Kamis, 03 November 2016

Perempuan Berlumur Luka



http://kabar2.com/2013/02/terluka-puisi.html


Oleh. Rohmat Sholihin*
           
             “Mas, janin yang ada dalam perutku ini adalah janinmu.” Katamu di kala senja menjelma petang. Aku hanya diam memandang ombak laut Jawa yang tak ada henti-hentinya, berkejar-kejaran, sambung menyambung. Meski dalam hatiku ada perasaan aneh bercampur kaget.
“Apa? Kau hamil.”
“Iya mas.”
“Gimana bisa? Apa jadinya? Aku punya istri dan anak. Jika istriku tahu, apa yang harus aku jelaskan?”
Kau hanya diam menatap laut. Rambutmu terurai oleh angin laut, bergoyang-goyang seperti ilalang di semak-semak belukar. Tak bicara.
“Gugurkan saja!” kataku.
Kau masih saja diam. Hanya air mata jatuh berderai dari kelopak matamu. Ada gurat sesal di wajahmu yang agak pucat, entah takut, atau entah kecewa dengan bicaraku. Akupun berusaha tenang dan halus.
“Kapan kau tahu jika hamil?”
“Beberapa hari ini badanku terasa kurang enak, perutku mual, dan sering muntah, aku kira masuk angin, tapi beberapa minggu ini aku juga telat datang bulan, ada yang terasa aneh dalam perutku mas, aku tes sendiri dengan alat tes kehamilan, ada dua garis merah mas, itu tandanya aku hamil mas.” Jawabmu dengan linang air mata.
“Kenapa kau tidak mengobatinya?”
“Sudah mas,”
“Kok bisa terjadi.”
“Aku tak tahu mas.”
“Kau mungkin masuk angin saja.”
“Bukan mas, kalau masuk angin biasanya hanya 2 sampai 3 hari sudah sembuh mas.”
Bicara tak aku teruskan, hanya diam merasakan getaran hati dan detak jantung yang semakin cepat. Dipikiranku kau bagaikan serigala yang menyeringai, gigimu bertaring mengerikan siap menggigitku, matamu merah penuh dengan darah, cakarmu siap mengoyak dan mencabik-cabik tubuhku. Sekali lagi, aku pandangi wajahmu, dengan rambut berkibar-kibar kau bagaikan seorang ibu yang duduk menunggu anakmu. Aku bingung harus bilang apa, dihadapmu aku semakin tak berdaya, sedangkan wajah istriku terbayang dengan kemarahan meronta, anak-anakku menangis seakan-akan memanggil namaku dengan sendu, “Ayah…ayah…!” aku gelagapan ketika kau memukulku dengan keras.
“Mas…mas…kau kenapa?”
“Oh iya…bagaimana dik?”
“Kenapa kau gelagapan mas?”
“Tak apa, aku hanya capek dan mengantuk,”
“Istirahatlah.” Katamu pelan dan masih menatap laut, lepas, serasa tak bertepi.
Aku masih berperang dengan perasaanku, apa yang harus kulakukan? Menghadapimu yang telah berjantung dua. Kehamilanmu yang membuatku sesak bagai ditikam seribu jarum menghujam. Beginilah ulah anak manusia yang dilanda kasmaran, namun terlarang. Menerjang cinta yang seharusnya tak perlu terjadi. Benar-benar nekat. “Apa kata istriku, jika ia tahu.” Batinku terbuai dengan kesenduan, tak tenang, dan terancam.
‘Mas, aku mau pulang.”
“Aku antar?”
“Tak usah.”
“Kenapa?”
“Biarkan aku terlatih membawa bebanmu dalam kesendirian, kesunyian, dan kesepian.”
“Tidak, biar kuantar saja kau.” Paksaku.
‘Tak usah, mas. Aku bisa pulang sendiri, kau pulanglah, temani anak-anak dan istrimu dirumah.” Bicaramu pelan, sepelan kau tatap aku dengan ketegaran yang kau paksakan. Dan aku tak berkutik dibuatnya, serasa aku laki-laki yang kalah perang. Tak berprinsip dan tak bernyali. Padahal jantungmu yang dua itu, satunya adalah milikku yang harus aku jaga. Tapi, keadaanlah yang  tak berani aku lawan. Kau tetap nekat pergi meninggalkan aku sendiri mematung menatap laut. Bayanganmu terendap-endap membawa beban berat. Tentang cinta yang kemarin dipuja-puja, pupus sudah. Aku terkesan menyerah dimatamu. Tangismu memecah ombak di lautan, menghantam karang. Janinku yang bersemayam diperutmu hanya bukti jika cinta tak seindah dalam bayangan. Aku kalah, dan kau tetap tegar terus berjalan dengan tangis, luka, yang terus menyelimuti hatimu. “Maafkan aku, dik.” Kukepalkan tinjuku yang tak lagi perkasa.


*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda