Minggu, 04 Desember 2016

Pram dan Karya Tulisnya


http://mulpix.com/instagram/sastra_dan_indonesia.html

Oleh. Rohmat Sholihin*

Memahami pribadi Pram seperti memahami kata-kata dan kalimat-kalimat yang ada dalam setiap buku-buku karyanya. Meledak-ledak emosinya dan penuh intrik. Jika karyanya dinilai ibarat masakan, pedas tak terkira. Namun ada juga sisi kelembutan yang hangat disetiap menampilkan tokoh utamanya misalkan tokoh Minke, seorang pejuang yang dingin memainkan penanya untuk melawan terhadap ketimpangan hidup disekitarnya. Ketidakadilan dan penindasan terhadap anak bangsa yang telah lama hidup dalam belenggu keterjajahan. Anak pribumi yang selalu menjadi jongos di rumahnya sendiri, menjadi bulan-bulanan sistem penjajah yang telah rapat mengurung corak berfikirnya, tak ada ruang sedikitpun untuk kebebasan sekalipun hanya untuk bernafas. Penjajahan, menguasai orang yang lemah, tak ada nyali untuk melawan penguasa bahkan sekali melawan, nyali telah diratakan dan dibumi hanguskan. Menjajah bukan hanya persoalan membunuh dan dibunuh tapi menjajah lebih dari itu, mengeruk harta sumber daya alam seenaknya juga bagian dari jiwa-jiwa menjajah. Memperlakukan orang-orang lemah seperti jongos juga bagian dari menjajah. Melestarikan budaya feodal juga bagian dari menjajah. Bahkan orang-orang tak boleh pintar juga bagian dari menjajah.

            Kapitalisme melahirkan Kolonialisme. Dari mengumpulkan modal melalui penghisapan keringat para pekerja, tumbuhlah kesuburan modal kapitalisme. Rakyat kecil punya apa? Tak punya apa-apa, hanya punya keyakinan dalam hati bahwa esok hanya memikirkan bagaimana cara untuk makan bagi keluarganya. Tak punya cukup uang untuk ditabung di bank atau di bawah bantal. Uang yang telah dimiliki oleh para pekerja hanya akan berputar untuk membeli produk-produk dari kapitalisme yang telah ia buat sendiri. Dipabrik-pabrik barang-barang itu telah ia buat tapi gaji yang ia dapati tak sebanding dengan harga barang-barang tersebut. Membelinyapun bahkan harus dengan menyicil atau kredit, ada profit lagi yang harus diterima di kantong kapitalisme melalui bank. Kapitalisme bisa menjadi produsen juga bisa menjadi konsumen.

            Pram menggambarkan dialektika realis sosialisme dalam karyanya dengan apik dan perlahan-lahan pula. Seperti kisah Perburuan, menggambarkan betapa menderitanya kehidupan waktu itu. Banyak orang-orang pribumi yang harus merelakan waktunya untuk tidur di bawah kolong jembatan akibat dari sistem sosial yang telah diberangus oleh sistem kolonialisme. Sistem sosial kita diporak-porandakan, kriminal meningkat dan orang terlunta-lunta mencari peraduan hidup damai dibuminya sendiri yang telah dirampas secara paksa. Semua itu bukan kesalahan dari sistem kolonialesme saja tapi karena kebiasaan dan budaya kita sendiri yang terkadang membenarkan sistem feodalisme. Ada pembedaan-pembedaan dari sistem sosial kita, dimana kelas-kelas sosial kita dibuat seperti terkotak-kotak, ada kelas penguasa, ada kelas tuan tanah, ada kelas ningrat dan juga ada kelas kere atau rakyat jelata yang tak punya apa-apa.  Seharusnya itu mulai dihindarkan, sebab dimata Tuhan bahwa manusia adalah sama, yang membedakan adalah tingkat ketaqwaan dan keimanan seseorang itu sendiri, meski ia lahir dan dibesarkan dilingkungan budak sekalipun jika ia mempunyai tingkat ketaqwaan dan keimanan yang tinggi ia akan mempunyai derajat yang tinggi pula. Namun, pada kenyataannya realitas itu sulit ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat kecuali pada zaman nabi Muhammad dan para sahabat-sahabatnya. Nabi Muhammad menggunakan sistem dakwah yang sangat hebat, yaitu tidak pernah membeda-bedakan status sosial personalnya. Sehingga lambat laun ajaran yang disampaikan dapat diterima oleh segala kalangan baik dari kalangan budak, kalangan bangsawan, kalangan pedagang, dan tentu saja kaum perempuan. Banyak juga sahabat-sahabat nabi Muhammad yang hidup tertindas. Namun nabi Muhammad tidak pernah lelah terus memberikan semangat dan pertolongan pada kaumnya.

            Karya Pram juga hampir semua menyuarakan pembelaan terhadap ketimpangan sosial, ketertindasan sistem sosial yang banyak ia angkat ke permukaan agar bisa menjadi kajian anak bangsa secara kritis tanpa harus bermusuhan. Karena memang bukan untuk dimusuhi tapi untuk dikaji pemikiran-pemikiran yang lahir dalam bentuk tulisan-tulisan yang berguna bagi perkembangan khasanah literasi untuk masa depan anak bangsa sebagai bahan rujukan dan referensi keilmuan. Meski ia sendiri harus berdarah-darah dalam penjara kurang lebih 14 tahun oleh rezim penguasa yang sebenarnyapun tak berpengaruh dalam kekuasaannya. Banyak fitnah yang bertubi-tubi mulai dari komunis, makar, hanya untuk mengkerdilkan nyali pemikirannya yang brilian. Buktinya tidak terbukti. Pengarang tidak untuk diklaim salah dari hasil karangannya, tapi perlu untuk diberi kesempatan bersuara dengan penjelasan-penjelasan yang berdasarkan data-data yang telah diambil sebagai bahan penelitiannya. Seperti contoh karya Pramoedya dalam Arus Balik yang kontoversial itu, banyak orang beradu argumentasi tentang hasil tulisannya itu. Boleh saja, karena seribu alasan bisa saja kemungkinan terjadi. Ada yang mengatakan Pramoedya ngawur dengan berdasarkan ketidaksetujuannya menggambarkan tentang tokoh Sunan Kalijaga yang tidak sesuai gambaran aslinya, ada yang mengatakan hasil rekaannya saja, bahkan ada yang mengatakan bahwa itu hasil pergolakan batinnya yang terlalu lama dalam penjara sehingga Pram banyak memahami tentang ilmu kebatinan, ada yang mengatakan ini adalah karya semacam epos sejarah, dan tentu saja masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang terus bisa saja terjadi. Karena menurut Pram sendiri bahwa menulis adalah suatu keberanian. Karena ketika tulisan dimunculkan dalam karya dan dibaca oleh banyak kalangan dalam situasi apapun kemungkinan bisa saja terjadi kritik dan cercaan yang kita terima. Tapi kita harus kuat, karena tulisan yang telah kita tulis ibaratnya perut kita merasa mual dan berhasil dimuntahkan, lega kan! Tak harus dengan cara kekerasan untuk mengadili hasil karya seseorang. Beda boleh tapi harus juga dibuktikan dengan karya yang tidak boleh kalah dengan yang diadili, jangan hanya bisa mengkritik saja karena tak jauh beda dengan omong kosong belaka.

            Kita telah banyak diajari Pram bagaimana memposisikan diri kita sebagai pengarang dan penulis. Meski kita bukan penulis kondang seperti beliau. Tapi agar kita punya dukungan moril serta kepercayaan bahwa untuk menjadi penulis setidaknya punya modal idealis untuk berani menyuarakan ide dan gagasan. Menulis tidak rugi, menulis membuat kita sebagai seorang ksatria karena dalam menulis sebenarnya upaya pembelaan terhadap dirinya sendiri dan orang lain, tak salah jika Pram mengatakan bahwa menulis adalah tugas nasional. Bukan berarti semua orang harus menjadi penulis, ya setidaknya banyak orang yang secara tidak sadar selalu berhubungan dengan menulis meski hanya menullis dalam nota atau karcis pasar sekalipun atau menulis surat untuk kekasihnya, yang jelas tulisan, sekali lagi, tulisan adalah sarana untuk memberi pengertian bahwa tulisan adalah penting. Maka dari itu tulisan ada untuk dibaca bukan dihancurkan, jika tak suka buang saja ke tong sampah tapi jangan dibakar. Selamat menulis!.


*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda