Pram dalam Bingkai Bumi Manusia
https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/stella/7-alasan-mengapa-buku-bumi-manusia-karya-pram-begitu-melegenda
Oleh. Rohmat Sholihin*
Sudah lama
saya ingin menulis tentang Pram. Meski hanya dalam bentuk kata-kata sederhana.
Bisa puisi atau hanya sekedar namanya saja yang bisa saya tuliskan dalam
buku-buku karyanya yang saya beli, lalu saya tulis dengan tinta hitam pada
sampulnya: Pramoedya Ananta Toer,
pengarang besar Indonesia. Setidaknya saya pernah menuliskannya meski hanya
beberapa kata. Sebab, menurut Pram sendiri bahwa menulis adalah tugas nasional.
Apa pentingnya menulis? Sampai menjadi tugas nasional. Bisa di bilang bahwa
menulis itu sangatlah penting melebihi kebutuhan pokok, makan, minum dan buang
air kecil maupun besar. Saya tergoda dengan ungkapannya itu. Saya bacai lagi
buku-buku karyanya, mulai dari karyanya yang tipis, Bukan Pasar Malam, yang mengisahkan gejolak pengalaman pribadinya
dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup bersama dengan Ayahnya ketika
menjelang sakit hingga tiada. Sedangkan buku karyanya yang tebal seperti, Arus Balik, mengisahkan tentang sejarah
runtuhnya Kerajaan Majapahit dan
berdirinya Kerajaan Demak. Dan masih banyak lagi buku-buku karya Pram
lainnya. Tak kalah menarik tetralogi Buru (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) dari tetralogi
Buru itu tak ada yang tipis. Hampir semua ditulis dalam masa pembuangan: Pulau
Buru.
Nama Pram
seperti tak pernah mati. Dalam kesunyian saja masih melambung tinggi. Ia
sekarang sudah tiada, jasadnya sudah tenggelam dalam tanah kubur yang sudah tak
lagi merah. Tapi kejujuran karyanya tak bisa dipungkiri, ibarat ombak laut
semakin susah untuk dibendung. Menghantam karang-karang laut yang mencoba
mematahkan semangat ide dan pemikiran yang telah dimuntahkan dalam karya
sastra. Ia bukan hanya menulis tapi seperti berak. Hampir yang ada dalam
perutnya ia keluarkan semua hingga ampas-ampasnya, maaf mungkin terkesan jorok.
Tercecer-cecer menjadi karya yang monumental, Tetralogi Buru, bukti bahwa: di kamar yang singup dan penuh dengan keringat, novel itu lahir. Novel yang
memberi gegap gempita bagi derita dan air mata, dicekal, dibakar, dan diberedel
berkali-kali. Novel yang bagi Muhidin M. Dahlan (2018) disebutnya sebagai biang
tragedi dan masalah, kini menjadi perbincangan paling menarik di dunia maya.[1]
Namun, keyakinan Pram untuk tidak menyerah sangatlah kuat. Meski banyak jeruji
yang menyudutkannya dan menghempaskannya dalam kesunyian dan keterasingan ia
semakin lantang untuk terus menulis, menulis, menulis tiada kata henti. Benar
apa yang telah ia tuliskan: menulis adalah keabadian. Menulis baginya adalah
berenang ke samudera luas dan resiko yang ia hadapi sebagai konsekwensi
sangatlah besar juga harus berani dihadapi. Namun ia berhasil mencapai suatu
ruang yang telah ia cita-citakan sejak dalam pikiran yaitu keadilan. Dan
keadilan tidak datang dengan sendirinya tapi dibutuhkan kerja keras dan usaha
yang berdarah-darah untuk mencapainya.
Saya pernah
membuat oret-oretan dalam bentuk puisi sehabis membaca Bumi Manusia, karya Pram yang sangat monumental. Meski tidak
sedetail bukunya. Buku Bumi Manusia sangatlah tebal, di atas 400 halaman. Buku
berat dan hanya orang jeniuslah yang bisa menulis karya setebal itu dengan
apik. Baiklah, dengan terpaksa saya harus mencantumkan puisi itu disini agar
rasa takut saya perlahan-lahan sirna, kenapa takut? Bumi Manusia bukanlah buku
karya penulis sembarangan, dan jangan sembarangan pula mencoba-coba untuk
ngawur dalam menilainya. Ah, ini mungkin saja sifat yang terlalu
melebih-lebihkan sesuatu. Nyatanya ketika saya bertemu sendiri dengan sang adik
kandung Pram, Mbah Soes di rumah Blora dan dengan sedikit takut saya ungkapkan
beberapa tulisan padanya, ternyata responnya di luar dugaan saya, tulislah
dengan berani, tak usah takut, dan tak usah sungkan-sungkan, kenalilah dirimu,
dan ingat Mas Pram pernah bilang, yang terpenting dari hidup itu adalah
keberanian. Sebab, orang-orang beranilah yang akan menguasai setidaknya tiga
perempat dunia.
Pram memang
tidak begitu produktif dalam menulis, eit, jangan kaget dulu, Pram tidak
produktif dalam menulis puisi, jika tidak salah puisi itu pernah ia tulis
judulnya: huruf. Dengan huruf kita
mampu mengenali kasak-kusuk dunia. Ada karya puisinya yang lain, Antara Kita (Siasat) (1949), Anak Tumpah Darah (Indonesia, 1951), Kutukan Diri (Indonesia, 1951).[2]
Pram lebih tertantang untuk menulis essai, cerpen, novel, roman, dan
catatan-catatan harian. Meski Pram tidak pernah bilang jika ia tidak suka
terhadap puisi. Apapun yang lahir dalam karya sastra baginya adalah informasi
dan dokumen yang harus dihargai. Begini tulisan saya, Pram dalam Bingkai Bumi Manusia.
Minke...
Cerita...
Selamanya
tentang manusia,
Kehidupannya,
bukan kematiannya.
Ya...biarpun
yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu.
Dan
tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia...
Jangan
anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana,
Biar
penglihatanmu setajam mata elang,
Pikiranmu
setajam pisau cukur,
Perabaanmu
lebih peka dari para dewa,
Pendengaranmu
dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan,
Pengetahuanmu
tentang manusia tak kan bisa kemput.
Manusia...banyak
juga manusia masuk dalam perangkap kejahilan manusia.
Kemerosotan
nilai kemanusiaan adalah ketertindasan,
Ketertindasan
tak kenal batas wilayah manusia,
Dimanapun
manusia itu ada, ketertindasan selalu menempati ruang dengan santainya.
Entah
kapan sejarah ketertindasan itu dimulai?
Tapi
dahsyatnya sungguh terasa, bahkan diri kita sendiri selalu melawan
ketertindasan dengan diri ini.
Hati
kita,
Otak
kita,
Jiwa
kita,
Selalu
mencoba melawan pergolakan batin yang tiada henti, setiap detik dan waktu.
Terkadang
lelah, namun jangan menyerah.
Kecuali
mati...
Manusia
dengan pengetahuan bagai sajak dan syair.
Diotak-atik
lahirlah penemuan, daya cipta dan budaya.
Itulah
tingginya derajat manusia, burung terbangpun ia cipta, kelabang besipun ia
temukan, kuda besipun ia buat.
Pendidikan
yang membuat manusia merengkuh tinggi derajatnya.
Dari
bodoh menjadi pandai, dari babu menjadi majikan, dari budak menjadi tuan, dari
terjajah menjadi merdeka, dari jelata menjadi priyayi, dari tertindas menjadi
melawan, dari pasif menjadi aktif, dari takut menjadi berani, dari huruf
menjadi kata, dari kata menjadi kalimat, dari kalimat menjadi paragraf, dari
paragraf menjadi bacaan, semua karena manusia...
Pendidikan
tidaklah sempit hanya disekolah, pendidikan bisa ditempat mana saja, pendidikan
tak ubahnya proses dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan tidak hanya sebatas
guru dan murid, pendidikan bisa dengan siapa saja.
Jangan
terlalu percaya pada pendidikan sekolah, guru yang sebaik-baiknya masih bisa
melahirkan bandit yang sejahat-jahatnya, atau memang guru itu sudah bandit pada
dasarnya.
Jawa...
Eropa...
Madura...
Perancis...
Belanda...
Semua
sama, manusia yang mendiami bumi, berceloteh dengan suka dan duka, bergumul,
bermamah biak, dan berkembang biak.
Menjadi
banyak, bersuku-suku, dan mendiami bumi alam semesta.
Bumi
manusia punya sejarah dan kiprah dalam kisah kehidupannya.
Mencintai,
Membenci,
Menindas,
Melawan,
Di bumi yang sama, bumi manusia.
Minke....
Anelis....
Nyai
Ontosoroh....
Herman
Milema....
Hanyalah
sekelumit tokoh-tokoh didalamnya, yang mengisi kisah sejarahnya sebagai manusia
yang pernah singgah di bumi manusia.
Bangilan,
10 Mei 2016.
Diambil
dari inspirasi buku Bumi Manusia
karya Pramoedya Ananta Toer.
Menganalisis tetralogi Bumi
Manusia perhatian utama ditumpukan pada pemikiran Pramoedya yang diselundupkan
melalui narasi-deskripsi, lakuan dari dialog tokoh-tokohnya. Dengan kata lain
apa yang hendak disampaikan Pramoedya dalam karya itu lebih penting daripada
penjelasan fakta sejarah yang terdapat di dalamnya. Bagaimanapun, sebagai
seorang sastrawan yang juga penganut serius mengenai sejarah bangsanya.
Pramoedya menyampaikan gagasannya melalui karya sastra. Menurut pandangan Jakob
Sumardjo, sejarah merupakan harta karun budaya yang dapat digali, ditimba,
ditafsirkan dalam kaitannya dengan pembicaraan masalah yang terjadi pada masa
kini. Sejarah selalu dipenuhi lambang, kejadian yang tidak jelas dan karenanya
menantang imajinasi untuk mengembangkannya. Sejarah sebenarnya wilayah
sastrawan yang memberi berbagai keserbamungkinan.[3]
Sebagai seorang sastrawan,
Prameodya amat beruntung karena dapat melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan
disiplin sejarah yang sangat terikat pada fakta, bukti dan ketetapan peristiwa.
Pramoedya, justru karena itu, secara bebas menghadirkan dan membentuk
tokoh-tokoh historis mengikuti apa yang hendak disampaikannya. Maka, hasilnya
lahirlah tokoh Minke atau tokoh R.M. Tirto Adhisoerjo, Bapak kewartawanan
bahasa Melayu di Jawa dan perintis pergerakan yang telah mendirikan Syarikat
Priyayi dalam tahun 1906, yang agak lebih romantis dan lebih “bersih” daripada
kenyataannya.[4] Sehubungan dengan itu,
dapat dikatakan, bahwa walaupun banyak kemiripan antara tokoh utama Minke
dengan R.M. Tirto Adhisoerjo (R. M. Tirto), kedua tokoh itu tidak serupa secara
keseluruhan. Pramoedya sendiri menegaskan bahwa novel-novelnya harus dibaca
sebagai karya fiksi, bukan sebagai buku sejarah.[5]
Oleh sebab itu, tokoh utama dalam tetralogi ini bukan R.M. Adisoerjo, melainkan
Minke seorang tokoh rekaan yang lahir dari sumber tokoh sejarah. Maka, usaha
untuk mencari persamaan peristiwa sejarah dalam novel sejarah, hanya salah satu
aspek saja, dari aspek lain yang jauh lebih penting. Mengenai pengambilan tokoh
R.M. Tirto Adisoerjo, Pramoedya menjelaskan:
R.M. Tirto
bukan saya maksudkan ditampilkan sebagai hero, tapi sebagai individu yang telah
melepaskan diri dari kebersamaan tradisional, yang berabad lamanya jadi
penghambat progres. Ini nilai cultural yang telah dicapai oleh R.M. Tirto.
Sayang, bahwa setelah keluar dari kebersamaan agraris, ia belum sepenuhnya
berhasil melahirkan kebersamaan baru yang relevan karena usia tidak
mengizinkan.[6]
Mungkin benar pendapat yang
diberikan mengenai pemilihan peristiwa dalam novel sejarah, yiatu “pemilihannya
ditentukan oleh kepentingan masa kini, untuk tujuan yang dipakai ini. Dengan
memilih peristiwa sejarah, ia dapat memperlihatkan persamaan masa kini dengan
masa lampau. Ada kemungkinan maknanya lain. Masa lampau itu dihadirkan berdasarkan
fenomena masa kini. Unsur masa kini dipindahkan ke masa lampau, tentu saja
dengan penyesuaian tertentu untuk dapat diyakinkan masyarakat (pembaca).
Tentunya juga, dengan menggunakan prinsip “pembentukan realitas melalui
penceritaan”, “penyejarahan fiksi” dan mungkin juga sebagai “pemfiksian
sejarah” oleh karena itu, di sini berlaku masa kini yang dilihat lebih khusus,
sebagai sesuatu yang biasa dilakukan.”[7]
Meskipun begitu, sebuah karya sastra tidak dapat ditafsirkan dengan hanya
sebagai yang mengandung ajaran-ajaran tertentu, seperti misalnya,”pertentangan
kelas” tanpa bukti yang lengkap. Rendra juga menegaskan bahwa kritikus harus
berfikir jernih dan adil. Seorang seniman yang tidak dapat bertindak adil akan
kehilangan kepekaannya terhadap kenyataan.[8]
Pandangan ini sejalan dengan gagasan C.W. Watson, bahwa keseksamaan-kecermatan,
ketelitian dari tanpa prasangka mutlak dituntut untuk memahami pemikiran
seorang penulis novel sejarah yang sejati.[9]
Tetralogi Bumi Manusia dapat dianggap sebagai
novel sejarah Indonesia yang mengandung wawasan baru. Dalam karya itu,
Pramoedya menyentuh beberapa hal yang belum pernah dibicarakan sastrawan
Indonesia lainnya. Ia begitu gamblang memaparkan pandangan mengenai cita
pemberontakan atas kekuasaan kolonial, warisan budaya bangsa, gerakan
kebangkitan bangsa di Tanah Air, dan peranan wanita dalam peralihan zaman.
Namun, seperti karya-karya yang dihasilkan sebelum Pramoedya diasingkan ke
Pulau Buru, humanisme tetap merupakan dasar dan latar belakang pemikirannya.
Dalam sebagian karyanya terdahulu, Pramoedya menceritakan masalah individu
manusia yang diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang dialaminya sendiri.[10]
Dalam tetralogi itu, ia mengolah masalah manusia sebagai warga dunia dan
masalah warisan budaya yang berkaitan dengan masa depan bangsa. Kenyataan ini
membuktikan bahwa pemikirannya dalam tetralogi itu lebih matang dan lebih luas
dari masa sebelumnya. A. Teeuw beranggapan, bahwa karya itu adalah karya yang
mempesona, matang dan arif, hasil dari sebuah kajian yang mendalam, dan lancar
(mulus) dalam struktur. Dikatakannya pula, bahwa karya itu menampilkan
kelahiran manusia Indonesia modern melalui penderitaan ganda: perpisahan pahit
dengan dunia feodal, tradisi jawa dan penghinaan konfrontasi terhadap sistem
kolonial dalam wajah aslinya yang jahat.[11]
Perlu diingat, bahwa sastra
yang baik dapat menghadirkan kembali masa kehidupan, bobot, dan susunannya. Ia
menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, gejolak emosi, dan
perasaan individu atau masyarakat. Hal ini dihadirkannya bersama sama secara
jalin-berjalin, seperti yang terjadi dalam kehidupan yang kita hayati sendiri.
Sastra yang baik menciptakan kembali desakan hidup.[12]
Dengan berpegang teguh pada prinsip itu, Pramoedya berusaha mengingatkan
pembaca bahwa kekuasaan kolonial telah menindas kaum pribumi di Hindia Belanda,
dan peristiwa ini terjadi karena kelemahan bangsanya sendiri. Maka, dengan
membuang warisan-warisan budaya yang menjadi hambatan, penindasan seperti itu
dapat teratasi dan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, Tanah Air Indonesia
dapat menjadi “bumi manusia” yang sebenarnya. Menurut Pramoedya, “Bumi Manusia”
adalah panggung di mana manusia memainkan peranannya. Manusia merupakan
kesatuan dan abadi selagi buminya tidak musnah. Orang atau individu mempunyai
jangka waktu hidup yang tertentu. Setiap orang pasti akan mati, akan tetapi
manusia bersifat abadi. Bumi manusia juga berbeda dari pengertian “bumi
malaikat” atau “bumi setan”. Setidak-tidaknya “bumi manusia” bukan surga juga
bukan neraka, tetapi bumi yang dibangun oleh otak dan tangan manusia sendiri,
bumi di mana manusia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri, dia
tidak mengesampingkan tanggung jawabnya pada segala yang ada di luar dirinya.[13]
Pandangan itulah yang menjadi salah satu alasan hadirnya novel sejarah
tetralogi Bumi Manusia. Kesengsaraan
nenek moyang yang sebenarnya perlu diberitahukan kepada keturunannya. Maka
fungsi novel sejarah tidak dapat diabaikan. “Novel sejarah dapat membantu
pembaca kembali pada sangkan parannya (asal usulnya) sebagai bangsa. Akar dan
identitas bangsa barangkali dapat diraba di sana, lewat hidangan gambaran,
pengalaman masa silam para sastrawannya.”[14]
Pramoedya menggambarkan
tokoh utama yaitu Minke, untuk mengungkapkan kesengsaraan rakyat pribumi dan citra
pemberontak terhadap kekuasaan kolonial, warisan budaya yang menjadi hambatan,
dan gerakan nasionalisme di Tanah Air. Minke adalah seorang pribumi asli yang
lahir dari kehidupan priyayi yang mendapat pendidikan Eropa di HBS (Hogere
BurgerSchool, Sekolah Menengah Belanda) di Surabaya. Pramoedya mengambil latar
belakang kota Surabaya yang pada waktu itu sebagai kota dagang terbesar, yang
melahirkan ide-ide baru dari seluruh dunia. Maka, untuk menceritakan peralihan
pemikiran, kota Surabayalah yang paling tepat. Waktu itu kota Betawi (Jakarta)
boleh dikatakan sebagai kota priyayi. Sebagai seorang anak bupati, Minke
mendapatkan kesempatan belajar di HBS. Menurut adat bisa dipastikan Minke
adalah calon bupati, karena jabatan bupati diterima turun-temurun. Minke
dihormati oleh lingkungan masyarakat Jawa maupun pemerintah kolonial Belanda
melalui pendidikan dan pergaulan dengan orang-orang yang berpandangan liberal
dan rasional, Minke pun berubah menjadi orang yang menyadari keadaan bangsanya
dan berusaha mengatasi masalah-masalah yang bersumber dari tradisi budaya.
Begitu juga seorang
perempuan pribumi yang lugu dan tidak tahu apa-apa, Sanikem, yang telah dijual
oleh ayah kandungnya sendiri kepada Herman Mellema sebagai gundik demi ambisi
ayah kandungnya untuk naik jabatan. Sanikem yang terkenal dengan sebutan Nyai
Ontosoroh ternyata bukanlah sampah hina-dina seperti yang sering tergambar pada
masyarakat kolonial waktu itu. Akan tetapi berkat ajaran dan didikan tuannya,
Nyai berhasil mengembangkan perusahaan pertanian di Wonokromo, Broderij
Buitenzorg, dan orang Jawa yang punya lidah berbeda sering menyebut Buitenzorg
menjadi Ontosoroh karena Nyai Sanikem merupakan orang yang berpengaruh di
kawasan tersebut. Nyai bersama dengan Annelies (putrinya dari hasil pergundikan
yang tidak bisa disahkan oleh undang-undang kolonial Belanda sebagai anak
kandung) menjadi tulang punggung tegaknya perusahaan setelah Tuan Mellema
disingkirkan oleh Nyai. Dalam pandangan Nyai, suaminya tidak lagi dapat
dianggap sebagai manusia bermoral yang patut dihormati dan disayangi. Nyai kini
menempatkan diri seakan “macan betina” yang garang: keras, tegas, pintar dan
memiliki harga diri yang tidak luluh oleh penindasan. Lebih tepatnya Nyai
adalah manusia dengan pribadi yang mengagumkan. Pramoedya melukiskan tokoh
Sanikem yang awalnya buta huruf sebelum dijual kepada tuannya. Berkat
pengajaran tuannya, Nyai mengetahui baca tulis karena tuntutan kebutuhan
kemajuan zaman yang terus berkembang.
Pramoedya sebagai pengarang
sangatlah komplit, di sisi lain banyak yang mengelu-elukan meskipun juga tak
kalah banyak yang menghujat. Banyak karya-karyanya yang memang fenomenal
sebagai karya yang banyak bernuansa humanis. Pram adalah penulis Indonesia yang
semasa hidup paling sering disebut sebagai calon penerima nobel sastra.
Sekaligus mungkin penulis Indonesia yang paling dikenal di jagat sastra
dunia. Misalnya banyak karya-karya Pram
seperti Bumi Manusia yang telah
diterjemahkan ke dalam 40 bahasa di dunia. Dalam bingkai “bumi manusia” Pram
telah bersemayam abadi bersama dengan karya-karya lainnya.
[1] Jawa Pos, Bumi Manusia dan
Imajinasi yang mati. Sabtu 9 Juli 2018. Hal. 4.
[2]
Muhammad Rifai, Biografi Singkat
1923-2006 Pramoedya Ananta Toer, (Yogyakarat: Garasi House of Book, 2010),
hlm. 80.
[3] Jakob Sumardjo, 1985,
“Novel Sejarah Kita,” Kompas, 15 Oktober.
[4] Ahmat Adam, 1989,
Pramoedya Toer dalam Rumah Kaca,” Dewan
Sastra, Juni, hlm. 32.
[5] Prof. Koh Young Hun, Pramoedya Menggugat Melacak Jejak Indonesia,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 84.
[6] Surat Pramoedya kepada
Marjanne Termorshuizen Arts, 6 Februari 1967.
[7]
Umar Junus, 1989, Fiksyen dan Sejarah: Suatu
Dialog, hlm. 137. Menurut Umar Junus, mungkin persembahan “Panembahan
Rekso” Rendra juga menggunakan kemungkinan ini, yaitu membawa masa kini ke masa
lampau yang entah kapan dan entah di mana.
[8]
Rendra, 1981, “Si Nyai yang bikin heboh,” dalam Adhy Asmara (ed), Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia, hlm.
35.
[9]
Lihat C.W Watson , 1983, ‘Pramoedya Ananta Toer ‘s Short Stories: An Anti
Postmocularist Account,” kertas kerja untuk Fourth European Colloquim On Malay
and Indonesian Studies, Leiden, 30 Mei – 2 Juni.
[10]
Pada waktu menghasilkan Keluarga Gerilya
dan Perburuan, Pramoedya baru berusia
24 tahun. Pramoedya juga mengakui, bahwa sewaktu menjadi tahanan di Pulau Buru,
ia masih muda. Ia hanya ingin mengingat diri sendiri, dan belajar dari
pengalaman, (Lihat Rita S. Hastuti, 1980. “Apa Khabar Pram!” dalam Salemba, No. 83/th. V. 20 Feb. hlm. 6)
[11] A. Teeuw, 1980, “In
Indonesische Gevangenschap Geschreven,” de Volkskrant,
25 Oktober.
[12] Richat Hoggart,
“Literature and Society,” Mckenzie (ed.), 1966, A. Guide in the Social Science,
hlm. 226-227. 24 dalam surat kepada Farah Diba pada 6 Oktober 1980.
[13] Dalam surat kepada Farah
Diba pada 6 Oktober 1980.
[14] Jakob Sumardjo, 1985,
‘Novel Sejarah Kita,” Kompas, 15 Oktober.
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda