Senin, 30 Januari 2017

Mbak Yu Sri

Oleh. Rohmat Sholihin*
https://lylyopsida.wordpress.com/author/lylyopsida/page/5/

“Awas mbak! Gula darahmu sudah hampir mendekati 500, itu dignosa dokter Susi.” Kataku pada mbak yu Sri dengan nada serius dan penuh khawatir. “Iya.” Cukup singkat jawaban yang keluar dari bibirnya. Tak ada perasaan khawatir atau was-was sedikitpun dari hatinya, tapi bagaimana juga, memang sudah seperti itu karakter orangnya, tak pernah ambil pusing atau mikirin penyakitnya itu, Diabetes mellitus yang sudah berjalan hampir sepuluh tahun dan terus masih melakukan kontrol atau obat jalan pada dokter kesayangannya yaitu dr. Susi. Aneh memang, mbak yu Sri ini jika sudah melihat dan bertemu dengan dokter Susi hatinya tenang dan bahagia, apalagi diajak senyum oleh dokter kesayangannya itu. Hatinya berbunga-bunga dan pulang dengan senyum dan banyak omong selama dijalan. Orang-orang dalam mobil angkutan pasti diajak ngobrol dengan nyaman dan senang, padahal karakternya mbak yu Sri termasuk pendiam dan jarang senyum dengan orang. Pernah aku iseng tanya pada mbak yu Sri dirumah sewaktu ia lagi duduk-duduk diruang tamu.
“Mbak, kenapa kau begitu gembira jika mau ke dokter Susi?” Tanyaku dengan santai dan sedikit senyum.
“Orangnya baik, cantik dan pintar.” Jawabnya.
Aduh mbak yu Sri, sudah kuduga jawabanmu pasti begitu. Aku sudahi saja tanyaku karena untuk alasan baik, cantik dan pintar semua orang pasti akan menilai dokter Susi begitu. Yang membuat aku penasaran setiap kali setelah selesai berobat di dokter Susi tidak malah sedih karena urusan penyakitnya bertambah kronis tapi ia terlihat bahagia dan no problem.  Heran, aku yang menjadi khawatir ketika mendengar keterangan dari dokter Susi, pikiranku langsung melayang-layang ikut memikirkan penyakitnya itu. Meski dalam hatiku selalu mendoakan untuk kesembuhannya. Aku tak tega melihanya sakit, bagiku mbak yu Sri adalah tumpuan keluarga juga, sebagai kaki ibu, kemana-mana dan butuh apa saja ibu selalu menyuruh mbak yu Sri. Hampir urusan dapur keluarga dipercayakan kepada mbak yu Sri. Mulai memasak, membuat wedang teh, kopi. Maklum mbak yu Sri adalah anak tertua dikeluargaku. Waktu adik-adiknya masih kecil mbak yu Sri lah yang hampir mengurusi semuanya mulai dari memandikan, mencuci, menidurkan, dan sebagainya. Sedangkan ibu sudah capek membuat jajanan yang harus dijual dipasar sebagai penopang ekonomi yang serba sulit, bapak sebagai pegawai negeri golongan Ib yang gajinya masih sangat rendah. Tak cukup untuk kebutuhan anak-anaknya yang jumlahnya tujuh.
“Tak usah makan nasi beras dulu mbak!” Kataku dengan nada keras.
“Ya.” Jawabnya pelan. Tapi aku masih tak yakin dengan jawabannya karena meski ia bilang ya, masih saja ia langgar pantangan-pantangan itu. Diam-diam ia pasti mencampur nasi jagungnya dengan nasi beras, separo-separo, nasi beras juga nasi jagung dicampur.
“Bener lo ya, tak usah makan nasi beras dulu, boleh makan nasi jagung saja. Jajan-jajan yang manis juga tak boleh. Hindari dulu.” Kataku lagi dengan ketus.
Ia hanya mengangguk saja. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hanya matanya yang mengawasiku dengan penuh arti. Mengartikan sejuta kata yang sulit aku ungkapkan karena aku juga tak tahu bahasa hatinya. Namun aku bisa merasakan, betapa sedihnya ia dengan penyakitnya yang sudah kronis itu. Meski begitu, putus asa dan keluh kesah yang hampir tak pernah ia tampakkan pada adik-adiknya, anaknya, dan pada bapak-ibu juga. Dalam keadaan sakit pun masih mau membantu ibu didapur dan membeli sesuatu ditoko. Meski sudah aku ingatkan berkali-kali, tapi masih saja ia lakukan juga. Jawabnya masuk akal, “daripada menganggur lebih baik aku buat bergerak, olahraga.”
“Ya baguslah, tapi hati-hati jangan terlalu, apa-apa jika serba terlalu jadinya juga tambah tidak bagus.” Mudah-mudahan ia paham apa yang aku ucapkan dan aku maksud. Ia hanya diam saja tak bersuara, matanya saja yang mengartikan jawaban yang masih menjadi teka-teki pikiranku.
Hingga pagi dibulan Juli 2010. Kabar yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi sedikit menyedihkan. Mbak yu Sri mempunyai cucu laki-laki dari anak perempuan semata wayangnya, sehat, normal berat badannya dan normal panjangnya, namun bibirnya terbelah alias sumbing. “Astaghfirullahaladzim, semoga Allah selalu menjagamu nak.” Batinku kepada bayi yang tak berdosa ketika digendong oleh bu leknya. Aku lihat bayi itu dengan seksama, kuperhatikan bibir atasnya yang terbelah, dalam pikiranku “InsyaAllah ini masih bisa dioperasi dan dibentuk, tapi bagaimanapun juga hati siapa yang tak miris melihat buah hati mempunyai bibir sumbing?”
Mbak yu Sri juga masih tetap tenang dan tidak risau dengan keadaan cucunya yang sumbing, ia masih bisa tersenyum, mengabarkan ke orang-orang jika ia telah punya cucu laki-laki. Meski jika ada tetangga dan kerabat yang mau melihat dan menjenguk bayinya agak sedikit berat untuk bisa melihat. Anaknya masih tertekan dan merasa minder untuk memperlihatkan bayinya ke orang lain.  
“Tak boleh begitu ndok, kita tak boleh menutup-nutupi pemberian Allah. Sabarlah, suatu saat bayimu itu punya keistimewaan tersendiri, Allah menciptakan makhluknya sudah dalam pengukuran yang matang, seimbang, dan tepat.” Bicara nenek dikamar anaknya mbak yu Sri.
“Baiklah mbah, tunggu aku sampai siap menerima cobaan ini.” Jawab anak mbak yu Sri.
“Ya sudah nduk, kita harus ikhlas menerima pemberian dari-Nya. Kita syukuri saja, banyak sekarang dokter yang bisa operasi bibir sumbing, apalagi itu hanya sedikit, masih bisa dibenahi. Yang penting bayinya sehat.”  Jelas nenek.
“Ya mbah, semoga ada rezeki untuk mengobatkannya.” Jawab anak mbak yu Sri.
Semua hampir berjalan seperti biasa. Tak ada yang janggal. Hanya anak mbak yu Sri masih terlilit kekalutan hati. Merasakan kesedihan melihat anak pertamanya itu mengalami bibir sumbing. Semua merasa iba, namun mau bagaimana? Anak adalah titipan Sang Pencipta. Bagaimana bentuknya kita harus menerimanya. Meski hati terasa berat karena tidak sesuai yang kita inginkan, memang harus belajar bersabar.
Sedang musim politik pemilukada mulai ramai, dari salah satu calon ada yang menawarkan operasi bibir sumbing, dan informasi ini sampai juga ke telinga anak mbak yu Sri. Dengan semangat menyala-nyala langsung mendaftarkan diri, tanpa basa-basi, apa yang ditunggu selama ini telah tiba juga akhirnya. Semua senang dan mendukungnya. Tak menunggu lama, setelah persyaratan masuk ke panitia timses bakal calon Bupati, mereka bertiga dengan bayi yang masih mungilpun terbang ke kota Surabaya untuk melakukan operasi bibir sumbing. Namun tidak begitu bagi mbak yu Sri, ada kesedihan yang meledak-ledak dalam hatinya di saat semua merasa bahagia. Ketika anaknya, cucunya yang masih bayi, menantunya, dan suaminya berangkat ke kota Surabaya. Ia seakan-akan ditikam kekhawatiran yang sulit untuk diungkapkan, meski kutanya seribu kali tentang kecemasan yang hinggap dalam hatinya, sepatah katapun tak keluar, hanya sedikit bertanya tentang cucunya, bayi mungil itu. Dengan perasaan berat mbak yu Sri melepas mereka ke Surabaya.
“Ah bagaimana kalau mbak yu Sri ikut ke Surabaya?” Tanyaku dengan bercanda. Ia hanya geleng-geleng kepala tak mau. Aku sudah pasti tahu, mbak yu Sri tak kan mau.
“Mbak yu Sri sudah berapa lama tidak periksa di dr. Susi?” tanyaku lagi.
“Sudah lama, tapi belum ada uang untuk berobat lagi.” Jawabnya.
“Sabar Mbak, besok jika ada uang aku antarkan sendiri ke dr. Susi.”
“Iya” senyummu.
Tapi dalam hatiku seperti ada firasat buruk. Dan itu benar sepulang jam istirahat dari mengajar aku sempatkan untuk pulang ke rumah untuk sekedar melihat keadaan. Rumah terasa sepi. Biasanya mbak yu Sri duduk dikursi tamu, sekarang tak lagi tampak. “Mungkin di belakang,” pikirku. Baru saja aku taruh kontak sepeda motorku dimeja, “Gubraak”, hatiku tersentak. Dan kulihat mbak yu Sri jatuh terduduk sambil membawa bak air, ia mau bangkit tapi tak sanggup, segera kuraih tubuhnya, kududukkan dikursi belakang. Aku lihat tubuhnya semakin bertambah pucat dengan kedua matanya yang tak bisa fokus, sepertinya ia merasakan sesuatu hal yang tak bisa aku jabarkan dengan bahasa medis, sebentar tubuhnya seperti kejang-kejang, hanya hatiku menerka, “apakah ini yang dimaksud komplikasi hiperglikemia? Keadaan tubuh seseorang yang telah mengalami gula darah tinggi akut yang mengakibatkan jaringan tubuh lainnya menjadi rusak.” Kulihat lagi wajahnya mulai berangsur-angsur membaik. Kesadarannya juga mulai membaik, tapi tak bisa bertahan sejam, tubuhnya kembali seperti akan kejang-kejang lagi. Aku bingung dan menjadi sedikit panik, ku bawa ke Puskesamas terdekat. Hanya diinfus tiga hari tiga malam tak ada perkembangan namun kejang-kejangnya sedikit hilang. Dan dokter telah menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit kabupaten. “Aduh, semakin menjadi tak karu-karuan hati ini, mendengar kata rujuk.” Hatiku pasrah.
Beberapa hari sepulang dari Puskesmas terdekat, mbak yu Sri masih bisa bertahan seperti sedia kala. Kami sekeluarga merasa sedikit lega. Maklum untuk membawa ke rumah sakit pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan uang darimana?, itu yang menjadi kendala kita sekeluarga. Apalagi cucunya tercinta juga telah dibawa rujuk ke Surabaya untuk operasi bibir sumbing. Kita seakan mendapatkan musibah yang bertumpuk-tumpuk, tapi kita tidak boleh menyalahkan siapapun, semua sudah ditentukan oleh Tuhan. Patokannya, Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kapasitas kemampuan seseorang.
Hingga puncaknyapun tiba, ibaratnya kita seperti menyimpan bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Siang menjelang sore, bertepatan di rumah ada acara kirim doa untuk satu tahun meninggalnya bapak. Biasanya mbak yu Sri juga ikut sibuk membantu, tapi kali ini ia tak bisa ikut membantu, hanya tidur terbaring dikamarnya. Tidur dengan hari-hari yang menjemukan, iapun bangkit ingin melihat-lihat suasana orang yang sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk kondangan, pertama, ia berjalan dekat pintu kamarnya dengan tangan yang berpegangan pada kusen pintu. Berikutnya ia penasaran, melihat karung yang berisi beras, ia buka dan ia lihat, “oh, berasnya masih banyak,” batinnya. Ia pun kembali masuk kamarnya, namun ketika ia akan masuk ke dalam kamarnya, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, tubuhnya serasa tegang, pandangannya tak fokus, dan tubuhnya roboh ke depan, tak sadarkan diri. “Brak…” suara tubuh terpelanting ke depan, semua yang ada di rumah menjerit histeris. Darah mengalir dari mulutnya, giginya rampal, dan bagaimanapun juga ia harus dilarikan ke rumah sakit kabupaten. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya dalam beberapa menit kejang-kejang, ia mengalami koma beberapa hari dan harus di rawat ke ruang ICU. “Mbak Yu Sri semoga kau bisa tertolong.” Doaku.

Bangilan, 30 Januari 2017.
Mengenang saudara yang telah meninggal akibat penyakit diabetes mellitus.
 *Penulis aktif di Komunitas Kali Kening Bangilan.








Label:

Minggu, 29 Januari 2017

Lelaki Yang Selalu Menunggu Hari Minggu

Oleh. Rohmat Sholihin*

https://www.google.com/search?q=penulis+yang+menunggu+tulisan+untuk+dimuat&client=firefox-b-ab&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiKqq3a3ujRAhVCO48KHZGoAmMQ_AUICCgB&biw=1366&bih=657


Setiap sabtu malam, tak kunjung mata ini terpejam, hatiku selalu menunggu dalam pekat malam, dengan was-was yang mencekam, dada bergetar tak sabar menunggu, bahwa esok pagi serasa dunia aku genggam…
            Lelaki itu selalu berdandan rapi, menyiapkan diri menyambut hari spesialnya, hari minggu pagi. Ia duduk diberanda rumahnya dengan ditemani secangkir kopi lengkap dengan hidangannya, ubi rebus dan pisang goreng. Pikirannya bermain dengan embun yang masih pagi dan kicau burung prenjak yang menjentik-jentik, “mudah-mudahan minggu yang cerah ini ia muncul.” Hatinya berharap dan melirik pada arlojinya, tak sabar ia menunggu waktu. Sejuta harapan terus mengawang-awang., melukis perempuan impiannya dalam kata-kata sajak dan beberapa tulisan yang telah dirampungkannya lalu ia kirim pada koran harian yang memuat rubrik itu setiap hari minggu. Berhari-hari selalu menunggu dan menunggu ditempat biasa. Diberanda rumahnya.
            Arloji ia lihat lagi, hatinya berdetik-detik mengikuti jarum merahnya. Sinar matahari semakin nakal membakar emosi hatinya.
“Lama belum juga datang kau penjual koran.” Gerutu hatinya. Ia seruput kopi yang masih mengepul-ngepul asapnya, mencoba menenangkan emosi hatinya yang meledak-ledak. Kembali lagi melirik arlojinya. Resah, gugup, penasaran, menjadi teman setia lelaki yang selalu menunggu hari minggu. Menunggu tulisan yang ia anggap keramat. Tulisan yang mampu memberikan harapan serta kepercayaan diri bagi penulis. Tulisan bukan sekedar kata-kata tapi isi jiwa penulis itu ada.
“Koran, koran, koran, koran pak.” Suara anak remaja berteriak-teriak menjual koran mingguan.
Sontak, tubuhnya langsung bangkit dari kursi kesayangannya. Tak sabar menghampiri suara penjual koran.
“Koran, mas.”
“Ya.”
Dengan cepat ia langsung menyodorkan uang lima ribuan yang sudah ia persiapkan. Ia tarik korannya, berlalu dan duduk di kursi kesayangan dengan tenang. Ia seruput kopi dan mulai membuka halaman demi halaman yang telah ia cari. Matanya bergerak-gerak lincah sekali, tangannya membuka halaman demi halaman dengan seksama.
“Ah tak muncul lagi,” teriaknya kecewa. Hatinya mendesir, ia harus sabar yang kesekian kali untuk menunggu lagi hari minggu berikutnya.
“Sial, menunggu satu minggu lagi.” Batinnya kelu dan dahinya berkerut.
“Apa lagi yang harus aku tulis? Apa dewan redaksi juga merasakan apa yang aku rasakan?” tanya hatinya.
Kesal ia lepaskan koran dimeja, baginya tak ada yang menarik. Ia lepaskan kekesalannya pada pisang goreng didepannya, ia kunyah kuat-kuat dan ditelan dengan perasaan dongkol.
“Uh…tak apa, aku harus mencari bahan lagi, sampai dewan redaksi koran itu muak. Aku harus tulis, tulis, dan tulis lagi, bahkan ditoiletpun akan aku tulis.” Protesnya.
“Maafkan aku, jika minggu ini tulisanku belum juga muncul sayang, masih ada minggu yang lain dan mudah-mudahan bisa muncul dikoran minggu depan.” Hibur hatinya dengan mata yang mengawang-awang. Meski putus asa hinggap dalam hatinya, tapi ia tetap harus berbesar hati bahwa tulisannya masih belum layak dimuat, mungkin masih kalah bagus dengan penulis yang lain. Hingga mau tak mau ia harus terus memacu pikirannya dan niatnya serta kesungguhannya dalam membuat tulisan. Agar tulisannya berbobot dan tidak ragu ketika dibaca oleh kaum pembaca.
“Baiklah, aku harus ke toko buku mencari sumber inspirasi melalui buku-buku itu.” Hatinya penasaran. Ia pun bergegas masuk ke dalam rumahnya, ganti baju dan cabut dengan perlahan.
            Sesampai ditoko buku yang paling murah ia sibuk mencari-cari buku yang menarik. Buku dideretan novel ia lihat, buku dideretan filsafat ia lihat, buku dideretan sejarah ia lihat bahkan sampai buku-buku dideretan yang paling menjemukan yaitu perbankan dan akuntansipun ia lihat dengan seksama. Keinginannya sangat kuat ingin bisa menulis dan bisa dimuat dikoran mingguan. Ia saring-saring informasi yang ada dalam buku, mereka-reka, menganalisis, menghubungkan baris-baris kalimat agar terciptalah paragraf yang indah dan memukau. Menulis harus bisa meyakinkan pembaca, memberikan informasi yang valid untuk pembaca, penulis menganggap bahwa pembaca adalah raja, bebas mengkritik, menilai tentang sebuah tulisan, bahkan maaf, menyumpah-nyumpah jika tulisan ini benar-benar jelek atau murahan dan sebaiknya dibuang ke tong sampah. Pembaca juga kejam, tak ada nilai sedikitpun untuk menghargai para penulis yang jatuh bangun menuliskan dalam bentuk buku. Lebih kejam lagi adalah dewan redaksi yang banyak mencampakkan tulisan-tulisan yang masuk untuk tidak dimuat. Dan lebih gila lagi jika waktu bimbingan skripsi atau tesis, jika dosen pembimbing tak menyetujuinya, mau tak mau beberapa lembar halaman harus rela untuk dibuang. Sebagai penulis harus punya rasa antisipasi yang super agar tidak kalap dikemudian hari tentang sebuah tulisan yang telah dicampakkan oleh para pembacanya. Dan menjadi penulis dinegeri kita ini harus benar-benar tabah atas penghargaan terhadap tulisan kita, jika penerbit membeli karya kita dengan harga yang sangat murah, kecuali jika kita benar-benar berani menerbitkannya sendiri. Itupun laku dijual apa tidak, menarik atau tidak. Belum lagi masyarakat kita yang tak punya ambisi membaca. Penulis dinegeri ini benar-benar tak berpengharapan.
Iapun mulai mendapatkan beberapa buku yang ia pilih, kumpulan puisi terbaru, Patung di Kepala. Ada buku kumpulan cerita pendek, Stasiun Tua Dikampungku, Rindu Itu Berganti Hujan, Batu di Kepala Emak, Aku Adalah Senja, Eutanasia, Hansamu, Serangan Fajar, Pawang Hujan, Rein, Janji Suci Di Lembah Cinta, dan masih banyak buku-buku yang ia genggam.
“Ah, aku punya ide.” Bisik hatinya. Ia pun segera menyodorkan beberapa buku yang ia beli dan bergegas pulang.
            Berhari-hari ia terus berkutat dengan buku-buku, dan coretan-coretan. Ia tuliskan beberapa penggalan-penggalan cerita dalam paragrafnya. Dicoret lagi, buang, tulis lagi, coret lagi, buang, dan seterusnya seperti orang dikejar-kejar hantu. Begitu susahnya jadi penulis dinegeri yang tak menghargai tulisan. Orang mau membacanya saja, sudah untung, apalagi mau mendiskusikannya. Akhirnya ia pun lelah juga, mengambil lagi beberapa kertas yang telah dicoret-coretnya. Lalu duduk dikursi goyangnya, dengan tenang ia berusaha untuk meresapi tulisan yang telah ia buat, membacanya dalam hati, dengan tabah setabah bebatuan di kali.
“Ketemu.” Bicaranya pelan. Terlihat ada guratan puas di dahinya. Ia pun mengambil lagi berkas-berkas tulisan yang telah ia buang. Ia kumpulkan dan berusaha ia susun dengan rapi. Jadilah penggalan paragraf itu berbunyi:
“Setiap bait indah yang telah ditulis manusia, jin, atau iblis, tak kan pernah mencapai kesempurnaan. Semua tulisan itu bisa terbantahkan dengan beberapa kelemahan-kelemahan didalamnya.” Tulisanmu suatu malam di bulan purnama itu.
“Ah kau, setidaknya lebih peka dengan perasaanmu, setiap hari kau ucapkan kata-kata rindu, dendam ataupun cinta, jika kau hanya memandang satu sisi saja, percumalah ucapanmu itu.”
Ada lagi,
“Sial, sudah beberapa kali aku tulis, masih saja kau tak juga membacanya, setiap kali kau kuingatkan, lupa juga akhirnya. Bagaimana kalau kita jadi hidup bersama?, tak tahu aku, apa jadinya?, lebih baik kita bubar.”
“Apa, bubar?”
“Iya. Bubar saja mulai saat ini dan detik ini pula.”
“Aku capek dengan gaya hidupmu.”
“Bukankah cinta menutupi kelemahan dan kekurangan?”
“Iya, tapi aku lebih muak denganmu. Sedikitpun kau tak pernah menghargai usaha yang telah aku lakukan selama ini.”
“Tentang apa itu?”
“Kau tak pernah menyukai tulisan tapi kau menyuruhku membuat tulisan untuk melamarmu.”
Ia duduk diam lagi, menatap malam, bulan masih riang membiaskan sinarnya, angin masih menghembuskan nafasnya, burung hantu masih menggeluk-geluk suaranya. Dan kau tertidur juga akhirnya.
Esok paginya.
Lelaki itu selalu berdandan rapi, menyiapkan diri menyambut hari spesialnya, hari minggu pagi. Ia duduk diberanda rumahnya dengan ditemani secangkir kopi lengkap dengan hidangannya, ubi rebus dan pisang goreng. Pikirannya bermain dengan embun yang masih pagi dan kicau burung prenjak yang menjentik-jentik, “mudah-mudahan minggu yang cerah ini ia muncul.” Hatinya berharap dan melirik pada arlojinya, tak sabar ia menunggu waktu. Sejuta harapan terus mengawang-awang., melukis perempuan impiannya dalam kata-kata sajak dan beberapa tulisan yang telah dirampungkannya lalu ia kirim pada koran harian yang memuat rubrik itu setiap hari minggu. Berhari-hari selalu menunggu dan menunggu ditempat biasa. Diberanda rumahnya.
“Akhirnya, tulisan ini muncul juga.” Dengan lega ia menghirup udara dan senyum menghiasi bibirnya.
Tak berapa lama. Telepon dalam rumah berdering.
“Oh kau. Hallo sayang!, sudah baca koran pagi ini? Ada tulisanku juga. Sesuai janji kita kau bersedia menjadi pendamping hidupku jika secarik tulisanku muncul dikoran itu.”
Tak ada balasan dari telepon seberang, hanya desahan nafas dan suara tangisan dari dalam telepon itu.
“Kau kejam mas, ternyata kau selama ini hanya menginginkanku dari satu sisi saja, dan kau mengatakan ingin bubar…..”
Teeeet…..
Tak ada suara lagi.
Sepi.

Bangilan, 29 Januari 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening Bangilan.



Label:

Sabtu, 28 Januari 2017

Stasiun Tua Di Kampungku

Oleh. Rohmat Sholihin*

https://www.google.com/search?q=sketsa+cinta+stasiun+tua&client=firefox-b-ab&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwi0rPXTxObRAhVKsI8KHfpCDHkQ_AUICCgB&biw=1366&bih=657

Bangunan stasiun tua itu telah sirna. Berganti bangunan perumahan warga, tanahnya terkavling-kavling untuk berbagai macam kepentingan, ada yang dibuat rumah, ruko, dan ada yang dibuat kebun jati, kebun pisang dan kebun sayur-sayuran. Aku termangu di depan puingnya, hatiku masih merasakan getaran kereta api tua jurusan Bojonegoro-Rembang, seakan-akan suasana itu masih jelas terekam dalam ingatan. Dan mataku masih memperhatikan puing-puingnya. Ada sepotong kenangan yang tertinggal dalam puing-puing stasiun tua itu. Suatu hari aku menunggumu di taman stasiun yang penuh dengan bunga kamboja. Hembusan angin memainkan daun dan bunganya yang bertebaran jatuh ke tanah, tak kalah aroma harum bunga itu ikut terbawa. Mungkin kereta api datang di stasiun tua ini kurang lebih sejam lagi. Telat, karena harus menunggu kereta api menuju Bojonegoro di stasiun Sembung terlebih dahulu. Meski agak lama, aku harus tetap menunggumu dengan hatiku yang bertalu-talu. Dan yang kutunggu akhirnya datang juga. Dari kejauhan lokomotif tua berjalan menderu-deru dengan terompet khasnya yang memekakkan telinga. Tibalah kereta api di stasiun tua ini. Senyum manismu membuatku semakin meraju.
“Sudah lama kau menungguku mas?” tanyamu
“Baru sejam. Dan itu hal biasa dalam dunia kereta api.”
“Apa itu?”
“Terlambat.”
“Iya. “
“Lebih baik datang terlambat asalkan selamat dan utuh.”
“Apa maksudmu mas?”
“Ehm, utuh dengan senyum manismu.”
“Kau mencoba merayuku.”
“Tidak, aku hanya mengatakan sejujur-jujurnya bahwa senyummu memang manis.”
“Gombal.”
“Serius Nad!, aku rela menunggu bidadari manis di stasiun ini mulai dari pukul 15.00, dan kau baru muncul pukul 16.15. Lumayan lama kan.”
“Bidadari tak ada yang manis, yang ada cantik, mas.”
“Oh iya, ini bidadari unik, bidadari yang suka naik kereta.”
“Ha..ha..mas selalu begitu, selalu menggombal di depanku.”
“Dan tidak ada cukup bukti aku sedang gombal-in kau.”
“Sama saja mas.”
“Apanya…”
“Gombalnya.”
“Ih kau, Nadia. Kita langsung pulang, atau…”
“Makan dulu mas.”
“Di warung Kang Tarman?”
“Iya.”
“Sip.”
            Stasiun tua di kampungku itu perlahan-lahan mulai sepi. Meski masih ada satu perjalanan lagi kereta api malam dari Rembang yang akan menuju Bojonegoro, sekitar pukul 19.00 WIB. Tapi hatiku tak lagi sepi, ada Nadia di sampingku yang baru pulang dari Bojonegoro. Ia baru saja pulang dari kuliahnya yang mengambil jurusan sekolah guru. Ia perempuan tangguh meski hampir semua perempuan  seusianya telah sibuk mengurus keluarga dan anaknya, ia masih sibuk mengejar impiannya. Sedangkan aku belum punya kesempatan kuliah, tak apalah, suatu saat pasti aku bisa. Setidaknya ada niat dalam hati ini.
Di warung kang Tarman juga terlihat sepi, hanya ada beberapa anak pondok  yang sedang asyik menikmati makanan. Begitu juga aku dan Nadia.
“Tak biasanya kamu pulang Nad?, biasanya sebulan atau lebih, perasaanku baru seminggu kau sudah pulang lagi.”
“Kau tak suka?”
“Bukan, sekalian tak usah kembali lagi ke Bojonegoro juga tak apa, Nad.”
“Kau berani menanggungku?”
‘Tergantung.”
“Kok tergantung.”
“Tergantung, jika kau mau menerimaku dengan sederhana, tahu sendiri kan, statusku masih belum jelas, kerja juga belum.”
“Ah kau mas. Terlalu bicara hari esok. Hari esok itu berjalan melambat mas, masih bisa kita pikir hari ini. Biarlah esok apa kata dunia. Hidup itu lebih asyik mengikuti arus saja mas. Lebih enak dan tidak berat.”
“Relatif, Nad.”
“Itu bukan jawaban yang kusuka, mas.”
“Lantas…”
“Jadi lelaki itu yang pasti, tak usah berbelit-belit mas. Kalau iya bilang saja iya, kalau tidak ya tidak, kenapa mas harus menunggu ini dan itu dulu?”
“Keadaan Nad.”
“Memangnya keadaannya kenapa?”
“Aku belum menjadi lelaki yang mapan, aku tak ada keberanian untuk melamarmu.”
“Dan kau masih saja terus menggombal, mas.”
“Aku mencoba serius, Nad.”
“Seserius apa?”
Pertanyaan Nadia kali ini menusukku. Aku hanya diam, menatap pohon-pohon Trembesi raksasa yang tegar berdiri di sekitar area TPK (Tempat Pelelangan Kayu) depan stasiun. Aku ragu dengan diriku yang tak punya cukup nyali untuk melamarnya, hati kecilku seakan-akan ada bisikan bahwa keluarganya tak kan menerimaku. Meski hal itu aku belum pernah mencobanya.
“Mas, seserius apa?”
“Aku belum bisa menjelaskan sekarang, Nad. Maaf.”
“Ah, keluar gombalnya lagi.”
“Ini bukan gombal Nad, tapi maukah bapakmu menerimaku?, statusku sebagai kuli di pabrik kerupuk  Liem Wie Gie dan Liem Hong Kie yang gajinya kecil.”
“Keberanian tidak diukur dengan penghasilan, keberanian tetaplah keberanian, dan penakut sampai kapanpun tetaplah penakut.”
“Nad!”
“Buktikan, mas.”
Aku seperti ditendang perutku hingga limbung dan terhuyung-huyung. Nadia memaksaku untuk membicarakan hubungan yang lebih serius dengan bapaknya. Sedangkan aku tahu, bahwa bapaknya adalah orang yang berada di kampung ini. Setidaknya aku bisa menebaknya bahwa Nadia yang disekolahkan sampai perguruan tinggi pastilah bapaknya punya pilihan yang lebih baik, paling tidak seorang dokter atau sesama teman kuliahnya. Meski aku tahu Nadia menyukaiku. Tapi bermodal suka belum tentu bapaknya menerimaku.
“Baiklah, Nad. Aku akan mencobanya.”
Nadia hanya diam. Matanya menatap halaman stasiun yang masih saja sepi. Hanya ada beberapa orang mondar-mandir tak tahu tujuannya. Aku tahu ia kecewa. Aku hanya berani bertemu di stasiun untuk menjemputnya lalu aku antar dengan sepeda jengki cukup sampai di depan pasar Bangilan.
“Ehm, aku mau pulang, mas.”
“Masih mau aku antar?”
Kau hanya mengangguk tak bersemangat.
            Dan esoknya ketika ia akan balik lagi ke kota Bojonegoro, ia mengajakku bertemu di bawah pohon Trembesi dekat telaga, anginya sepoi-sepoi menerpa rambutmu yang bergoyang-goyang sendu. Sesendu wajahmu menatapku. Seakan-akan kau enggan untuk membuka pembicaraan denganku. Seperti ada gumpalan kecemasan yang menindih hatimu. Ikan-ikan yang biasanya berloncat-loncatan di telaga juga tak tampak. Hanya yuyu yang terlihat malu-malu menampakkan supitnya, matanya menatapmu seakan-akan ingin mencubitmu dan mengajakmu bercanda.
“Ada apa Nad?” aku beranikan diri lagi untuk bertanya.
“Kau tidak marah atau kecewa jika aku mengatakan hal ini padamu, mas?”
“Kenapa?.” Tanyaku cemas.
“Dari mana aku harus memulai untuk mengatakannya, mas. Aku bingung bercampur takut.”
“Sudah katakan saja!”
“Ehm, kepulanganku kemarin ada maksud dari bapak bahwa malam itu sehabis kau antarkan aku pulang dari stasiun, ada tamu dari teman dekatnya bapak, dari kota Banjarmasin yang sengaja datang ke rumah, karena ingin memintaku untuk dijodohkan dengan anaknya. Anak laki-laki semata wayangnya yang baru saja menuntaskan studinya di fakultas kedokteran di Jakarta dan saat ini sudah dinas di rumah sakit Banjarmasin.”
Tulang-tulang persendianku serasa copot, rasanya ingin ambruk, hatiku panas seakan-akan disambar geledek di siang ini, aku tak bisa berkata-kata, hanya wajahku yang senantiasa gugup menyimpan luka. Aku bersandar pada pohon trembesi raksasa, terkulai lemas dengan menatap telaga yang airnya seakan menderu-deru tersapu sang bayu.
“Kau menerimanya?” kataku lesu.
“Tak tahu mas, bapak yang mengatur semuanya.”
Dan aku semakin terpojok dengan jawaban Nadia. Sebentar lagi aku menjadi orang yang kalah, lalu menepi dengan perasaan dongkol yang menyelimuti hati seumur hidup. Apalah arti diriku bagi dia dan keluarganya?. Hanya sepotong gabus dan tak berarti apa-apa, itulah alasanku sampai saat ini aku tak punya cukup keberanian untuk melamarmu. Orang kecil yang hanya ingin mengayuh rembulan. Sampai kapanpun takkan pernah sampai. Meski mengayuh cinta tak kan pernah salah. Semua manusia berhak merengkuhnya.
“Mas, kenapa diam?”
“Aku sedang membayangkan kau akan pergi jauh dariku. Dan bisakah kau pergi dariku sekarang? Agar aku punya kesempatan untuk melukis punggungmu.”
“Mas, aku belum memberikan jawaban padanya. Kenapa kau sudah menyuruhku pergi?”
“Pergi sekarang atau pergi nanti, sama saja. Karena sama-sama pergi.”
“Katanya tadi tidak akan emosi. Kenapa sekarang malah emosi.”
Sejenak kita hanya terdiam. Mematung dan membisu, namun kereta tua jurusan Bojonegoro telah datang, dan kita masih membisu, hanya memandang semua orang yang hilir mudik menuju tempat tujuan masing-masing. Kereta api punya stasiun untuk berhenti dan berlalu, manusia punya hati untuk merasakan kenangan-kenangan yang datang dan berlalu.
“Aku tidak emosi Nad, hanya belum kuat menahan emosiku tentang kabarmu tadi. Tapi kau punya pilihan Nad, dan kau sendiri yang akan menentukan pilihanmu yang paling tepat. Aku tidak punya hak mempengaruhimu, kau perempaun berpendidikan tinggi tentunya punya kebijakan yang lebih logis.”
“Itu sama saja kau emosi, mas. Kau sanggup membawaku lari mas?”
“Dan itu bukan kebijakan yang paling tepat, hanya cara untuk menghindari saja, Nad. Namun kau punya keluarga dan aku juga punya keluarga, bukankah menikah itu juga memadukan dua keluarga?, dan paling sulit memadukan keluarga kita, Nad.”
“Lalu apa pendapatmu tentang masalah ini, mas?”
“Kau turuti saja kemauan bapakmu, Nad.”
“Apa?”
“Iya. Kau ikuti saja dulu kemauan bapakmu.”
“Kamu?”
“Biarkan aku menjadi senja yang sempat menghiasi hatimu sejenak, setelah itu pergi kembali dan menghilang dalam pekat malam.”
“Kau mulai menggombal lagi, mas.”
“Tidak.”
Beberapa hari surat darimu datang, mengabarkan kau akan menikah dan menetap di kota Banjarmasin. “Akhirnya kau jadi pergi juga, Nad.” Gumamku. Meninggalkanku sendiri mematung di stasiun tua ini.  Stasiun yang telah di bangun dengan arsitektur Kolonial Belanda itu kini di musnahkan dan tidak di bangun lagi. Begitu mudahnya orang-orang itu menghancurkannya, namun sulit untuk membangun lagi. Begitu juga perasaanku yang telah dihancurkan oleh keluarga Nadia. Bapaknya tak sudi jika anaknya punya suami hanya dari kelas kuli. Tapi aku sadar. Aku tahu, hati Nadia tak kan mudah melupakan namaku dalam hatinya. Meski bisa, tapi setidaknya namaku pernah tertulis rapi di sudut hatinya yang temaram. Dan jika kereta api yang datang silih berganti, selalu mengingatkanku pada Nadia, jika aku sering menjemput bidadari manis di stasiun tua di kampungku yang kini telah sirna bersama kenangan-kenangan di dalamnya.


Bangilan, 20 Januari 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.








Label:

Jumat, 27 Januari 2017

Mendung di Atas Kerajaan Kali Kening

Oleh. Rohmat S*


https://www.google.com/search?q=duo+ratu+mati+diracun&client=firefox-b-ab&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjijr37j-TRAhWLLY8KHXLuCHIQ_AUICCgB&biw=1366&bih=657


Disebuah daerah Kali Kening yang makmur, hiduplah dua ratu yang bijak dan adil. Dua ratu yang baik hati dan bijak ini bersahabat sejak masih kecil. Dua ratu ini mempunyai kesamaan, baik dari segi pandangan pola pikir dan watak yang selalu melindungi rakyatnya dari kesusahan dan kesulitan. Ratu yang satu bernama Ratu Tria yang mempunyai istana yang sangat indah, laksana Taj Mahal. Dan satunya bernama Ratu Sundar Banong, juga tak kalah dengan istana Ratu Tria, Ratu Sundar Banong mempunyai istana yang indah juga laksana istana Buckingham milik Ratu Elizabeth. Dua Ratu itu juga mempunyai wajah yang sama-sama cantik dan menawan. Energik pula.

Ratu Tria menguasai Kali Kening sebelah timur dan Ratu Sundar Banong sebelah barat. Rakyatnya berada ditengah-tengahnya. Rakyatnya hidup damai, makmur dan sejahtera. Dua Ratu ini selalu bekerja sama dalam mengatasi permasalahan-permasalahan rakyatnya dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya tanpa membeda-bedakan status atau golongan, tak perduli rakyat miskin atau kaya, semua rakyat Kali kening dalam pengawasan dan perlindungan dua Ratu yang kondang ini. Hidupnya mereka abdikan untuk melayani rakyat sepenuhnya sampai mereka lupa belum juga ada yang menikah. Bukan tak ada yang mau tapi rakyatnya tak ada yang berani mengencaninya apalagi sampai berani melamarnya. Uniknya dua ratu itu juga mempunyai selera yang sama, termasuk lelaki idaman bagi keduanya.
“Hai Ratu Sundar Banong! Kita lihat sekarang ini, perkembangan rakyat Kali Kening semakin makmur dan sejahtera. Hasil panen mereka semakin melimpah, hasil ternak mereka semakin jengkar, hasil perdagangan juga semakin maju, pasar semakin berkembang, bangunan-bangunan gedung juga semakin maju, banyak daerah-daerah lain ingin mengajak bekerja sama dalam peningkatan dalam segala bidang, termasuk akan menanamkan saham modalnya ke daerah Kali Kening ini.” Bicara Ratu Tria penuh diplomatis disela-sela pertemuan tertutup dengan Ratu Sundar Banong.
“Benar Ratu Tria, perkembanagan daerah kita ini sangat membanggakan, bahkan daerah-daerah tetangga kita ini akan besar-besaran menanamkan modal pada Kali Kening yang makmur ini. Dan kabarnya besok daerah tetangga akan mengirim utusan ke daerah kita ini untuk melihat-lihat situasi dan kondisi daerah Kali Kening, utusan itu langsung sang Pangeran sendiri dan juga akan tinggal beberapa hari di Kali Kening.” Terang Ratu Sundar Banong.
“Wow, pangeran. Apa mereka tak punya duta atau utusan negara, kenapa harus pangerannya sendiri yang harus berangkat? Apa mereka tak kuat membiayai utusan negara?” celetuk Ratu Tria sambil tersenyum sinis.
“Kita lihat saja dulu. Seperti apa kesepakatan dan kebijakan yang akan diambil pangeran itu. Jangan-jangan pangeran itu hanya siasat untuk meruntuhkan Kali Kening ini karena kemajuannya yang pesat.” Bicara Ratu Tria diplomatis.
“Dan tolong siapkan tempat yang layak untuk utusan sekelas pangeran, apa dia mau tinggal didaerahku apa ditempatmu? Terserah.” Bicara Ratu Tria lagi.
“Baiklah Ratu Tria, akan aku atur semuanya bersama ajudan-ajudanku.” Jawab Ratu Sundar Banong.
“Siapa nama pangeran itu?” Tanya Ratu Tria sedikit penasaran.
“Namanya pangeran AR Hirusugi.”
“Apa itu AR?”
“Tak tahu, mungkin itu gelar kepangeranan dari kerajaan tetangga.”
“Nama aneh, tapi aku semakin penasaran dengan pangeran itu. Dari namanya saja, mengingatkan aku pada kaisar yang suka pedang.”
“Bukan hanya pedang tapi juga topeng hitam dengan senjata yang aneh-aneh, ada senjata bintang, panah, obat peledak menghilang, sarung tangan pemanjat, dan masih ada lagi senjatanya yang tak pernah diketahui oleh musuhnya.”
“Oh seperti Ninja.”
“Iya, Ninja. Hati-hati, mereka pandai menyamar seperti hantu.”
“Kita tunggu saja besok. Jika ia macam-macam, kita suruh Mahapatih Dino Jumantha memberi pelajaran padanya.”
“Betul, dan suruh pelayan Auliya untuk memata-matainya. Biasanya seorang pangeran akan mudah terkecoh dengan seorang perempuan sehingga informasi-informasi dapat kita ketahui.”
“Setuju.”
“Baiklah, aku akan kembali ke Istanaku.”

Pagi yang cerah, secerah rakyat Kali Kening yang selalu giat bekerja, sawah-sawah yang subur membentang dengan sungai Kali Kening yang melingkarinya berkelok-kelok seperti ular raksasa yang menjaga dari tangan-tangan yang akan merusak. Sungai yang menjadi sumber kehidupan rakyat Kali Kening yang damai dan sentosa.
Pangeran AR Hirusugi dengan tenang duduk manis di kereta kencana dengan kuda-kuda poninya yang gagah dan berwibawa. Berlari berjingkrak-jingkrak seperti penari balet, mempesona, diiringi beberapa pengawal yang juga tak kalah gagah dengan menaiki kuda-kuda yang terlatih menyusuri jalan-jalan yang penuh dengan sawah dan bukit-bukit yang menghijau. Pangeran AR Hirusugi dan pengawalnya telah memasuki daerah Kali Kening yang asri dan aman. Pangeran AR Hirusugi langsung menuju Alon-Alon kota Kali Kening untuk menghadapa Ratu Tria di Balai Paseban Agung.
“Selamat datang pangeran! Selamat datang di kota Kali Kening, semoga pangeran bisa menikmati suasana Kali Kening ini. Dan semoga kita menjadi mitra yang baik untuk membangun hubungan kekeluargaan melalui perdagangan dan sebagainya.” Sambut Ratu Tria beserta seluruh pembesar-pembesar Kali Kening yang telah hadir dan ikut menyambut sang pangeran AR Hirusugi. Ada Mahapatih Dino Jumantha, ada penasehat kerajaan Joyojuwoto, ada panglima perang Kafabiha, ada Mpu kerajaan Rosho, ada juru bicara kerajaan Raden Mas Ikal dan masih banyak lagi yang berkumpul di Balai Paseban Agung untuk menyambut Pangeran AR Hirusugi.
“Terima kasih, terima kasih Ratu, hamba berikan hormat yang sebesar-besarnya untuk kerajaan Kali Kening yang luar biasa ini, dan kami sampaikan salam dari Baginda Raja Faqih dari Kerajaan Elas untuk sang Ratu yang baik hati dan jelita ini.” Balas Pangeran AR Hirusugi dengan gaya flamboyan dengan memegang tangan sang Ratu lalu menciumnya dengan perlahan.
Ratu Tria tak berkutik, ia kaget, hanya nafasnya yang kembang kempis merasakan ciuman hangat sang Pangeran AR Hirusugi yang tampan tiada banding. Seluruh pembesar-pembesar kerajaan kaget setengah mati menyaksikan keberanian dari Pangeran AR Hirusugi yang penuh gaya dan mengesankan itu, sangat cocok dengan ketampanannya. Ratu Tria masih berdiri mematung seakan-akan tubuhnya terbang ke langit tujuh ketika tangannnya di sentuh oleh sang Pangeran AR Hirusugi. Sesaat Ratu menatap ruang dengan mata kosong, hatinya bingung seketika menyaksikan gaya dan aksi Pangeran AR Hirusugi yang sangat mengesankan. Benar-benar hati sang Ratu menjadi gundah gulana. “Benar-benar seorang Pangeran idaman.” Batinnya.
“Eee..ee…silahkan duduk, silahkan duduk Pangeran.” Kaku bicaranya dengan kegugupan yang nakal menggoda hatinya. Begitulah hati seorang perempuan yang sulit menghilangkan kegugupannya disaat ia melihat sesuatu yang mengagetkan. Kepanikan hatinya sulit dijinakkan. Menatap wajah Pangeran AR Hirusugi saja tak berani, hanya hatinya yang meronta-ronta. Bingung tiada terkira. Balai Paseban Agung seperti kena teror, semua dalam keadaan mencekam, terbawa hati sang Ratu yang kasmaran, jatuh hati pada pandangan pertama. Langkah bagus bagi sang Pangeran untuk menaklukan hati sang Ratu yang juga jelita tiada tara. Ramah tamah di Paseban Agung hanya sebentar, karena Pangeran harus istirahat dan kemudian melakukan pertemuan di ruangan khusus sang Ratu. Dan setelah itu harus melakukan perjalanan lagi menuju Istana Kerajaan Kali Kening sebelah barat milik Ratu Sundar Banong. Satu kerajaan dengan dua Ratu yang cantik jelita. Disela-sela istirahatnya, “aku harus bisa memikat dua Ratu yang jelita ini. Setelah itu baru kerajaannya. Aku tak mau berlama-lama menjadi pangeran jomblo, meski semua orang mengatakan aku tampan dan sebagainya tapi tetaplah aku belum punya istri, dan itu memuakkan, semua orang-orang masih menganggap aku sebagai pangeran jomblo. Aku harus mengakhiri musibah paceklik ini, yaitu menunggu dan mencari-cari perempuan sekelas ratu yang belum aku temukan” Pikirnya. Tak lama ia istirahat akhirnya terlelap juga.

            Esoknya ia berada satu meja perjamuan makan malam yang telah dipersiapkan oleh Ratu Tria dengan super mewah. Berbagai macam menu masakan terbaik kerajaan Kali Kening disajikan. Ratu Tria yang duduk berhadap-hadapan dengan Pangeran AR Hirusugi menjadi kikuk, seperti orang linglung tak berkutik melihat pesona Pangeran AR Hirusugi. Hingga ia lupa tidak mengambil makanan didepannya.
“Maaf sang Ratu, apa yang harus hamba makan ini, dari tadi sang Ratu belum mempersilahkan hamba untuk mencicipinya.” Bicara Pangeran AR Hirusugi.
“Maaf, silahkan, silahkan dinikmati hidangan ini.” Balas Ratu Tria dengan rasa malu dengan wajah tertunduk.
“Baiklah Ratu, terima kasih.”
Setelah perjamuan makan usai, Pangeran AR Hirusugi melanjutkan agenda pertemuannya dengan Ratu Sundar Banong di wilayah kerajaan Kali Kening sebelah barat. Ada kecemasan dihati Ratu Tria ketika Pangeran AR Hirusugi akan berangkat menuju ke istana Ratu Sundar Banong.
“Pelayan! Panggil Mbah Rosho kemari,sekarang juga.” Teriak Ratu Tria.
“Baik, siap laksanakan Ratu.”
“Cepat!”
“Ada apa Ratu? Ratu memanggil hamba?” Tanya Mbah Rosho tenang.
“Siapkan racun terbaik yang pernah kau racik!”
“Untuk apa Ratu?”
“Tak usah banyak tanya, silahkan siapkan, besok akan aku gunakan.”
Dengan gugup Mbah Rosho mejawab dengan terbata-bata, “baiklah Ratu.”, meski dalam benak Mbah Rosho tanda tanya besar, “jangan-jangan Ratu Tria akan bertindak jahat kepada Ratu Sundar Banong. Dan ini pasti masalah hati.” Cemas  hati Mbah Rosho.
“Pelayan! Panggil Kakang Joyojuwoto kemari!”
“Siap.”
“Ada apa Ratu?” Tanya Joyojuwoto.
“Besok aku akan berangkat ke istana Ratu Sundar Banong untuk membahas agenda bersama Pangeran AR Hirusugi dan Ratu Sundar Banong, besok kau temani aku, untuk istana aku perintahkan Panglima Kafabiha untuk menjaganya, dan Mahapatih Dino Jumantha juga ikut serta.”
“Baik Ratu.”

            Tak lama, Pangeranpun sampai di istana Sundar Banong yang tak kalah indah dan megah dengan istana Ratu Tria. Pertemuanpun dimulai. Apa yang telah dihadapi oleh Ratu Tria juga sama yang dihadapi oleh Ratu Sundar Banong, yaitu jatuh hati pada pandangan pertama. Ratu Sundar Banong termehek-mehek melihat gaya dan ketampanan Pangeran AR Hirusugi. Hingga ia mempunyai pemikiran yang sangat jahat. “Jika Ratu Tria menginginkan Pangeran AR Hirusugi ini, kau akan kusingkirkan. Aku yakin Ratu Tria pasti juga merasakan hal yang sama, bukankah ia juga mendamba seorang suami seperti pangeran AR Hirusugi ini. Seperti juga aku, kita buktikan siapa yang lebih pantas menjadi istrinya. Kau atau aku?” Batin Ratu Sundar Banong.
Begitu juga Pangeran AR Hirusugi juga tertarik dengan keelokan Ratu Sundar Banong.
“Akhirnya rezeki datang juga, dua-duanya cantik. Aku harus mendapatkan kedua-duanya.” Batin Pangeran dan tersenyum penuh percaya diri.

            Pertemuan penting di istana Ratu Sundar Banongpun dimulai. Semua pasukan kedua kerajaan juga ikut disiapkan untuk berjaga-jaga. Ada beberapa ruang yang telah disiapkan oleh tim panitia kerajaan Kali Kening Barat dibawah Ratu Sundar Banong. Ruang pertama hanya untuk tiga pemimpin, Ratu Tria, Ratu Sundar Banong, dan sang Pangeran AR Hirusugi. Ruang kedua untuk pejabat-pejabat kerajaan, dan ruang ketiga untuk para tokoh-tokoh masyarakat Kali Kening.

            Saat ini pertemuan akan dimulai dari pertemuan diruang pertama. Ratu Sundar Banong mempersilahkan pada Ratu Tria dan Pangeran AR Hirusugi segera memasuki ruangan. Dan sebelum memulai rapat kedua Ratu itu berpelukan hangat sekali, seakan-akan mereka berdua lama tidak bersua.
“Silahkan Ratu Tria, selamat datang diistanaku ini dan istana milik rakyat Kali Kening, baik wilayah timur maupun barat. Dan selamat datang juga Pangeran AR Hirusugi.” Sambut Ratu Sundar Banong ramah. Tak ada jawaban dari Ratu Tria, hanya anggukan dan senyum penuh persaudaraan.
“Terima kasih. Semoga kebersamaan ini selalu terjaga selamanya.” Jawab Pangeran AR Hirusugi dengan senyum yang menawan.
Rapatpun dimulai, ada banyak agenda dan perkembangan isu telah mereka bahas, hingga tuntas. Pangeranpun meninggalkan ruangan pertama. Dan bersiap-siap rapat lanjutan diruangan kedua setelah makan siang.
“Kau menyukainya Ratu Tria?”
“Ah, kau ini mengada-ada Ratu Sundar. Sedikitpun tak ada.”
“Bagaimana kalau dia untukku? Kau merestui?”
“Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak memikirkan hal itu, kita sudah berjanji untuk menjomblo selamanya demi kemakmuran rakyat dan keadilan rakyat kita.”
“Tapi itu dulu dan sekarang semua telah terwujud, rakyat hidup sejahtera, adil dan sentosa. Aku capek, aku butuh teman pendamping hidup. Aku kesepian.”
“Cukup. Tak ada hak aku sekarang melarangmu, karena aku sudah menduga pasti akan begini jadinya.”
“Maaf aku hanya manusia, aku bukan dewa, aku butuh hidup seperti manusia lainnya, punya suami, bahkan punya keturunan untuk masa depan kerajaan yang besar ini.”
“Baiklah, itu semua hakmu, hanya saja mungkin kita sudah beda pendapat tentang cita-cita kerajaan ini.”
“Bukan begitu, setidaknya ini perlu juga kita pikirkan bersama.”
“Bukankah sudah jelas, sekarang kita sudah beda? Untuk apa lagi kita menyatu dan membangun koloni.”
“Bukankah perbedaan adalah rahmat?”
“Iya, aku tahu, tapi dulu kita pernah berjanji dan bersemedi di Lembah Cinta, bahwa kita tidak mengenal apa itu cinta? Hingga kita berikrar untuk selalu sama dalam hati dan pikiran untuk membangun Kerajaan Kali Kening ini menjadi makmur.”
“Baiklah, akan aku pikirkan lagi, mari kita bersulang untuk Kerajaan Kali Kening yang jaya ini.”
Merekapun menenggak secawan minuman sirup merah delima.
“Kurang ajar! Kau meracuniku. Keparat, kau licik, kau pengkhianat. Busuk!” Teriak Ratu Sundar Banong dan jatuh ke lantai dengan busa yang keluar dari mulutnya.
“Ha…ha…mampus kau Ratu Sundar Banong, kau tak lagi teman koloni yang menyenangkan, kau pantas mampus. Dan Pangeran AR Hirusugi jadi milikku.” Teriak Ratu Tria.
Tidak lama.
“Tapi, kita telah ditakdirkan punya kesamaan sewaktu bersemedi di Lembah Cinta, jangan-jangan kau meracuniku juga, ah, keparat, ternyata persamaan juga ada kelemahannya. Dan kita memang tidak semua harus sama.” Sekejap ia tersungkur juga ke lantai dengan busa mengalir dari mulutnya.

            Tak tahu apa yang terjadi pada kerajaan Kali Kening dikemudian hari. Rakyat yang telah hidup makmur harus tahu bahwa dalam perbedaan bersikap itu penting. Dan kejayaan hanya bersifat sementara.

Bangilan, 28 Januari 2017.

*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening.















           



Label:

Selasa, 24 Januari 2017

Tertikam Liarmu

Oleh. Rohmat S*

https://tesotak.wordpress.com/2015/08/10/menundukan-neocortex-limbic-dan-brainstem/

Jika aku pikir lebih dalam, aku hanyalah korban pemikiran liarmu. Kepalaku  hampir terisi penuh otak nakalmu. Menari-mari setiap hari, berjibaku hampir semua dengan gayamu. Lama-lama pikiranku juga terasa tak berdaya, hampir setiap ruangnya selalu kau penuhi ide liarmu. Mulai cara berfikirnya, persis seperti yang kau kemukakan melalui teori dan dalih yang ada. Apa manusia hidup hanya menjadi korban manusia terdahulu yang lebih dulu ada dan menempati ruangnya? Bisa juga. Manusia sekarang hanya menlanjutkan program-program otak manusia sebelumnya. Apapun itu. Mulai berbagai macam ilmu beserta terapannya. Manusia sekarang lebih banyak mengembangkan dan terus mengembangkan hingga tak ada batasnya. Manusia benar-benar seperti dewa. Hidup serba mudah. Tak ada yang sulit. Ingin apapun tinggal klik. Jadi deh.
Namun, bukan berarti tak ada kelemahan, bahkan banyak kelemahannya. Karena semakin manusia berfikir sempurna, semakin banyak kekurangannya, dan selalu saja ada hal yang diperbaikinya. Tak pernah usai. Manusia hidup seperti membuka lembaran baru atau seperti baru bangun tidur dan membuka jendela, melihat matahari, menghirup udara, lalu mandi. Apa yang telah ia kerjakan, seperti dari awal lagi. Begitu seterusnya. Seperti para penulis yang telah bekerja dengan menghabiskan banyak huruf, kata-kata, kalimat, hingga paragraf, beratus-ratus lembar kertas, bahkan ribuan, masih saja ada yang kurang untuk dituliskan. Betapa alam ini sungguh rumit, tak cukup hanya untuk ditulis, dilukis, bahkan dikritisi hanya dengan nalar seorang manusia. Seperti cerita tak harus diakhiri dengan titik dan koma. Selalu berlanjut bertalu-talu, sungguh ironis jika seorang penulis mematikan tokohnya dengan mudah, sesuka hati, bahkan dengan egois memainkan kata-kata tanpa harus berteduh  pada efek samping pembaca.
Tapi manusia punya kebebasan untuk menuliskan apapun. Sesuai apa yang ia lihat, ia hirup, ia dengar dan ia rasakan. Secuilpun manusia tak punya hak untuk membatasi tulisan seseorang, apa yang telah ia tulis merupakan penalaran dari ide yang menggumpal dalam pikirannya. Dulu, orang jahiliyah, disebut orang bodoh, bukan berarti mereka buta huruf namun karena karakter mereka yang bejat, kurang manusiawi sehingga disebut orang jahiliyah, dimana norma-norma kemanusiaan mengalami kemerosotan yang tajam. Demoralisasi lebih tepatnya. Perempuan dikubur hidup-hidup, membunuh orang, melakukan penipuan hal yang biasa, memakan hak milik orang lain, bahkan melakukan pelecehan-pelecehan terhadap kaum perempuan menjadi hal yang biasa terjadi. Hingga Allah mengutus seorang nabi yang tidak bisa membaca untuk memperbaiki akhlak masyarakat Arab dengan misi membawa panji-panji Islam sebagai agama yang rahmatallilalamin. Tak ada batas perbedaan bagi seorang manusia untuk memperbaiki kualitas hidup bagi siapapun meskipun dari orang yang awalnya dianggap remeh dan kurang mendapatkan kehormatan terlebih dahulu. Memperbaiki kualitas hidup tidak harus menunggu menjadi pejabat, orang penting, atau orang yang telah mempunyai kedudukan penting. Semua kelas manusia punya kedudukan yang sama. Hanya yang membedakan adalah kualitas iman dan ketaqwaan terhadap sang kholiq yang menciptakannya.
Manusia punya potensi-potensi unik jika berhasil dikembangkan dengan merata. Dunia akan selesai. Manusia hidup juga ada saling bertentangan, bermusuhan, tiada henti karena mereka hanya mencari identitas kesamaan. Sehingga saling sepakat menyudahi perselisihan karena sudah sepakat sama. Selesai. Namun, tidak cukup begitu. Manusia dengan hatinya ingin menguasai terhadap sekelilingnya bahkan dirinya sendiripun juga akan dikuasai. Benar-benar keterlaluan. Meski manusia itu sangat sulit untuk menguasai dirinya sendiri, selalu saja setiap hari dirundung kelalaian. Berapa seringkah anda lalai dalam sehari? Hitung sendiri.
Sudah menjadi hal yang biasa, jalan pikiran manusia yang unggul pasti akan mempengaruhi pikiran manusia lainnya. Saling belajar antara yang satu dengan yang lain. Namun, yang cerdas akan bisa dengan mudah menangkap jalan pikiran orang yang ada didepannya. Meski harus melalui saling kritik maupun beda pendapat. Dari perbedaan itu kita bisa melihat akhir atau muara arah berfikirnya. Sebenarnya tak usah risau, tapi orang yang punya kepentingan dan kekuasaan bahwa perbedaan akan bisa menjadi boomerang baginya. Kecuali jika perbedaan adalah sudut pandang untuk bercermin. Tak ayal, kemungkinan itulah watak manusia yang punya naluri untuk memimpin.
Kembali ke awal. Bahwa pikiran liarmu itu, bukan hanya aku yang jadi korbannya. Tapi hampir manusia penghuni planet bumi ini seperti terserang pikiran-pikiran liarmu, mewabah seperti virus, membabi buta, tak pandang bulu. Kejam.
Bangilan, 24 Januari 2017.

*Penulis masih bergentayangan di Komunitas Kali Kening.

Label:

Sabtu, 21 Januari 2017

“Membungkam Kata-Kata”

Oleh. Rohmat S*

http://galerirupa.blogspot.co.id/2013/03/api-wiji-thukul-masih-mnyala-payung.html

Senja mulai memudar, cahayanya perlahan-lahan hilang, tertelan pekat malam. Angin hilir-mudik meniupkan aroma rindu pada sepotong kenangan. Ketika kau datang mengendap-endap, mengetuk pintu kamarku malam itu.
“Boleh aku masuk?”
“Siapa?”
“Wiwid.”
Aku terkejut mendengar nama itu. Tapi disisi lain hatiku, terendap penasaran yang menggila. Tanpa basa-basi lagi, dan serentak aku pegang gagang pintu dan segera kubuka.
“Wiwid.” Sapaku.
“Sssstttt, boleh aku masuk dulu, kawan?”
“Oh iya, silahkan. Syukurlah kau masih bugar, Wid.”
“Iya.” Tanpa ragu, sejenak kita berpelukan, mendekap hangat persaudaraan.
“Kemana saja kau, Wid? Kau tak lagi aman.”
“Aku tahu, tapi dalam hatiku semakin meronta. Mengobarkan semangatku dan menampar-nampar batinku agar aku terus melawan, memperjuangkan kata-kata, bahwa ketidakadilan harus ditegakkan, dan hanya ada satu kata, lawan!”  
“Tapi,…”
“Biarkan ketapi-tapian itu pergi saja, aku tidak takut pada tapi,”
“lalu.”
“Aku akan menjadi bintang dilangit, cahayaku sulit untuk diusik, meskipun mereka mengejarku, menembakku dengan peluru tajamnya, aku akan tetap bersinar dengan cahaya dan kata-kataku sebagai manusia yang telah ditindas oleh kelaliman.”
“Setidaknya kau mencari tempat aman dulu, Wid.”
“Disini sudah aman, sobat.”
“Tapi,…”
“Tak usah kau risaukan lagi tentang tapi itu. Aku sudah cukup aman disini.”
‘Tidak untuk selamanya.”
“Siapa takut?”
“Ah kau ini, Wid. Kau adalah kata-katamu dalam mulutmu itu. Keluar seperti peluru dan berteriak seperti hantu.”
“Hantu, seperti perbedaan dinegeriku ini. Perbedaan seperti hantu. Hanya penguasa tiran yang menganggap perbedaan adalah hantu.”
“Cukup, Wid.”
“Kenapa?”
“Istirahatkan dulu kata-katamu itu. Kita bisa minum teh manis atau kopi sejenak, setelah itu kau rajut lagi kata-katamu itu.”
“Baiklah, minum teh dan kopi bersama seperti ini yang tidak pernah diajarkan dalam hinanya kekuasaan yang penuh penindasan. Karena semua telah dibuat ketakutan. Orang-orang tak boleh berkumpul, mengeluarkan pendapat, berdemokrasi, saling mengkritik, hampir susah kita temukan lagi, negeri kita telah berubah menjadi negeri tiran.”
“Stop. Kita minum teh dan kopi dulu.”
“Baiklah, setidaknya aku berhenti jika suara-suara penindasan ikut berhenti pula.”
“Setop, Wid.”
“Ah kau…”
“Apalagi…”
“Tidak. Hanya ingin menatap punggungmu sejenak, sobat. Karena esok sebelum fajar aku sudah berpamitan, pergi menembus tapal batas ketakutan, ketakutan dari kemerdekaan yang telah dirampas.”
“Kemana?”
“Delapan penjuru, agar mereka tak bisa menangkapku. Dan aku titip kata-kata, tolong sampaikan istri dan anak-anakku, bahwa esok ia akan mengerti bahwa bapaknya adalah seorang pemberani. Berani melawan tiran yang tega membunuh rakyat-rakyatnya sendiri.”
“Ah, sebaiknya kau hentikan amarahmu dulu, Wid.”
“Tidak, amarahku telah sampai pada pucuk nadiku, kata-kataku harus terus bicara, perlawanan adalah perlawanan, diujung dunia yang keluar tetaplah perlawanan, kata-kataku adalah kau, rakyat yang tertindih beban penguasa, penguasa yang ingin selalu berkuasa, tamak dan rakus memakan keringat rakyatnya. Mulut mereka ditutup rapat-rapat dengan bedil dan senapan agar suara mereka menghilang, membisu, suara-suara telah disumbat.”
Aku diam, hanya menatap kedua matanya yang masih menyala-nyala tapi teduh, karena menyimpan kebenaran dalam hatinya. Wajahnya tetap kurus namun batinnya sehat melebihi seukuran normal manusia lainnya. Karena hatinya peka dan merdeka. Tak takut menghadapi 1000 peluru yang telah menghadangnya. Teh yang aku hidangkan padanya telah ia minum dengan nikmatnya. Aku tahu bahwa dirinya tertelan kekhawatiran dan kecemasan. Aku takjub padanya, Tuhan menciptakan makhluk seperti kau dengan kelebihan yang memukau, pensil dan kertas putih bisa kau sulap seperti roh yang mampu menyuarakan perlawanan, kata-kata yang kau tulis dengan sederhana menjadi tameng jiwa-jiwa merdeka, merdeka dari rezim tiran yang kejam. Bahwa kata-kata yang kau lesakkan seperti peluru. Menembus batas imaji jiwa.
“Apa perlu aku belikan roti, nasi atau?”
‘Tak usah, sobat. Aku hanya mampir sejenak, titip pesan yang telah aku tulis ini meski kurang rapi, aku hanya titip kata-kata, suatu saat nanti pasti berguna.”
“Hendak pergi kemana lagi, Wid?”
“Biarkan angin segar membawa jiwaku pergi dari kota ke kota, desa ke desa, pulau ke pulau, bahkan kalau perlu langit ke langit.”
“Wid.”
“Iya.”
“Kau bisa tinggal disini untuk beberapa hari, Wid.”
“Tidak, terima kasih, karena para serigala akan selalu mengintaiku. Mereka akan mencabik-cabik tubuhku, menghisap darahku, dan membakar tulang-tulangku.”
“Tenanglah, aku dan kawan-kawan bisa memberikan perlindungan padamu.”
“Dengan cara apa?”
“Advokasi.”
“Advokasi telah juga dimatikan, yang ada disikat habis. Boleh kau bela aku hari ini dan seterusnya, tapi besoknya lagi, kau akan menemukanku dalam keadaan tak bernyawa dengan tubuh telanjang, tergeletak diperempat jalan, jembatan, atau juga di pasar.”
Aku merinding mendengarnya, ketakutan mulai menyelimuti, kekhawatiran mulai menyeruak bahwa esok adalah harapan hidup yang tipis, satu hembusan nafas adalah satu langkah menuju kematian. Seakan-akan kita ingin menuntaskan segala keluh kesah malam ini dengan diselimuti kabut tipis dari lembah merapi.
“Kau diam, sobat. Takut?”
“Aku bayangkan keselamatanmu, Wid.”
“Ah tak usah kau bayangkan, aku adalah bagian dari rakyat yang menyuarakan perbedaan, dan suara rakyat adalah suara tuhan, siapa menentang suara tuhan, jatuh juga akhirnya.”
“Berhenti, Wid!”
“Ada apa?”
“Ada yang datang.”
“Siapa?”
“Sebentar.” Aku mulai mengendap-ngendap membuka sedikit tirai jendela, ku lihat ada beberapa orang sedang berdiri di pinggir jalan dengan pakaian preman. Kulihat kakinya bersepatu, bertopi dan berjaket. Ada kumis tebal menghiasi atas bibirnya. Berjalan tegap menuju halaman rumah kontrakanku.
“Aku tak mengenalinya, Wid. Bisakah kau pergi dari pintu belakang dan kaburlah, hati-hati karena mereka juga berjaga-jaga di belakang.” Suaraku pelan.
“Baiklah, kira-kira ada berapa orang, oh iya, maaf aku titip catatan ini, simpanlah dengan baik, jangan sampai terlihat oleh antek-antek penguasa, apalagi sampai dirampasnya, kau juga akan ikut tersangka.”
“Baiklah, Wid. Yang terlihat ada tiga tapi tak tahu mungkin ada yang lain.”
Kau tak menjawab hanya diam dengan sedikit kegugupan.
“Selamat jalan. Semoga selamat.” Aku dekap tubuhnya dengan hati yang berdetak cepat, melepas kepergianmu, keringatmu masih bercampur dengan kata-katamu yang bau, bau bagi penguasa yang bermulut serigala. Aku temukan kegusaran di dahimu meski kau tetap tenang.
“Aku pergi, sobat.” Katamu pelan, sepelan kau mengatupkan kelopak matamu yang mulai lelah.
“Hati-hati.” Jawabku perlahan.
Kau berjalan setengah berlari menuju pintu belakang. Sejenak sepi, hanya ada suara pintu diketuk tiga kali dari luar. Aku masih berdiri mematung di kamar, bingung mencari tempat aman untuk menyimpan sebuah catatan. Waktu semakin sempit, pintu semakin diketuk-ketuk, tak ada pilihan lagi, kulemparkan catatan itu ke atas atap plafon kamar.
“Siapa?”
“Polisi.”
Dengan ragu-ragu, pintu aku buka, dengan kecemasan yang berusaha aku sembunyikan, meski dada seakan sesak menahan detak jantung yang mendesir cepat.
“Iya, silahkan, ada yang bisa saya bantu, bapak?”
“Maaf mengganggu mas, mau tanya, apakah ada orang menginap disini, mungkin teman atau saudara?” tanya Polisi dengan penuh menyelidik.
“Maaf, tak ada bapak. Aku tinggal dengan ibu kos yang berada disebelahnya ini, biasanya ramai, tapi ini sedang musim liburan semester, jadi sepi, semua pada pulang ke kampung masing-masing. Bapak hendak mencari siapa?”
“Seseorang, buron pemerintah.”
“Salah apa?”
“Meracik kata-kata makar.”
“Makar? Seperti apa kata-katanya, kalau boleh tahu, bapak.”
Polisi itu hanya diam tak menjawab. Matanya melirik kesana-kemari.
“Boleh aku masuk?”
“Untuk apa?”
“Menggeledah rumah ini.”
“Tak bisa, disini tak ada siapa-siapa, apa jaminannya, bapak? Ada surat tugas.” Tanyaku sedikit mengulur-ulur waktu agar Wiwid punya kesempatan untuk berlari jauh.
“Apa, surat tugas? Kau mau melawan tugas negara.”
“Aku hanya tanya, apa jaminannya?”
“Minggir!”
“Tak bisa, ini adalah rumahku, kau tak berhak menggeledah rumah orang meskipun bapak adalah aparat negara, tapi mana buktinya?, surat tugas saja tidak ada, bahkan hanya memakai pakaian preman. Bisa-bisa bapak adalah penjahat yang akan bermaksud jahat, aku bisa tuntut bapak.”
“Mau minggir, atau aku obrak-abrik rumah ini!” Ancam orang berpakaian preman.
“Bapak mengancamku.”
Tak ada jawaban, hanya ada dorongan yang keras padaku dari anggota yang satunya, aku terjerembab jatuh, dan sebelum bangun tanganku telah dibekuk, tak berkutik, hanya nafasku yang tersengal-sengal menahan sakit.
“Geledah! Cepat!” Perintah atasannya itu. Dan tanpa pikir panjang kedua anak buahnya masuk ke dalam kamar dan kemudian keluar lagi.
“Tak ada siapa-siapa, pak.”
“Cari di belakang!”
“Siap pak!”
Tak lama melapor lagi.
“Tak ada siapa-siapa pak. Hanya pintu belakang seperti habis dibuka.”
“Kau menyuruh lari dari belakang.” Tanya komandan padaku dengan nada mengancam.
“Apakah begini tugas seorang aparat, sukanya main ancam. Itu tadi saya dari belakang, buang air kecil, lalu aku tergopoh-gopoh membuka pintu karena kau yang mengetuk.” Jawabku.
“Bawa ke kantor!” Dengan kasar akupun di bawa ke kantor. Aku tetap tenang. Dalam hati terlintas harapan, “semoga kau bisa berlari jauh, Wid.”
Sejak saat itu aku tak pernah melihat hidungmu lagi, apalagi mendengar nafasmu pasca penggerebekan di kontrakanku. Hanya catatan pada kertas putih dengan tulisan pensil berisi 27 pesan puisi pada anak-anakmu, istrimu, kawan-kawanmu, lebih tepatnya kawan-kawan seperjuanganmu, agar tangan terus mengepal, menyuarakan perlawanan tanpa henti meski hari-hari telah menjadi milik kita. Karena kekuasaan oleh tiran tak kan pernah mati, hanya beristirahat, seperti kata-katamu, yang telah membatu seperti batu karang di tengah samudera, meski kau telah menghilang dalam kesunyian dan tak tampak lagi namun kata-kata yang telah kau bisikkan pada dunia telah menjadi permata. Aku masih menyimpan rapi pesanmu agar di akhirat kau tak menuntutku.

Bangilan, 21 Januari 2017.

*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.

Cerpen ini kupersembahkan untuk pejuang kata-kata, Widji Thukul. Betapa susahnya menjadi seorang pelarian kata-kata di Negeri yang tidak menghargai kata-kata.









Label: