Banyurip Terbakar
https://tirto.id/saat-belanda-membatalkan-sepihak-perjanjian-linggarjati-cs8T
Pasukan Belanda berhasil melanjutkan perjalanan meski
menghadapi banyak kesulitan, baik kesulitan bertempur menghadapi pasukan
gerilya dan juga medan yang sangat berat. Jalan yang berlumpur, jembatan putus,
tank-tank macet, truk-truk mangkrak karena jalan harus dibenahi terlebih
dahulu. Menaklukan eks Hindia Belanda tak seindah bayangan dalam benak mereka.
Kini, orang-orang eks Hindia Belanda bukanlah seonggok beruk yang penurut dan
bodoh, orang-orang eks Hindia Belanda mempunyai semangat persatuan dan
keberanian untuk melawan. Mengerti arti siasat pertempuran yang melumpuhkan
serta merepotkan musuh. Mempunyai senjata untuk melawan, senapan, revolver,
granat, ranjau, juga bayonet.
Pertempuran-pertempuran terus berlangsung secara
signifikan. Bahkan cukup membuat pasukan Belanda kalang kabut. Teror dari
pasukan gerilya terus dilancarkan sehingga membuat pasukan Belanda menjadi
tegang. Banyak rumah-rumah warga yang telah dibakar. Rakyat biasa tak
bersenjata ditangkap. Ada yang ditembak, dikubur entah dimana, membuat
keluarganya menjadi marah terhadap pasukan Belanda. Sedangkan
perjanjian-perjanjian antara pemerintahan Belanda dan pemerintahan RI
menghadapi jalan buntu.
Pasukan Belanda mulai memasuki tanjakan bukit
Banyurip. Terseot-seot dan meraung-raung, truk-truk dan tank-tank terus merayap
menaiki jalan-jalan terjal. Asap-asap hitam dari cerobong knalpot terus
berhamburan. Hanya beberapa mobil jeep, dan truk serta tank yang masih bisa
berjalan, lainnya hancur terbakar akibat diledakkan oleh pasukan gerilya.
Truk-truk pengangkut bahan bakar dan bahan makananpun juga luluh lantah oleh
ranjau-ranjau yang telah dipasang oleh pasukan gerilya. Secara nyata agresi
yang telah dilancarkan Belanda mendapatkan perlawanan yang cukup merepotkan,
dan Tentara Republik menghindari perang terbuka, bahkan dengan cara itu Belanda
sangat kewalahan. Belanda tidak bisa menaklukan secara utuh daerah-daerah strategis
RI, pemerintah RI masih terus berlanjut meski harus berpindah-pindah tempat
begitu juga pemerintah daerah. Presiden Soekarno dan wakil Drs Moh. Hatta meski
telah ditangkap bahkan dibuang ke Bangka Belitung sedikitpun tak ada pengaruh
bagi perlawanan rakyat. Kekuatan militer RI masih mampu melakukan pertahanan
dan mengimbangi kekuatan pasukan Belanda.
Sebelum pasukan Belanda menjamah bukit Banyurip-Cepu
dan menguasai bahan bakar minyak sebagai cadangan energi tempur mereka, baik
Koloni Arendt dibawah komando Kapten C. Bloom dan Koloni Kieviet dibawah
komando Kapten Mar Giesbert dan tak mungkin pasukan gerilya akan terus menguasai
dan mempertahankan daerah strategis itu. Belanda akan menyerang secara total
daerah strategis yang kaya akan cadangan energi untuk bekal peralatan tempur
mereka. Maka beberapa kekuatan kesatuan dari Divisi I Brawijaya dibawah
pimpinan Letnan Kolonel Soedirman lebih dulu melakukan usaha-usaha penghancuran
dengan cara membakarnya.
Asap hitam seperti hutan terbakar memenuhi sumur-sumur
minyak, apinya mengepul-ngepul, dilengkapi dengan ledakan-ledakan. Namun,
karena cadangan minyaknya yang sangat melimpah tak semua sumur-sumur itu bisa
diledakkan hanya beberapa titik yang dianggap lebih penting dan strategis.
Pasukan Belanda itupun datang. Beberapa perlawanan
dari pasukan gerilya masih terus berlangsung. Seakan-akan serangan gerilya
Republik Indonesia tak ada matinya. Perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman sesuai
surat perintah siasat nomor 1, bahwa perlawanan harus tetap terus berlangsung
dengan cara bergerilya. Kekuatan militer Indonesia harus terus menyatu dengan
rakyat. Kita tak ingin menjadi bangsa terjajah lagi. Kedaulatan bangsa harus
tetap terus dipertahankan mati-matian.
Dalam pertempuran di desa Banyurip ini ada banyak
kesatuan-kesatuan dari Republik Indonesia. Ada pasukan Hizbullah. Ada juga
pasukan Ronggolawe, pasukan Banaspati, pasukan Gendruwo, pasukan Sikatan itu
semua kesatuan dari Divisi I Brawijaya.
Semua bersatu bahu membahu melawan pasukan Belanda. Pertempuran berjalan dengan
sengit dan hampir seharian penuh. Ada banyak bantuan pasukan dari beberapa
daerah termasuk satu batalyon dari Bojonegoro. Ada juga bantuan bahan makanan
bagi para pejuang yang bertempur dari desa-desa seperti Bangilan, Binangun,
Kedewan, Wonocolo, Senori, Kaligede, Plunten, Kedungkebo bahkan Parengan dan
Sembung.
Maka Banyurip menjadi ajang pertempuran yang dahsyat.
Banyak korban berjatuhan. Bukan hanya pasukan dari kedua belah pihak namun
rakyat sipil pun bergelimpangan. Hewan-hewan ternak pun banyak yang mati.
Banyurip seperti desa penebar maut. Belanda semakin kewalahan dan terjepit. Tak
ada pilihan untuk mengirim kabar di Tuban agar dikirim bala bantuan lagi. Belanda
hanya punya strategi mengulur waktu dengan bertahan total. Menunggu bantuan
sekompi lagi datang atau dengan bantuan udara berupa pesawat tempurnya.
Jawa sekarang bagi mereka bukanlah lagi tempat yang
nyaman untuk singgah dan melakukan pendudukan. Sumber kekayaannya mereka hisap
dan orang-orangnya pula. Jawa telah menjadi pusat pergerakan perlawanan yang
sungguh diluar nalar. Senjata mereka mampu mengimbangi persenjataan Belanda.
Senjata dari rampasan Jepang. Meski ada beberapa pasukan yang masih memakai
kelewang, pedang ataupun parang. Tapi masih punya senjata rampasan Jepang yang
melimpah. Senjata punya Jepang yang dipersiapkan untuk melawan sekutu tak ingin
diambil alih oleh tentara sekutu dalam peristiwa pelucutan. Senjata-senjata itu
telah digunakan oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk melakukan revolusi
kemerdekaan hingga kini.
Belanda salah sangka. Badan intelejen mereka telah
salah perhitungan dalam membaca peta kekuatan Republik Indonesia. Memang dari
awal berkesan seperti mudah menaklukannya tapi kekuatan-kekuatan tentara
Republik melakukan perang gerilya yang sangat menyulitkan Belanda. Panglima
besar Jenderal Soedirman melakukan perintah siasat nomor 1 agar tentara-tentara
terus melakukan perlawanan disetiap daerah-daerah basis gerilya masing-masing
untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Buktinya Belanda kalang
kabut. Didukung oleh rakyat yang masih bersimpati kepada tentara Republik
Indonesia.
Jalur-jalur intelijen Belanda yang sempat mereka
tinggalkan menjadi jalur yang telah tertutup oleh semak-semak karena lama tidak
terpakai sehingga intelijen Belanda menggunakan jalur-jalur yang telah
digunakan oleh Jepang. Maka pasukan gerilya lebih mudah membaca pergerakan
tentara Belanda yang akan melakukan rute pendudukan. Seakan-akan jalur yang
dilalui oleh pasukan Belanda sekarang ini bagaikan jalur neraka. Penuh dengan
rintangan dan gangguan-gangguan penyerangan dari pasukan gerilya. Bisa
dipastikan agresi militer yang telah dilancarkan oleh Belanda tak berpengaruh
apa-apa bagi kedaulatan RI, tetap terus berdiri sebagai negara yang telah
merdeka.
Sedangkan maksud daan tujuan pasukan Belanda
mendatangi Banyurip Cepu hanya ingin memastikan bahwa kilang-kilang minyak yang
telah diketemukan Belanda masih terus beroperasi. Disamping itu cadangan bahan
bakar untuk melakukan pendudukan harus benar-benar ada, dan tentu saja sesuai
dengan peta wilayah Jawa Indonesia, Banyurip-Cepu adanya. Tidak ingin dalam
agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda tidak didukung dengan suplai
energi bahan bakar yang mumpuni. Pasukan gerilya sadar bahwa tak mungkin jika
akan terus mempertahankan wilayah itu dengan peperangan yang hebat karena
strategi perang pasukan gerilya adalah menyerang dan hilang begitu seterusnya,
bukan menghadapi pertempuran dengan Belanda secara terbuka. Karena tentara
Republik Indonesia tidak hanya menghadapi Belanda namun kekuatan pasukan
Indonesia juga baru saja menghadapi pergolakan dan pemberontakan yang
dilancarkan oleh Muso dengan gerakannya PKI di Madiun.
Pertempuran semakin seru. Rawe-rawe ratas,
malang-malang putung, daya tempur pasukan gerilya semakin membabi buta. Tembak-menembak
semakin mengerikan. Korban kedua pihak bergelimpangan.
“Mana korekmu, Kang?” Pinta seseorang berpangkat
letnan.
“Untuk apa?” Jawab temannya penasaran.
“Bakar lagi sumur-sumur yang lain!” Ajaknya.
“Baik, Kang.”
“Sebenarnya Belanda telah menandai titik-titik sumur
yang telah ditutup lagi dengan cor, supaya aman tidak diambil oleh Jepang
terutama bangsa kita ini, agar suatu saat ketika Belanda kembali tinggal
menitiknya lagi.”
“Benar, Kang. Belanda selalu punya cara tersendiri
sebelum meninggalkan tanah jajahannya ketika kalah tanpa syarat dengan Jepang.
Di Kalijati.”
“Dan kita tak punya waktu banyak untuk menemukan
titik-titik sumur itu karena kecamuk perang semakin menghebat.”
“Iya , Kang dan kita tak mungkin terus bertahan
didaerah ini.”
“Kenapa?”
“Karena Presiden Ir. Soekarno dan Drs Moh. Hatta telah
tertangkap, kabarnya telah diungsikan ke Bangka.”
“Lantas…”
“Dengan tertangkapnya Presiden beserta seluruh kabinetnya, kita hanya bisa melawan melalui gerilya. Hanya bersifat mengganggu dan memberikan perlawanan sebisanya saja. Karena Belanda memegang kuncinya, melalui presiden yang telah ditangkap.”
“Dengan tertangkapnya Presiden beserta seluruh kabinetnya, kita hanya bisa melawan melalui gerilya. Hanya bersifat mengganggu dan memberikan perlawanan sebisanya saja. Karena Belanda memegang kuncinya, melalui presiden yang telah ditangkap.”
“Dan untung Panglima Besar Jenderal Soedirman terus
bergerilya tak mau takluk kepada Belanda.”
“Apakah Ir. Soekarno bisa juga dibunuh, Kang?”
“Bisa juga tapi Belanda tak kan gegabah.”
“Maksudnya,..”
“Belanda menyandera pemimpin kita sebagai kunci perlawanan
rakyat Indonesia, jika Belanda semakin terjepit pasti akan menggunakan Ir.
Soekarno untuk jurus agar tentara kita mau untuk mundur atau bahkan menyerah.”
“Apakah pak Karno tidak membuat pemerintahan darurat,
Kang?”
“Setidaknya upaya itu sudah diambil oleh
pemimpin-pemimpin kita.”
“Pemerintahan kabupaten juga masih terus
berpindah-pindah ini, Kang. Kemarin ke desa Jadi-Semanding, Montong bahkan
kabarnya ini telah pindah ke Jatirogo.”
“Betul, dan Belanda masih terus memburunya.”
“Semoga Pak Bupati KH Musta’in tidak tertangkap oleh
Belanda dan menjadi sandera.”
“Semoga, Kang.”
“Bahkan istri KH Musta’in, Aisyah selalu mendapatkan
iming-iming dari wakil kerajaan Belanda Van der Plas dengan jabatan Residen
jika Bupati KH Musta’in mau berhenti memimpin perjuangan gerilya.”
“Lantas…”
“Yang aku tahu Tuan Bupati KH Musta’in tak kan mau.”
“Syukurlah, Kang. Jangan sampai kita terlena dengan
iming-iming Belanda yang licik.”
“Hampir semua tertipu dengan siasat licik Belanda,
mulai Pangeran Diponegoro, Kapiten Pattimura, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak
Dien, masih banyak lagi dan semoga
Presiden kita mempan dengan bujukan-bujukan Belanda.”
“Iya Kang semoga.”
“Van der Plas kok sampai tahu posisi istri KH Musta’in?”
“Van der Plas itu teman akrab KH Musta’in sewaktu
belajar Islamologi di tanah suci Makkah. Bahkan Van der Plas sering bermain
dirumah KH Musta’in. Dan tak tahu apa kepentingannya.”
“Oh begitu.”
“Sudah-sudah, Kang, nanti kita lanjutkan lagi
bicaranya. Sekarang ayo kita ledakkan sumur-sumur itu lagi. Agar Belanda
semakin kebingungan dengan cadangan bahan bakarnya.”
“Siap.”
Tak lama, beberapa sumur-sumur minyak telah
dibakarnya, api semakin membuncah, beberapa ledakan berbunyi mengerikan.
Pertempuran semakin edan. Pihak pasukan gerilya semakin banyak berjatuhan.
Belanda juga demikian. Keduanya masih belum mau mengakhiri peperangan. Masih
terus berlangsung dengan sengit. Pasukan Belanda sedikit terjepit karena
tank-tank telah ditinggalkan di desa Kaligede sehingga penyerangannya kurang
begitu dahsyat. Pasukan gerilya semakin gencar melakukan penyerangan hanya saja
terkendala pada cadangan senjata yang telah dibawa. Mau tak mau, mundur juga
akhirnya. Dan membiarkan Banyurip salah satu desa strategis karena banyak
mengandung energi bahan bakar harus rela jatuh ke tangan Belanda. Perlahan-lahan
kekuatan gerilya mulai mundur secara teratur. Dan kembali ke daerah-daerah
aman. Meski nanti akan melakukan penyerangan kembali dengan melihat situasi
yang menguntungkan.
Bangilan, 18 Nopember 2017
Oleh. Rohmat Sholihin
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda