Sabtu, 18 November 2017

Banyurip Terbakar

https://tirto.id/saat-belanda-membatalkan-sepihak-perjanjian-linggarjati-cs8T
Pasukan Belanda berhasil melanjutkan perjalanan meski menghadapi banyak kesulitan, baik kesulitan bertempur menghadapi pasukan gerilya dan juga medan yang sangat berat. Jalan yang berlumpur, jembatan putus, tank-tank macet, truk-truk mangkrak karena jalan harus dibenahi terlebih dahulu. Menaklukan eks Hindia Belanda tak seindah bayangan dalam benak mereka. Kini, orang-orang eks Hindia Belanda bukanlah seonggok beruk yang penurut dan bodoh, orang-orang eks Hindia Belanda mempunyai semangat persatuan dan keberanian untuk melawan. Mengerti arti siasat pertempuran yang melumpuhkan serta merepotkan musuh. Mempunyai senjata untuk melawan, senapan, revolver, granat, ranjau, juga bayonet.
Pertempuran-pertempuran terus berlangsung secara signifikan. Bahkan cukup membuat pasukan Belanda kalang kabut. Teror dari pasukan gerilya terus dilancarkan sehingga membuat pasukan Belanda menjadi tegang. Banyak rumah-rumah warga yang telah dibakar. Rakyat biasa tak bersenjata ditangkap. Ada yang ditembak, dikubur entah dimana, membuat keluarganya menjadi marah terhadap pasukan Belanda. Sedangkan perjanjian-perjanjian antara pemerintahan Belanda dan pemerintahan RI menghadapi jalan buntu.
Pasukan Belanda mulai memasuki tanjakan bukit Banyurip. Terseot-seot dan meraung-raung, truk-truk dan tank-tank terus merayap menaiki jalan-jalan terjal. Asap-asap hitam dari cerobong knalpot terus berhamburan. Hanya beberapa mobil jeep, dan truk serta tank yang masih bisa berjalan, lainnya hancur terbakar akibat diledakkan oleh pasukan gerilya. Truk-truk pengangkut bahan bakar dan bahan makananpun juga luluh lantah oleh ranjau-ranjau yang telah dipasang oleh pasukan gerilya. Secara nyata agresi yang telah dilancarkan Belanda mendapatkan perlawanan yang cukup merepotkan, dan Tentara Republik menghindari perang terbuka, bahkan dengan cara itu Belanda sangat kewalahan. Belanda tidak bisa menaklukan secara utuh daerah-daerah strategis RI, pemerintah RI masih terus berlanjut meski harus berpindah-pindah tempat begitu juga pemerintah daerah. Presiden Soekarno dan wakil Drs Moh. Hatta meski telah ditangkap bahkan dibuang ke Bangka Belitung sedikitpun tak ada pengaruh bagi perlawanan rakyat. Kekuatan militer RI masih mampu melakukan pertahanan dan mengimbangi kekuatan pasukan Belanda.
Sebelum pasukan Belanda menjamah bukit Banyurip-Cepu dan menguasai bahan bakar minyak sebagai cadangan energi tempur mereka, baik Koloni Arendt dibawah komando Kapten C. Bloom dan Koloni Kieviet dibawah komando Kapten Mar Giesbert dan tak mungkin pasukan gerilya akan terus menguasai dan mempertahankan daerah strategis itu. Belanda akan menyerang secara total daerah strategis yang kaya akan cadangan energi untuk bekal peralatan tempur mereka. Maka beberapa kekuatan kesatuan dari Divisi I Brawijaya dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soedirman lebih dulu melakukan usaha-usaha penghancuran dengan cara membakarnya.
Asap hitam seperti hutan terbakar memenuhi sumur-sumur minyak, apinya mengepul-ngepul, dilengkapi dengan ledakan-ledakan. Namun, karena cadangan minyaknya yang sangat melimpah tak semua sumur-sumur itu bisa diledakkan hanya beberapa titik yang dianggap lebih penting dan strategis.
Pasukan Belanda itupun datang. Beberapa perlawanan dari pasukan gerilya masih terus berlangsung. Seakan-akan serangan gerilya Republik Indonesia tak ada matinya. Perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman sesuai surat perintah siasat nomor 1, bahwa perlawanan harus tetap terus berlangsung dengan cara bergerilya. Kekuatan militer Indonesia harus terus menyatu dengan rakyat. Kita tak ingin menjadi bangsa terjajah lagi. Kedaulatan bangsa harus tetap terus dipertahankan mati-matian.
Dalam pertempuran di desa Banyurip ini ada banyak kesatuan-kesatuan dari Republik Indonesia. Ada pasukan Hizbullah. Ada juga pasukan Ronggolawe, pasukan Banaspati, pasukan Gendruwo, pasukan Sikatan itu semua  kesatuan dari Divisi I Brawijaya. Semua bersatu bahu membahu melawan pasukan Belanda. Pertempuran berjalan dengan sengit dan hampir seharian penuh. Ada banyak bantuan pasukan dari beberapa daerah termasuk satu batalyon dari Bojonegoro. Ada juga bantuan bahan makanan bagi para pejuang yang bertempur dari desa-desa seperti Bangilan, Binangun, Kedewan, Wonocolo, Senori, Kaligede, Plunten, Kedungkebo bahkan Parengan dan Sembung.
Maka Banyurip menjadi ajang pertempuran yang dahsyat. Banyak korban berjatuhan. Bukan hanya pasukan dari kedua belah pihak namun rakyat sipil pun bergelimpangan. Hewan-hewan ternak pun banyak yang mati. Banyurip seperti desa penebar maut. Belanda semakin kewalahan dan terjepit. Tak ada pilihan untuk mengirim kabar di Tuban agar dikirim bala bantuan lagi. Belanda hanya punya strategi mengulur waktu dengan bertahan total. Menunggu bantuan sekompi lagi datang atau dengan bantuan udara berupa pesawat tempurnya.
Jawa sekarang bagi mereka bukanlah lagi tempat yang nyaman untuk singgah dan melakukan pendudukan. Sumber kekayaannya mereka hisap dan orang-orangnya pula. Jawa telah menjadi pusat pergerakan perlawanan yang sungguh diluar nalar. Senjata mereka mampu mengimbangi persenjataan Belanda. Senjata dari rampasan Jepang. Meski ada beberapa pasukan yang masih memakai kelewang, pedang ataupun parang. Tapi masih punya senjata rampasan Jepang yang melimpah. Senjata punya Jepang yang dipersiapkan untuk melawan sekutu tak ingin diambil alih oleh tentara sekutu dalam peristiwa pelucutan. Senjata-senjata itu telah digunakan oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk melakukan revolusi kemerdekaan hingga kini.
Belanda salah sangka. Badan intelejen mereka telah salah perhitungan dalam membaca peta kekuatan Republik Indonesia. Memang dari awal berkesan seperti mudah menaklukannya tapi kekuatan-kekuatan tentara Republik melakukan perang gerilya yang sangat menyulitkan Belanda. Panglima besar Jenderal Soedirman melakukan perintah siasat nomor 1 agar tentara-tentara terus melakukan perlawanan disetiap daerah-daerah basis gerilya masing-masing untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Buktinya Belanda kalang kabut. Didukung oleh rakyat yang masih bersimpati kepada tentara Republik Indonesia.
Jalur-jalur intelijen Belanda yang sempat mereka tinggalkan menjadi jalur yang telah tertutup oleh semak-semak karena lama tidak terpakai sehingga intelijen Belanda menggunakan jalur-jalur yang telah digunakan oleh Jepang. Maka pasukan gerilya lebih mudah membaca pergerakan tentara Belanda yang akan melakukan rute pendudukan. Seakan-akan jalur yang dilalui oleh pasukan Belanda sekarang ini bagaikan jalur neraka. Penuh dengan rintangan dan gangguan-gangguan penyerangan dari pasukan gerilya. Bisa dipastikan agresi militer yang telah dilancarkan oleh Belanda tak berpengaruh apa-apa bagi kedaulatan RI, tetap terus berdiri sebagai negara yang telah merdeka.
Sedangkan maksud daan tujuan pasukan Belanda mendatangi Banyurip Cepu hanya ingin memastikan bahwa kilang-kilang minyak yang telah diketemukan Belanda masih terus beroperasi. Disamping itu cadangan bahan bakar untuk melakukan pendudukan harus benar-benar ada, dan tentu saja sesuai dengan peta wilayah Jawa Indonesia, Banyurip-Cepu adanya. Tidak ingin dalam agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda tidak didukung dengan suplai energi bahan bakar yang mumpuni. Pasukan gerilya sadar bahwa tak mungkin jika akan terus mempertahankan wilayah itu dengan peperangan yang hebat karena strategi perang pasukan gerilya adalah menyerang dan hilang begitu seterusnya, bukan menghadapi pertempuran dengan Belanda secara terbuka. Karena tentara Republik Indonesia tidak hanya menghadapi Belanda namun kekuatan pasukan Indonesia juga baru saja menghadapi pergolakan dan pemberontakan yang dilancarkan oleh Muso dengan gerakannya PKI di Madiun.
Pertempuran semakin seru. Rawe-rawe ratas, malang-malang putung, daya tempur pasukan gerilya semakin membabi buta. Tembak-menembak semakin mengerikan. Korban kedua pihak bergelimpangan.
“Mana korekmu, Kang?” Pinta seseorang berpangkat letnan.
“Untuk apa?” Jawab temannya penasaran.
“Bakar lagi sumur-sumur yang lain!” Ajaknya.
“Baik, Kang.”
“Sebenarnya Belanda telah menandai titik-titik sumur yang telah ditutup lagi dengan cor, supaya aman tidak diambil oleh Jepang terutama bangsa kita ini, agar suatu saat ketika Belanda kembali tinggal menitiknya lagi.”
“Benar, Kang. Belanda selalu punya cara tersendiri sebelum meninggalkan tanah jajahannya ketika kalah tanpa syarat dengan Jepang. Di Kalijati.”
“Dan kita tak punya waktu banyak untuk menemukan titik-titik sumur itu karena kecamuk perang semakin menghebat.”
“Iya , Kang dan kita tak mungkin terus bertahan didaerah ini.”
“Kenapa?”
“Karena Presiden Ir. Soekarno dan Drs Moh. Hatta telah tertangkap, kabarnya telah diungsikan ke Bangka.”
“Lantas…”
            “Dengan tertangkapnya Presiden beserta seluruh kabinetnya, kita hanya bisa melawan melalui gerilya. Hanya bersifat mengganggu dan memberikan perlawanan sebisanya saja. Karena Belanda memegang kuncinya, melalui presiden yang telah ditangkap.”
“Dan untung Panglima Besar Jenderal Soedirman terus bergerilya tak mau takluk kepada Belanda.”
“Apakah Ir. Soekarno bisa juga dibunuh, Kang?”
“Bisa juga tapi Belanda tak kan gegabah.”
“Maksudnya,..”
“Belanda menyandera pemimpin kita sebagai kunci perlawanan rakyat Indonesia, jika Belanda semakin terjepit pasti akan menggunakan Ir. Soekarno untuk jurus agar tentara kita mau untuk mundur atau bahkan menyerah.”
“Apakah pak Karno tidak membuat pemerintahan darurat, Kang?”
“Setidaknya upaya itu sudah diambil oleh pemimpin-pemimpin kita.”
“Pemerintahan kabupaten juga masih terus berpindah-pindah ini, Kang. Kemarin ke desa Jadi-Semanding, Montong bahkan kabarnya ini telah pindah ke Jatirogo.”
“Betul, dan Belanda masih terus memburunya.”
“Semoga Pak Bupati KH Musta’in tidak tertangkap oleh Belanda dan menjadi sandera.”
“Semoga, Kang.”
“Bahkan istri KH Musta’in, Aisyah selalu mendapatkan iming-iming dari wakil kerajaan Belanda Van der Plas dengan jabatan Residen jika Bupati KH Musta’in mau berhenti memimpin perjuangan gerilya.”
“Lantas…”
“Yang aku tahu Tuan Bupati KH Musta’in tak kan mau.”
“Syukurlah, Kang. Jangan sampai kita terlena dengan iming-iming Belanda yang licik.”
“Hampir semua tertipu dengan siasat licik Belanda, mulai Pangeran Diponegoro, Kapiten Pattimura, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, masih banyak lagi dan  semoga Presiden kita mempan dengan bujukan-bujukan Belanda.”
“Iya Kang semoga.”
“Van der Plas kok sampai tahu posisi istri KH Musta’in?”
“Van der Plas itu teman akrab KH Musta’in sewaktu belajar Islamologi di tanah suci Makkah. Bahkan Van der Plas sering bermain dirumah KH Musta’in. Dan tak tahu apa kepentingannya.”
“Oh begitu.”
“Sudah-sudah, Kang, nanti kita lanjutkan lagi bicaranya. Sekarang ayo kita ledakkan sumur-sumur itu lagi. Agar Belanda semakin kebingungan dengan cadangan bahan bakarnya.”
“Siap.”
Tak lama, beberapa sumur-sumur minyak telah dibakarnya, api semakin membuncah, beberapa ledakan berbunyi mengerikan. Pertempuran semakin edan. Pihak pasukan gerilya semakin banyak berjatuhan. Belanda juga demikian. Keduanya masih belum mau mengakhiri peperangan. Masih terus berlangsung dengan sengit. Pasukan Belanda sedikit terjepit karena tank-tank telah ditinggalkan di desa Kaligede sehingga penyerangannya kurang begitu dahsyat. Pasukan gerilya semakin gencar melakukan penyerangan hanya saja terkendala pada cadangan senjata yang telah dibawa. Mau tak mau, mundur juga akhirnya. Dan membiarkan Banyurip salah satu desa strategis karena banyak mengandung energi bahan bakar harus rela jatuh ke tangan Belanda. Perlahan-lahan kekuatan gerilya mulai mundur secara teratur. Dan kembali ke daerah-daerah aman. Meski nanti akan melakukan penyerangan kembali dengan melihat situasi yang menguntungkan.


Bangilan, 18 Nopember 2017
Oleh. Rohmat Sholihin
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda