupa jika ia punya sepatu baru hadiah dari komandannya.

***
Beberapa hari kemarin Si Tulaikah berantem dengan suaminya. Percekcokannya sampai ke tetangga. Suara tangisan dan jeritan Tulaikah seperti orang kesetanan. Kebetulan istri Mbah Wage yang belum sibuk bekerja di ladang menghampirinya. Menanyakan apa duduk perkaranya? Ternyata si Mamad anak Tulaikah tak punya sepatu untuk mengikuti Paskibraka di kecamatan. Si Mamad terpilih sebagai Paskibraka namun ia belum punya sepatu. Dan sampai sekarang bapaknya Karmin belum mampu untuk membelikannya karena suatu sebab beberapa bulan ini ia tak bekerja karena proyek lagi mandek. Ketika setiap diingatkan tentang sepatu Mamad langsung sensitif, marah-marah pastinya, puncaknya pagi ini ketika Mamad sudah berangkat ke sekolah semua emosi itu diluapkan. Pintu rumah digedor-gedor bahkan Tulaikah ketakutan dan kemudian berteriak-teriak histeris.
“Ada apa, Kah? Beranntem kok terus apa tidak bosan?” Tanya istri Mbah Wage.
“Beberapa hari ini Kang Karmin nganggur sedangkan Si Mamad belum punya sepatu untuk Paskibraka di kecamatan, tadi pagi waktu aku ingatkan tentang sepatu Mamad langsung marah-marah. Pintu dan dinding kayu itu ditendang hingga hampir jebol.” Tulaikah tersedu-sedu ketakutan.
“Kapan Paskibrakanya, Kah?” Tanya istri Mbah Wage lagi.
“Ya mesti tanggal 17 Agustus, Mbah. Di saat hari ulang tahun Proklamasi kemerdekaan kita.” Jawab Tulaikah.
“Sebentar, dirumah ada sepatu milik Mbahmu, siapa tahu cukup untuk Si Mamad.” Istri Mbah Wage mencoba menawarkan pada Tulaikah.
“Tak usah Mbah. Terima kasih, terima kasih.” Secepatnya Tulaikah langsung menjawab. Bayangannya sepatu itu pasti hanya cocok untuk pergi ke ladang supaya tidak tergores beling atau tertusuk duri sewaktu bercocok tanam diladangnya Mbah Wage. Sepatu itu terbuat dari karet dan dibawahnya ada benjolan-benjolan seperti sepatu bola supaya tidak licin. Apa jadinya ketika Si Mamad memakainya, sudah pasti menjadi guyonan teman-temannya karena salah atribut, bukan mau menjadi tim Paskibraka namun menjadi tim sepak bola. Karena sepatu yang dipakai adalah jelmaan sepatu bola.
Tanpa perduli istri Mbah Wage tidak menggubrisnya ia tetap balik ke rumah ingin mengambil sepatu milik suaminya itu yang telah disimpan dilemari depan. Tapi Tulaikah juga tak mau kalah.
“Sudah, sudah, Mbah tak usah repot-repot, biar besok Kang Karmin yang akan membelikannya ditoko sepatu milik H. Kono. Karena hanya ditoko itu yang punya.” Bicara Tulaikah pada istri Mbah Wage yang tetap ngotot
“Berapa harganya sepatu itu, Kah?” Tanya istri Mbah Wage.
“Kemarin aku sempat bertanya, sekitar 299 ribu, Mbah.” Jawab Tulaikah.
“Mahal. Kapan kau belikan, dia?”
“Belum tahu ini Mbah. Kang Karmin belum punya uang. Belum kerja beberapa hari ini. uangnya juga masih untuk kebutuhan makan.”
“Lihat saja dulu, Kah, siapa tahu cocok.” Tawar istri Mbah Wage lagi.
“Tidak usah, Mbah. Terima kasih.”
“Sebentar, Kah, kau bisa melihatnya dulu, kasihan Mamad. Mbah Wage sudah tidak membutuhkannya lagi.”
“Tidak, Mbah. Terima kasih.” Ngotot Tulaikah dengan bayangan dikepalanya yang tetap sama. Sepatu untuk ke ladang dengan benjolan-benjolan dibawahnya laksana sepatu bola. “Apa jadinya, apa jadinya.” Batinnya.
Dan istri Mbah Wage pun pulang. Ia masih penasaran dengan Tulaikah yang tidak mau ia bantu. “Ada apa ini ya, ah, sudahlah biar aku ambil saja sepatunya. Apa salahnya usaha ingin membantu tetangga dalam kesulitan. Tak ada yang salah, justru lebih bagus jika sepatu bapak bisa dimanfaatkan oleh orang yang membutuhkan.” Dengan langkah yang tergontai-gontai istri Mbah Wage mengambil sepatu itu.
“Kah, Tulaikah,….” Masih tak ada jawaban dari dalam rumah.
“Kah, Tulaikah….”
“Iya. Silahkan masuk.” Jawaban dari dalam rumahpun terdengar.
“Oh Mbah Wage, ada apa lagi, Mbah?” Tanya Tulaikah penasaran.
“Ini loh sepatunya, Kah. Coba buka dulu kardusnya.”
“Oh Mbah Wage, benarkah ini sepatu Mbah Wage?” Hampir Tulaikhah tidak percaya, perlahan ia membuka kardus sepatu itu. Ada tulisan didalamnya dengan kertas warna merah: Untuk Wage Kusnan. Kupersembahkan sepatu ini untuk pahlawanku, pahlawan rakyat Indonesia. Prajurit terbaik yang pernah ku kenal sepanjang masa. Dariku : Letnan Jenderal Djaka Artub Purnawirawan. 10-11-1999.
“Wah, sepatu bagus ini, Mbah. Bisa dipinjam sama Si Mamad, Mbah?” Batin Tulaikah tak percaya.
“Iya silahkan biar dipakai sama Si Mamad dan kau tak perlu bertengkar lagi dengan suamimu.” Jelas istri Mbah Wage.
“Terima kasih Mbah.” Ucap Tulaikhah dengan memeluk istri Mbah Wage.
Tanpa membalas ucapan terima kasih pada Tulaikhah, istri Mbah Wage pun pamit pulang. “Saya mau menyusul Mbahmu di ladang, Kah.” Ucapnya kemudian berlalu.
***
            Esoknya….
Dengan masih bingung ia mencoba duduk dikursi depan lemarinya. Ia merenung, kemana perginya sepatu baru itu? Sedangkan beberapa jam lagi ia akan berangkat upacara Detik-Detik Proklamasi meski ia juga sempat menolaknya untuk hadir namun yang meminta hadir adalah pak Camat putera dari komandannya Letnan Jenderal Djaka Artub tak ada alasan untuk tidak hadir, akhirnya ia pun luluh dan bersedia hadir. Ia masih merenung, mencari-cari sepatu itu.
“Kemana sepatu itu ya, tiba-tiba menghilang?” Pikirnya masih terus mencari-cari sepatu hadiah komandannya yang telah ia letakkan di lemarinya.
“Tak mungkin kalau hilang, jelas ini,…” Sebelum Mbah Wage meneruskan pikirannya itu.
“Cari apa, Pak? Dari tadi kok mondar-mandir didepan lemari.” Tanya istrinya.
“Cari sepatuku hadiah dari komandan Djaka. Bu. Aku simpan dilemari ini tiba-tiba tidak ada. Sedangkan pagi ini jam delapan aku mendapat undangan dari pak Camat untuk mengikuti upacara detik-detik proklamasi di lapangan kecamatan. ” Jawab Mbah Wage.
“Ya Allah, Pak. Sepatu itu kemarin aku kasihkan pada Si Mamad untuk dipakai Paskibraka di kecamatan juga. Tulaikhah habis berantem dengan suaminya karena belum bisa membelikan sepatu untuk si Mamad. Suaminya beberapa hari ini tidak ada kerjaan jadi belum bisa membelikan. Aku kasihan, Pak.” Jawab istri Mbah Wage dengan penuh sesal.
“Sudahlah, Bu. Tak apa jika sudah kau berikan pada Si Mamad. Sebenarnya aku enggan untuk hadir. Namun, Pak Camat selalu memaksa aku untuk hadir dan aku sudah tak punya alasan lagi.” Jawab Mbah Wage.
“Aku carikan sepatu dimana ini, Pak?”
“Begini saja, kau datang ke rumah Tulaikhah, ambilkan sepatunya Mamad biar aku pakai.”
“Baiklah, Pak.”
***
            Istri Mbah Wage pun menghampiri rumah Tulaikhah.
            “Tulaikhah, begini ya, Nduk. Bukan berarti aku punya maksud untuk meminta lagi sepatunya. Namun, bisakah saya pinjam sepatunya Mamad untuk Mbah Wage, karena dia juga mendapat undangan mengikuti upacara di kecamatan.” Bicara pelan istri Mbah Wage.
            Tulaikhah hanya diam, terpaku. Ia merasa telah merugikan dan merepotkan istri Mbah Wage.
            “Aduh, Mbah. Maafkan saya. Telah merepotkan Mbah Wage jadinya.” Jawab Tulaikhah.
            “Tak apa, Mbah Wage hanya ingin meminjam sepatunya Mamad.”
            “Baiklah.” Tak banyak bicara Tulaikhah kembali ke belakang untuk mengambilkan sepatunya Mamad.
            “Ini, Mbah sepatunya Mamad.” Dengan malu Tulaikhah memberikan sepatu casual hitam yang telah rusak parah. Bagian depan sebelah kiri sobek dengan kakinya hampir terlihat. Sedangkan bagian kanan yang belakang juga telah sobek. Sepatunya Mamad memang sudah sangat tak layak, wajar jika ia meminta sepatu baru untuk Paskibraka. Tak mungkin mengikuti Paskibraka menggunakan sepatu yang tak layak akan menjadi pemandangan yang tidak layak pula.
            Tapi istri Mbah Wage tak perduli dengan semua itu. Sepatu milik Mamad yang memprihatinkan itu tetap ia bawa pulang untuk dipakai Mbah Wage mengikuti upacara pagi ini. sesampai dirumah sepatu yang sudah tak layak itu tetap Mbah Wage pakai. Ia padukan dengan seragam putih-putih dengan peci hitam yang dipakai dengan gaya miring. Tapi sepatunya, casual hitam dengan sobek depan belakang, keren, tidak berpenampilan seperti bekas pejuang namun terlihat seperti mantan rocker. Tubuhnya yang kurus dan jangkung, hidungnya yang mancung, matanya sedikit sipit, rambutnya sedikit panjang putih dan berombak dengan peci hitam. Seakan ia mau tampil membawakan lagu untuk konser bukan untuk mengikuti upacara. Aneh. Tapi hebat.
***
            Mbah Wage pun berangkat dengan tenang. Tak ada sedikitpun rasa risau dalam hatinya. Sepatunya Mamad yang tak layak ketika dipakainya menjadi barang antik dan unik. Meski lusuh dan setengah rusak namun tetap berwibawa. Meski ada pepatah jawa: Ajining rogo soko busono, seakan tak berlaku bagi seorang prajurit terbaik, Wage Kusnan. Ia sudah tak membutuhkan sanjungan dari banyak orang apalagi pencitraan setinggi langit. Untuk apa? Ia sudah tak butuh itu semua, yang ia butuhkan hanya pembuktian bukan pencitraan.
Mbah Wage datang dan duduk dengan gagah di kursi undangan. Ada beberapa tamu undangan yang menyalaminya ada juga tamu undangan yang sinis padanya. Mungkin dikira ia adalah orang setengah gila. Karena dilihat dari seragamnya yang tidak pantas itu mengandung asumsi oleh banyak orang. Sepatunya saja, wow, keren, tidak semua orang kuat mental untuk memakainya, jangan-jangan sepatu dari loakan mana itu? Mbah Wage tetap cuek. Dalam hati Mbah Wage masih kuat sebagai mantan prajurit terbaik.
            Ia pun ikut berdiri ketika pasukan pengibar bendera sedang mengibarkan bendera. Ia melihat Mamad dengan gagah bertugas sebagai pasukan inti pembawa bendera, tubuhnya tinggi, atletis, cakep, keren, dan sepatunya sangat pas dengan penampilannya. Mbah Wage hingga merasa terharu dengan kondisi Mamad. Dalam hatinya, “Kau memang pantas memakai sepatu itu, Nak. Kau terlihat gagah, luar biasa, dan sepatumu sangat cocok. Kau lebih patut memakainya, Nak.” Ada rasa haru dalam diri Mbah Wage. Ia tak marah sedikitpun. Justru ia merasa tersanjung karena telah memberikan kesempatan pada Mamat untuk bisa ikut tampil dalam pasukan Paskibraka dengan gagah dan sukses. Karena Mamad adalah faktor kunci pembawa bendera dan pengibar bendera. Sukses tidaknya upacara berada pada pundaknya. Apa jadinya, jika ia memakai sepatu ini, sangat tak patut.
            Upacarapun usai. Mbah Wage pun ikut beramah tamah di pendopo kecamatan. Pak Camat yang mengundangnya secara pribadi menyalaminya dan menceritakan kiprah dan perjuangan Mbah Wage sewaktu perang 10 Nopember dan Agresi Belanda pada seluruh hadirin yang hadir untuk beramah tamah di pendopo. Semua tersentak tak terkecuali seluruh undangan yang hadir, semua menyalami Mbah Wage, bahkan Komandan Komando Rayon Militer memeluk Mbah Wage sambil menangis tersedu-sedu, haru.
            Sedangkan diluar pendopo beberapa anggota Paskibraka, Mamad dan kawan-kawan dengan setia menunggu Mbah Wage selesai beramah tamah. Ketika Mamad bertemu dengan Mbah Wage ia langsung memeluk Mbah Wage dan meminta maaf atas sepatunya yang telah ia pakai. Sedangkan Mbah Wage hanya tersenyum dan berkata lirih.
            “Sepatumu bagus, Nak. Nyaman tak tertahankan.” Lalu mereka foto bersama dan tertawa lepas dengan bahagia.

Bangilan, 20 November 2017.
Rohmat Sholihin
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.    

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda