Sabtu, 07 Januari 2017

Putri Bah Tei # 12

Oleh. Rohmat Sholihin*

Google. com


Lanjutan Hari ke Empat.

“Aku tak punya senjata kakek.”
“Tak punya senjata. Orang selalu mengira bahwa senjata adalah senjata tajam seperti, pedang, tombak, panah, atau kelewang. Padahal tidak nak, senjata dalam dirimu itu adalah hati dan pikiranmu. Jika hati dan pikiranmu kau gunakan untuk kebaikan tak kan sia-sia hidupmu nak. Maka simpanlah baik-baik senjatamu itu, jangan sampai gegabah kau menggunakannya, berbahaya. Dan manusia terkadang banyak unsur lupanya. Berhati-hatilah hawa nafsu bisa muncul kapanpun.”
“Baik kek.”
“Namamu siapa anak muda?”
“Joko, kek.”
Kakek jubah putih hanya manggut-manggut sambil sesekali memegangi jenggotnya yang sudah berwarna putih. Matanya yang berkilat-kilat menatap Joko dengan tajam namun teduh.
“Dan kenapa musuh-musuh itu tidak pernah datang kek?”
“Maaf, nak. Aku juga kurang tahu. Sang Kaisar memerintahkanku bersama seribu prajurit terbaikku untuk menjaga dan bertahan di tempat ini sampai waktu yang tidak ditentukan, tak ada musuh dan tak ada peperangan. Prajuritku mati melawan dirinya sendiri secara mengenaskan, kelaparan dan penyakit, sedangkan berita dari kaisar tak pernah sampai di sini. Bantuan bahan makanan juga tak ada sedangkan bekal perang perlahan-lahan mulai habis. Kami berputar-putar mencari daerah terdekat untuk mencari bahan makanan tapi tak ada satupun daerah itu aku temukan, prajuritku seperti orang panik, satu persatu mereka tumbang. Disini benar-benar berlaku hukum alam, siapa yang kuat dialah yang kuat bertahan.”
“Kenapa sang kaisar tidak menanyakan kabar Jenderal dan prajuritnya?”
“Masa bodoh, kaisar hanya sibuk mengurusi kepentingannya sendiri.”
“Kalau begitu…”
“Kalau begitu Jenderal sengaja di tugaskan di tempat ini hanya untuk dibuang.”
“Entahlah nak, dalam kehidupan prinsipku hanya satu nak, menjaga kesetiaan dalam hidup. Jika seseorang bisa menjaga kesetiaan ia akan menjadi orang terpercaya. Dan prajuritku rela mati dalam tugas daripada harus kembali menjadi pengkhianat.”
“Bukankah itu termasuk nilai keteguhan hati, kek?”
“Iya. Dalam menjalankan tugas kenegaraan termasuk perang haruslah didasari dengan keteguhan hati. Tanpa itu kita akan menjadi pasukan yang tidak solid. Dan kita akan mudah di kalahkan. Memenangkan pertarungan adalah mudah, mempertahankannyalah yang sulit.”
“Andaikan dunia ini tak ada peperangan akan menjadi lebih harmonis.”
“Tak bisa nak, karena tak kan tahu inti dari harmonis.”
“Maksudnya?”
“Terkadang perang harus dibutuhkan untuk mencapai kedamaian, jika ingin damai maka peranglah, hakekat kedamaian akan lebih bernilai dari sebuah peperangan yang merugikan.”
“Makna hidup damai akan lebih terasa maknanya jika untuk mencapainya harus dengan kerja keras dan usaha keras untuk mewujudkannya.”
“Tapi jika perang secara terus-menerus juga tak bagus, nak. Hikayat berkata, negara di dunia ini yang mengobarkan perang dan memenangi lima di antaranya, akan dihancurkan oleh kemalangan. Yang memenangi empat peperangan akan kelelahan. Yang memenangi tiga peperangan akan menjadi penjajah. Yang memenangi dua peperangan akan menjadi raja. Yang memenangi satu peperangan akan menjadi kaisar. Itulah sebabnya hanya sedikit yang memperoleh kemenangan , tetapi justru banyak yang musnah.”
“Apakah ada negara seperti itu kek?”
“Lihatlah ke piramida itu, bukankah itu dulu rajanya adalah orang terkuat?”
Dalam sekejap di depan tampaklah bangunan piramida yang megah. Joko termangu melihat bangunan piramida yang megah berdiri kokoh di depannya, ya persis didepannya. Kedua tangannya ingin meraihnya tapi tak sampai. Ia perhatikan sekali lagi dengan memusatkan perhatiannya ternyata piramida itu sangatlah jauh hanya kakek Wu Jie bisa membuat benda yang jauh seakan-akan makin dekat. Dan dekat sekali.
“Tapi karena keangkuhan dan nafsunya yang meledak-ledak melebihi segalanya, ia pun binasa di telan ombak laut merah. Bumipun tak mau menelannya karena angkuh.”
“Tapi kebanyakan orang selalu mengejar kemenangan kek.”
“Itulah manusia nak. Ia selalu mencari kemenangan dan kejayaan meski ia tahu sebenarnya ia hidup hanya menunggu mati.”
“Dan meski semua mati, setidaknya dalam kematian ia telah meraih kemenangan kek.”
“Mati dalam kemenangan tak kan ada. Jika mati kuat menahan keyakinan itulah kemenangan dalam kematian.”
“Kenapa kaisar mempertahankan daerah ini?”
“Ehm, itulah manusia yang selalu punya bakat menguasai nak. Apapun ingin dikuasai, bahkan dirinya sendiri juga akan dikuasai.”
“Lantas…”
“Ia lupa sebagai manusia, nak. Lupa jika dalam diri manusia ada banyak kelemahan yang selalu muncul meski telah dengan usaha keras selalu diperbaiki.”
“Setidaknya ada usaha untuk memperbaikinya kek.”
“Iya. Manusia hanya bisa berusaha.”
“Maaf, bolehkah aku melanjutkan perjalanan kek?”
Tak ada jawaban dari kakek. Ia tersenyum. Kemudian lautan  pasir menghimpitnya. Dan membawanya pergi bergulung-gulung, dan dalam sekejap sirna.

Bersambung………

Bangilan, 8 Januari 2017.

*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda