Jumat, 28 September 2018

Pram dalam Bingkai Bumi Manusia


https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/stella/7-alasan-mengapa-buku-bumi-manusia-karya-pram-begitu-melegenda

Oleh. Rohmat Sholihin*

Sudah lama saya ingin menulis tentang Pram. Meski hanya dalam bentuk kata-kata sederhana. Bisa puisi atau hanya sekedar namanya saja yang bisa saya tuliskan dalam buku-buku karyanya yang saya beli, lalu saya tulis dengan tinta hitam pada sampulnya: Pramoedya Ananta Toer, pengarang besar Indonesia. Setidaknya saya pernah menuliskannya meski hanya beberapa kata. Sebab, menurut Pram sendiri bahwa menulis adalah tugas nasional. Apa pentingnya menulis? Sampai menjadi tugas nasional. Bisa di bilang bahwa menulis itu sangatlah penting melebihi kebutuhan pokok, makan, minum dan buang air kecil maupun besar. Saya tergoda dengan ungkapannya itu. Saya bacai lagi buku-buku karyanya, mulai dari karyanya yang tipis, Bukan Pasar Malam, yang mengisahkan gejolak pengalaman pribadinya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup bersama dengan Ayahnya ketika menjelang sakit hingga tiada. Sedangkan buku karyanya yang tebal seperti, Arus Balik, mengisahkan tentang sejarah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan  berdirinya Kerajaan Demak. Dan masih banyak lagi buku-buku karya Pram lainnya. Tak kalah menarik tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) dari tetralogi Buru itu tak ada yang tipis. Hampir semua ditulis dalam masa pembuangan: Pulau Buru.
Nama Pram seperti tak pernah mati. Dalam kesunyian saja masih melambung tinggi. Ia sekarang sudah tiada, jasadnya sudah tenggelam dalam tanah kubur yang sudah tak lagi merah. Tapi kejujuran karyanya tak bisa dipungkiri, ibarat ombak laut semakin susah untuk dibendung. Menghantam karang-karang laut yang mencoba mematahkan semangat ide dan pemikiran yang telah dimuntahkan dalam karya sastra. Ia bukan hanya menulis tapi seperti berak. Hampir yang ada dalam perutnya ia keluarkan semua hingga ampas-ampasnya, maaf mungkin terkesan jorok. Tercecer-cecer menjadi karya yang monumental, Tetralogi Buru, bukti bahwa: di kamar yang singup dan penuh dengan keringat, novel itu lahir. Novel yang memberi gegap gempita bagi derita dan air mata, dicekal, dibakar, dan diberedel berkali-kali. Novel yang bagi Muhidin M. Dahlan (2018) disebutnya sebagai biang tragedi dan masalah, kini menjadi perbincangan paling menarik di dunia maya.[1] Namun, keyakinan Pram untuk tidak menyerah sangatlah kuat. Meski banyak jeruji yang menyudutkannya dan menghempaskannya dalam kesunyian dan keterasingan ia semakin lantang untuk terus menulis, menulis, menulis tiada kata henti. Benar apa yang telah ia tuliskan: menulis adalah keabadian. Menulis baginya adalah berenang ke samudera luas dan resiko yang ia hadapi sebagai konsekwensi sangatlah besar juga harus berani dihadapi. Namun ia berhasil mencapai suatu ruang yang telah ia cita-citakan sejak dalam pikiran yaitu keadilan. Dan keadilan tidak datang dengan sendirinya tapi dibutuhkan kerja keras dan usaha yang berdarah-darah untuk mencapainya.
Saya pernah membuat oret-oretan dalam bentuk puisi sehabis membaca Bumi Manusia, karya Pram yang sangat monumental. Meski tidak sedetail bukunya. Buku Bumi Manusia sangatlah tebal, di atas 400 halaman. Buku berat dan hanya orang jeniuslah yang bisa menulis karya setebal itu dengan apik. Baiklah, dengan terpaksa saya harus mencantumkan puisi itu disini agar rasa takut saya perlahan-lahan sirna, kenapa takut? Bumi Manusia bukanlah buku karya penulis sembarangan, dan jangan sembarangan pula mencoba-coba untuk ngawur dalam menilainya. Ah, ini mungkin saja sifat yang terlalu melebih-lebihkan sesuatu. Nyatanya ketika saya bertemu sendiri dengan sang adik kandung Pram, Mbah Soes di rumah Blora dan dengan sedikit takut saya ungkapkan beberapa tulisan padanya, ternyata responnya di luar dugaan saya, tulislah dengan berani, tak usah takut, dan tak usah sungkan-sungkan, kenalilah dirimu, dan ingat Mas Pram pernah bilang, yang terpenting dari hidup itu adalah keberanian. Sebab, orang-orang beranilah yang akan menguasai setidaknya tiga perempat dunia.
Pram memang tidak begitu produktif dalam menulis, eit, jangan kaget dulu, Pram tidak produktif dalam menulis puisi, jika tidak salah puisi itu pernah ia tulis judulnya: huruf. Dengan huruf kita mampu mengenali kasak-kusuk dunia. Ada karya puisinya yang lain, Antara Kita (Siasat) (1949), Anak Tumpah Darah (Indonesia, 1951), Kutukan Diri (Indonesia, 1951).[2] Pram lebih tertantang untuk menulis essai, cerpen, novel, roman, dan catatan-catatan harian. Meski Pram tidak pernah bilang jika ia tidak suka terhadap puisi. Apapun yang lahir dalam karya sastra baginya adalah informasi dan dokumen yang harus dihargai. Begini tulisan saya, Pram dalam Bingkai Bumi Manusia.
Minke...
Cerita...
Selamanya tentang manusia,
Kehidupannya, bukan kematiannya.
Ya...biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu.
Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia...
Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana,
Biar penglihatanmu setajam mata elang,
Pikiranmu setajam pisau cukur,
Perabaanmu lebih peka dari para dewa,
Pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan,
Pengetahuanmu tentang manusia tak kan bisa kemput.
Manusia...banyak juga manusia masuk dalam perangkap kejahilan manusia.
Kemerosotan nilai kemanusiaan adalah ketertindasan,
Ketertindasan tak kenal batas wilayah manusia,
Dimanapun manusia itu ada, ketertindasan selalu menempati ruang dengan santainya.
Entah kapan sejarah ketertindasan itu dimulai?
Tapi dahsyatnya sungguh terasa, bahkan diri kita sendiri selalu melawan ketertindasan dengan diri ini.
Hati kita,
Otak kita,
Jiwa kita,
Selalu mencoba melawan pergolakan batin yang tiada henti, setiap detik dan waktu.
Terkadang lelah, namun jangan menyerah.
Kecuali mati...
Manusia dengan pengetahuan bagai sajak dan syair.
Diotak-atik lahirlah penemuan, daya cipta dan budaya.
Itulah tingginya derajat manusia, burung terbangpun ia cipta, kelabang besipun ia temukan, kuda besipun ia buat.
Pendidikan yang membuat manusia merengkuh tinggi derajatnya.
Dari bodoh menjadi pandai, dari babu menjadi majikan, dari budak menjadi tuan, dari terjajah menjadi merdeka, dari jelata menjadi priyayi, dari tertindas menjadi melawan, dari pasif menjadi aktif, dari takut menjadi berani, dari huruf menjadi kata, dari kata menjadi kalimat, dari kalimat menjadi paragraf, dari paragraf menjadi bacaan, semua karena manusia...
Pendidikan tidaklah sempit hanya disekolah, pendidikan bisa ditempat mana saja, pendidikan tak ubahnya proses dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan tidak hanya sebatas guru dan murid, pendidikan bisa dengan siapa saja.
Jangan terlalu percaya pada pendidikan sekolah, guru yang sebaik-baiknya masih bisa melahirkan bandit yang sejahat-jahatnya, atau memang guru itu sudah bandit pada dasarnya.
Jawa...
Eropa...
Madura...
Perancis...
Belanda...
Semua sama, manusia yang mendiami bumi, berceloteh dengan suka dan duka, bergumul, bermamah biak, dan berkembang biak.
Menjadi banyak, bersuku-suku, dan mendiami bumi alam semesta.
Bumi manusia punya sejarah dan kiprah dalam kisah kehidupannya.
Mencintai,
Membenci,
Menindas,
Melawan,
 Di bumi yang sama, bumi manusia.
Minke....
Anelis....
Nyai Ontosoroh....
Herman Milema....
Hanyalah sekelumit tokoh-tokoh didalamnya, yang mengisi kisah sejarahnya sebagai manusia yang pernah singgah di bumi manusia.
Bangilan, 10 Mei 2016.
Diambil dari inspirasi buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Menganalisis tetralogi Bumi Manusia perhatian utama ditumpukan pada pemikiran Pramoedya yang diselundupkan melalui narasi-deskripsi, lakuan dari dialog tokoh-tokohnya. Dengan kata lain apa yang hendak disampaikan Pramoedya dalam karya itu lebih penting daripada penjelasan fakta sejarah yang terdapat di dalamnya. Bagaimanapun, sebagai seorang sastrawan yang juga penganut serius mengenai sejarah bangsanya. Pramoedya menyampaikan gagasannya melalui karya sastra. Menurut pandangan Jakob Sumardjo, sejarah merupakan harta karun budaya yang dapat digali, ditimba, ditafsirkan dalam kaitannya dengan pembicaraan masalah yang terjadi pada masa kini. Sejarah selalu dipenuhi lambang, kejadian yang tidak jelas dan karenanya menantang imajinasi untuk mengembangkannya. Sejarah sebenarnya wilayah sastrawan yang memberi berbagai keserbamungkinan.[3]
Sebagai seorang sastrawan, Prameodya amat beruntung karena dapat melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan disiplin sejarah yang sangat terikat pada fakta, bukti dan ketetapan peristiwa. Pramoedya, justru karena itu, secara bebas menghadirkan dan membentuk tokoh-tokoh historis mengikuti apa yang hendak disampaikannya. Maka, hasilnya lahirlah tokoh Minke atau tokoh R.M. Tirto Adhisoerjo, Bapak kewartawanan bahasa Melayu di Jawa dan perintis pergerakan yang telah mendirikan Syarikat Priyayi dalam tahun 1906, yang agak lebih romantis dan lebih “bersih” daripada kenyataannya.[4] Sehubungan dengan itu, dapat dikatakan, bahwa walaupun banyak kemiripan antara tokoh utama Minke dengan R.M. Tirto Adhisoerjo (R. M. Tirto), kedua tokoh itu tidak serupa secara keseluruhan. Pramoedya sendiri menegaskan bahwa novel-novelnya harus dibaca sebagai karya fiksi, bukan sebagai buku sejarah.[5] Oleh sebab itu, tokoh utama dalam tetralogi ini bukan R.M. Adisoerjo, melainkan Minke seorang tokoh rekaan yang lahir dari sumber tokoh sejarah. Maka, usaha untuk mencari persamaan peristiwa sejarah dalam novel sejarah, hanya salah satu aspek saja, dari aspek lain yang jauh lebih penting. Mengenai pengambilan tokoh R.M. Tirto Adisoerjo, Pramoedya menjelaskan:
R.M. Tirto bukan saya maksudkan ditampilkan sebagai hero, tapi sebagai individu yang telah melepaskan diri dari kebersamaan tradisional, yang berabad lamanya jadi penghambat progres. Ini nilai cultural yang telah dicapai oleh R.M. Tirto. Sayang, bahwa setelah keluar dari kebersamaan agraris, ia belum sepenuhnya berhasil melahirkan kebersamaan baru yang relevan karena usia tidak mengizinkan.[6]
Mungkin benar pendapat yang diberikan mengenai pemilihan peristiwa dalam novel sejarah, yiatu “pemilihannya ditentukan oleh kepentingan masa kini, untuk tujuan yang dipakai ini. Dengan memilih peristiwa sejarah, ia dapat memperlihatkan persamaan masa kini dengan masa lampau. Ada kemungkinan maknanya lain. Masa lampau itu dihadirkan berdasarkan fenomena masa kini. Unsur masa kini dipindahkan ke masa lampau, tentu saja dengan penyesuaian tertentu untuk dapat diyakinkan masyarakat (pembaca). Tentunya juga, dengan menggunakan prinsip “pembentukan realitas melalui penceritaan”, “penyejarahan fiksi” dan mungkin juga sebagai “pemfiksian sejarah” oleh karena itu, di sini berlaku masa kini yang dilihat lebih khusus, sebagai sesuatu yang biasa dilakukan.”[7] Meskipun begitu, sebuah karya sastra tidak dapat ditafsirkan dengan hanya sebagai yang mengandung ajaran-ajaran tertentu, seperti misalnya,”pertentangan kelas” tanpa bukti yang lengkap. Rendra juga menegaskan bahwa kritikus harus berfikir jernih dan adil. Seorang seniman yang tidak dapat bertindak adil akan kehilangan kepekaannya terhadap kenyataan.[8] Pandangan ini sejalan dengan gagasan C.W. Watson, bahwa keseksamaan-kecermatan, ketelitian dari tanpa prasangka mutlak dituntut untuk memahami pemikiran seorang penulis novel sejarah yang sejati.[9]
Tetralogi Bumi Manusia dapat dianggap sebagai novel sejarah Indonesia yang mengandung wawasan baru. Dalam karya itu, Pramoedya menyentuh beberapa hal yang belum pernah dibicarakan sastrawan Indonesia lainnya. Ia begitu gamblang memaparkan pandangan mengenai cita pemberontakan atas kekuasaan kolonial, warisan budaya bangsa, gerakan kebangkitan bangsa di Tanah Air, dan peranan wanita dalam peralihan zaman. Namun, seperti karya-karya yang dihasilkan sebelum Pramoedya diasingkan ke Pulau Buru, humanisme tetap merupakan dasar dan latar belakang pemikirannya. Dalam sebagian karyanya terdahulu, Pramoedya menceritakan masalah individu manusia yang diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang dialaminya sendiri.[10] Dalam tetralogi itu, ia mengolah masalah manusia sebagai warga dunia dan masalah warisan budaya yang berkaitan dengan masa depan bangsa. Kenyataan ini membuktikan bahwa pemikirannya dalam tetralogi itu lebih matang dan lebih luas dari masa sebelumnya. A. Teeuw beranggapan, bahwa karya itu adalah karya yang mempesona, matang dan arif, hasil dari sebuah kajian yang mendalam, dan lancar (mulus) dalam struktur. Dikatakannya pula, bahwa karya itu menampilkan kelahiran manusia Indonesia modern melalui penderitaan ganda: perpisahan pahit dengan dunia feodal, tradisi jawa dan penghinaan konfrontasi terhadap sistem kolonial dalam wajah aslinya yang jahat.[11]
Perlu diingat, bahwa sastra yang baik dapat menghadirkan kembali masa kehidupan, bobot, dan susunannya. Ia menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, gejolak emosi, dan perasaan individu atau masyarakat. Hal ini dihadirkannya bersama sama secara jalin-berjalin, seperti yang terjadi dalam kehidupan yang kita hayati sendiri. Sastra yang baik menciptakan kembali desakan hidup.[12] Dengan berpegang teguh pada prinsip itu, Pramoedya berusaha mengingatkan pembaca bahwa kekuasaan kolonial telah menindas kaum pribumi di Hindia Belanda, dan peristiwa ini terjadi karena kelemahan bangsanya sendiri. Maka, dengan membuang warisan-warisan budaya yang menjadi hambatan, penindasan seperti itu dapat teratasi dan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, Tanah Air Indonesia dapat menjadi “bumi manusia” yang sebenarnya. Menurut Pramoedya, “Bumi Manusia” adalah panggung di mana manusia memainkan peranannya. Manusia merupakan kesatuan dan abadi selagi buminya tidak musnah. Orang atau individu mempunyai jangka waktu hidup yang tertentu. Setiap orang pasti akan mati, akan tetapi manusia bersifat abadi. Bumi manusia juga berbeda dari pengertian “bumi malaikat” atau “bumi setan”. Setidak-tidaknya “bumi manusia” bukan surga juga bukan neraka, tetapi bumi yang dibangun oleh otak dan tangan manusia sendiri, bumi di mana manusia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri, dia tidak mengesampingkan tanggung jawabnya pada segala yang ada di luar dirinya.[13] Pandangan itulah yang menjadi salah satu alasan hadirnya novel sejarah tetralogi Bumi Manusia. Kesengsaraan nenek moyang yang sebenarnya perlu diberitahukan kepada keturunannya. Maka fungsi novel sejarah tidak dapat diabaikan. “Novel sejarah dapat membantu pembaca kembali pada sangkan parannya (asal usulnya) sebagai bangsa. Akar dan identitas bangsa barangkali dapat diraba di sana, lewat hidangan gambaran, pengalaman masa silam para sastrawannya.”[14]
Pramoedya menggambarkan tokoh utama yaitu Minke, untuk mengungkapkan kesengsaraan rakyat pribumi dan citra pemberontak terhadap kekuasaan kolonial, warisan budaya yang menjadi hambatan, dan gerakan nasionalisme di Tanah Air. Minke adalah seorang pribumi asli yang lahir dari kehidupan priyayi yang mendapat pendidikan Eropa di HBS (Hogere BurgerSchool, Sekolah Menengah Belanda) di Surabaya. Pramoedya mengambil latar belakang kota Surabaya yang pada waktu itu sebagai kota dagang terbesar, yang melahirkan ide-ide baru dari seluruh dunia. Maka, untuk menceritakan peralihan pemikiran, kota Surabayalah yang paling tepat. Waktu itu kota Betawi (Jakarta) boleh dikatakan sebagai kota priyayi. Sebagai seorang anak bupati, Minke mendapatkan kesempatan belajar di HBS. Menurut adat bisa dipastikan Minke adalah calon bupati, karena jabatan bupati diterima turun-temurun. Minke dihormati oleh lingkungan masyarakat Jawa maupun pemerintah kolonial Belanda melalui pendidikan dan pergaulan dengan orang-orang yang berpandangan liberal dan rasional, Minke pun berubah menjadi orang yang menyadari keadaan bangsanya dan berusaha mengatasi masalah-masalah yang bersumber dari tradisi budaya.
Begitu juga seorang perempuan pribumi yang lugu dan tidak tahu apa-apa, Sanikem, yang telah dijual oleh ayah kandungnya sendiri kepada Herman Mellema sebagai gundik demi ambisi ayah kandungnya untuk naik jabatan. Sanikem yang terkenal dengan sebutan Nyai Ontosoroh ternyata bukanlah sampah hina-dina seperti yang sering tergambar pada masyarakat kolonial waktu itu. Akan tetapi berkat ajaran dan didikan tuannya, Nyai berhasil mengembangkan perusahaan pertanian di Wonokromo, Broderij Buitenzorg, dan orang Jawa yang punya lidah berbeda sering menyebut Buitenzorg menjadi Ontosoroh karena Nyai Sanikem merupakan orang yang berpengaruh di kawasan tersebut. Nyai bersama dengan Annelies (putrinya dari hasil pergundikan yang tidak bisa disahkan oleh undang-undang kolonial Belanda sebagai anak kandung) menjadi tulang punggung tegaknya perusahaan setelah Tuan Mellema disingkirkan oleh Nyai. Dalam pandangan Nyai, suaminya tidak lagi dapat dianggap sebagai manusia bermoral yang patut dihormati dan disayangi. Nyai kini menempatkan diri seakan “macan betina” yang garang: keras, tegas, pintar dan memiliki harga diri yang tidak luluh oleh penindasan. Lebih tepatnya Nyai adalah manusia dengan pribadi yang mengagumkan. Pramoedya melukiskan tokoh Sanikem yang awalnya buta huruf sebelum dijual kepada tuannya. Berkat pengajaran tuannya, Nyai mengetahui baca tulis karena tuntutan kebutuhan kemajuan zaman yang terus berkembang.
Pramoedya sebagai pengarang sangatlah komplit, di sisi lain banyak yang mengelu-elukan meskipun juga tak kalah banyak yang menghujat. Banyak karya-karyanya yang memang fenomenal sebagai karya yang banyak bernuansa humanis. Pram adalah penulis Indonesia yang semasa hidup paling sering disebut sebagai calon penerima nobel sastra. Sekaligus mungkin penulis Indonesia yang paling dikenal di jagat sastra dunia.  Misalnya banyak karya-karya Pram seperti Bumi Manusia yang telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa di dunia. Dalam bingkai “bumi manusia” Pram telah bersemayam abadi bersama dengan karya-karya lainnya.

Bangilan, 28 September 2018
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening







[1] Jawa Pos, Bumi Manusia dan Imajinasi yang mati. Sabtu 9 Juli 2018. Hal. 4.
[2] Muhammad Rifai, Biografi Singkat 1923-2006 Pramoedya Ananta Toer, (Yogyakarat: Garasi House of Book, 2010), hlm. 80.
[3] Jakob Sumardjo, 1985, “Novel Sejarah Kita,” Kompas, 15 Oktober.
[4] Ahmat Adam, 1989, Pramoedya Toer dalam Rumah Kaca,” Dewan Sastra, Juni, hlm. 32.
[5] Prof. Koh Young Hun, Pramoedya Menggugat Melacak Jejak Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 84.
[6] Surat Pramoedya kepada Marjanne Termorshuizen Arts, 6 Februari 1967.
[7] Umar Junus, 1989, Fiksyen dan Sejarah: Suatu Dialog, hlm. 137. Menurut Umar Junus, mungkin persembahan “Panembahan Rekso” Rendra juga menggunakan kemungkinan ini, yaitu membawa masa kini ke masa lampau yang entah kapan dan entah di mana.
[8] Rendra, 1981, “Si Nyai yang bikin heboh,” dalam Adhy Asmara (ed), Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia, hlm. 35.
[9] Lihat C.W Watson , 1983, ‘Pramoedya Ananta Toer ‘s Short Stories: An Anti Postmocularist Account,” kertas kerja untuk Fourth European Colloquim On Malay and Indonesian Studies, Leiden, 30 Mei – 2 Juni.
[10] Pada waktu menghasilkan Keluarga Gerilya dan Perburuan, Pramoedya baru berusia 24 tahun. Pramoedya juga mengakui, bahwa sewaktu menjadi tahanan di Pulau Buru, ia masih muda. Ia hanya ingin mengingat diri sendiri, dan belajar dari pengalaman, (Lihat Rita S. Hastuti, 1980. “Apa Khabar Pram!” dalam Salemba, No. 83/th. V. 20 Feb. hlm. 6)
[11] A. Teeuw, 1980, “In Indonesische Gevangenschap Geschreven,” de Volkskrant, 25 Oktober.
[12] Richat Hoggart, “Literature and Society,” Mckenzie (ed.), 1966, A. Guide in the Social Science, hlm. 226-227. 24 dalam surat kepada Farah Diba pada 6 Oktober 1980.
[13] Dalam surat kepada Farah Diba pada 6 Oktober 1980.
[14] Jakob Sumardjo, 1985, ‘Novel Sejarah Kita,” Kompas, 15 Oktober.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda