Mengulas Sisi Kelam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Kajian
Komunitas Kali Kening (1)
Mengulas Sisi
Kelam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Oleh. Rohmat Sholihin*
“Indonesia adalah
negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.” Pramoedya
Ananta Toer.
Di jalan yang terbentang 1000
km ini telah bersemayam
ribuan nama yang tak bisa
disebutkan satu-persatu.
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Rakyat bergelimpangan, meregang
nyawa, binasa.
Tak berharga dan sia-sia.
Tersiksa dan disiksa.
Keringatnya tercecer-cecer
membasahi bumi pertiwi.
Darahnya tak lagi segar, muram
dan hitam seperti nasibnya.
Kelaparan, kelelahan,
penyiksaan tuntas tak terkira.
Genosida negeri Tiran.
Benar-benar kejam.
Kerja paksa apapun dipaksa.
Rakyat jelata yang selalu jadi
tumbal kekuasan dan kebengisan tak bisa berbuat apa-apa.
Melawan?
Tiang gantungan dan peluru
mengancam.
Diam?
Kematian juga pasti akan
datang.[1]
Buku
ini adalah buku yang menjadi saksi atas peristiwa pembantaian-pembantaian
manusia pribumi di balik pembangunan Jalan Raya Pos atau yang lebih dikenal
dengan Jalan Daendels. Jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara
pulau Jawa, dari Anyer sampai Penarukan, itu dibangun tepatnya dilebarkan
dibawah perintah Maarschalk en Gouverneur, Mr. Herman Willem Daendels. Rampung
dan dipergunakan 1809.
Menurut
Pramoedya Ananta Toer, pembangunan jalan ini merupakan satu dari banyak kisah
tragedi kerjapaksa yang terjadi sepanjang sejarah di Tanah Hindia. Kisah
genosida lain terjadi di pulau Bandaneira, 1621, yang dilakukan Jan Pietersz
Coen. Korban kerjapaksa tak pernah disebutkan karena nama-nama si jelata memang
tak pernah bisa dihargai. Yang lain terjadi setelah Perang Jawa, 1825-1830,
usai. Setelah perang melelahkan itu, Hindia Belanda bangkrut. Untuk
menanggulangi krisis keuangannya Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan
kerja tanampaksa dipelbagai perkebunan dan pembangunan jalan kereta api.
Yang
lain lagi, dan ini berlangsung di abad 20, terjadi di Kalimantan Barat yang
dilakukan balatentara fasis Jepang. Yang lain lagi, di Sulawesi Selatan dibawah
perintah Kapten Westerling yang menelan korban sekitar 40.000 orang. Lalu pada
paruh abad 20, genosida baru lahir, kali ini dilakukan penguasa pribumi sendiri
kepada warganya. Sepenuturan Pramoedya, Orde Baru dibangun di atas luka genosida
yang menelan ratusan, sejuta, atau bahkan satu setengah juta korban yang
anehnya kabar ini disambut oleh kalangan Barat sebagai “berita baik”.
Dan
lewat buku ini, Pramoedya Ananta Toer menuturkan sisi paling kelam dari
genosida pembangunan jalan raya yang beraspalkan darah dan airmata
manusia-manusia Republik tersebut. Ribuan mayat tercecer di jalan-jalan.
Dari
pemeriksaan yang cukup detail dan bercorak tuturan perjalanan ini, membiak
sebuah ingatan yang satire, bahwa kita adalah bangsa kaya tapi lemah. Bangsa
yang sejak lama bermental diperintah oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa yang
penguasanya lebih asyik memupuk-mupuk ambisi kekuasaan daripada mengerti
kesejahteraan bagi warganya.[2]
Uraian
pembuka dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diatas membuka kisah pahit
perjalanan bangsa kita ini yang terus berjibaku dengan kekuasaan yang tak
memperdulikan rasa kemanusiaan. Bangsa kita yang selalu langganan bulan-bulanan
pembantaian tidak segera belajar dari sejarah-sejarah yang hampir terus terjadi
secara berulang-ulang, bangsa kita seakan-akan mudah melupakan tragedi-tragedi
memilukan itu. Tidak segera berbenah dan menjadi catatan penting perjalanan
sejarah bangsa yang paling tragis diseluruh dunia. Benar-benar nyawa tak ada
artinya. Bergelimpangan karena pembunuhan, kelelahan, penyiksaan, kelaparan,
malaria dan wabah-wabah penyakit lainnya. Belum lagi faktor kerakusan manusia
dengan kekuasaannya menjadi bengis demi mengejar keuntungan semata. Dibuktikan, besarnya jumlah Pribumi
yang tewas tidak membuat Daendels berhenti ditengah jalan. Dengan demikian
kurban-kurban yang lebih banyak lagi berjatuhan sebenarnya sama saja dengan
genosida, pembunuhan besar-besaran. Dan yang demikian bukan yang pertama kali
yang dialami oleh penduduk kecil pribumi. Genosida pertama yang dilakukan
Belanda dilakukan oleh Jan Pietersz Coen di bulan-bulan awal pertama 1621 di
Bandaneira. Seluruh penduduk binasa. Yang sempat melarikan diri mengungsi ke
pulau-pulau lain. Belanda mendatangkan budak belian untuk menjadi penduduk baru
buat memelihara dan menjadi pemetik pala dan cengkeh yang ditinggalkan penduduk
lainnya.[3]
Keadaan yang berbalik 180 derajat, penduduk pribumi harus rela menyingkir
meninggalkan tanah-tanahnya yang telah dirampas oleh Kolonial. Seperti tanah
yang tak bertanah, sistem tanam paksa yang membuat penduduk kelaparan. Para
petani tak lagi bisa menikmati tanah garapannya, tak lagi bisa makan sesuai apa
yang telah ditanam, tanahnya hanya menjadi ajang eksploitasi kaum kapitalis
yang hanya mementingkan keuntungan tanpa memperhatikan sisi kemanusiaan.
Seperti apa yang telah dipidatokan Presiden Soekarno,
Tanah untuk mereka jang betul-betul
menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka jang dengan duduk ongkang-ongkang
mendjadi gendut-gendut karena menghisapan keringatnja orang-orang jang disuruh
menggarap tanah!(hal64)[4]
Tegas sekali pidato Bung Karno dalam membela rakyat
kecil terhadap penghisapan-penghisapan oleh praktek sistem kapitalis. Apalagi
tujuan Daendels melebarkan jalur Anyer-Penarukan didasari dalih membuka jalur
perdagangan lebih mudah yang asalnya ditempuh beberapa hari bisa ditempuh
dengan waktu 2, bahkan 3 hari perjalanan darat. Kegiatan ekonomi lebih mudah
aksesnya, tentunya untuk keperluan kompeni dalam mengurusi dagang apapun
termasuk lada, kopi, tebu, dan lain-lain. Pedihnya rakyat harus dipaksa menanam
beberapa tanaman tertentu, tanaman yang hanya laku tinggi dipasaran
international. Sedangkan rakyat pribumi yang terbiasa memakan jagung, beras,
singkong tak punya kesempatan untuk menanam itu sehingga kelaparanlah yang
mereka derita meski berada di tanah-tanah yang subur namun tenaga dan hasil
produksinya hampir semua dikeruk oleh Kolonial Belanda. Seperti ketika
pembangunan Jalan Raya Pos sampai di daerah Karanganyar yang daerahnya
rawa-rawa yang lebih cocok sebagai tempat tinggal buaya.
Dalam pembikinan jalan memantai Laut
Jawa dari Karangsembung sampai Semarang, pekerjapaksa bukan saja diserang oleh
kelelahan, juga oleh malaria. Sedang waktu menggarap ruas Demak-Kudus memotong
semenanjung Muria/Jepara, para pekerja berkaparan dalam meninggikan tanah di
rawa-rawa Karanganyar baik karena kelelahan, perlakuan keras, maupun malaria
yang berabad menghantui wialayah Karanganyar. Malahan semasa mengerjakan ruas
ini rawa-rawa Karanganyar sebagian merupakan tepian laut yang menjorok ke
darat, lingkungan alam yang cocok jadi habitat buaya,juga di sini, begitu juga
Jalan Raya Pos selesai langsung dikeluarkan perintah menanam kopi sekali pun
alamnya tidak begitu cocok untuk tanaman tersebut. Kegagalan yang mengikutinya
harus ditanggung oleh para penanam.[5]
Bukan hanya didaerah Karanganyar saja para
pekerjapaksa yang dihantam kesulitan medan akibat malaria. Tapi hampir disetiap
daerah sepanjang pantai utara yang hampir daerahnya rawa-rawa menjadi sarang
malaria yang mematikan.
Serang
Dari Banten Lama Jalan Raya Pos
membelok ke selatan disebabkan memang tidak bisa menembus ke timur, sebuah
padang rawa-rawa pantai yang seakan tak ada tepinya, dan secara turun-temurun
menjadi pembiakan malaria yang mematikan[6]
Bukan berarti rakyat pribumi
tak melakukan perlawanan-perlawanan, seperti di daerah Sumedang ada perlawanan
dari rakyatnya yang dipimpin oleh Pangeran Kornel dengan ditandai patung
Pangeran Kornel sedang berjabat tangan dengan Daendels dengan menggunakan
tangan kiri sedang tangan kanan memegang hulu keris. Meski perlawanan dapat
dipatahkan oleh pihak Belanda. Tapi setidaknya ada perlawanan, menyurakan
suaranya sbahwa dalam perlawanan itu membuahkan keberanian meski kandas pula
akhirnya. Namun, jika kita bayangkan bahwa seluruh rakyat dapat bersatu,
melawan, dan bertempur bisa dipastikan Belanda tak kan lama berada di bumi
pertiwi ini. Kenyataannya juga banyak orang-orang penjilat bangsanya sendiri
demi mengamankan posisi mereka sebagai antek-antek kolonial yang bisa hidup
nyaman, dan serba kecukupan sebagai abdi kolonial. Mendukung sistem penghisapan
terhadap rakyat kecil yang tak berdosa meski itu bagian dari bangsanya.
Bahkan untuk berhasilnya proyek
pembangunan jalannya, Daendels tidak bergeming melihat ribuan nyawa pribumi
melayang. Sekali lagi laporan orang Inggris pada 1815 itu: seluruh Jalan Raya
Pos itu kurban tewas diperkirakan sejumlah 12.000 orang. Jadi Marsekal Gubernur
Jenderal itu meneruskan Genosida tak langsung itu. Demi pembangunan. Dan yang
tewas tidak akan pernah melihat, jangankan menikmati, hasil cucuran keringatnya
sendiri.[7]
Kenapa
bisa terjadi? Apa yang salah dengan rakyat pribumi? Kenapa tak berdaya melawan
Kompeni? Dan mengapa VOC bisa berjaya menjarah kekayaan alam Indonesia sampai
demikian lama? Pertama, tentu karena pemerintah Belanda memberikan dukungan
politik sepenuhnya. VOC diberi hak monopoli dagang di Hindia Timur (maksudnya
kepulauan Nusantara) dan dibantu menyingkirkan para pesaing dari Eropa, seperti
Inggris dan Portugal. Sebuah piagam Pemerintah Belanda diterbitkan yang bukan
saja memberikan monopoli dagang pada VOC, tetapi juga wewenang untuk menduduki
wilayah mana pun yang dikehendaki dan menjajah penduduk asli sesuai dengan
tuntutan pasar dan kebutuhan politik VOC sendiri (…according to market requirements and VOC political imperatives).
Dukungan militer juga melekat dalam hampir semua kegiatan VOC. Mustahil VOC
mampu membuka wilayah baru untuk diduduki dan penduduknya dijajah tanpa
kekuatan militer sebagai ujung tombak. Para jenderal yang menjadi pimpinan VOC,
seperti Jan Pieterzoon Coen (1619-1629), Anthony van Diemen (1636-1645), dan
Joan Maetsyker (1653-1678) adalah tokoh-tokoh militer yang menggerakkan
kekerasan dalam rangka membunuh dan memperbudak penduduk setempat untuk mencapai
tujuan dagang VOC. Yang dilakukan oleh J.P Coen malah mendekati kategori genosida. Pernyataan J.P. Coen yang
terkenal adalah “Dispereert niet, ontziet
uw vijanden niet, want God is met ons” (Janganlah putus asa, jangan biarkan
musuh-musuhmu bebas, karena Tuhan bersama kita). Dan pada tahun 1669 VOC telah
menjadi “perusahaan swasta” terbesar di dunia dengan memiliki 150 kapal dagang,
40 kapal perang, 50.000 karyawan, angkatan darat swasta sebesar 10.000
prajurit, dan pembayaran dividen 40%. Kekayaan yang demikian dahsyat untuk
ukuran jaman itu tentu dapat diperoleh karena kerjasama korporatokratik dari
tiga pilar utama, yakni VOC sendiri sebagai korporasi raksasa, kekuatan politik
Pemerintah Belanda, dan kekuatan militer Belanda yang selalu siap untuk menggebuk
setiap rintangan yang dihadapi VOC.[8]
Kekerasan
yang terus dialami oleh rakyat pribumi sungguh mencengangkan dan diluar batas
kewajaran kemanusiaan. Seperti dikutip lagi oleh Pramoedya Ananta Toer:
Maaf kalau kulanjutkan cerita ini
dengan masalah genosida. Apa boleh buat. Genosida tak langsung dilakukan
kekuasaan Belanda di Hindia setelah usai Perang Jawa 1825-1830. Akibat perang
besar 5 tahun itu Hindia Belanda bangkrut, dan kebangkrutannya membikin Nederland mengalami krisis keuangan.
Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan cultuurstelsel alias Tanampaksa.
Tak lain dari petani yang dikerahkan untuk kerjapaksa. Di banyak daerah, demi
panen komoditi untuk membiayai penjajahan dan penjajah, ribuan petani Jawa
tewas kelaparan karena tak sempat menggarap sawah dan ladangnya sendiri. Tentu saja keluarganya juga ikut tewas. Di
Grobogan sampai-sampai orang tak sempat menguburkan para kurban. Bila diingat
bahwa setiap muslim berkewajiban mengurus mayat siapa pun sampai ke kuburnya,
dapat dibayangkan betapa desa-desa tersapu oleh maut. Genosida tak langsung ini
harus diteruskan dan memang ada hasilnya: Nederland bukan hanya lolos dari
krisis keuangan, juga mampu membangun jalan keretapi.[9]
Apakah setelah kejadian-kejadian genosida lantas
selesai dan puas. Kerakusan tak kan kenal kenyang, selalu terus menguras habis
keringat pribumi sampai ke akar-akarnya.
Dalam membangun jalan menuju
Pekalongan para pekerjapaksa menerobos hutan belantara yang tidak sehat.
Inggris lagi yang memberitakan: kurban yang tewas 4.000 orang waktu menerobos
membikin jalan raya ini.[10]
Hampir di setiap daerah yang
dilalui oleh Jalan Raya Pos selalu meminta korban. Korban pribumi yang lemah
secara pengetahuan. Tenaga mereka hanya dijadikan seperti binatang, bahkan
nilainya lebih tinggi dari binatang piaraan, mendapatkan perawatan, makan cukup
dan minum yang cukup. Sedangkan rakyat pribumi yang dipekerjakan secara paksa
tak kan dapat apa-apa, bahkan makan pun tidak. Rakyat pribumi yang selalu
mendapatkan perlakuan tak manusiawi dari kolonial dimanapun berada, tak perduli
dibumi nusantara bahkan diseluruh negara-negara yang mengalami masa penjajahan
tragis selalu bernasib sama. Penganiayaan dan kekerasan. Kelas penjajah lah yang
selalu unggul dan kelas pribumi hanya menjadi kelas rendah yang selalu dikuras
keringatnya bahkan darahnya sekalipun. Penghisapan-penghisapan diluar batas
kemanusiaan sungguh membuat sistem sosial dinusantara tercerabut. Perbudakan
semakin liar, manusia hanya komoditi murah yang bisa dipekerjakan melebihi
mesin dan robot. Mungkin sampai sekarang.
Berdasar
perjalanan sejarah, pada dasarnya kekuatan-kekuatan korporatokrasi diawal abad
21 ini tidak mudah, bahkan mustahil dengan gampang bisa mengacak-acak kedaulatan
ekonomi kita, seandainya elite nasional kita tidak membungkuk, bahkan mungkin
tiarap, di depan berbagai korporasi internasional. Korporasi multinasional
adalah bagian paling penting dari korporatokrasi dunia. Kita tidak boleh lupa
bahwa akibat penjajahan VOC dan Pemerintah Belanda yang panjang itu struktur
mental kita, anak-anak bangsa dan sebagian pemimpin, telah rusak lumayan parah.
Kita sudah merdeka lebih dari 6 dasawarsa. “Akan tetapi jauhnya penderitaan
yang ditimpakan VOC tidak terperikan. Banyak negara Asia Timur, seperti
Indonesia, yang telah dijajah Belanda akibat proyek VOC, masih mengalami
kesulitan dalam mengatasi warisan kolonialisasi dan perbudakan 400 tahun
kemudian” (How ever, the extent of
suffering wreaked by the VOC the uncalculable. Many an East Asian country, such
Indonesia, that had been colonized by the Dutch because of the VOC project,
still have to deal with the legacy of colonization and slavery four hundred
years later).[11]
Ada
lagi kasus genosida didaerah yang dileawti Jalan Raya Pos, tepatnya Demak.
Admiral Jacob van Heemskerk adalah
orang Belanda pertama yang berkenalan dengan Demak pada 1602. Waktu itu Demak
telah kehilangan pamornya karena kekalahannya dalam perang melawan kerajaan
Hindu di bagian tertimur Pulau Jawa dan telah menjadi bagian kerajaan Pajang
(sekarang disekitar Klaten), yang sedang bertahan terhadap makin meluasnya
pengaruh Mataram. Pajang menderita kekalahan mutlak pada 1604. Lebih seabad
kemudian, pada 1746, Demak berada dalam kekuasaan Kompeni Belanda,VOC, dan
seabad selanjutnya pada 1848/49 Demak sebagai kabupaten dengan penduduk 336.000
jiwa; karena genosida tak langsung Cultuurstelsel alias tanampaksa, dua pertiga
penduduknya tewas. Menurut catatan, sekarang catatan Belanda sendiri, dari
336.000 pada 1848/49 itu pada 1850 tinggal 120.000 jiwa, seiring yang dialami
Kabupaten Grobogan dengan penduduknya 98.500 yang tersisa 9.000 jiwa, juga
korban genosida tak langsung dari Cultuurstelses dalam tahun-tahun sama.
Setengah abad kemudian, pada tahun 1900-1902 kembali Demak, juga Grobogan,
dilanda wabah yang membunuh penduduk dan ternak-besarnya sekaligus.[12]
Itulah
gambaran ambisi beberapa orang yang dengan segala upaya mempertahankan wilayah
jajahannya dari serangan Inggris dengan mengorbankan rakyat pribumi sebagai
tumbal kemegahan sistem Kolonial yang hanya melahirkan perbudakan, kekerasan
dan pembunuhan saja.
Bangilan,
8 September 2016
*Penulis aktif
dan Aggota di Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.
[2] Pramoedya Ananta Toer,
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 5-6.
[3] Pramoedya Ananta Toer,
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 21-22.
[5] Pramoedya Ananta Toer,
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 26.
[6] Pramoedya Ananta Toer,
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 38.
[7] Pramoedya Ananta Toer,
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 71.
[8] Mohammad Amien Rais, Agenda
Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta:PPSK Press, 2008),hal. 4-5.
[9] Pramoedya Ananta Toer,
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 71
[10] Pramoedya Ananta Toer,
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 84.
[11] Mohammad Amien Rais,
Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta:PPSK Press, 2008),hal.
8-9.
[12] Pramoedya Ananta Toer,
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 94.
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda