Putri Bah Tei # 12
Oleh.
Rohmat Sholihin*
Google. com
Lanjutan Hari ke Empat.
“Aku tak punya senjata kakek.”
“Tak punya senjata. Orang
selalu mengira bahwa senjata adalah senjata tajam seperti, pedang, tombak,
panah, atau kelewang. Padahal tidak nak, senjata dalam dirimu itu adalah hati
dan pikiranmu. Jika hati dan pikiranmu kau gunakan untuk kebaikan tak kan
sia-sia hidupmu nak. Maka simpanlah baik-baik senjatamu itu, jangan sampai
gegabah kau menggunakannya, berbahaya. Dan manusia terkadang banyak unsur
lupanya. Berhati-hatilah hawa nafsu bisa muncul kapanpun.”
“Baik kek.”
“Namamu siapa anak muda?”
“Joko, kek.”
Kakek jubah putih hanya
manggut-manggut sambil sesekali memegangi jenggotnya yang sudah berwarna putih.
Matanya yang berkilat-kilat menatap Joko dengan tajam namun teduh.
“Dan kenapa musuh-musuh itu
tidak pernah datang kek?”
“Maaf, nak. Aku juga kurang
tahu. Sang Kaisar memerintahkanku bersama seribu prajurit terbaikku untuk
menjaga dan bertahan di tempat ini sampai waktu yang tidak ditentukan, tak ada
musuh dan tak ada peperangan. Prajuritku mati melawan dirinya sendiri secara
mengenaskan, kelaparan dan penyakit, sedangkan berita dari kaisar tak pernah
sampai di sini. Bantuan bahan makanan juga tak ada sedangkan bekal perang perlahan-lahan
mulai habis. Kami berputar-putar mencari daerah terdekat untuk mencari bahan
makanan tapi tak ada satupun daerah itu aku temukan, prajuritku seperti orang
panik, satu persatu mereka tumbang. Disini benar-benar berlaku hukum alam,
siapa yang kuat dialah yang kuat bertahan.”
“Kenapa sang kaisar tidak menanyakan
kabar Jenderal dan prajuritnya?”
“Masa bodoh, kaisar hanya
sibuk mengurusi kepentingannya sendiri.”
“Kalau begitu…”
“Kalau begitu Jenderal sengaja
di tugaskan di tempat ini hanya untuk dibuang.”
“Entahlah nak, dalam kehidupan
prinsipku hanya satu nak, menjaga kesetiaan dalam hidup. Jika seseorang bisa
menjaga kesetiaan ia akan menjadi orang terpercaya. Dan prajuritku rela mati
dalam tugas daripada harus kembali menjadi pengkhianat.”
“Bukankah itu termasuk nilai
keteguhan hati, kek?”
“Iya. Dalam menjalankan tugas
kenegaraan termasuk perang haruslah didasari dengan keteguhan hati. Tanpa itu
kita akan menjadi pasukan yang tidak solid. Dan kita akan mudah di kalahkan. Memenangkan
pertarungan adalah mudah, mempertahankannyalah yang sulit.”
“Andaikan dunia ini tak ada
peperangan akan menjadi lebih harmonis.”
“Tak bisa nak, karena tak kan
tahu inti dari harmonis.”
“Maksudnya?”
“Terkadang perang harus
dibutuhkan untuk mencapai kedamaian, jika ingin damai maka peranglah, hakekat
kedamaian akan lebih bernilai dari sebuah peperangan yang merugikan.”
“Makna hidup damai akan lebih
terasa maknanya jika untuk mencapainya harus dengan kerja keras dan usaha keras
untuk mewujudkannya.”
“Tapi jika perang secara
terus-menerus juga tak bagus, nak. Hikayat berkata, negara di dunia ini yang
mengobarkan perang dan memenangi lima di antaranya, akan dihancurkan oleh kemalangan.
Yang memenangi empat peperangan akan kelelahan. Yang memenangi tiga peperangan
akan menjadi penjajah. Yang memenangi dua peperangan akan menjadi raja. Yang memenangi
satu peperangan akan menjadi kaisar. Itulah sebabnya hanya sedikit yang memperoleh
kemenangan , tetapi justru banyak yang musnah.”
“Apakah ada negara seperti itu
kek?”
“Lihatlah ke piramida itu,
bukankah itu dulu rajanya adalah orang terkuat?”
Dalam sekejap di depan
tampaklah bangunan piramida yang megah. Joko termangu melihat bangunan piramida
yang megah berdiri kokoh di depannya, ya persis didepannya. Kedua tangannya ingin
meraihnya tapi tak sampai. Ia perhatikan sekali lagi dengan memusatkan
perhatiannya ternyata piramida itu sangatlah jauh hanya kakek Wu Jie bisa
membuat benda yang jauh seakan-akan makin dekat. Dan dekat sekali.
“Tapi karena keangkuhan dan
nafsunya yang meledak-ledak melebihi segalanya, ia pun binasa di telan ombak
laut merah. Bumipun tak mau menelannya karena angkuh.”
“Tapi kebanyakan orang selalu
mengejar kemenangan kek.”
“Itulah manusia nak. Ia selalu
mencari kemenangan dan kejayaan meski ia tahu sebenarnya ia hidup hanya
menunggu mati.”
“Dan meski semua mati,
setidaknya dalam kematian ia telah meraih kemenangan kek.”
“Mati dalam kemenangan tak kan
ada. Jika mati kuat menahan keyakinan itulah kemenangan dalam kematian.”
“Kenapa kaisar mempertahankan
daerah ini?”
“Ehm, itulah manusia yang
selalu punya bakat menguasai nak. Apapun ingin dikuasai, bahkan dirinya sendiri
juga akan dikuasai.”
“Lantas…”
“Ia lupa sebagai manusia, nak. Lupa jika dalam diri manusia ada banyak kelemahan yang selalu muncul meski telah dengan usaha keras selalu diperbaiki.”
“Ia lupa sebagai manusia, nak. Lupa jika dalam diri manusia ada banyak kelemahan yang selalu muncul meski telah dengan usaha keras selalu diperbaiki.”
“Setidaknya ada usaha untuk
memperbaikinya kek.”
“Iya. Manusia hanya bisa
berusaha.”
“Maaf, bolehkah aku
melanjutkan perjalanan kek?”
Tak ada jawaban dari kakek. Ia
tersenyum. Kemudian lautan pasir
menghimpitnya. Dan membawanya pergi bergulung-gulung, dan dalam sekejap sirna.
Bersambung………
Bangilan, 8 Januari 2017.
*Penulis aktif di Komunitas
Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.
Label: Dongeng serial
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda