Dan Setelah Itu Kau Tercampakkan
https://psichenessunoecentomila.wordpress.com/2014/09/02/sofferenza-emotiva-la-strategia-difensiva-del-riccio/
Dua tahun
setelah suamimu ter-PHK dari perusahaan, kau mulai berulah. Biasanya kau giat
bekerja, pagi hingga petang membanting tulang, menjual sayuran keliling untuk
menambah pemasukan penghasilan, dengan sepeda angin kau terus mengelilingi
desa-desa menawarkan dagangan yang belum juga habis. Setiap kau datang dan
mangkal, banyak juga ibu-ibu yang datang untuk membeli keperluan belanjaan. Ditempat
itu pulalah banyak juga sumber isu dan gosip. Membuat banyak orang selalu
bertanya-tanya penasaran. Seperti gosip yang baru saja terdengar.
“Kemarin malam
si Endang digerebek, selingkuh. Rame banget.” Kata seorang ibu.
“Endang siapa,
Mbak?” Tanya ibu yang lain.
“Itu Endang telur,
yang punya usaha bebek petelur.”
“Dengan
siapa, Mbak?”
“Dengan
pacarnya yang rumahnya kota B, itu laki-laki yang dikenalnya ketika dulu langganan
telur-telur bebeknya. Eh, lama-lama saling suka.”
“Kasihan
suaminya, tega banget itu si Endang.”
“Ya,
namanya saling suka, mau gimana lagi, kalau larinya tidak kesitu.”
“Suaminya
tak ada dirumah, sedang kerja keluar kota, kabarnya sedang ada proyek di
Jakarta.”
“Kesempatan
ya, Endang, suaminya lagi kerja, eh ia enak-enakan selingkuh. Keterlaluan.”
“Ya,
ia tergoda dengan laki-laki yang jadi pacar barunya itu, masih muda, tampan,
dan hampir setiap hari selalu bertemu di kandang bebeknya yang berada di tengah
sawah itu. Sepi tak ada orang, orang ketiga ya setan yang menggoda hawa
nafsunya.” Ibu yang lain tak mau kalah ikut berkomentar seperti tukang ceramah
handal.
Semua
ibu-ibu itu nyerocos menambahi tanpa mengurangi, hampir semua sok tahu dan
benar-benar membicarakan aib orang menjadi sesuatu yang menarik di dunia ini.
Mereka bertemu hanya sebagai ajang kicau mulut, yang paling pintar bicara ia
akan menjadi bintang gosip dikampungnya. Dan kau, tukang sayur hanya menyimak
dan merekamnya. Kemudian tak lupa kau turut menjualnya ke kampung lain sebagai
ajang promosi dagangan kepada ibu-ibu. Baginya, ketika ia datang bukan hanya
sebagai pedagang sayur saja namun juga berperan ganda sebagai pengobral
cerita-cerita gosip agar bisa menarik pembeli lainnya yang sudah ketagihan
ngegosip. Lumayan, setidaknya kau punya cerita menarik. Menarik untuk memikat
pelanggan.
Kini
kau merasakan sendiri akibatnya. Menjadi biang gosip diantara tetangga dan tak
kalah juga pelanggan-pelanggan sayurmu. Ketika suamimu pulang dari rantau dalam
keadaan melarat, tak punya kerjaan karena PHK, uang sepersenpun tak bawa, dan kau
menjadi sibuk mencari penghasilan yang lebih besar lagi. Pedagang sayur yang
biasa kau jalani kurang besar untungnya. Dan kau harus sibuk mencari pekerjaan
lain yang lebih besar hasilnya.
Hingga
kau bertemu lagi dengan pelangganmu dulu, Darinem, janda cantik yang telah
ditinggal suaminya karena suatu kasus, selingkuh. Suaminya pergi meninggalkan
dia, karena sutau malam suaminya telah memergoki istrinya sedang selingkuh dengan
tetangga. Suaminya merasa kecewa lalu menceraikannya. Untung suaminya masih
punya akal sehat tak sampai melukainya atau bahkan bisa juga membunuhnya.
Karena masih punya alasan kuat yaitu anaknya. Jangan sampai anaknya akan
kehilangan ibunya.
Setelah
bertemu dengan Nyonya Darinem, hidupnya mulai berubah, mulai dari gaya dan
penampilannya. Yang dulu tidak pernah memegang HP kini kemana-mana selalu
menenteng HP Android, sedikit-sedikit hallo, sedikit-sedikit membalas WA dan
SMS yang telah masuk. Dulu yang tak pernah memakai celana panjang, hanya rok,
kini ia telah berani memakai celana panjang dan ketat, jilbabpun mulai ia
tanggalkan. Ada apa? Ia selalu menjawab semua pertanyaan itu dengan jawaban singkat
dan jelas. Tuntutan pekerjaan. Wanita karir. Titik.
***
Apalagi
kini ia merasa paling berkuasa dalam rumah tangganya, suaminya semenjak tidak
bekerja lagi tak berani ikut campur, karena semua itu masalah pekerjaan.
Sedangkan masalah nomor satu dalam urusan rumah tangga yaitu penghasilan dan
kebutuhan hidup yaitu makan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tidak ada uang,
kompor tak kan mengepul dan anak-anak akan menangis kelaparan.
Ia
berangkat pagi hingga tengah malam baru pulang ketika anak-anak dan suaminya
telah terlelap. Bau harum minyak wangi kelas menengah berhamburan memenuhi
rumahnya. Tas kecilpun ia lemparkan pada kursi reot warisan emaknya.
“Ibu
sudah pulang. Dapat apa, Ibu?” Rengek anaknya yang barusan terbangun dari
tidur.
“Sudah
tidur lagi saja, besok pagi beli jajan dengan bapakmu. Ibu mau mandi dulu,
capek.” Dengan cantas dan tanpa pikir panjang ia langsung menuju belakang dan
mandi.
Tanpa
protes anaknya kembali tidur dengan resah. Resah karena seharian belum
merasakan kehangatan seorang ibu yang dulu sering mengajaknya bercanda, belajar
bersama, bahkan makan bersama. Tak terasa air matanyapun menetes membasahi
bantal tempat ia bersandar.
“Ssssstttttt….tidurlah,
Nak. Besok pagi kita beli jajan, ini masih malam dan kasihan ibumu baru datang
kerja, capek.” Bisik bapaknya pelan.
Ketika
pagi menyapa. Ia pun telah meninggalkan rumah. Anak-anaknya sudah tidak tahu
lagi kemana ia pergi, tentu saja dalam benak anak-anaknya, berangkat bekerja.
“Pak,
ibu mana, sudah berangkat bekerja lagi?”
“Sudah
berangkat, Nak, tadi kau dipamiti dan diciumi ketika kau masih tertidur pulas.”
Bujuk bapaknya dengan hati yang kalah.
Tak
ada lagi tanya pada anak-anaknya. Dengan berjalan pelan anak itu kembali ke
ruang depan lalu duduk dengan melas, matanya menatap luar rumah. Setiap ada
orang perempuan lewat depan rumah pikirannya selalu tergambar ibunya yang
sedang menghampirinya dengan senyum ramah dan kasih sayang seorang ibu. Meski
semua itu segera ia tepis dan pandangannya kembali pada seorang bapak yang
tangguh menyiapkan segala sesuatu di dapur. Segera ia menghampiri bapaknya.
“Bapak,
bolehkah sekali kali kita ikut ditempat kerja ibu?”
“Ya,
nanti menunggu ibu.”
“Ibu
kerja dimana ya, Pak?”
“Di
Mall, Nak.”
“Asyik,
kita bisa ikut melihat-lihat mall ya, Pak.”
“Iya.”
“Tapi
jangan nakal ya, dan jangan mengganggu Ibu, nanti Ibu bisa marah dan dipecat
oleh atasannya.”
“Tidak,
Pak. Kami janji.”
“Ya
sudah ayo kita makan dulu setelah itu kau berangkat ke sekolah.”
“Baik,
Pak.”
Merekapun berangkat ke sekolah
dengan penuh semangat.
***
Dan
liburan sekolahpun tiba. Tiba juga menunggu sekian waktu yang telah menjadi
keinginan mereka, mengunjungi tempat ibunya bekerja. Mall. Dari pagi jam enam
mereka semua telah bersiap menuju mall. Meski sudah beberapa hari ibunya tidak
sempat pulang. Hanya mengabari melalui sms pada HP bapak dirumah. Bahkan,
bapaknya telah mengirim sms jawaban jika libur sekolah ini mereka akan
mengunjungi tempat ibunya bekerja. Tentu saja jawabannya bisa ditebak: tidak
usah dan jangan, karena nanti bisa ditegur sama bosnya.
Maka
dengan diam-diam bapaknya mengajak kedua anaknya itu pergi tanpa sepengetahuan
ibunya. Mall itupun ramai seperti pasar malam setiap tahun yang digelar
dikampung ketika bulan Agustus tiba. Orang-orang berduyun-duyun pergi dan
berlalu. Membawa tujuannya masing-masing. Membeli atau hanya sekedar melihat-lihat
tak pernah menjadi urusan bagi yang lain. Bagi mereka bisa mengunjungi mall
adalah suatu kebahagiaan, bisa naik lift, escalator, bisa belanja, dan lainnya.
Setelah
puas mereka melihat-lihat mall dan sedikit kecewa karena tidak menemukan ibunya
sedang bekerja, dengan langkah gontai, mereka keluar mall dan duduk diserambi
mall dekat pot bunga besar yang nyaman.
Perempuan
menor dengan rambut terurai dan rok diatas lutut berjalan mesra bergandengan
dengan seorang pria berusia lima puluhan keluar mall. Wajahnya begitu gembira
dan bahagia ketika melangkah menuju lapangan parkir mobil. Ketiga orang yang
sedang duduk didepan mall itu merasa terkesima dan gerah. Ketika ada salah satu
anak akan memanggilnya, dengan cepat kedua tangan bapaknya menutup mulut anak
itu sambil membisiki kata-kata, pelan namun menyentuh.
“Husstststs,…diam
Nak. Jangan dipanggil.”
“Dia
ibu, Pak. I….” Baru akan berteriak memanggilnya lagi kedua tangan bapak itu
menutup mulutnya lagi. Lalu dibisiki lagi dengan kata-kata pelan.
“Dia
bukan ibumu, Nak. Dia orang lain yang mirip dengan ibumu. Jika dia mendengarnya
kita akan kena marah. Biarkan dia lewat saja.” Bisik bapak dengan pelan. Meski
kurasakan detak jantung bapak kuat berdetak. Wajah bapak seketika merah, meski
perlahan-lahan kembali seperti sedia kala.
“Tidak,
Pak, itu Ibu.” Sambut anak satunya.
‘Tidak,
Nak, itu bukan Ibu. Itu hanya perempuan yang mirip dengan Ibu.”
“Tapi
jalan dan senyumnya persis Ibu, Pak.”
“Bukan,
Nak. Kau salah lihat. Ibumu tidak pernah punya mobil, sedangkan perempuan itu
naik mobil.”
‘Tidak,
Pak, itu Ibu. I…” Tangan Bapak itu menutup mulutnya lagi.
“Stststststtttt…jangan
dipanggil, kau sudah berjanji pada Bapak untuk tidak nakal.”
“Tapi
itu Ibu, Pak.”
“Bukan,
Nak, kau salah lihat. Ibu tidak pernah punya mobil.”
“Siapa
tahu itu mobil bosnya, Pak.” Kedua anak itu terus bertanya silih berganti.
“Bukan,
Nak, bosnya Ibu orang China sedangkan itu tadi bukan orang China.” Terus saja
bapaknya meyakinkan bahwa itu bukan istrinya, ibu dari anak-anaknya yang kini
sedang kalap karena telah mengerti bahwa ibunya telah berjalan dengan pria yang
tak pernah mereka ketahui.
Hari-hari
tetap berjalan seperti biasa. Seperti tak ada suatu yang aneh mengganjal. Dan
tak terasa waktu terus berlalu, anak-anak telah memasuki dunianya tanpa pernah
mempermasalahkan kejadian yang lalu di mall. Tiba-tiba kau pulang tengah malam
dalam keadaan muntah-muntah. Esoknya tak mampu lagi bekerja. Muntah-muntah
terus seperti orang masuk angin. Setelah dua hari libur kau baru pergi bekerja
lagi. Sebelum pergi kau sempat menatap suamimu dan berkata.
“Mas,
berapa hari ke depan aku tak bisa pulang lagi karena kerjaanku semakin banyak,
diatas meja dapur ada uang untuk jajan anak-anak.”
“Tak
usah, bawa saja, uang kemarin-kemarin yang kau beri masih ada.” Jawab suaminya.
“Tak
apa, Mas.”
“Iya.
Nanti aku sampaikan pada anak-anak. Tapi bisakah kau berhenti dari kerjaanmu
itu, aku kasihan melihatmu bekerja tiada kenal lelah. Bisakah kau kembali dirumah
dan biar aku saja yang bekerja lagi.”
‘Tak
usah, Mas. Kau dirumah saja dengan anak-anak.”
“Aku
lelakimu, aku muak mendengar selentingan gosip-gosip miring tentangmu ketika
ibu-ibu sibuk menggunjingmu, di pasar, di pertigaan, bahkan di musholla.” Harap
suaminya.
“Sudahlah
tak usah kau urusi gosip-gosip murahan itu.”
“Baiklah,
setidaknya aku sebagai lelakimu pernah mengatakan keberatan jika kau bekerja,
membanting tulang hingga tak tahu waktu. Bukankah tugas seorang lelaki adalah
mencukupi keluarganya.”
“Aku
suka, Mas dengan pekerjaanku, aku enjoy, sudahlah, Mas, kau dirumah saja!”
jawabnya dengan nada agak tinggi.
“Baiklah,
jaga dirimu baik-baik, silahkan berangkat sebelum kau terlambat sampai ditempat
kerjamu.”
Tanpa
ada lagi percakapan, kau pun berangkat. Meski tak sempat menengok anak-anakmu
yang masih terlelap.
***
Sesampai
kau ditempat pertemuan dengan lelaki simpananmu.
“Gugurkan
saja, janinmu itu, Yam! Aku antarkan kau ke tempat dukun pijat sekarang juga.
Sebelum suamimu dan istriku tahu.”
“Dimana,
Mas Marsam?”
“Ikuti
saja aku.”
“Baiklah.”
Keduanyapun
meluncur ke tempat dukun pijat Mbah Yongko. Usahanya untuk menggugurkan janin
hasil hubungan gelap itupun dilakukan. Beberapa jam kau dipijat oleh Mbah
Yongko, rasa sakit tak tertahankan hingga kau menjerit kesakitan.
“Aduh,
sakit, Mbah.”
‘Tak
apa ini hanya sebentar, setelah kau mengeluarkan segumpal darah ketika buang
air kecil, tubuhmu akan kembali lega.” Jawab Mbah Yongko.
“Aduh,
aduh, Mbok, sakit. Sakit sekali.”
“Sudahlah,
tahan. Sebentar sakitnya pasti hilang. Silahkan minum ramuan itu.” Perintah Mbah
Yongko. Dengan tertatih-tatih kau mencoba bangkit. Kau pun meminum ramuan yang
telah disediakan Mbah Yongko. Kemudian Mas
Marsam membayar Mbah Yongko. Dan pergi berlalu. Kau masih terdiam menahan sakit
di dalam mobil. Dan berhenti ditempat semula. Tak lama, Mas Marsam pun pamit dan
berlalu karena ada izin acara lain.
Setelah
kejadian itu kau tak bisa lagi bertemu dengan Mas Marsam. Melalui HP kau
hubungi berkali-kali nomornya hanya suara tulalit saja yang kau temukan. Maka
tak ada lagi jalan kecuali kau mendatangi lagi Darinem dan mempertanyakan
dimana alamat Mas Marsam tapi Darinem hanya geleng-geleng kepala. Tak tahu
rimbanya. Maka kau minta lagi pekerjaan pada Darinem.
“Bisakah
kau carikan lagi pekerjaan baru untukku?”
“Tak
bisa, Yam. Perutmu semakin membuncit dan lelaki mana lagi yang mau dengan
perempuan hamil.”
Ia
pun pulang dengan kekalahan dan kerugian yang bertumpuk-tumpuk. Sesampai
dirumah kekesalan itu ia luapkan pada suaminya dan anak-anaknya dirumah.
***
Rumah
itu masih sunyi. Tak ada siapa-siapa kecuali kau dengan bayimu saja. Suamimu
telah pergi ke kota dengan anak-anakmu karena tak mau lagi tinggal bersamamu,
karena kau telah menjelma menjadi perempuan berwatak serigala. Kau usir mereka.
Kini kau hanya diam dirumah mengasuh bayi hasil hubungan gelapmu, yang dulu
janinnya pernah kau gugurkan, ternyata janin itu masih bertahan kuat hingga
lahir. Lahir ke dunia yang sedikitpun tak pernah kau harapkan. Ya, kau seorang
ibu yang telah lalai menjadi seorang ibu. Bayimu lahir dengan kejanggalan pada
fisiknya. Hidrosepallus. Akibat salah pijat dari Mbah Yongko dulu.
Kini
bayi itu hanya terbaring di ranjang mengharap lembut kasih sayangmu, kasih
sayang seorang ibu yang telah menyia-nyiakan harapannya untuk tumbuh dan berkembang
menjadi anak manusia di dunia. Dan kau masih punya rasa kasih sayang padanya?
Meski dengan sesak hati kau menerimanya.
Bunyi
tangis bayi itu membuatmu terbelalak dari lamunan penyesalanmu yang dalam. Air
mata merembes dari kedua matamu. Sesak dadamu terus menghimpit dan akal sehatmu
semakin tercerabut, kau berjalan gontai keluar rumah. Meninggalkan jejak hitam
dan putih yang pernah kau rengkuh didalam rumah mungil itu. Tak tahu lagi apa
yang kau lakukan? Suami dan anak-anakmu telah pergi, selingkuhanmu juga telah
pergi, tinggal kau sendirian terpaku dengan kenangan hidup yang kau cabik-cabik
sendiri. Kau terus melangkah meninggalkan malam yang dulu tak pernah sedikitpun
kau lewatkan. Gelap. Sunyi. Dan sekarang kau pun telah tercampakkan oleh roda
hidup yang terus berputar.
“Ampuni
hambamu ini, Tuhan.” Bisikmu pelan sekali hampir tak bersuara.
***
Bangilan, 2 Desember 2017.
Rohmat Sholihin.
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda