MANUSIA DAN FILSAFAT
Oleh.
Rohmat Sholihin*
Google. com
Memahami makhluk Tuhan yang bernama manusia sungguh sangat
sukar. Paling tidak inilah pengakuan jujur dari Dr. Elexis Carel dalam bukunya
“Man the Unknown”. Kesukaran tersebut terletak pada adanya berbagai macam
pandangan dari para tokoh. Ahli mantik (logika) misalnya menyatakan bahwa
manusia adalah “hayawan Al-Nathiq” (manusia adalah hewan yang berfikir),
sementara Ibnu Khaldun,
seorang ahli filsafat Sejarah asal Tunisia mengatakan bahwa manusia adalah
“Madaniyyun bi Al-Thaba” (manusia adalah makhluk yang bergantung kepada
tabiatnya), sedang Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah “Zoon Politicon” atau Political
Animal ( manusia adalah hewan yang berpolitik).
Jika apa yang dikatakan oleh Dr. Alexis Carel di atas
adalah sebuah realitas, maka solusi yang paling baik bagi umat Islam untuk
memahami beberapa terminologi tentang manusia tidak lain adalah dengan membuka
kembali lembaran kitab suci Al Quran, sebab di sana akan dapat ditemukan
jawaban dari persoalan yang dilontarkan oleh Dr. Alexis Carel tadi.
Dr. Wan Moh. Nor. Wan Daud, seorang intelektual asal
Malaysia menyatakan bahwa sebutan-sebutan manusia dalam bentuk tunggal
digambarkan dengan kata Al Insan yang disebut sebanyak 65 kali dalam Al Quran,
dan dalam bentuk plural (jama’) Al-Nas masing-masing disebut sebanyak 248 kali,
yang kesemuanya menggunakan kata Al (ma’rifat) kecuali satu, yakni yang
terdapat dalam Q.S Al-Isra’ : 17.
Penjelasan Dr. Wan Moh Nor Wan Daud di atas nampaknya belum
begitu jelas, sebab masih ada istilah lain yang terdapat dalam Al-Qur’an, yakni
kata Al Basyar dan Bumi Adam serta dzurriyatu Adam. Oleh karena itu, Dr. M.
Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an” menyimpulkan bahwa ada tiga
kata yang dipergunakan untuk menunjuk manusia, yaitu:
1.
Menggunakan kata yang terdiri dari
huruf alif, nun dan sin, semacam, insan, ins, nas atau unas.
2.
Menggunakan kata basyar
3.
Menggunakan kata Bani Adam dan
dzurriyatu Adam yang berarti keturunan Adam.
Kata Al-Insan yang diterjemahkan dengan “manusia” terambil
dari akar kata uns yang
berarti “senang” jinak dan harmonis. Atau terambil
dari akar kata nisy yang berarti
lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa kata Al-Insan berasal dari akar
katanya, yakni Daus yang mempunyai arti “pergerakan atau dinamisme”. Dari
makna-makna tersebut paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi
atau sifat makhluk yang bernama manusia itu sendiri, yakni bahwa ia adalah
makhluk yang mempunyai potensi lupa, atau mempunyai kemampuan bergerak yang
melahirkan dinamisme, atau makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa
senang, harmonis dan kebahagiaan pada pihak-pihak lain.
Dalam
Al-Quran kata Al-Insan sebagaimana pendapat Dr. Wan Moh. Nor Wan Daud terulang
sebanyak 65 kali yang pada umumnya menjelaskan berbagai sifat dan potensi ini,
baik positif maupun negatif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata
Al-Insan menggambarkan tentang makhluk manusia dengan segala sifat dan
potensinya, yang dapat berbeda antar seseorang dengan orang lain. Kata Al-Insan
menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya. Manusia sebagai
makhluk Allah yang suka berfikir. Dengan diberkahi akal oleh Allah, manusia
diajari berbagai hal pengetahuan yang dituntut untuk bisa membaca apa saja
sebagai bekal hidup di muka bumi. Dan
dengan pena atau alat tulis manusia bisa menulis dalam bentuk karya tulis
sebagai keterangan dan bahan belajar untuk semua orang. Sebagaiamana firman
Allah dalam surat Al-Alaq.
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Artinya : Yang mengajar
dengan qalam
Dengan alat qalam manusia mampu mengembangkan
pengetahuan-pengetahuan dari usaha membaca lingkungan alam semesta untuk
mencari kebenaran yang berpangkal pada Allah SWT. Manusia terus berusaha dan
belajar dari hari ke hari untuk terus berproses melalui dialektika. Menuliskan
hal-hal yang tidak diketahuinya ke dalam catatan sebagai proses berfikir
ilmiah, sebenarnya tak ada manusia yang bodoh, manusia punya segala sifat dan
potensinya. Manusia punya bakat masing-masing sesuai keinginannya. Manusia
adalah Al-Basyar yang berarti “penampakan” sesuatu dengan baik dan indah. Dan
dari akar kata yang sama lahir kata basyarah, yang berarti kulit, oleh karena
manusia dinamai basyar, sebab kulitnya Nampak jelas, dan berbeda dengan kulit
binatang lain. Al-Quran sendiri mempergunakan kata Al-Basyar sebanyak 36 kali
dalam bentuk mufrad (tunggal) dan sekali dalam bentuk mutsanna (dua) untuk menunjukkan manusia dari segi lahiriahnya
serta persamaannya manusia dengan seluruhnya. Karena itu, Rosulullah Muhammad
SAW dilukiskan dalam Al-Quran dengan kata
basyar, sebagaimana firman Allah :
.إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
Artinya : Aku adalah basyar
(manusia seperti kamu semua yang diberi wahyu” (Q.S. Al-Kahfi : 110)
Dr. M. Quraish Shihab lanjut menjelaskan bahwa
jika dicermati, maka banyak ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan kata basyar
yang mengisyaratkan tentang proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui
tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.[1]
Dan pada tahap kedewasaan ini manusia mencapai kematangan secara pola pikir,
emosi, dan sikap. Manusia berkembang mengikuti fase-fase ilmiah. Mulai dari
bayi, anak-anak, remaja, sampai menjadi manusia yang tua secara usia dan emosi
serta pola pikir. Pada tahap dewasa ini manusia mulai berfikir tentang
membangun keluarga untuk melestarikan keturunannya melalui pernikahan. Merawat
dan membesarkan anak-anaknya dikemudian hari.
Manusia
disertai akal oleh Allah untuk berfikir dan membedakan kebaikan dan kebatilan
serta melindungi diri dari bahaya, dengan akalnya manusia memilah-milah dan
berfikir praktis untuk memudahkan pekerjaan-pekerjaan selama menjalani proses
kehidupan. Agar kehidupan menjadi mudah dan lebih baik. Manusia diberi hak oleh
Allah untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia, kemerdekaan, dan bebas
mengungkapkan pendapat tentang kebenaran. Manusia berhak memilih tanpa harus
ada tekanan dari manusia lainnya, cuma faktor kepentingan manusia lainnya
akhirnya manusia hidup saling bersaing dan berkompetisi untuk meraih
kebahagiaan. Di sinilah awal manusia harus beradu kecerdasan dan keahlian untuk
menjadi yang terbaik. Dengan kecerdasan itulah manusia telah mengatur seisi
bumi dengan dalih-dalih hukum yang telah ia buat sendiri. Manusia di batasi
oleh aturan untuk hidup berkelompok-kelompok dalam suatu negara. Disekat-sekat
oleh identitas tertentu baik suku, agama, serta ras. Untuk mencapai kata
sepakat dalam berkelompokpun terkadang harus disertai dengan saling membunuh,
peperangan, karena sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles di atas
bahwa manusia adalah zoon politicon atau political animal, manusia adalah hewan
yang berpolitik. Tak heran jika manusia yang hidup dibumi ini saling
berlomba-lomba untuk mencari pengaruh dalam hal kekuasaan.
Manusia
bisa menjadi jahat jika dihadapannya terbuka jalan kejahatan dan tidak ada
pengawasan terhadapnya. Ia akan mencapai kedudukan tinggi kalau mampu
mengendalikan nafsu serta menundukkannya. Dalam hal ini, ada baiknya kalau
kalau kita simak ungkapan Sayyidina Ali, r.a
“Apakah kau kira bahwa kau
tubuh yang kerdil padahal, padamu terkandung dunia yang sangat besar.”
Dalam Al-Quran juga menjelaskan bahwa manusia
memiliki kemampuan dan kedudukan yang sangat tinggi, Al-Quran dan beberapa
hadits yang diriwayatkan oleh ahlul bait sering menggunakan keagungan manusia.
Al-Quran memandang manusia sebagai tujuan penciptaan alam semesta. Allah SWT
berfirman :
.هُوَ الَّذِي
خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا
Artinnya :
“Dia’lah Allah, yang menjadikan segala yang di bumi untuk kamu (QS. Al-Baqarah
: 29)
Dan juga firman-Nya :
Tidakkah kamu perhatikan, sesungguhnya Allah
telah menundukkan untuk kamu apa yang di langit dan apa yang di bumi (QS.
Luqman : 20).
Karena mansusia adalah makhluk yang mempunyai
derajat yang tinggi, maka Allah SWT melimpahkan atas memikulkan amanat sebagai
wakil-Nya di muka bumi ini untuk memakmurkannya, melestarikan sekaligus
menciptakan bayang-bayang kehidupan surgawi di atasnya.
Amanat
ibarat mandat, kepemimpinan. Manusia yang diberi kepercayaan oleh Allah sebagai
kholifah di bumi tidak dibiarkan memimpin dalam kehancuran meski pada dasarnya
manusia mewarisi watak merusak. Akan tetapi manusia dibekali ilmu untuk menjadi
pemimpin yang amanat yang mampu menjalankan roda kepemimpinan juga membutuhkan
penalaran dengan menggunakan akal. Manusia dengan akalnya mampu menjadi bijak.
Sedangkan mencari kebijaksanaan adalah mencari kebaikan. Tanpa ilmu tak kan ada
kebijaksanaan. Ilmu ibarat pelita untuk berjalan dalam kegelapan. Jika ingin
melihat jalan kebenaran ilmulah pegangannya. Sedangkan ilmu yang ada di bumi
tak terhitung kapasitasnya, jika di bandingkan dengan pasir dilautan masihlah
lebih luas ilmu. seperti hadits nabi tentang pentingnya ilmu.
Barang siapa yang
menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa
yang menghendaki kehidupan akherat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan
barang siapa yang menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu (HR.
Turmudzi).
Ilmu yang telah di pilah-pilah sesuai dengan
disiplin bidang dan cakupannya. Namun, dalam dasar ilmu sebagai mother of knowledge atau induk ilmu
pengetahuan adalah filsafat. Dalam Islam filsafat atau falsafah, artinya
anggapan, gagasan atau sikap batin yang paling mendasar, berusaha mencari
hakekat dan kebenaran pengetahuan. Seperti dalam Al-Quran sebagai sumber
pengetahuan perlu untuk dijabarkan dengan logika dan kejadian-kejadian yang
berlandaskan tentang sejarah. Meski ada beberapa rahasia Allah yang tidak bisa
dijabarkan dengan kemampuan akal manusia.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda