Lelaki Yang Selalu Menunggu Hari Minggu
Oleh. Rohmat
Sholihin*
https://www.google.com/search?q=penulis+yang+menunggu+tulisan+untuk+dimuat&client=firefox-b-ab&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiKqq3a3ujRAhVCO48KHZGoAmMQ_AUICCgB&biw=1366&bih=657
Setiap sabtu malam, tak kunjung mata ini
terpejam, hatiku selalu menunggu dalam pekat malam, dengan was-was yang mencekam,
dada bergetar tak sabar menunggu, bahwa esok pagi serasa dunia aku genggam…
Lelaki itu selalu berdandan rapi,
menyiapkan diri menyambut hari spesialnya, hari minggu pagi. Ia duduk diberanda
rumahnya dengan ditemani secangkir kopi lengkap dengan hidangannya, ubi rebus
dan pisang goreng. Pikirannya bermain dengan embun yang masih pagi dan kicau
burung prenjak yang menjentik-jentik, “mudah-mudahan minggu yang cerah ini ia
muncul.” Hatinya berharap dan melirik pada arlojinya, tak sabar ia menunggu
waktu. Sejuta harapan terus mengawang-awang., melukis perempuan impiannya dalam
kata-kata sajak dan beberapa tulisan yang telah dirampungkannya lalu ia kirim
pada koran harian yang memuat rubrik itu setiap hari minggu. Berhari-hari
selalu menunggu dan menunggu ditempat biasa. Diberanda rumahnya.
Arloji ia lihat lagi, hatinya
berdetik-detik mengikuti jarum merahnya. Sinar matahari semakin nakal membakar
emosi hatinya.
“Lama belum juga
datang kau penjual koran.” Gerutu hatinya. Ia seruput kopi yang masih
mengepul-ngepul asapnya, mencoba menenangkan emosi hatinya yang meledak-ledak.
Kembali lagi melirik arlojinya. Resah, gugup, penasaran, menjadi teman setia
lelaki yang selalu menunggu hari minggu. Menunggu tulisan yang ia anggap
keramat. Tulisan yang mampu memberikan harapan serta kepercayaan diri bagi
penulis. Tulisan bukan sekedar kata-kata tapi isi jiwa penulis itu ada.
“Koran, koran,
koran, koran pak.” Suara anak remaja berteriak-teriak menjual koran mingguan.
Sontak, tubuhnya
langsung bangkit dari kursi kesayangannya. Tak sabar menghampiri suara penjual
koran.
“Koran, mas.”
“Ya.”
Dengan cepat ia
langsung menyodorkan uang lima ribuan yang sudah ia persiapkan. Ia tarik
korannya, berlalu dan duduk di kursi kesayangan dengan tenang. Ia seruput kopi
dan mulai membuka halaman demi halaman yang telah ia cari. Matanya
bergerak-gerak lincah sekali, tangannya membuka halaman demi halaman dengan
seksama.
“Ah tak muncul
lagi,” teriaknya kecewa. Hatinya mendesir, ia harus sabar yang kesekian kali
untuk menunggu lagi hari minggu berikutnya.
“Sial, menunggu
satu minggu lagi.” Batinnya kelu dan dahinya berkerut.
“Apa lagi yang
harus aku tulis? Apa dewan redaksi juga merasakan apa yang aku rasakan?” tanya
hatinya.
Kesal ia
lepaskan koran dimeja, baginya tak ada yang menarik. Ia lepaskan kekesalannya
pada pisang goreng didepannya, ia kunyah kuat-kuat dan ditelan dengan perasaan
dongkol.
“Uh…tak apa, aku
harus mencari bahan lagi, sampai dewan redaksi koran itu muak. Aku harus tulis,
tulis, dan tulis lagi, bahkan ditoiletpun akan aku tulis.” Protesnya.
“Maafkan aku, jika
minggu ini tulisanku belum juga muncul sayang, masih ada minggu yang lain dan
mudah-mudahan bisa muncul dikoran minggu depan.” Hibur hatinya dengan mata yang
mengawang-awang. Meski putus asa hinggap dalam hatinya, tapi ia tetap harus
berbesar hati bahwa tulisannya masih belum layak dimuat, mungkin masih kalah
bagus dengan penulis yang lain. Hingga mau tak mau ia harus terus memacu
pikirannya dan niatnya serta kesungguhannya dalam membuat tulisan. Agar
tulisannya berbobot dan tidak ragu ketika dibaca oleh kaum pembaca.
“Baiklah, aku
harus ke toko buku mencari sumber inspirasi melalui buku-buku itu.” Hatinya
penasaran. Ia pun bergegas masuk ke dalam rumahnya, ganti baju dan cabut dengan
perlahan.
Sesampai ditoko buku yang paling
murah ia sibuk mencari-cari buku yang menarik. Buku dideretan novel ia lihat,
buku dideretan filsafat ia lihat, buku dideretan sejarah ia lihat bahkan sampai
buku-buku dideretan yang paling menjemukan yaitu perbankan dan akuntansipun ia
lihat dengan seksama. Keinginannya sangat kuat ingin bisa menulis dan bisa
dimuat dikoran mingguan. Ia saring-saring informasi yang ada dalam buku,
mereka-reka, menganalisis, menghubungkan baris-baris kalimat agar terciptalah
paragraf yang indah dan memukau. Menulis harus bisa meyakinkan pembaca, memberikan
informasi yang valid untuk pembaca, penulis menganggap bahwa pembaca adalah
raja, bebas mengkritik, menilai tentang sebuah tulisan, bahkan maaf,
menyumpah-nyumpah jika tulisan ini benar-benar jelek atau murahan dan sebaiknya
dibuang ke tong sampah. Pembaca juga kejam, tak ada nilai sedikitpun untuk menghargai
para penulis yang jatuh bangun menuliskan dalam bentuk buku. Lebih kejam lagi
adalah dewan redaksi yang banyak mencampakkan tulisan-tulisan yang masuk untuk
tidak dimuat. Dan lebih gila lagi jika waktu bimbingan skripsi atau tesis, jika
dosen pembimbing tak menyetujuinya, mau tak mau beberapa lembar halaman harus
rela untuk dibuang. Sebagai penulis harus punya rasa antisipasi yang super agar
tidak kalap dikemudian hari tentang sebuah tulisan yang telah dicampakkan oleh
para pembacanya. Dan menjadi penulis dinegeri kita ini harus benar-benar tabah
atas penghargaan terhadap tulisan kita, jika penerbit membeli karya kita dengan
harga yang sangat murah, kecuali jika kita benar-benar berani menerbitkannya
sendiri. Itupun laku dijual apa tidak, menarik atau tidak. Belum lagi
masyarakat kita yang tak punya ambisi membaca. Penulis dinegeri ini benar-benar
tak berpengharapan.
Iapun mulai
mendapatkan beberapa buku yang ia pilih, kumpulan puisi terbaru, Patung di Kepala. Ada buku kumpulan cerita
pendek, Stasiun Tua Dikampungku, Rindu
Itu Berganti Hujan, Batu di Kepala Emak, Aku Adalah Senja, Eutanasia, Hansamu, Serangan Fajar, Pawang Hujan, Rein, Janji Suci Di Lembah Cinta, dan masih banyak buku-buku
yang ia genggam.
“Ah, aku punya
ide.” Bisik hatinya. Ia pun segera menyodorkan beberapa buku yang ia beli dan
bergegas pulang.
Berhari-hari ia terus berkutat
dengan buku-buku, dan coretan-coretan. Ia tuliskan beberapa penggalan-penggalan
cerita dalam paragrafnya. Dicoret lagi, buang, tulis lagi, coret lagi, buang,
dan seterusnya seperti orang dikejar-kejar hantu. Begitu susahnya jadi penulis
dinegeri yang tak menghargai tulisan. Orang mau membacanya saja, sudah untung,
apalagi mau mendiskusikannya. Akhirnya ia pun lelah juga, mengambil lagi
beberapa kertas yang telah dicoret-coretnya. Lalu duduk dikursi goyangnya,
dengan tenang ia berusaha untuk meresapi tulisan yang telah ia buat, membacanya
dalam hati, dengan tabah setabah bebatuan di kali.
“Ketemu.”
Bicaranya pelan. Terlihat ada guratan puas di dahinya. Ia pun mengambil lagi berkas-berkas
tulisan yang telah ia buang. Ia kumpulkan dan berusaha ia susun dengan rapi.
Jadilah penggalan paragraf itu berbunyi:
“Setiap bait
indah yang telah ditulis manusia, jin, atau iblis, tak kan pernah mencapai
kesempurnaan. Semua tulisan itu bisa terbantahkan dengan beberapa
kelemahan-kelemahan didalamnya.” Tulisanmu suatu malam di bulan purnama itu.
“Ah kau,
setidaknya lebih peka dengan perasaanmu, setiap hari kau ucapkan kata-kata
rindu, dendam ataupun cinta, jika kau hanya memandang satu sisi saja,
percumalah ucapanmu itu.”
Ada lagi,
“Sial, sudah
beberapa kali aku tulis, masih saja kau tak juga membacanya, setiap kali kau
kuingatkan, lupa juga akhirnya. Bagaimana kalau kita jadi hidup bersama?, tak
tahu aku, apa jadinya?, lebih baik kita bubar.”
“Apa, bubar?”
“Iya. Bubar saja
mulai saat ini dan detik ini pula.”
“Aku capek
dengan gaya hidupmu.”
“Bukankah cinta
menutupi kelemahan dan kekurangan?”
“Iya, tapi aku
lebih muak denganmu. Sedikitpun kau tak pernah menghargai usaha yang telah aku
lakukan selama ini.”
“Tentang apa
itu?”
“Kau tak pernah
menyukai tulisan tapi kau menyuruhku membuat tulisan untuk melamarmu.”
Ia duduk diam
lagi, menatap malam, bulan masih riang membiaskan sinarnya, angin masih
menghembuskan nafasnya, burung hantu masih menggeluk-geluk suaranya. Dan kau
tertidur juga akhirnya.
Esok paginya.
Lelaki itu
selalu berdandan rapi, menyiapkan diri menyambut hari spesialnya, hari minggu
pagi. Ia duduk diberanda rumahnya dengan ditemani secangkir kopi lengkap dengan
hidangannya, ubi rebus dan pisang goreng. Pikirannya bermain dengan embun yang
masih pagi dan kicau burung prenjak yang menjentik-jentik, “mudah-mudahan
minggu yang cerah ini ia muncul.” Hatinya berharap dan melirik pada arlojinya,
tak sabar ia menunggu waktu. Sejuta harapan terus mengawang-awang., melukis
perempuan impiannya dalam kata-kata sajak dan beberapa tulisan yang telah
dirampungkannya lalu ia kirim pada koran harian yang memuat rubrik itu setiap
hari minggu. Berhari-hari selalu menunggu dan menunggu ditempat biasa.
Diberanda rumahnya.
“Akhirnya,
tulisan ini muncul juga.” Dengan lega ia menghirup udara dan senyum menghiasi bibirnya.
Tak berapa lama.
Telepon dalam rumah berdering.
“Oh kau. Hallo sayang!,
sudah baca koran pagi ini? Ada tulisanku juga. Sesuai janji kita kau bersedia
menjadi pendamping hidupku jika secarik tulisanku muncul dikoran itu.”
Tak ada balasan
dari telepon seberang, hanya desahan nafas dan suara tangisan dari dalam
telepon itu.
“Kau kejam mas,
ternyata kau selama ini hanya menginginkanku dari satu sisi saja, dan kau
mengatakan ingin bubar…..”
Teeeet…..
Tak ada suara
lagi.
Sepi.
Bangilan, 29
Januari 2017.
*Penulis aktif
di Komunitas Kali Kening Bangilan.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda