Senin, 20 November 2017

Malam itu Sehabis Kau Pergi



https://sydneydxb.wordpress.com/2012/02/06/just-wondering/

Nyamuk-nyamuk ini tak bosan juga menghisap darahku, seperti vampir kecil-kecil merubung tubuhku, tak berdaya aku mengusirnya, terlalu banyak dan terlalu kecil aku lumpuhkan. Tapi, tubuhku semakin tersiksa, serasa binasa, tak berkutik aku dibuatnya.
Malam…
Menunggu…
Sungguh membosankan…
Dipojok lapangan yang gersang. Hanya desahan angin malam membius tubuhku yang semakin menggigil. Jangkrik berpesta pora dengan iring-iringan lagunya yang hanya itu-itu saja, menjemukan. Tapi malam tanpa iringan nada jangkrik tak kan lengkap dikatakan malam, hanya malam yang sunyi tak berarti. “Kau juga tak kunjung muncul, dengan rambut terurai bermandi rembulan merah jambu, meski terkesan sendu namun sungguh kaulah perempuan pertama kali yang telah mencuri hatiku.” Kataku pada malam yang tetap membisu. Pohon ringin satu-satunya dipojok itu juga ikut bergoyang. Mungkin ia juga ikut tak sabar menunggu bidadari malam keluar. Atau memang hanya desahan angin malam yang nakal.
            Hatiku masih berdegup kencang tak sabar untuk segera bertemu dengan bidadari rembulan malam ditempat ini. Kenapa ditempat ini? Aku belum punya nyali untuk berani mampir dirumahmu. Meski setiap kali kau selalu mengajakku main ke rumahmu. Aku sendiri tak tahu kenapa tak ada nyali untuk itu? Setiap kali aku cari jawabannya otakku semakin tumpul. Melihat bapaknya serasa malaikat pencabut nyawa, ketika matanya memandangku seakan nyawaku serasa mau lepas. Ketika melihat ibunya serasa buto cakil yang akan melumatku hidup-hidup.
            Mungkin itu alasan kenapa anak belum cukup umur tak boleh memendam rasa cinta. Akalnya tak sejalan dengan rasa dalam hatinya. Meledak-ledak sedangkan akalnya tak mampu mengimbanginya. Seperti aku malam ini, menunggumu dalam gelap malam dengan diserbu jutaan nyamuk yang haus dan lapar. Dan sampai sekarang kau belum juga datang sedangkan malam semakin larut terus berjalan.
            Kubayangkan lagi isi surat dengan kertas wangi berwarna merah muda darimu.
Teruntuk : Mas R di kediaman
            Sebelumnya saya mohon maaf. Beberapa hari ini saya sangat tidak bisa tenang. Entah kenapa? Saya sendiri tidak tahu. Setiap saya melihatmu di sekolahan maunya saya ingin duduk denganmu dan bercerita apa saja. Namun tak pernah ada kesempatan untuk itu. Sedangkan kau selalu sibuk bercanda dengan teman-temanmu. Saya tak berani menyapa apalagi mendekat.
            Kalau boleh jujur ada rasa dihatiku tentangmu. Gejolak ini pertama kali saya alami ketika saya mengenalmu. Kamu boleh percaya atau tidak, karena memang begitu kenyataannya. Apakah saya salah? Tentu saja kau boleh marah padaku namun dari awal saya berusaha jujur pada diriku sendiri bahwa saya tak segan mengatakan saya mencintaimu. Kamulah cinta pertamaku
Dari seseorang yang mengagumimu:
Ayani R
Ketika menerima suratmu dan itu merupakan surat pertama kali yang aku terima dari seseorang perempuan pula. Jujur. Membukanya saja setidaknya saya harus makan minum dulu layaknya seseorang akan minum obat dari dokter. Supaya tidak gemetar.
            Beberapa hari setelah kau mengirim surat padaku. Sepertinya kau tak sabar menunggu surat balasan dariku. Pernah kita berpapasan di beranda kelas. Dengan tersenyum kau julurkan tangan isyarat meminta surat balasan. Sedangkan aku dalam beberapa hari ini pasca membaca suratmu, aku seperti orang terserang penyakit demam, panas dingin, karena baru kali ini aku membaca surat yang isinya sungguh membuatku terbelalak. Ada seorang gadis manis, berambut panjang, sipit, menaksirku. Serasa aku mendapatkan pulung kebahagiaan. Ibarat orang menemukan rezeki besar. Dan aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Tak tahu jadinya. Bingung dan bingung hingga aku tak mampu menulis surat untukmu. Sepatahpun tak ada kata-kata yang sanggup aku tulis kecuali kata-kata yang membebal dalam pikiranku: suka, suka, suka, namun harus bagaimana yang ku perbuat?
            Kebingungan saja yang terus menggundah. Menjelma dan menjerat puing-puing rindu ingin terus bertemu. Sedangkan kata-kata cinta yang telah kau ucapkan melalui kata-kata terus membius nuraniku. Mencabut anganku, sedang kita sangat susah untuk berbincang, apalagi bercanda dengan lepas. Sungguh ada sekat kuat yang masih menghalangi langkah-langkah ini. sedangkan kemampuan kita masih sangat terbatas. Kita belum bisa berfikir realistis. Hanya berkhayal setinggi-tingginya, mengayuh matahari, mengayuh rembulan, kaki-kaki kita masih tak sanggup.
            Nyamuk-nyamuk semakin nakal. Burung hantu pun mulai bersuara dengan lantang. Nyaliku mulai ciut. Dan aku harus memutuskan, menyudahi penantian yang belum jelas gambarnya. Keparat. Malam tetap tak bergeming untuk terus berlanjut menceritakan kisah-kisahnya dalam pekat. “Apa kabar cinta? Kau tak juga keluar malam ini menyambutku dengan dahaga kasih yang terus berdegup kencang, tak karu-karuan.” Dengan pelan akupun berlalu meninggalkan pojok lapangan yang tetap sepi. Sejuta keluh kesah mencibir pori-pori hatiku. Pikiranku semakin penat. Lebih baik aku putuskan menyerah tanpa syarat.
            Surat yang ingin aku berikan padamu ku baca lagi. Pada paragraf terakhir tertera bahwa aku kebingungan terhadap cinta yang telah kau capkan pada suratmu yang pertama. Rancau. Tak semanis dalam ucapan. Ini ada yang janggal. Setidaknya aku harus mencari kebenaran tulisan itu. Apa benar surat itu kau yang telah membuatnya? Atau jangan-jangan ada unsur lain yang sengaja mempermainkanku dan menjebakku.
            ‘Tega benar, kau.” Batinku menyelidik dengan hati yang remuk redam.
            “Ya, setidaknya jika kau setulus dalam ucapanmu, bagaimanapun juga dalam situasi malam yang gelap gulita kau tetap datang menghampiriku.”
            “Tapi, malam ini, bayanganmu saja tak tampak. Kau telah mengkhianati janjimu sendiri. Dan malam ini aku menarik kesimpulan bahwa kata-kata suci tentang cinta yang kau ucapkan tak ubahnya seperti bibirmu yang tipis. Pandai memainkan kata-kata gombal.”
            Dengan ditemani malam yang dingin maka ku tulis surat dengan tanganku sendiri bahwa kita lebih baik menjadi teman saja. Lebih bebas dan lebih bisa mengerti perasaan kita masing-masing. Bahwa kita belum pantas menyandang sebutan: sedang berpacaran. Dan rasa cinta yang pernah singgah dalam hati biarkan saja seperti apa jadinya.
            Hingga waktu terus berlalu. Beberapa tahun kemudian kita baru bisa menjawab teka-teki itu. Kita memang ditakdirkan hanya untuk saling menyapa dan kenal. Selebihnya itu hanya bualan. Hanya mengisi cerita pada kehidupan anak manusia, laki-laki, perempuan, tapi bukan berpasangan, hanya cukup menjadi teman.
            Akhir bulan desember 1999 kau melangsungkan pernikahan. Aku datang dengan hati yang kupaksa kuat. Ternyata aku memang kuat. Sekejap bayanganmu hilang ditelan awan. Aku tak lagi menyimpan bayanganmu. Aku sadar kau telah memilih kehidupanmu dengan lelaki yang kau pilih
Kini, 17 tahun kita tak pernah lagi bertemu.
Namun. Aku dengar kabar bahwa kau telah kembali pulang. Secara tak sengaja kita telah bertemu di pojok lapangan ini. Aku kembali ingat malam itu persis aku menunggumu di tempat ini dengan rasa yang tersiksa. Dan kini kau telah menjadi perempuan pendiam. Hanya bola matamu yang masih lentik, indah menari-nari, seperti ingin mengungkapkan rasa yang belum sempat terucapkan. Kau masih cantik seperti dulu, hanya saja kau telah menjadi ibu dari keempat anakmu, semuanya lelaki. Senyummu juga tidak berubah, masih tetap menawan, seperti dulu, dan kau tahu? Senyummu itulah yang paling aku suka. Sayang senyum yang manis itu telah dirudung duka. Aku dengar kabar kau telah bercerai dengan suamimu. Keceriaan yang dulu ada padamu telah padam hanya ada kemuraman dan kesenduan dalam hatimu. Sulit membayangkan hidupmu sekarang.
Dulu aku menunggumu ditempat ini dengan kesendirianku. Mengharap akan kehadiranmu. Sedang sekarang aku tidak menunggumu lagi karena aku telah menjadi ayah dari anak-anakku dengan wanita yang telah setia menemaniku.
“Apa kabar…..”


Bangilan, 21 Nopember 2017.
Rohmat Sholihin
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.




           
           

           




Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda