Malam itu Sehabis Kau Pergi
https://sydneydxb.wordpress.com/2012/02/06/just-wondering/
Nyamuk-nyamuk ini tak bosan juga menghisap darahku, seperti vampir
kecil-kecil merubung tubuhku, tak berdaya aku mengusirnya, terlalu banyak dan
terlalu kecil aku lumpuhkan. Tapi, tubuhku semakin tersiksa, serasa binasa, tak
berkutik aku dibuatnya.
Malam…
Menunggu…
Sungguh
membosankan…
Dipojok lapangan
yang gersang. Hanya desahan angin malam membius tubuhku yang semakin menggigil.
Jangkrik berpesta pora dengan iring-iringan lagunya yang hanya itu-itu saja,
menjemukan. Tapi malam tanpa iringan nada jangkrik tak kan lengkap dikatakan
malam, hanya malam yang sunyi tak berarti. “Kau juga tak kunjung muncul, dengan
rambut terurai bermandi rembulan merah jambu, meski terkesan sendu namun
sungguh kaulah perempuan pertama kali yang telah mencuri hatiku.” Kataku pada
malam yang tetap membisu. Pohon ringin satu-satunya dipojok itu juga ikut
bergoyang. Mungkin ia juga ikut tak sabar menunggu bidadari malam keluar. Atau
memang hanya desahan angin malam yang nakal.
Hatiku masih berdegup kencang tak
sabar untuk segera bertemu dengan bidadari rembulan malam ditempat ini. Kenapa
ditempat ini? Aku belum punya nyali untuk berani mampir dirumahmu. Meski setiap
kali kau selalu mengajakku main ke rumahmu. Aku sendiri tak tahu kenapa tak ada
nyali untuk itu? Setiap kali aku cari jawabannya otakku semakin tumpul. Melihat
bapaknya serasa malaikat pencabut nyawa, ketika matanya memandangku seakan
nyawaku serasa mau lepas. Ketika melihat ibunya serasa buto cakil yang akan
melumatku hidup-hidup.
Mungkin itu alasan kenapa anak belum
cukup umur tak boleh memendam rasa cinta. Akalnya tak sejalan dengan rasa dalam
hatinya. Meledak-ledak sedangkan akalnya tak mampu mengimbanginya. Seperti aku
malam ini, menunggumu dalam gelap malam dengan diserbu jutaan nyamuk yang haus
dan lapar. Dan sampai sekarang kau belum juga datang sedangkan malam semakin
larut terus berjalan.
Kubayangkan lagi isi surat dengan
kertas wangi berwarna merah muda darimu.
Teruntuk : Mas R di kediaman
Sebelumnya
saya mohon maaf. Beberapa hari ini saya sangat tidak bisa tenang. Entah kenapa?
Saya sendiri tidak tahu. Setiap saya melihatmu di sekolahan maunya saya ingin
duduk denganmu dan bercerita apa saja. Namun tak pernah ada kesempatan untuk
itu. Sedangkan kau selalu sibuk bercanda dengan teman-temanmu. Saya tak berani
menyapa apalagi mendekat.
Kalau
boleh jujur ada rasa dihatiku tentangmu. Gejolak ini pertama kali saya alami
ketika saya mengenalmu. Kamu boleh percaya atau tidak, karena memang begitu
kenyataannya. Apakah saya salah? Tentu saja kau boleh marah padaku namun dari
awal saya berusaha jujur pada diriku sendiri bahwa saya tak segan mengatakan
saya mencintaimu. Kamulah cinta pertamaku
Dari seseorang yang mengagumimu:
Ayani R
Ketika menerima
suratmu dan itu merupakan surat pertama kali yang aku terima dari seseorang
perempuan pula. Jujur. Membukanya saja setidaknya saya harus makan minum dulu
layaknya seseorang akan minum obat dari dokter. Supaya tidak gemetar.
Beberapa hari setelah kau mengirim
surat padaku. Sepertinya kau tak sabar menunggu surat balasan dariku. Pernah
kita berpapasan di beranda kelas. Dengan tersenyum kau julurkan tangan isyarat
meminta surat balasan. Sedangkan aku dalam beberapa hari ini pasca membaca
suratmu, aku seperti orang terserang penyakit demam, panas dingin, karena baru
kali ini aku membaca surat yang isinya sungguh membuatku terbelalak. Ada
seorang gadis manis, berambut panjang, sipit, menaksirku. Serasa aku
mendapatkan pulung kebahagiaan. Ibarat orang menemukan rezeki besar. Dan aku
harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Tak tahu jadinya. Bingung dan
bingung hingga aku tak mampu menulis surat untukmu. Sepatahpun tak ada
kata-kata yang sanggup aku tulis kecuali kata-kata yang membebal dalam
pikiranku: suka, suka, suka, namun harus
bagaimana yang ku perbuat?
Kebingungan saja yang terus
menggundah. Menjelma dan menjerat puing-puing rindu ingin terus bertemu.
Sedangkan kata-kata cinta yang telah kau ucapkan melalui kata-kata terus
membius nuraniku. Mencabut anganku, sedang kita sangat susah untuk berbincang,
apalagi bercanda dengan lepas. Sungguh ada sekat kuat yang masih menghalangi
langkah-langkah ini. sedangkan kemampuan kita masih sangat terbatas. Kita belum
bisa berfikir realistis. Hanya berkhayal setinggi-tingginya, mengayuh matahari,
mengayuh rembulan, kaki-kaki kita masih tak sanggup.
Nyamuk-nyamuk semakin nakal. Burung
hantu pun mulai bersuara dengan lantang. Nyaliku mulai ciut. Dan aku harus
memutuskan, menyudahi penantian yang belum jelas gambarnya. Keparat. Malam
tetap tak bergeming untuk terus berlanjut menceritakan kisah-kisahnya dalam
pekat. “Apa kabar cinta? Kau tak juga keluar malam ini menyambutku dengan
dahaga kasih yang terus berdegup kencang, tak karu-karuan.” Dengan pelan akupun
berlalu meninggalkan pojok lapangan yang tetap sepi. Sejuta keluh kesah
mencibir pori-pori hatiku. Pikiranku semakin penat. Lebih baik aku putuskan
menyerah tanpa syarat.
Surat yang ingin aku berikan padamu
ku baca lagi. Pada paragraf terakhir tertera bahwa aku kebingungan terhadap
cinta yang telah kau capkan pada suratmu yang pertama. Rancau. Tak semanis
dalam ucapan. Ini ada yang janggal. Setidaknya aku harus mencari kebenaran
tulisan itu. Apa benar surat itu kau yang telah membuatnya? Atau jangan-jangan
ada unsur lain yang sengaja mempermainkanku dan menjebakku.
‘Tega benar, kau.” Batinku
menyelidik dengan hati yang remuk redam.
“Ya, setidaknya jika kau setulus
dalam ucapanmu, bagaimanapun juga dalam situasi malam yang gelap gulita kau
tetap datang menghampiriku.”
“Tapi, malam ini, bayanganmu saja
tak tampak. Kau telah mengkhianati janjimu sendiri. Dan malam ini aku menarik
kesimpulan bahwa kata-kata suci tentang cinta yang kau ucapkan tak ubahnya
seperti bibirmu yang tipis. Pandai memainkan kata-kata gombal.”
Dengan ditemani malam yang dingin
maka ku tulis surat dengan tanganku sendiri bahwa kita lebih baik menjadi teman
saja. Lebih bebas dan lebih bisa mengerti perasaan kita masing-masing. Bahwa
kita belum pantas menyandang sebutan: sedang berpacaran. Dan rasa cinta yang
pernah singgah dalam hati biarkan saja seperti apa jadinya.
Hingga waktu terus berlalu. Beberapa
tahun kemudian kita baru bisa menjawab teka-teki itu. Kita memang ditakdirkan
hanya untuk saling menyapa dan kenal. Selebihnya itu hanya bualan. Hanya
mengisi cerita pada kehidupan anak manusia, laki-laki, perempuan, tapi bukan
berpasangan, hanya cukup menjadi teman.
Akhir bulan desember 1999 kau
melangsungkan pernikahan. Aku datang dengan hati yang kupaksa kuat. Ternyata aku
memang kuat. Sekejap bayanganmu hilang ditelan awan. Aku tak lagi menyimpan
bayanganmu. Aku sadar kau telah memilih kehidupanmu dengan lelaki yang kau
pilih
Kini, 17 tahun kita tak pernah lagi bertemu.
Namun. Aku dengar kabar bahwa kau telah kembali pulang. Secara tak
sengaja kita telah bertemu di pojok lapangan ini. Aku kembali ingat malam itu
persis aku menunggumu di tempat ini dengan rasa yang tersiksa. Dan kini kau
telah menjadi perempuan pendiam. Hanya bola matamu yang masih lentik, indah
menari-nari, seperti ingin mengungkapkan rasa yang belum sempat terucapkan. Kau
masih cantik seperti dulu, hanya saja kau telah menjadi ibu dari keempat
anakmu, semuanya lelaki. Senyummu juga tidak berubah, masih tetap menawan,
seperti dulu, dan kau tahu? Senyummu itulah yang paling aku suka. Sayang senyum
yang manis itu telah dirudung duka. Aku dengar kabar kau telah bercerai dengan
suamimu. Keceriaan yang dulu ada padamu telah padam hanya ada kemuraman dan
kesenduan dalam hatimu. Sulit membayangkan hidupmu sekarang.
Dulu aku menunggumu ditempat ini dengan kesendirianku. Mengharap akan
kehadiranmu. Sedang sekarang aku tidak menunggumu lagi karena aku telah menjadi
ayah dari anak-anakku dengan wanita yang telah setia menemaniku.
“Apa kabar…..”
Bangilan, 21 Nopember 2017.
Rohmat Sholihin
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda