“Apa Kabar Rinduku”
www. google. com
Rindu tak
selamanya bisa mendayu-dayu. Rindu terkadang membuat hati teriris pilu bahkan
histeris. Dan kau sangat tahu jika aku tertarik padamu lebih dari yang kau
kira. Berapa kali aku harus dengan berani mengucapkan “cinta”? Dan berapa kali
kau harus menjawab dengan berbasa-basi? Meski sejatinya cinta tak perlu untuk
diucap berkali-kali kalau akhirnya harus kalah dengan suratan kisah dan takdir.
Aku harus menyimpan kesabaran ketika aku kenal pertama kali denganmu. Hatiku
tak sengaja tertegun, berdetak tak biasa seperti menyimpan bom waktu, tersiksa
dan terkadang begitu resahnya ketika beberapa hari tidak melihat kau.
Semua orang
tahu jika pertama kali merasakan demam asmara selalu begitu, namun aku tak
sadar dan tidak mengerti dari ketidakmengertianku. Apa itu cinta? Dan apa itu
kasmaran? Aku hanya mengerti jika saat ini hatiku semakin edan menyimpan
beberapa senyummu. Rasanya tak kuasa meninggalkan jejak senyum manismu itu. Ya,
aku hanya mengakui jika aku tertarik dengan senyummu itu. Senyum itu berhasil
membuat hatiku bungkam seribu bahasa, tak berkutik untuk beranjak dan berdiri
meninggalkan senyum dari perempuan sepertimu. Jangan ditanya cantik atau tidak,
tak perlu. Cinta adalah cinta tak bisa ditafsirkan dengan segudang kata.
Aku seperti
orang kalah, pesimis bahkan enggan untuk segera melayangkan kabar ini padamu.
Ada rasa malu, ragu, dan bimbang dengan kuat menyerangku. Aku tidak seperti
lelaki sungguhan ketika berada didepanmu. Lebih tepatnya lelaki kaku yang
mematung, mengangguk, diam, dan maaf, mau senyum saja bibir terasa penat. Dan
kau pun tahu tentang semua itu. Kau bahkan sering mengingatkan dengan suaramu
yang lembut yang tak kau buat-buat. Mengalun seperti suara malaikat.
“Biasa
sajalah, jangan biasakan kau larut dengan perasaanmu!” Kau bicara dengan
sekenanya.
“Maaf, aku
juga tidak tahu tentang ini semua.”
“He..he…” Kau
hanya tersenyum kecil yang menjengkelkan dan tentu saja dari senyummu seakan
kau puas dan bahagia. Aku bisa menebaknya bahwa dalam hatimu ada jawaban: kau
sedang terserang kasmaran. Sepertinya, baru pertama kali kau kena virus cinta.
Untungnya kau
berhati baik. Sebagai perempuan yang kuanggap cantik, kau tidak punya sikap
sombong, angkuh kepada yang lain, kau punya banyak teman, laki-laki dan juga
perempuan. Dan sepertinya kau belum punya teman spesial, meski ini menurut
perkiraanku karena doaku mengiyakan begitu. Hanya mendengar sekilas saja, kau
sedang dekat dengan laki-laki lain. Hanya dekat belum ada ikatan status
berpacaran.
“Kalau boleh
tahu kau punya teman dekat?” Tanyaku suatu malam di depan beranda rumahmu yang
mungil.
“He…he…ehm,
kalau teman banyak. Tapi belum ada yang spesial, semua itu teman, tak lebih
dari itu.” Jawabmu kali ini juga mengundang hatiku semakin berteriak, “yes”.
Gemetar hatiku perlahan-lahan kian susut seperti orang melakukan program diet.
Berkurang dari hari ke hari. Namun, resikonya tubuh mudah menjadi gemetar. Dan
itu kualami ketika aku menyimpan perasaanku tentangmu. Jika aku tak sabar,
ingin rasanya berlari menghindar dan sembunyi dibalik malam. Tapi sebagai
lelaki normal apa aku harus begitu. Selalu menghindar jika hati berdetak dan
gemetar ketika melihat perempuan cantik sepertimu. Sampai kapan? Jika aku tak
berani mendekatimu, itu seperti aku berlebel lelaki pecundang. Aku tidak mau
begitu. Aku harus menaklukanmu. Kalau tidak menjadi pacar setidaknya aku pernah
menjadi teman dekat denganmu. Tak ada bedanya, bukan? Teman dekat dengan sang
pacar, bagiku tak ada beda. Karena kita bisa saling mendekati, siapa tahu ada
mimpi-mimpi kita terjawab oleh keadaan dan terkabulkan oleh Tuhan? Siapa tahu,
ya siapa tahu? Harapan dalam otakku mengawang-awang, memutar-mutar seperti
lebah mencari bunga untuk menghisap madu.
Perempuan itu
seperti magnet, jika di dekati terus suatu saat ada induksi dengan jarak yang
kian dekat. Semakin besar induksi terjadi, semakin lengket daya pikatnya. Cinta
tak jauh beda dengan magnet, dua kutubnya yang seirama akan saling tolak
menolak, jika tak seirama akan menjadi lengket seperti mengandung perekat.
“Kau tahu
sayang? Rasa cinta yang tumbuh dalam hatiku ini adalah murni datang secara
spontan. Sekali bertemu hati ini bergetar. Dan kalau boleh jujur lagi. Salahkah
jika cinta ini tumbuh? Jika kau bilang salah, aku akan berusaha dengan sekuat
tenaga membuangnya, tak perduli apa reaksi berikutnya padaku? Resiko seberat
apapun akan aku lalui. Jika kau benar, akan aku pertahankan hingga seluruh
nafasku menghilang.”
“Kau ini
bicara apa? Aku sulit memahaminya. Biarlah semua berjalan dengan semestinya.
Kita ini tak bisa lepas dari takdir Tuhan. Tuhanlah yang berhak menentukan
kutukan rindu itu pada setiap makhluk-Nya. Tuhan menciptakan cinta bagi siapa
saja. Dan aku tak berhak menyalahkan hati manusia yang menyimpan cinta.”
“Itu artinya
kau mengizinkan aku untuk merawat cinta yang mendekam dalam hati ini. Kau punya
konsekwensinya atas bicaramu itu?”
“Setiap bicara
yang keluar dari mulut punya konsekwensinya masing-masing.”
“Sungguh…”
“Aku tak
pernah sedikitpun bohong padamu.”
“Lantas kenapa
setiap kali aku utarakan cinta padamu kau hanya menjawab dengan basa-basi dan terkesan
tidak serius?”
“Tak pantas
aku menjawabnya detik ini tapi bertahannya hanya hitungan detik. Kau mau
begitu? Hari ini aku menjawab “iya”, lantas tidak lama aku bilang selesai.
Menyakitkan tidak? Dan aku tahu kau itu baik, punya dedikasi tinggi, lelaki
berkarakter, setia, dan sebagainya. Aku tak sampai hati menyakiti hatimu,
karena kau juga tak pernah berniat menyakitiku.”
“Dan semua
orang tahu bahwa aku adalah memelihara cinta yang bertepuk sebelah tangan, kau
pernah dengar itu?”
“Tak pernah,
karena aku tak pernah menganggapmu begitu.”
“Tapi yang
lain,…”
“Kenapa kau
sibuk urusi yang lain, buktinya aku tak pernah mengatakan begitu. Jika kau
terlalu larut dengan orang lain jadinya kau akan begitu, punya pikiran yang
tidak sejalan dengan niatmu, kau akan mudah kalah, termakan oleh omongan orang
lain, prinsipmu sendiri akan terkubur, dan hidup seperti itu sangat tidak
mengenakkan. Percaya diri sajalah terus-menerus agar kau tetap kuat.”
“Aku catat
omonganmu ini.”
“Silahkan.
Sampai kapan kau kuat menyimpan rasa cintamu itu.”
“Apakah ini
tantangan?”
“Bisa juga
begitu. Dan jika kau lengah anggap semuanya seperti tak pernah terjadi apapun
antara kau dan aku.”
“Lengah apa
maksudmu?”
“Aku adalah
pemuja kesetiaan, aku tak ingin di sakiti meski itu hanya sekali saja, aku
punya naluri selektif yang sangat dalam, ini hatiku tak bisa kau samakan dengan
hati perempuan yang lain, karena ini adalah aku, dan hatiku adalah hatiku bukan
hati milik orang lain. Maka dari itu aku tidak ingin memberikan jawaban kepada
lelaki lain, termasuk kau. Namun, yang kuharapkan dari kau sebagai temanku, tak
lain adalah tetaplah terus percaya diri.”
“Kenapa
percaya diri?”
“Karena dengan
percaya diri, manusia akan selalu berfikiran positif dan selalu menjaga dirinya
sebagai pribadi yang utuh bukan pribadi yang mudah goyah dengan
pengaruh-pengaruh yang lain.”
“Kau bicara
seperti itu tentu ada maksud yang tersembunyi, apa hubungannya percaya diri dengan
jawabanmu yang selalu kutunggu-tunggu. Kau suka memainkan aku rupanya.”
“Bukan hanya
suka memainkan tapi memang kau perlu untuk disukai. Kau…..”
“Eit…kau mulai
berterus terang, dan itulah dari sekian jawaban yang selalu ku harapkan.”
“Kau itu ada
tapinya, …..”
“Semua orang
ada tapinya. Tak ada manusia yang sempurna, mencoba iya, tapi hasilnya, orang
lain juga yang menilai.”
“Jangan GR
dulu, kau itu patut disukai karena baik sebagai teman. Lain itu aku belum bisa
menilai karena kita belum pernah dekat.”
“Belum pernah
dekat?”
“Iya.”
“Kau itu suka
membelokkan pembicaraan, ya.”
“Memang iya.”
“Ah kau masih
saja berkelit dengan seribu alasan yang terus kau gelontorkan seperti peluru.
Namun, cinta yang ada dalam hatimu tak kan bisa kau sembunyikan kemanapun juga
karena ia seperti umur. Ia akan selalu tampak memadati raut wajah manusia.
Termasuk kau, sehebat apapun kau beralasan suatu saat akan tersungkur dalam
pelukan cintamu sendiri. Karena dari matamu aku bisa membacanya.”
“Sok tahu,
kau.”
“Kenapa?”
“Ya itu kau
sok tahu.”
“Haaha…tak
boleh?”
“Boleh dan itu
hakmu sebagai warga negara.”
“Apa
hubungannya?”
“Berhak
merengkuh dan memperjuangkan cintamu yaitu aku.”
“Siapa
bilang?”
“Dasar lelaki
buaya.”
“Buayanya
hanya untukmu.”
“Gombal.”
Dan kau masih
tetap tak kan mau menjawab dengan pasti setiap kita saling bertemu dan
mengobrol. Meski secara langsung kau tak pernah menyakitiku. Kau masih
menganggapku sebagai teman baik bahkan lebih dari itu. Maka dari awal aku
katakan bahwa tak ada bedanya antara pacar dengan teman. Aku lihat tidak
sedikit yang mengatakan pacar tapi ketika bertemu hanya marah-marah dan
sebagainya. Menyakitkan. Lebih baik menjadi teman, dan hubungan tetap baik.
Jika terjadi salah paham semua bisa langsung teratasi dengan cepat dan baik,
tak perlu marah-marah sampai berlarut-larut dan ujung-ujungnyapun minta
berakhir.
“Kenapa kini
kau hanya diam, mematung? Tak bisakah bicara lagi?”
Dengan diam
semua akan membeku. Pertemuan hari ini masih saja dingin laksana singgah di
kutub utara. Masih tak ada jawaban dengan pasti. Aku sadar, meski dalam hatimu
ada sepenggal harapan cinta untukku namun masih menjadi harta karun yang sulit
untuk digali. Biarkan saja, ya biarkan saja, jika harta karun cinta itu untukku
pasti dengan mudah akan aku temukan jika harta karun cinta itu bukan untukku,
apa boleh buat. Semua pasti akan hilang dan berlalu. Maka akupun tak ingin
mengungkit-ungkit lagi. Apakah aku sedang putus asa? Tidak.
Rasa cinta itu
berlalu, beberapa semester. Betapa rindu masih menghangat untuk mencari titik
wajahmu. Meski rembulan malam semakin tak jelas menampakkan wajahnya karena
awan hitam selalu menghadang. Jawaban-jawaban yang selalu aku tunggu darimu
masih saja bungkam. Seperti hanyut ditelan ombak laut Jawa.
“Hallo, apa
kabar rinduku?” Sapaku pelan melalui telpon umum di terminal bus dengan uang
receh lima ratusan.
“Ya siapa ini?
Apa yang bisa aku bantu.” Jawabmu dari telpon rumah.
“Aku…”
“Hai, hallo,
kaukah itu, apa kabar, kau dimana?” Jawabmu seperti orang tak sabar segera
ingin bertemu denganku.
“Aku sedang
berada diterminal bus dikotamu. Dan ini aku sedang menunggu bus untuk balik ke
kota Surabaya. Karena besok kuliah masuk.”
“Hai, tunggu
dulu disitu, aku akan kesana. Bisakah kita bertemu dan berbicara, sudah lama
aku tak bicara denganmu apalagi bertemu. Ku jemput kau ya?” Tiba-tiba kau ingin
bertemu denganku.
“Ehm….”
“Sudahlah,
pokoknya aku jemput, dan kuliah kan besok, masih ada banyak bus ke Surabaya, 24
jam tak usah khawatir.” Kau memaksaku untuk bertemu dan tak tahu apa yang harus
aku lakukan, paling-paling kau akan menambah beban hatiku lagi, rasa itu masih
kuat mendekam dalam kalbuku. Dan aku sudah bisa memprediksi kau tak kan sudi
menjawab atas rasa yang dulu pernah aku ungkapkan. Apalagi kau sudah bekerja,
perempuan yang sudah punya masa depan baik. Sedangkan aku masih melalui kuliah
dan masa depan yang belum jelas. Jujur rasanya aku kalah dengan tantanganmu.
Aku sudah tak tahu lagi rindu yang ada dalam kepalaku ini. Meski kau masih yang
terhebat.
Angin laut
Jawa semakin deras menghujan tubuhku. Aku mematung menunggumu di sudut terminal
yang usang. Orang berlalu lalang dengan tujuan di kepala mereka masing-masing
tanpa pernah aku ketahui semuanya. Mereka punya hak menuju tempat yang akan
mereka tempuh. Datang, pergi dan berlalu sesuka hati.
“Lama
menunggu, apa kabar?”
“Tidak.
Alhamdulillah sehat. Kau?”
“Baik seperti
yang kau lihat saat ini.”
Dan pertemuan
itupun penuh dengan kehangatan, kita memang lama tidak bertemu, kau sibuk
bekerja sedang aku harus rela untuk kembali mengenyam bangku kuliah. Namun tak
apa. Kita tak tahu jalan apa lagi yang akan kita lalui. Nasib manusia tidak ada
yang tahu. Apakah kau masih menungguku, aku juga tak tahu, setidaknya aku telah
mengucapkan uneg-uneg hatiku beberapa tahun silam. Dan sampai hari ini aku
belum menerima jawaban pasti darimu.
“Bagaimana
kehidupanmu di kota Surabaya?” Tanyamu tiba-tiba membuka kebekuan hati.
“Baik.”
“Kau punya
pacar?”
“Ada, tapi tak
tahu apakah bisa berjalan atau tidak?” Jawabanku spontan keluar tanpa pikir
panjang.
“Waw,
sungguhkah? Syukurlah kau telah punya pacar.” Kau menjawab seperti bukan
jawaban hatimu. Dan itu aku bisa membacanya dari pandangan matamu yang telah
lama aku kenali. Kau seperti terpukul meski dengan sekejap kau mengalihkannya.
Tapi kau tak bisa marah karena kau tak pernah memberikan jawaban pasti dariku.
“Anak mana?
Tentu saja cantik.” Kau masih memberanikan diri untuk bertanya tentangnya.
“Ehm,
Surabaya.” Aku masih menjawab dengan separuh jawaban sekenanya.
Dan suasana
masih saja tenggelam dalam perasaan masing-masing. Ada misteri hati yang sekian
lama tak terkuak. Antara aku dan kau. Dan kini seperti terkena tsunami. Hancur
dan pupus. Ada janji yang telah terucap meski tak jelas. Hatimu kelu. Kata
kunci pesan dari hatimu tentang“optimis” telah berubah menjadi “pesimis”. Ombak
laut Jawa menjadi limbung. Kau semakin bergetar. Ada perasaan hati yang tak
tersampaikan. Waktu sekian lama yang berjalan dan mengharap bertemu dalam
suasana haus akan rindu dan cinta kasih anak manusia menjadi pertemuan seperti
air dan oli. Aku tak menyadari jawaban jujur dariku tadi sempat memukul jiwamu.
Aku tak tahu episode apa lagi yang akan aku lalui denganmu, semua masih menjadi
teka-teki rindu yang telah kaku. Yang jelas kau telah kecewa hari itu. Bertemu
denganku di sudut terminal yang usang yang telah membawa kisah sendu setengah
mati.
“Apa kabar
rinduku yang telah menancap di relung hati?”
“Ya, meski kau
telah berlalu dengan harapan yang lebih indah. Aku masih tetap saja setia
dengan teka-teki hatimu yang belum terpecahkan. Tak tahu sampai kapan?”
Semua akan
indah pada saatnya. Aku percaya itu. Rambutmu yang terurai dan berkibar-kibar
disapu angin laut Jawa perlahan hilang, hilang, dan hilang.
“Maafkan aku,
aku telah gegabah mengartikan maksud hatimu yang selama ini tak pernah
memberikan jawaban atas cintaku, sedikitpun. Meski kau benar-benar telah
merasakan rasa itu. Mungkin kau sendiri ragu terhadap kepastianku, dan aku
maklum itu.” Batinku
Dan bus yang
aku tumpangi begitu melaju dengan kencangnya. Bayangan wajah sendumu kian tak
bisa lepas dari ingatanku. Merasa berdosa dan bersalah karena telah gagal
memahami hatimu yang telah menjadi misteri. Aku sudah tak bisa lagi menguaknya.
Sedangkan bayangan perempuan lain yang
sembunyi dalam kerinduan, sayup-sayup mulai mengisi dan memenuhi ruang otakku.
“Ugh…..”
Tuban di Terminal lama, 2001.
Rohmat Sholihin
*Penulis anggota komunitas kali kening.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda