Pasar Kebo
Pasar Kebo
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=4&n=1&date=2015-12-27
Oleh.
Rohmat Sholihin*
Malam yang semakin nakal ini terus
menggelayut riuh. Suara hiruk pikuk orang berkaraoke masih belum ada
tanda-tanda lelah, masih terus bernyanyi dengan enjoynya. Dan berjoget ria
begitu senangnya. Bergoyang ke kanan, ke kiri, dengan aroma alkohol menyebar
seisi ruangan karaoke yang tidak terlalu besar di sudut Pasar Kebo. Remang-remang
dengan lampu berkelip-kelip menambah suasana malam menjadi suram. Aku sengaja
bermalam di sini untuk bertemu dan bertransaksi dengan polangan atau juragan sapi esok hari. Dan harus segera mengirimnya
ke Jakarta. Aku mendekati tempat itu dan sekedar mencari hiburan untuk membunuh
sepi.
“Mari bang,
minum.” Ajak perempuan bahenol yang sangat menggoda. Dengan parfumnya yang
wangi menyengat dan rambut rebondingnya yang selalu harum seperti habis keramas
di salon. Usianya juga masih belum terlalu tua, masih terkesan segar. Dan maaf, masih mantap. Lelaki hidung belang
mana yang tidak tergoda melihat kostumnya yang serba ketat.
“Siapa namamu
mbak?” sapaku dengan senyum manis.
“Iyem, bang.”
“Mbak Iyem, sudah
lama kerja disini?”
“Sudah agak lama
bang, setelah Dolly dibubarkan.”
“Kok
dibubarkan.”
“Iya kan sudah
tidak boleh beroperasi disitu lagi bang.”
Tertawaku
semakin keras, ada hal lucu diotakku tentang kalimatnya Dolly dibubarkan, seperti
upacara saja memakai kata dibubarkan. Atau lebih tepatnya bisa memakai bahasa
jawa khas yaitu obrakan-obrakan.
“Tambah lagi
minumnya mbak!” pintaku
“Okey bang.”
Beberapa gelas minuman
telah aku tenggak. Kepalaku semakin berat, pandanganku semakin
berkunang-kunang, namun hatiku masih tetap ingin menambah seteguk lagi minuman
yang mengandung alkohol tinggi itu. Seteguk lagi, seteguk lagi, dan ingin
seteguk lagi. Ingin terus minum meski perutku semakin panas dan pandanganku
semakin berkunang-kunang, kepalaku, apalagi semakin berat. Memandang Iyem yang
ada didepanku seolah-olah ada dua, tersenyum manis dengan rambut rebondingnya
yang terurai seperti bidadari yang baru turun dari kahyangan, bodi tubuhnya
yang semlohai dengan ramah menemaniku, menganggapku laksana pangeran malam yang
baru datang dari medan perang, menyambutku dengan ramah laksana raja berkuasa,
melayaniku dengan senyum kehangatan. “Apakah ini kenyataan?” hatiku tak
percaya. Kuusap lagi kedua mataku yang
nanar, merah, dan lelah, masih saja bayangan Iyem seperti Putri kecantikan,
mempesona malam ini. Menggodaku dengan sentuhan-sentuhan halus tangannya, lembut
suaranya, merayuku, dan seakan-akan membuatku terbang ke langit-langit. Aku
mencoba untuk berdiri, serasa tubuhku terbang dan jatuh terduduk lagi dikursi
sofa Karaoke yang empuk. Tubuhku ditangkap oleh Iyem, dibisiki kata-kata mesra
dan terus membuatku serasa terbang menuju puncak keindahan malam tiada tara. Akupun
tergoda.
“Ayo masuk bang,
tidur saja didalam.” Ajak Iyem.
“Baiklah Yem.” Jawabku
pelan.
Aku tak kuasa
menolak ketika tubuhku digandeng oleh Iyem yang harum dan hangat. Seakan-akan
memberikan pelayanan yang melebihi segalanya. Aku rebahkan tubuhku dikasur yang
empuk. Dan Iyem masih setia menungguiku, mengajakku bicara yang samar-samar
terdengar kata-kata “tenang saja bang, mari kita nikmati malam ini.”
Perlahan-lahan kurasakan aku seperti tertidur di istana kerajaan yang megah dan
ditemani putri kerajaan yang jelita. Aku terperangkap dalam pelukan Iyem yang
menawan. Aku tak berkutik dalam godaan Iyem. Namun minuman alkohol itu semakin
membuat kepalaku berputar-putar dan aku tak kuat bertahan hingga semua yang ada
dalam perutku kembali muntah ke lantai.
“Abang pusing
ya?”
“Iya. Terlalu
banyak minum Yem.”
“Oh tidak bang,
hanya seteguk saja kok bang.”
“Ah yang benar
Yem, kenapa aku hampir saja ambruk.”
“Perasaan abang
saja paling. Buat tidur saja lagi bang. Aku temani.” Dengan cekatan tangan
halus Iyem memijitiku. Namun, semakin mual perutku tak tertahankan. Aku pun
berusaha mencari kamar mandi.
“Kamar mandinya
dimana Yem?”
“Disini bang,
aku antar ya.”
“Tak usah Yem,
kau tetap disini saja, tunggu aku sebentar. Perutku sangat mual.”
“Baiklah bang.”
Terhuyung-huyung
tubuhku yang setengah sadar mencari ruangan kamar mandi. Terseok-seok aku masuk
ke kamar mandi. Segera aku muntahkan isi perutku yang sangat mual. Aku basuh
perlahan-lahan wajahku dengan air hingga terasa sedikit segar, mataku kembali
perlahan-lahan dapat fokus lagi melihat langit-langit kamar mandi yang disinari
lampu bohlam. Tak berapa lama, aku keluar dari kamar mandi. Dan kudengar ada
teriakan-teriakan yang gaduh diluar, suaranya semakin jelas masuk ke dalam
ruangan.
“Tak usah lari!,
berhenti!, kami hanya ingin memeriksa saja.” Teriakan itu semakin jelas dan
bercampur dengan suara jerit perempuan. Aku terhenyak sejenak, maka kuputuskan
dengan langkah terhuyung-huyung aku lari ke arah ruang belakang dan membuka
pintunya. Meski ada beberapa teriakan keras terdengan, “jangan lari, jangan
lari,” aku tak perduli dengan tubuh terhuyung-huyung aku tetap berlari sekuat
tenaga. Tak perduli Iyem, tak perduli semuanya, aku harus menyelamatkan diri.
Esoknya fajar menyingsing. Masih setia
memberikan senyum hangatnya pada alam semesta. Masih memberikan sinarnya kepada
setiap makhluk-Nya tanpa pandang bulu. Tak perduli pada manusia banyak dosa
seperti akupun masih punya kesempatan menikmati cahaya indahnya tanpa membayar
sepersenpun. Meski banyak dosa yang telah aku perbuat ditempat mesum karaoke di
Pasar Kebo semalam. Hampir saja aku terperangkap dalam jurang iblis jahanam. Hampir
saja tubuhku bergumul dengan Iyem, primadona PasarKebo.
“Inilah kuasa-Nya
yang melebihi dari seluruh makhluk apapun dimuka bumi ini. Andaikan matahari
itu membeda-bedakan cahayanya hanya untuk orang suci saja, semua orang akan
berbondong-bondong datang ke masjid, klenteng, pura, wihara, gereja bahkan
sinagog. Semua orang akan berlomba-lomba untuk menjadi suci, sedangkan kesucian
hati seseorang bukanlah sesuatu yang dibentuk dengan mudah dan hanya rajin
datang ditempat ibadah saja. Tuhan punya rencana-rencana yang tak bisa ditebak
sebelumnya.” Batinku.
Aku terbangun
dari tidurku diemper toko setelah ambruk tak kuat lagi berlari. Untung aku tak
kena razia semalam. Cepat aku lihat dompetku masih utuh semuanya. Bergegas menuju
pasar kebo lagi untuk bertemu dengan juragan sapi dan memastikan sapinya benar-benar
pilihan dengan kualitas bagus untuk segera aku kirim ke Jakarta. “Semoga ia sabar menungguku.” Pikirku.
Sesampai di Pasar Kebo, suasana sudah semakin ramai, banyak orang-orang bicara tentang
peristiwa penggerebekan di karaoke semalam. Aku diam saja. Ternyata orang-orang
banyak mengetahuinya dari berita koran pagi ini. Ada yang resah ada yang biasa
saja dan ada yang marah-marah. Aku semakin penasaran saja. Kenapa mereka bisa
begitu. Ternyata si Iyem telah tertangkap oleh satpol PP dan kabarnya Iyem dinyatakan
positif terjangkiti virus HIV. Primadona Pasar Kebo itu membuat para hidung belang
yang pernah kumpul kebo dengannya menjadi takut, pucat pasi, was-was, frustasi,
putus asa dan bertanya-tanya dalam hati.
“Mudah-mudahan
aku selamat.” Hatiku kecut.
*Penulis adalah Guru MI Salafiyah Bangilan, anggota Forum Komunikasi
Mahasiswa Bangilan (FKMB) dan aktif di Komunitas Literasi Kali Kening
Bangilan-Tuban.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda