Rabu, 18 Januari 2017

Belajar Sambil Berenang


Oleh. Rohmat Sholihin*

Peserta didik MI Salafiyah Bangilan sedang asyik berenang.
Foto. Rohmat S.

            Untuk mengurangi kejenuhan belajar di dalam kelas, peserta didik bisa belajar dikolam renang sambil berenang. Tentu mengasyikkan, bukan? Peserta didik tentu juga sangat senang. Peserta didik bisa tertawa lepas dan ceria. Dunia anak beda dengan dunia orang dewasa, anak ingin selalu mencari tempat-tempat yang penuh dengan permainan dan kesenangan untuk membentuk pola pikir yang tidak mudah tertekan. Sebagai pendidik kurang etis jika memaksa peserta didik harus menjadi seperti orang dewasa, apalagi seperti dirinya, bukankah kedewasaan itu merupakan proses kehidupan yang terbentur dengan waktu dan psikologis. Tidak bisa kedewasaan dibentuk hanya dengan waktu beberapa hari, tapi setiap waktu. Maka dari itu, biarkan anak belajar dengan senang tanpa memaksa sedemikian rupa hingga peserta didik kurang menikmati proses pembelajaran yang berlangsung.

Belajar berenang dalam keceriaan.
foto. Rohmat S.


            Anak didik mempunyai banyak keinginan-keinginan yang ada dalam benaknya sesuai dengan skill yang mereka miliki. Sedangkan pendidik yang berada dalam lingkungan madrasah ibaratnya adalah orang tua yang mempunyai tugas menjaga, mendidik, mengarahkan serta melindungi. Pendidik atau guru harus bisa memberikan suasana yang penuh kebahagiaan serta menyenangkan. Sehingga anak didik tidak lagi menjadi anak didik yang jenuh dan terpaksa, terpaksa dalam mengikuti proses pembelajaran yang akhirnya tidak enjoy. Seakan-akan peserta didik berada dalam penjara. Kaku dan membosankan.

Stasiun kereta api Jatirogo dalam kesunyian tergilas roda zaman.
Foto. Rohmat S.

            Kali ini MI Salafiyah Bangilan pada kelas 6, melakukan kegiatan berenang sambil belajar dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani dalam materi berenang. Namun kita tidak hanya berenang saja, akan tetapi juga melakukan kunjungan serta wawancara di salah satu bangunan  peninggalan kolonial Belanda yaitu bangunan stasiun Jatirogo yang masih berdiri megah meski fungsinya sekarang berubah menjadi warung kopi dan billiard. Peserta didik bisa melihat langsung secara dekat bentuk bangunan stasiun yang telah lama tidak difungsikan lagi. Relnya telah hilang, sedikitpun tak ada bekas, hanya tumbuh rumput ilalang dan gundukan tanah yang semakin mengering dan memerah menyimpan sejarah. Namun, dilihat dari sisi sejarah per-kereta apian di Indonesia, di daerah kecamatan Bangilan-Jatirogo pernah menjadi lintasan kereta api jurusan Rembang-Bojonegoro. Sehingga kereta api pernah menjadi andalan transportasi rakyat ketika sepeda motor, mobil dan bus belum merebak seperti sekarang ini. Dan kereta api menjadi sumber transportasi masyarakat yang bisa menghemat sumber daya alam terutama bahan bakar. Efisiensi bahan bakar pada operasi kereta api, sangat hemat, jika dibandingkan dengan merebaknya kendaraan-kendaraan bermotor sekarang ini. Hampir tiap rumah mempunyai kendaraan yang menggunakan bahan bakar, baik premium, solar, pertamax, dan juga pertalite. Belum lagi pemerintah mengeluarkan subsidi bahan bakar yang jumlahnya tidak sedikit, hampir beberapa triliun rupiah per tahun. Sehingga pemerintah sulit melakukan penghematan. Dan cadangan modal negara semakin terus berkurang. Imbasnya negara akan menambah hutang dan bunganya semakin tinggi.

Stasiun Jatirogo riwayatmu kini.
Foto. Rohmat S.

            Beban-beban negara juga menjadi beban rakyat. Rakyat Indonesia yang hampir 250 juta jiwa harus menjadi tumbal. Melalui pajak dan daya beli masyarakat yang tinggi, rakyat terbebani. Belum lagi jumlah rakyat miskin yang semakin bertambah akibat pengangguran karena jumlah lapangan kerja yang sempit. Negara belum bisa mengelola sumber daya alam yang melimpah ini menjadi barang komoditas yang bisa bersaing dipasaran internasional. Negara kita hanya menjual bahan mentah yang harganya juga rendah sedangkan negara maju mengelola bahan mentah tersebut menjadi barang komoditas yang terakui kualitasnya di pasaran global. Dan harganya selangit. Negara ketiga seperti Indonesia ini hanya bisa menjadi negara pasar, lambat laun imbasnya masyarakat kita menjadi masyarakat konsumtif, bukan menjadi masyarakat produksi. Entah, sampai kapanpun kita cukup terima dengan status konsumtif. Hanya menjadi negara pengimpor bukan negara pengekspor.

            Kenapa tulisan ini harus mengarah kesini?, sedangkan dari awal hanya membahas masalah belajar dan berenang. Karena kita adalah bagian dari negara Indonesia, kita adalah rakyat Indonesia. Permasalahan-permasalahan Indonesia adalah permasalahan kita juga. Hasil keputusan yang telah ditetapkan dan disyahkan dari pusat imbasnya pada daerah-daerah juga. Pemerintah harus terus mulai berbenah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama masalah anak-anak didik yang menjadi tulang punggung negara besar ini agar terus dididik dengan semangat serta kurikulum yang benar-benar memadai dan berkualitas, bukan sistem pendidikan yang hanya bersifat menghegemoni kekuasaan semata. Seperti misal, pendidikan yang hanya disistem seperti proyek, yaitu bicara untung dan rugi serta nilai tawar yang bisa mendatangkan untung besar bagi oknum-oknum tertentu. Bukan pendidikan yang benar-benar bicara tentang proses. Tapi  pendidikan yang bersifat instan dan keuntungan atau profit.

            Kemajuan negara ke depan ibaratnya adalah kemajuan generasi mudanya. Dan kemajuan negara hampir sama dengan proses belajar berenang, tertatih-tatih, karagu-raguan, dan bahkan harus melalui proses tenggelam, bahkan trauma. Meski begitu kita tidak boleh berputus asa, masih banyak cara untuk maju, untuk berproses, dan terus berusaha dengan semangat yang tinggi dan terus mencoba tanpa kenal menyerah. Seperti dalam dunia pendidikan kita. Tidak boleh jika generasi muda mempunyai sifat menyerah, putus asa, dan tidak mau belajar hanya karena alasan malas. Peserta didik adalah rohnya pendidikan, sangat ironis jika kita sebagai pendidik tidak memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik bagi peserta didik, baik dalam proses pengajaran maupun dalam proses kehidupan. Guru harus punya pandangan luas dan mampu memahami kondisi peserta didik dengan tidak egois. Ajarlah anak didik dengan baik, dengan proses pengajaran yang menyenangkan serta mampu menjadikan mereka menjadi anak didik yang tangguh dan mandiri serta mempunyai rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga, agama, serta  negara. Meski hanya berawal dari hal yang remeh seperti belajar berenang. Bukankah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ad Dailamiy, Rosulullah SAW bersabda :
“Allimuu auladakum al sibaahata wal rimaayata”
Artinya : “Ajarilah anak-anakmu berenang dan memanah”

Bangilan, 18 Januari 2017.


*Penulis Guru MI Salafiyah Bangilan dan anggota Komunitas Literasi Kali Kening.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda