Catatan 3 : Ada Bola di Dadaku
Ada Bola di Dadaku
Masih
ingat lagu Garuda di Dadaku, yang
diciptakan oleh kelompok musik Netral. Dan biasa dinyanyikan oleh para
supporter Timnas Indonesia, baik anak-anak kecil, muda, tua di setiap event
sepak bola yang ada di seluruh penjuru tanah air dengan semangat menyala-nyala.
Luar biasa. Masyarakat Indonesia memang gila bola atau sangat menyukai sepak
bola. Belum lagi acara nonton bareng
di kafe-kafe, lapangan, kecamatan, warung kopi, tempat parkir, dan bahkan di
rumah masing-masing. Degup jantung dag-dig-dug, dibuatnya. Ketika Timnas kita
sedang bertanding. Rasa nasionalisme kita tumbuh hanya dari pertandingan sepak
bola. Sepak bola telah berhasil menjadi olahraga ikon nasionalisme. Seakan-akan
bagaimanapun situasinya negara, kalau pertandingan sepak bola Timnas menang pasti aman. Tak kan ada
kemarahan rakyat meski kondisi ekonomi kian terpuruk. Jawabannya hanya singkat,
yang penting Timnas kita menang. Mungkin itu terlalu berlebihan, meski Timnas
kita belum berhasil lolos ke piala dunia ajang paling bergengsi event sepak
bola di seluruh penjuru dunia.
Dan kita baru
saja usai menonton Piala Dunia 2018 dengan gegap gempita. Demamnya juga masih
tersisa. Meski masih ada yang kecewa. Jagoannya kandas. Sabar. Masih ada lagi
Piala Dunia 2022. Namun jago kita kapan ya? Timnas Indonesia. Tak usah berharap
banyak, siapa tahu bisa lolos. Dalam sepak bola semua serba mungkin. Masih
ingat tim Italia dipecundangi oleh Korea Selatan? Bahkan yang masih hangat,
Jerman sebagai juara bertahan di kandaskan oleh Korea Selatan juga dengan skor
2-0. Komplit, Korea Selatan bisa disebut sebagai Tim Jagal. Tim Jagal Korea Selatan U-19 saja juga pernah di
pecundangi Timnas Indonesia U-19 dengan skor yang fantastis, 3-2, hasil hattrick Evan Dimas. Apa yang
tidak mungkin dari sepak bola? Semua masih serba mungkin, maybe. Selama kerja keras dan terus berlatih dengan konsisten tak
mungkin tidak. Semua bisa dicapai, proses yang baik hasil tentu baik.
Sepak bola
saat ini sudah seperti nafas bagi penggemarnya. Bahkan sudah melalui tahap
fanatik. Hancur lebur membela dan memberikan semangat kepada jagoannya. Sampai
mati. Tak ingin jagoannya kandas. Saling tidak terima, kedua tim pun sering saling
menyerang. Kacau jadinya. Bentrokpun terjadi. Imbasnya ada pengrusakan
fasilitas-fasilitas umum sebagai pelampiasan rasa kesal, marah dan kecewa.
Sepak bola adalah permainan, ada kalah dan ada menang seperti cabang olahraga
lainnya. Bagaimanapun hasilnya kita harus belajar menerima dengan lapang dada.
Tim yang kalah harus terima dan yang menang juga jangan jumawa. Sikap sportif itu
harus ditegakkan setinggi-tingginya agar semuanya bisa berprestasi dengan baik,
apapun itu, bukan hanya dalam sepak bola, bahkan bisa dalam kehidupan
sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Bagi yang sangat
menyukai sepak bola, rasa-rasanya itu: ada bola di dadaku, berdegup kencang dan
berdebar-debar dalam jantung, mengalir dalam aliran darah dan menjalar ke
seluruh tubuh. Pikiran yang keluar selalu bola. Bicara selalu bola. Bola
melulu, kapan bosannya? Entah, sepak bola seperti makanan pokok ala orang
Indoensia, yaitu nasi. Dan mungkin saja kalau Indonesia masuk piala dunia,
nasipun akan ikut masuk menjadi menu piala dunia. Karena para supporter juga
pasti akan nekat ikut serta melihat dan datang memberikan semangat pada tim
jagoannya untuk bertanding. Aku memimpikan hal itu pasti seru. Seru “bingit,”
bahasa gaulnya. Agar piala dunia menjadi lengkap. Karena ada Indonesia. Negara
besar yang mempunyai jumlah penduduk hampir 250 juta jiwa, bermacam-macam suku
bangsanya, luas wilayahnya, 17.506 jumlah pulaunya tersebar di lautannya yang
luas. Pasti seru.
Sekedar mimpi
tentu saja boleh, tiada yang melarang karena mimpi sampai kapanpun belum pernah
dilarang. Dari membangun mimpi semua bisa terwujud. Bermimpilah setinggi
langit. Dari mimpi akan terobsesi menata diri dan mempersiapkan diri sebaik
mungkin, belajar dari waktu ke waktu tiada kenal lelah, demi mimpi. Masih takut
bermimpi? Asalkan mimpi yang positif.
Membangun
mimpi juga bisa dimulai dari hal yang paling sederhana. Seperti impian dalam
membangun tim sepak bola tingkat bawah, dari tingkat desa. Struktur pemerintah
paling bawah. Jangan salah, sulitnya juga luar biasa. Mempersiapkan beberapa fasilitas,
pemain, instruktur, materi, kompetisi, pertandingan uji coba, dan juga yang
lainnya. Tentu saja untuk prestasi yang baik, prestasi juara. Bukan sekedar
bermain saja, siapapun pasti bisa.
Seperti Tim
Bangilan FC, tim sepak bola dari Kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban, yang lama
telah vakum tak ada kegiatan apapun, mati suri lebih tepatnya, sampai lapangan
di rehabpun masih belum ada tanda-tanda bangkit untuk latihan seperti biasa.
Seakan-akan animo masyarakat terhadap sepak bolapun menurun drastis, dan tidak
sesuai pembahasan yang di atas, selalu mendukung tim dengan fanatik dalam tanda
kutip dewasa, sportif dan antusias. Para penggemar sepak bola Bangilan seperti
sedang lesu, ibarat sebuah perusahaan yang bertarung di pasar saham mengalami
terjun bebas, hampir pailit atau bangkrut tak ada suplai dana untuk memperbaiki
situasi atau memulihkan kondisi di pasaran.
Hancur total. Imbasnya dalam kompetisi tak mampu bersaing dengan tim-tim lain
yang lebih sehat dan segar-bugar.
Segala daya
dan upaya harus dibangun lagi. Segera. Tidak usah menunggu waktu esok atau
lusa. Sekaranglah waktu yang tepat untuk membangun tim kembali. Semua
pemain-pemain harus dikumpulkan lagi, disatukan lagi, semua umur, tim usia 12
tahun, tim usia 15 tahun, dan tim usia 19 tahun ke atas. Satukan semua dalam
satu visi: membangun dan memajukan kembali sepak bola Bangilan. Semarakkan lagi
Gelora 17 Agustus dengan kegiatan-kegiatan olah raga, sepak bola harus kembali
di tata lagi dengan baik dan tersistematis. Semua stake holder harus mendukung.
Bangilan harus punya kembali tim impian, The
Dream Team, yang bisa diandalkan
untuk bisa berkompetisi dengan baik bukan tim yang asal comot sekelas Tarkam
habis main langsung buang baik menang atupun kalah. Tapi melalui fase-fase
pembinaan yang terus berkesinambungan dengan runtut dan terukur. Meski masih
sangat sulit, bukan berarti tidak mungkin kita coba. Mencoba akan lebih baik
daripada tidak, mencoba akan mendapatkan pengalaman dan mengerti akan
kekurangan. Mencoba akan menang selangkah bagi yang tidak mau mencoba.
Sangat tidak
realistis ketika ingin menjadi juara tapi malas bekerja keras. Mulai
berlatihlah yang keras dan rutin penuh semangat. Karena menjadi juara itu
bukanlah hal yang mudah, menjadi juara sangat sulit meski hanya tingkat yang
paling bawah. Beranikah bermimpi menjadi juara pada tingkat yang lebih tinggi? Silahkan
mencoba dan berlatihlah yang keras untuk mewujudkan mimpi-mimpimu. Tentu saja
dalam hal apapun dan positif.
Bangilan, 4 Agustus 2018.
Rohmat Sholihin
Aktif di literasi komunitas kali kening Bangilan.
Label: Essai
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda