Perempuan Berlumur Luka
http://kabar2.com/2013/02/terluka-puisi.html
Oleh. Rohmat
Sholihin*
“Mas, janin yang ada dalam perutku ini adalah
janinmu.” Katamu di kala senja menjelma petang. Aku hanya diam memandang ombak
laut Jawa yang tak ada henti-hentinya, berkejar-kejaran, sambung menyambung.
Meski dalam hatiku ada perasaan aneh bercampur kaget.
“Apa? Kau
hamil.”
“Iya mas.”
“Gimana bisa?
Apa jadinya? Aku punya istri dan anak. Jika istriku tahu, apa yang harus aku
jelaskan?”
Kau hanya diam
menatap laut. Rambutmu terurai oleh angin laut, bergoyang-goyang seperti
ilalang di semak-semak belukar. Tak bicara.
“Gugurkan saja!”
kataku.
Kau masih saja
diam. Hanya air mata jatuh berderai dari kelopak matamu. Ada gurat sesal di
wajahmu yang agak pucat, entah takut, atau entah kecewa dengan bicaraku. Akupun
berusaha tenang dan halus.
“Kapan kau tahu
jika hamil?”
“Beberapa hari
ini badanku terasa kurang enak, perutku mual, dan sering muntah, aku kira masuk
angin, tapi beberapa minggu ini aku juga telat datang bulan, ada yang terasa
aneh dalam perutku mas, aku tes sendiri dengan alat tes kehamilan, ada dua
garis merah mas, itu tandanya aku hamil mas.” Jawabmu dengan linang air mata.
“Kenapa kau
tidak mengobatinya?”
“Sudah mas,”
“Kok bisa
terjadi.”
“Aku tak tahu
mas.”
“Kau mungkin
masuk angin saja.”
“Bukan mas,
kalau masuk angin biasanya hanya 2 sampai 3 hari sudah sembuh mas.”
Bicara tak aku
teruskan, hanya diam merasakan getaran hati dan detak jantung yang semakin
cepat. Dipikiranku kau bagaikan serigala yang menyeringai, gigimu bertaring
mengerikan siap menggigitku, matamu merah penuh dengan darah, cakarmu siap
mengoyak dan mencabik-cabik tubuhku. Sekali lagi, aku pandangi wajahmu, dengan
rambut berkibar-kibar kau bagaikan seorang ibu yang duduk menunggu anakmu. Aku
bingung harus bilang apa, dihadapmu aku semakin tak berdaya, sedangkan wajah
istriku terbayang dengan kemarahan meronta, anak-anakku menangis seakan-akan
memanggil namaku dengan sendu, “Ayah…ayah…!” aku gelagapan ketika kau memukulku
dengan keras.
“Mas…mas…kau
kenapa?”
“Oh
iya…bagaimana dik?”
“Kenapa kau
gelagapan mas?”
“Tak apa, aku
hanya capek dan mengantuk,”
“Istirahatlah.”
Katamu pelan dan masih menatap laut, lepas, serasa tak bertepi.
Aku masih
berperang dengan perasaanku, apa yang harus kulakukan? Menghadapimu yang telah
berjantung dua. Kehamilanmu yang membuatku sesak bagai ditikam seribu jarum
menghujam. Beginilah ulah anak manusia yang dilanda kasmaran, namun terlarang.
Menerjang cinta yang seharusnya tak perlu terjadi. Benar-benar nekat. “Apa kata
istriku, jika ia tahu.” Batinku terbuai dengan kesenduan, tak tenang, dan
terancam.
‘Mas, aku mau
pulang.”
“Aku antar?”
“Tak usah.”
“Kenapa?”
“Biarkan aku terlatih membawa bebanmu dalam kesendirian, kesunyian, dan kesepian.”
“Biarkan aku terlatih membawa bebanmu dalam kesendirian, kesunyian, dan kesepian.”
“Tidak, biar
kuantar saja kau.” Paksaku.
‘Tak usah, mas.
Aku bisa pulang sendiri, kau pulanglah, temani anak-anak dan istrimu dirumah.”
Bicaramu pelan, sepelan kau tatap aku dengan ketegaran yang kau paksakan. Dan
aku tak berkutik dibuatnya, serasa aku laki-laki yang kalah perang. Tak
berprinsip dan tak bernyali. Padahal jantungmu yang dua itu, satunya adalah
milikku yang harus aku jaga. Tapi, keadaanlah yang tak berani aku lawan. Kau tetap nekat pergi
meninggalkan aku sendiri mematung menatap laut. Bayanganmu terendap-endap
membawa beban berat. Tentang cinta yang kemarin dipuja-puja, pupus sudah. Aku
terkesan menyerah dimatamu. Tangismu memecah ombak di lautan, menghantam karang.
Janinku yang bersemayam diperutmu hanya bukti jika cinta tak seindah dalam
bayangan. Aku kalah, dan kau tetap tegar terus berjalan dengan tangis, luka,
yang terus menyelimuti hatimu. “Maafkan aku, dik.” Kukepalkan tinjuku yang tak
lagi perkasa.
*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda