Jumat, 03 Agustus 2018

Catatan 3 : Ada Bola di Dadaku

Ada Bola di Dadaku


            Masih ingat lagu Garuda di Dadaku, yang diciptakan oleh kelompok musik Netral. Dan biasa dinyanyikan oleh para supporter Timnas Indonesia, baik anak-anak kecil, muda, tua di setiap event sepak bola yang ada di seluruh penjuru tanah air dengan semangat menyala-nyala. Luar biasa. Masyarakat Indonesia memang gila bola atau sangat menyukai sepak bola. Belum lagi acara nonton bareng di kafe-kafe, lapangan, kecamatan, warung kopi, tempat parkir, dan bahkan di rumah masing-masing. Degup jantung dag-dig-dug, dibuatnya. Ketika Timnas kita sedang bertanding. Rasa nasionalisme kita tumbuh hanya dari pertandingan sepak bola. Sepak bola telah berhasil menjadi olahraga ikon nasionalisme. Seakan-akan bagaimanapun situasinya negara, kalau pertandingan sepak bola  Timnas menang pasti aman. Tak kan ada kemarahan rakyat meski kondisi ekonomi kian terpuruk. Jawabannya hanya singkat, yang penting Timnas kita menang. Mungkin itu terlalu berlebihan, meski Timnas kita belum berhasil lolos ke piala dunia ajang paling bergengsi event sepak bola di seluruh penjuru dunia.
Dan kita baru saja usai menonton Piala Dunia 2018 dengan gegap gempita. Demamnya juga masih tersisa. Meski masih ada yang kecewa. Jagoannya kandas. Sabar. Masih ada lagi Piala Dunia 2022. Namun jago kita kapan ya? Timnas Indonesia. Tak usah berharap banyak, siapa tahu bisa lolos. Dalam sepak bola semua serba mungkin. Masih ingat tim Italia dipecundangi oleh Korea Selatan? Bahkan yang masih hangat, Jerman sebagai juara bertahan di kandaskan oleh Korea Selatan juga dengan skor 2-0. Komplit, Korea Selatan bisa disebut sebagai Tim Jagal. Tim Jagal Korea Selatan U-19 saja juga pernah di pecundangi Timnas Indonesia U-19 dengan skor yang fantastis, 3-2, hasil hattrick Evan Dimas. Apa yang tidak mungkin dari sepak bola? Semua masih serba mungkin, maybe. Selama kerja keras dan terus berlatih dengan konsisten tak mungkin tidak. Semua bisa dicapai, proses yang baik hasil tentu baik.
Sepak bola saat ini sudah seperti nafas bagi penggemarnya. Bahkan sudah melalui tahap fanatik. Hancur lebur membela dan memberikan semangat kepada jagoannya. Sampai mati. Tak ingin jagoannya kandas. Saling tidak terima, kedua tim pun sering saling menyerang. Kacau jadinya. Bentrokpun terjadi. Imbasnya ada pengrusakan fasilitas-fasilitas umum sebagai pelampiasan rasa kesal, marah dan kecewa. Sepak bola adalah permainan, ada kalah dan ada menang seperti cabang olahraga lainnya. Bagaimanapun hasilnya kita harus belajar menerima dengan lapang dada. Tim yang kalah harus terima dan yang menang juga jangan jumawa. Sikap sportif itu harus ditegakkan setinggi-tingginya agar semuanya bisa berprestasi dengan baik, apapun itu, bukan hanya dalam sepak bola, bahkan bisa dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Bagi yang sangat menyukai sepak bola, rasa-rasanya itu: ada bola di dadaku, berdegup kencang dan berdebar-debar dalam jantung, mengalir dalam aliran darah dan menjalar ke seluruh tubuh. Pikiran yang keluar selalu bola. Bicara selalu bola. Bola melulu, kapan bosannya? Entah, sepak bola seperti makanan pokok ala orang Indoensia, yaitu nasi. Dan mungkin saja kalau Indonesia masuk piala dunia, nasipun akan ikut masuk menjadi menu piala dunia. Karena para supporter juga pasti akan nekat ikut serta melihat dan datang memberikan semangat pada tim jagoannya untuk bertanding. Aku memimpikan hal itu pasti seru. Seru “bingit,” bahasa gaulnya. Agar piala dunia menjadi lengkap. Karena ada Indonesia. Negara besar yang mempunyai jumlah penduduk hampir 250 juta jiwa, bermacam-macam suku bangsanya, luas wilayahnya, 17.506 jumlah pulaunya tersebar di lautannya yang luas. Pasti seru.
Sekedar mimpi tentu saja boleh, tiada yang melarang karena mimpi sampai kapanpun belum pernah dilarang. Dari membangun mimpi semua bisa terwujud. Bermimpilah setinggi langit. Dari mimpi akan terobsesi menata diri dan mempersiapkan diri sebaik mungkin, belajar dari waktu ke waktu tiada kenal lelah, demi mimpi. Masih takut bermimpi? Asalkan mimpi yang positif.
Membangun mimpi juga bisa dimulai dari hal yang paling sederhana. Seperti impian dalam membangun tim sepak bola tingkat bawah, dari tingkat desa. Struktur pemerintah paling bawah. Jangan salah, sulitnya juga luar biasa. Mempersiapkan beberapa fasilitas, pemain, instruktur, materi, kompetisi, pertandingan uji coba, dan juga yang lainnya. Tentu saja untuk prestasi yang baik, prestasi juara. Bukan sekedar bermain saja, siapapun pasti bisa.
Seperti Tim Bangilan FC, tim sepak bola dari Kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban, yang lama telah vakum tak ada kegiatan apapun, mati suri lebih tepatnya, sampai lapangan di rehabpun masih belum ada tanda-tanda bangkit untuk latihan seperti biasa. Seakan-akan animo masyarakat terhadap sepak bolapun menurun drastis, dan tidak sesuai pembahasan yang di atas, selalu mendukung tim dengan fanatik dalam tanda kutip dewasa, sportif dan antusias. Para penggemar sepak bola Bangilan seperti sedang lesu, ibarat sebuah perusahaan yang bertarung di pasar saham mengalami terjun bebas, hampir pailit atau bangkrut tak ada suplai dana untuk memperbaiki situasi atau memulihkan kondisi  di pasaran. Hancur total. Imbasnya dalam kompetisi tak mampu bersaing dengan tim-tim lain yang lebih sehat dan segar-bugar.
Segala daya dan upaya harus dibangun lagi. Segera. Tidak usah menunggu waktu esok atau lusa. Sekaranglah waktu yang tepat untuk membangun tim kembali. Semua pemain-pemain harus dikumpulkan lagi, disatukan lagi, semua umur, tim usia 12 tahun, tim usia 15 tahun, dan tim usia 19 tahun ke atas. Satukan semua dalam satu visi: membangun dan memajukan kembali sepak bola Bangilan. Semarakkan lagi Gelora 17 Agustus dengan kegiatan-kegiatan olah raga, sepak bola harus kembali di tata lagi dengan baik dan tersistematis. Semua stake holder harus mendukung. Bangilan harus punya kembali tim impian, The Dream Team, yang bisa diandalkan untuk bisa berkompetisi dengan baik bukan tim yang asal comot sekelas Tarkam habis main langsung buang baik menang atupun kalah. Tapi melalui fase-fase pembinaan yang terus berkesinambungan dengan runtut dan terukur. Meski masih sangat sulit, bukan berarti tidak mungkin kita coba. Mencoba akan lebih baik daripada tidak, mencoba akan mendapatkan pengalaman dan mengerti akan kekurangan. Mencoba akan menang selangkah bagi yang tidak mau mencoba.
Sangat tidak realistis ketika ingin menjadi juara tapi malas bekerja keras. Mulai berlatihlah yang keras dan rutin penuh semangat. Karena menjadi juara itu bukanlah hal yang mudah, menjadi juara sangat sulit meski hanya tingkat yang paling bawah. Beranikah bermimpi menjadi juara pada tingkat yang lebih tinggi? Silahkan mencoba dan berlatihlah yang keras untuk mewujudkan mimpi-mimpimu. Tentu saja dalam hal apapun dan positif.
Bangilan, 4 Agustus 2018.
Rohmat Sholihin
Aktif di literasi komunitas kali kening Bangilan.






Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda