Senin, 12 Desember 2016

MANUSIA DAN FILSAFAT

Oleh. Rohmat Sholihin*

Google. com
Memahami makhluk Tuhan yang bernama manusia sungguh sangat sukar. Paling tidak inilah pengakuan jujur dari Dr. Elexis Carel dalam bukunya “Man the Unknown”. Kesukaran tersebut terletak pada adanya berbagai macam pandangan dari para tokoh. Ahli mantik (logika) misalnya menyatakan bahwa manusia adalah “hayawan Al-Nathiq” (manusia adalah hewan yang berfikir), sementara Ibnu Khaldun, seorang ahli filsafat Sejarah asal Tunisia mengatakan bahwa manusia adalah “Madaniyyun bi Al-Thaba” (manusia adalah makhluk yang bergantung kepada tabiatnya), sedang Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah “Zoon Politicon” atau Political Animal ( manusia adalah hewan yang berpolitik).
Jika apa yang dikatakan oleh Dr. Alexis Carel di atas adalah sebuah realitas, maka solusi yang paling baik bagi umat Islam untuk memahami beberapa terminologi tentang manusia tidak lain adalah dengan membuka kembali lembaran kitab suci Al Quran, sebab di sana akan dapat ditemukan jawaban dari persoalan yang dilontarkan oleh Dr. Alexis Carel tadi.
Dr. Wan Moh. Nor. Wan Daud, seorang intelektual asal Malaysia menyatakan bahwa sebutan-sebutan manusia dalam bentuk tunggal digambarkan dengan kata Al Insan yang disebut sebanyak 65 kali dalam Al Quran, dan dalam bentuk plural (jama’) Al-Nas masing-masing disebut sebanyak 248 kali, yang kesemuanya menggunakan kata Al (ma’rifat) kecuali satu, yakni yang terdapat dalam Q.S Al-Isra’ : 17.
Penjelasan Dr. Wan Moh Nor Wan Daud di atas nampaknya belum begitu jelas, sebab masih ada istilah lain yang terdapat dalam Al-Qur’an, yakni kata Al Basyar dan Bumi Adam serta dzurriyatu Adam. Oleh karena itu, Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an” menyimpulkan bahwa ada tiga kata yang dipergunakan untuk menunjuk manusia, yaitu:
1.      Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin, semacam, insan, ins, nas atau unas.
2.      Menggunakan kata basyar
3.      Menggunakan kata Bani Adam dan dzurriyatu Adam yang berarti keturunan Adam.
Kata Al-Insan yang diterjemahkan dengan “manusia” terambil dari akar kata uns yang
berarti  “senang” jinak dan harmonis. Atau terambil dari akar kata nisy yang berarti lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa kata Al-Insan berasal dari akar katanya,  yakni Daus yang mempunyai arti “pergerakan atau dinamisme”. Dari makna-makna tersebut paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk yang bernama manusia itu sendiri, yakni bahwa ia adalah makhluk yang mempunyai potensi lupa, atau mempunyai kemampuan bergerak yang melahirkan dinamisme, atau makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonis dan kebahagiaan pada pihak-pihak lain.
            Dalam Al-Quran kata Al-Insan sebagaimana pendapat Dr. Wan Moh. Nor Wan Daud terulang sebanyak 65 kali yang pada umumnya menjelaskan berbagai sifat dan potensi ini, baik positif maupun negatif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata Al-Insan menggambarkan tentang makhluk manusia dengan segala sifat dan potensinya, yang dapat berbeda antar seseorang dengan orang lain. Kata Al-Insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya. Manusia sebagai makhluk Allah yang suka berfikir. Dengan diberkahi akal oleh Allah, manusia diajari berbagai hal pengetahuan yang dituntut untuk bisa membaca apa saja sebagai bekal hidup di muka bumi.  Dan dengan pena atau alat tulis manusia bisa menulis dalam bentuk karya tulis sebagai keterangan dan bahan belajar untuk semua orang. Sebagaiamana firman Allah dalam surat Al-Alaq.
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Artinya : Yang mengajar dengan qalam
Dengan alat qalam manusia mampu mengembangkan pengetahuan-pengetahuan dari usaha membaca lingkungan alam semesta untuk mencari kebenaran yang berpangkal pada Allah SWT. Manusia terus berusaha dan belajar dari hari ke hari untuk terus berproses melalui dialektika. Menuliskan hal-hal yang tidak diketahuinya ke dalam catatan sebagai proses berfikir ilmiah, sebenarnya tak ada manusia yang bodoh, manusia punya segala sifat dan potensinya. Manusia punya bakat masing-masing sesuai keinginannya. Manusia adalah Al-Basyar yang berarti “penampakan” sesuatu dengan baik dan indah. Dan dari akar kata yang sama lahir kata basyarah, yang berarti kulit, oleh karena manusia dinamai basyar, sebab kulitnya Nampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang lain. Al-Quran sendiri mempergunakan kata Al-Basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk mufrad (tunggal) dan sekali dalam bentuk mutsanna (dua) untuk menunjukkan manusia dari segi lahiriahnya serta persamaannya manusia dengan seluruhnya. Karena itu, Rosulullah Muhammad SAW dilukiskan dalam Al-Quran dengan kata basyar, sebagaimana firman Allah :
.إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
Artinya : Aku adalah basyar (manusia seperti kamu semua yang diberi wahyu” (Q.S. Al-Kahfi : 110)
Dr. M. Quraish Shihab lanjut menjelaskan bahwa jika dicermati, maka banyak ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan tentang proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.[1] Dan pada tahap kedewasaan ini manusia mencapai kematangan secara pola pikir, emosi, dan sikap. Manusia berkembang mengikuti fase-fase ilmiah. Mulai dari bayi, anak-anak, remaja, sampai menjadi manusia yang tua secara usia dan emosi serta pola pikir. Pada tahap dewasa ini manusia mulai berfikir tentang membangun keluarga untuk melestarikan keturunannya melalui pernikahan. Merawat dan membesarkan anak-anaknya dikemudian hari.
            Manusia disertai akal oleh Allah untuk berfikir dan membedakan kebaikan dan kebatilan serta melindungi diri dari bahaya, dengan akalnya manusia memilah-milah dan berfikir praktis untuk memudahkan pekerjaan-pekerjaan selama menjalani proses kehidupan. Agar kehidupan menjadi mudah dan lebih baik. Manusia diberi hak oleh Allah untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia, kemerdekaan, dan bebas mengungkapkan pendapat tentang kebenaran. Manusia berhak memilih tanpa harus ada tekanan dari manusia lainnya, cuma faktor kepentingan manusia lainnya akhirnya manusia hidup saling bersaing dan berkompetisi untuk meraih kebahagiaan. Di sinilah awal manusia harus beradu kecerdasan dan keahlian untuk menjadi yang terbaik. Dengan kecerdasan itulah manusia telah mengatur seisi bumi dengan dalih-dalih hukum yang telah ia buat sendiri. Manusia di batasi oleh aturan untuk hidup berkelompok-kelompok dalam suatu negara. Disekat-sekat oleh identitas tertentu baik suku, agama, serta ras. Untuk mencapai kata sepakat dalam berkelompokpun terkadang harus disertai dengan saling membunuh, peperangan, karena sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles di atas bahwa manusia adalah zoon politicon atau political animal, manusia adalah hewan yang berpolitik. Tak heran jika manusia yang hidup dibumi ini saling berlomba-lomba untuk mencari pengaruh dalam hal kekuasaan.
            Manusia bisa menjadi jahat jika dihadapannya terbuka jalan kejahatan dan tidak ada pengawasan terhadapnya. Ia akan mencapai kedudukan tinggi kalau mampu mengendalikan nafsu serta menundukkannya. Dalam hal ini, ada baiknya kalau kalau kita simak ungkapan Sayyidina Ali, r.a
“Apakah kau kira bahwa kau tubuh yang kerdil padahal, padamu terkandung dunia yang sangat besar.”
Dalam Al-Quran juga menjelaskan bahwa manusia memiliki kemampuan dan kedudukan yang sangat tinggi, Al-Quran dan beberapa hadits yang diriwayatkan oleh ahlul bait sering menggunakan keagungan manusia. Al-Quran memandang manusia sebagai tujuan penciptaan alam semesta. Allah SWT berfirman :
.هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا

Artinnya : “Dia’lah Allah, yang menjadikan segala yang di bumi untuk kamu (QS. Al-Baqarah : 29)

Dan juga firman-Nya :

Tidakkah kamu perhatikan, sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kamu apa yang di langit dan apa yang di bumi (QS. Luqman : 20).
Karena mansusia adalah makhluk yang mempunyai derajat yang tinggi, maka Allah SWT melimpahkan atas memikulkan amanat sebagai wakil-Nya di muka bumi ini untuk memakmurkannya, melestarikan sekaligus menciptakan bayang-bayang kehidupan surgawi di atasnya.
            Amanat ibarat mandat, kepemimpinan. Manusia yang diberi kepercayaan oleh Allah sebagai kholifah di bumi tidak dibiarkan memimpin dalam kehancuran meski pada dasarnya manusia mewarisi watak merusak. Akan tetapi manusia dibekali ilmu untuk menjadi pemimpin yang amanat yang mampu menjalankan roda kepemimpinan juga membutuhkan penalaran dengan menggunakan akal. Manusia dengan akalnya mampu menjadi bijak. Sedangkan mencari kebijaksanaan adalah mencari kebaikan. Tanpa ilmu tak kan ada kebijaksanaan. Ilmu ibarat pelita untuk berjalan dalam kegelapan. Jika ingin melihat jalan kebenaran ilmulah pegangannya. Sedangkan ilmu yang ada di bumi tak terhitung kapasitasnya, jika di bandingkan dengan pasir dilautan masihlah lebih luas ilmu. seperti hadits nabi tentang pentingnya ilmu.
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akherat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu (HR. Turmudzi).
Ilmu yang telah di pilah-pilah sesuai dengan disiplin bidang dan cakupannya. Namun, dalam dasar ilmu sebagai mother of knowledge atau induk ilmu pengetahuan adalah filsafat. Dalam Islam filsafat atau falsafah, artinya anggapan, gagasan atau sikap batin yang paling mendasar, berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan. Seperti dalam Al-Quran sebagai sumber pengetahuan perlu untuk dijabarkan dengan logika dan kejadian-kejadian yang berlandaskan tentang sejarah. Meski ada beberapa rahasia Allah yang tidak bisa dijabarkan dengan kemampuan akal manusia.

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.









[1] Zacky Syafa, S.Ag dan Maftuh Ahnan (Surabaya:Penerbit Terang, 2000) hal. 11-12.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda