Rabu, 26 Oktober 2016

Mengulas Sisi Kelam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

Kajian Komunitas Kali Kening (1)


http://www.goodreads.com/book/show/1460788.Jalan_Raya_Pos_Jalan_Daendels


Mengulas Sisi Kelam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

Oleh. Rohmat Sholihin*

           
“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.” Pramoedya Ananta Toer.

Di jalan yang terbentang 1000 km ini telah bersemayam
ribuan nama yang tak bisa disebutkan satu-persatu.
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Rakyat bergelimpangan, meregang nyawa, binasa.
Tak berharga dan sia-sia.
Tersiksa dan disiksa.
Keringatnya tercecer-cecer membasahi bumi pertiwi.
Darahnya tak lagi segar, muram dan hitam seperti nasibnya.
Kelaparan, kelelahan, penyiksaan tuntas tak terkira.
Genosida negeri Tiran.
Benar-benar kejam.
Kerja paksa apapun dipaksa.
Rakyat jelata yang selalu jadi tumbal kekuasan dan kebengisan tak bisa berbuat apa-apa.
Melawan?
Tiang gantungan dan peluru mengancam.
Diam?
Kematian juga pasti akan datang.[1]



            Buku ini adalah buku yang menjadi saksi atas peristiwa pembantaian-pembantaian manusia pribumi di balik pembangunan Jalan Raya Pos atau yang lebih dikenal dengan Jalan Daendels. Jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa, dari Anyer sampai Penarukan, itu dibangun tepatnya dilebarkan dibawah perintah Maarschalk en Gouverneur, Mr. Herman Willem Daendels. Rampung dan dipergunakan 1809.

            Menurut Pramoedya Ananta Toer, pembangunan jalan ini merupakan satu dari banyak kisah tragedi kerjapaksa yang terjadi sepanjang sejarah di Tanah Hindia. Kisah genosida lain terjadi di pulau Bandaneira, 1621, yang dilakukan Jan Pietersz Coen. Korban kerjapaksa tak pernah disebutkan karena nama-nama si jelata memang tak pernah bisa dihargai. Yang lain terjadi setelah Perang Jawa, 1825-1830, usai. Setelah perang melelahkan itu, Hindia Belanda bangkrut. Untuk menanggulangi krisis keuangannya Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan kerja tanampaksa dipelbagai perkebunan dan pembangunan jalan kereta api.

            Yang lain lagi, dan ini berlangsung di abad 20, terjadi di Kalimantan Barat yang dilakukan balatentara fasis Jepang. Yang lain lagi, di Sulawesi Selatan dibawah perintah Kapten Westerling yang menelan korban sekitar 40.000 orang. Lalu pada paruh abad 20, genosida baru lahir, kali ini dilakukan penguasa pribumi sendiri kepada warganya. Sepenuturan Pramoedya, Orde Baru dibangun di atas luka genosida yang menelan ratusan, sejuta, atau bahkan satu setengah juta korban yang anehnya kabar ini disambut oleh kalangan Barat sebagai “berita baik”.

            Dan lewat buku ini, Pramoedya Ananta Toer menuturkan sisi paling kelam dari genosida pembangunan jalan raya yang beraspalkan darah dan airmata manusia-manusia Republik tersebut. Ribuan mayat tercecer di jalan-jalan.

            Dari pemeriksaan yang cukup detail dan bercorak tuturan perjalanan ini, membiak sebuah ingatan yang satire, bahwa kita adalah bangsa kaya tapi lemah. Bangsa yang sejak lama bermental diperintah oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa yang penguasanya lebih asyik memupuk-mupuk ambisi kekuasaan daripada mengerti kesejahteraan bagi warganya.[2]

            Uraian pembuka dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diatas membuka kisah pahit perjalanan bangsa kita ini yang terus berjibaku dengan kekuasaan yang tak memperdulikan rasa kemanusiaan. Bangsa kita yang selalu langganan bulan-bulanan pembantaian tidak segera belajar dari sejarah-sejarah yang hampir terus terjadi secara berulang-ulang, bangsa kita seakan-akan mudah melupakan tragedi-tragedi memilukan itu. Tidak segera berbenah dan menjadi catatan penting perjalanan sejarah bangsa yang paling tragis diseluruh dunia. Benar-benar nyawa tak ada artinya. Bergelimpangan karena pembunuhan, kelelahan, penyiksaan, kelaparan, malaria dan wabah-wabah penyakit lainnya. Belum lagi faktor kerakusan manusia dengan kekuasaannya menjadi bengis demi mengejar keuntungan semata. Dibuktikan, besarnya jumlah Pribumi yang tewas tidak membuat Daendels berhenti ditengah jalan. Dengan demikian kurban-kurban yang lebih banyak lagi berjatuhan sebenarnya sama saja dengan genosida, pembunuhan besar-besaran. Dan yang demikian bukan yang pertama kali yang dialami oleh penduduk kecil pribumi. Genosida pertama yang dilakukan Belanda dilakukan oleh Jan Pietersz Coen di bulan-bulan awal pertama 1621 di Bandaneira. Seluruh penduduk binasa. Yang sempat melarikan diri mengungsi ke pulau-pulau lain. Belanda mendatangkan budak belian untuk menjadi penduduk baru buat memelihara dan menjadi pemetik pala dan cengkeh yang ditinggalkan penduduk lainnya.[3] Keadaan yang berbalik 180 derajat, penduduk pribumi harus rela menyingkir meninggalkan tanah-tanahnya yang telah dirampas oleh Kolonial. Seperti tanah yang tak bertanah, sistem tanam paksa yang membuat penduduk kelaparan. Para petani tak lagi bisa menikmati tanah garapannya, tak lagi bisa makan sesuai apa yang telah ditanam, tanahnya hanya menjadi ajang eksploitasi kaum kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan tanpa memperhatikan sisi kemanusiaan. Seperti apa yang telah dipidatokan Presiden Soekarno,

Tanah untuk mereka jang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka jang dengan duduk ongkang-ongkang mendjadi gendut-gendut karena menghisapan keringatnja orang-orang jang disuruh menggarap tanah!(hal64)[4]

Tegas sekali pidato Bung Karno dalam membela rakyat kecil terhadap penghisapan-penghisapan oleh praktek sistem kapitalis. Apalagi tujuan Daendels melebarkan jalur Anyer-Penarukan didasari dalih membuka jalur perdagangan lebih mudah yang asalnya ditempuh beberapa hari bisa ditempuh dengan waktu 2, bahkan 3 hari perjalanan darat. Kegiatan ekonomi lebih mudah aksesnya, tentunya untuk keperluan kompeni dalam mengurusi dagang apapun termasuk lada, kopi, tebu, dan lain-lain. Pedihnya rakyat harus dipaksa menanam beberapa tanaman tertentu, tanaman yang hanya laku tinggi dipasaran international. Sedangkan rakyat pribumi yang terbiasa memakan jagung, beras, singkong tak punya kesempatan untuk menanam itu sehingga kelaparanlah yang mereka derita meski berada di tanah-tanah yang subur namun tenaga dan hasil produksinya hampir semua dikeruk oleh Kolonial Belanda. Seperti ketika pembangunan Jalan Raya Pos sampai di daerah Karanganyar yang daerahnya rawa-rawa yang lebih cocok sebagai tempat tinggal buaya.

Dalam pembikinan jalan memantai Laut Jawa dari Karangsembung sampai Semarang, pekerjapaksa bukan saja diserang oleh kelelahan, juga oleh malaria. Sedang waktu menggarap ruas Demak-Kudus memotong semenanjung Muria/Jepara, para pekerja berkaparan dalam meninggikan tanah di rawa-rawa Karanganyar baik karena kelelahan, perlakuan keras, maupun malaria yang berabad menghantui wialayah Karanganyar. Malahan semasa mengerjakan ruas ini rawa-rawa Karanganyar sebagian merupakan tepian laut yang menjorok ke darat, lingkungan alam yang cocok jadi habitat buaya,juga di sini, begitu juga Jalan Raya Pos selesai langsung dikeluarkan perintah menanam kopi sekali pun alamnya tidak begitu cocok untuk tanaman tersebut. Kegagalan yang mengikutinya harus ditanggung oleh para penanam.[5]

Bukan hanya didaerah Karanganyar saja para pekerjapaksa yang dihantam kesulitan medan akibat malaria. Tapi hampir disetiap daerah sepanjang pantai utara yang hampir daerahnya rawa-rawa menjadi sarang malaria yang mematikan.

Serang

Dari Banten Lama Jalan Raya Pos membelok ke selatan disebabkan memang tidak bisa menembus ke timur, sebuah padang rawa-rawa pantai yang seakan tak ada tepinya, dan secara turun-temurun menjadi pembiakan malaria yang mematikan[6]

Bukan berarti rakyat pribumi tak melakukan perlawanan-perlawanan, seperti di daerah Sumedang ada perlawanan dari rakyatnya yang dipimpin oleh Pangeran Kornel dengan ditandai patung Pangeran Kornel sedang berjabat tangan dengan Daendels dengan menggunakan tangan kiri sedang tangan kanan memegang hulu keris. Meski perlawanan dapat dipatahkan oleh pihak Belanda. Tapi setidaknya ada perlawanan, menyurakan suaranya sbahwa dalam perlawanan itu membuahkan keberanian meski kandas pula akhirnya. Namun, jika kita bayangkan bahwa seluruh rakyat dapat bersatu, melawan, dan bertempur bisa dipastikan Belanda tak kan lama berada di bumi pertiwi ini. Kenyataannya juga banyak orang-orang penjilat bangsanya sendiri demi mengamankan posisi mereka sebagai antek-antek kolonial yang bisa hidup nyaman, dan serba kecukupan sebagai abdi kolonial. Mendukung sistem penghisapan terhadap rakyat kecil yang tak berdosa meski itu bagian dari bangsanya.

Bahkan untuk berhasilnya proyek pembangunan jalannya, Daendels tidak bergeming melihat ribuan nyawa pribumi melayang. Sekali lagi laporan orang Inggris pada 1815 itu: seluruh Jalan Raya Pos itu kurban tewas diperkirakan sejumlah 12.000 orang. Jadi Marsekal Gubernur Jenderal itu meneruskan Genosida tak langsung itu. Demi pembangunan. Dan yang tewas tidak akan pernah melihat, jangankan menikmati, hasil cucuran keringatnya sendiri.[7]

            Kenapa bisa terjadi? Apa yang salah dengan rakyat pribumi? Kenapa tak berdaya melawan Kompeni? Dan mengapa VOC bisa berjaya menjarah kekayaan alam Indonesia sampai demikian lama? Pertama, tentu karena pemerintah Belanda memberikan dukungan politik sepenuhnya. VOC diberi hak monopoli dagang di Hindia Timur (maksudnya kepulauan Nusantara) dan dibantu menyingkirkan para pesaing dari Eropa, seperti Inggris dan Portugal. Sebuah piagam Pemerintah Belanda diterbitkan yang bukan saja memberikan monopoli dagang pada VOC, tetapi juga wewenang untuk menduduki wilayah mana pun yang dikehendaki dan menjajah penduduk asli sesuai dengan tuntutan pasar dan kebutuhan politik VOC sendiri (…according to market requirements and VOC political imperatives). Dukungan militer juga melekat dalam hampir semua kegiatan VOC. Mustahil VOC mampu membuka wilayah baru untuk diduduki dan penduduknya dijajah tanpa kekuatan militer sebagai ujung tombak. Para jenderal yang menjadi pimpinan VOC, seperti Jan Pieterzoon Coen (1619-1629), Anthony van Diemen (1636-1645), dan Joan Maetsyker (1653-1678) adalah tokoh-tokoh militer yang menggerakkan kekerasan dalam rangka membunuh dan memperbudak penduduk setempat untuk mencapai tujuan dagang VOC. Yang dilakukan oleh J.P Coen malah mendekati kategori genosida. Pernyataan J.P. Coen yang terkenal adalah “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” (Janganlah putus asa, jangan biarkan musuh-musuhmu bebas, karena Tuhan bersama kita). Dan pada tahun 1669 VOC telah menjadi “perusahaan swasta” terbesar di dunia dengan memiliki 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 karyawan, angkatan darat swasta sebesar 10.000 prajurit, dan pembayaran dividen 40%. Kekayaan yang demikian dahsyat untuk ukuran jaman itu tentu dapat diperoleh karena kerjasama korporatokratik dari tiga pilar utama, yakni VOC sendiri sebagai korporasi raksasa, kekuatan politik Pemerintah Belanda, dan kekuatan militer Belanda yang selalu siap untuk menggebuk setiap rintangan yang dihadapi VOC.[8]

            Kekerasan yang terus dialami oleh rakyat pribumi sungguh mencengangkan dan diluar batas kewajaran kemanusiaan. Seperti dikutip lagi oleh Pramoedya Ananta Toer:

Maaf kalau kulanjutkan cerita ini dengan masalah genosida. Apa boleh buat. Genosida tak langsung dilakukan kekuasaan Belanda di Hindia setelah usai Perang Jawa 1825-1830. Akibat perang besar 5 tahun itu Hindia Belanda bangkrut, dan kebangkrutannya  membikin Nederland mengalami krisis keuangan. Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan cultuurstelsel alias Tanampaksa. Tak lain dari petani yang dikerahkan untuk kerjapaksa. Di banyak daerah, demi panen komoditi untuk membiayai penjajahan dan penjajah, ribuan petani Jawa tewas kelaparan karena tak sempat menggarap sawah dan ladangnya sendiri.  Tentu saja keluarganya juga ikut tewas. Di Grobogan sampai-sampai orang tak sempat menguburkan para kurban. Bila diingat bahwa setiap muslim berkewajiban mengurus mayat siapa pun sampai ke kuburnya, dapat dibayangkan betapa desa-desa tersapu oleh maut. Genosida tak langsung ini harus diteruskan dan memang ada hasilnya: Nederland bukan hanya lolos dari krisis keuangan, juga mampu membangun jalan keretapi.[9]

Apakah setelah kejadian-kejadian genosida lantas selesai dan puas. Kerakusan tak kan kenal kenyang, selalu terus menguras habis keringat pribumi sampai ke akar-akarnya.

Dalam membangun jalan menuju Pekalongan para pekerjapaksa menerobos hutan belantara yang tidak sehat. Inggris lagi yang memberitakan: kurban yang tewas 4.000 orang waktu menerobos membikin jalan raya ini.[10]

Hampir di setiap daerah yang dilalui oleh Jalan Raya Pos selalu meminta korban. Korban pribumi yang lemah secara pengetahuan. Tenaga mereka hanya dijadikan seperti binatang, bahkan nilainya lebih tinggi dari binatang piaraan, mendapatkan perawatan, makan cukup dan minum yang cukup. Sedangkan rakyat pribumi yang dipekerjakan secara paksa tak kan dapat apa-apa, bahkan makan pun tidak. Rakyat pribumi yang selalu mendapatkan perlakuan tak manusiawi dari kolonial dimanapun berada, tak perduli dibumi nusantara bahkan diseluruh negara-negara yang mengalami masa penjajahan tragis selalu bernasib sama. Penganiayaan dan kekerasan. Kelas penjajah lah yang selalu unggul dan kelas pribumi hanya menjadi kelas rendah yang selalu dikuras keringatnya bahkan darahnya sekalipun. Penghisapan-penghisapan diluar batas kemanusiaan sungguh membuat sistem sosial dinusantara tercerabut. Perbudakan semakin liar, manusia hanya komoditi murah yang bisa dipekerjakan melebihi mesin dan robot. Mungkin sampai sekarang.

            Berdasar perjalanan sejarah, pada dasarnya kekuatan-kekuatan korporatokrasi diawal abad 21 ini tidak mudah, bahkan mustahil dengan gampang bisa mengacak-acak kedaulatan ekonomi kita, seandainya elite nasional kita tidak membungkuk, bahkan mungkin tiarap, di depan berbagai korporasi internasional. Korporasi multinasional adalah bagian paling penting dari korporatokrasi dunia. Kita tidak boleh lupa bahwa akibat penjajahan VOC dan Pemerintah Belanda yang panjang itu struktur mental kita, anak-anak bangsa dan sebagian pemimpin, telah rusak lumayan parah. Kita sudah merdeka lebih dari 6 dasawarsa. “Akan tetapi jauhnya penderitaan yang ditimpakan VOC tidak terperikan. Banyak negara Asia Timur, seperti Indonesia, yang telah dijajah Belanda akibat proyek VOC, masih mengalami kesulitan dalam mengatasi warisan kolonialisasi dan perbudakan 400 tahun kemudian” (How ever, the extent of suffering wreaked by the VOC the uncalculable. Many an East Asian country, such Indonesia, that had been colonized by the Dutch because of the VOC project, still have to deal with the legacy of colonization and slavery four hundred years later).[11]

            Ada lagi kasus genosida didaerah yang dileawti Jalan Raya Pos, tepatnya Demak.
Admiral Jacob van Heemskerk adalah orang Belanda pertama yang berkenalan dengan Demak pada 1602. Waktu itu Demak telah kehilangan pamornya karena kekalahannya dalam perang melawan kerajaan Hindu di bagian tertimur Pulau Jawa dan telah menjadi bagian kerajaan Pajang (sekarang disekitar Klaten), yang sedang bertahan terhadap makin meluasnya pengaruh Mataram. Pajang menderita kekalahan mutlak pada 1604. Lebih seabad kemudian, pada 1746, Demak berada dalam kekuasaan Kompeni Belanda,VOC, dan seabad selanjutnya pada 1848/49 Demak sebagai kabupaten dengan penduduk 336.000 jiwa; karena genosida tak langsung Cultuurstelsel alias tanampaksa, dua pertiga penduduknya tewas. Menurut catatan, sekarang catatan Belanda sendiri, dari 336.000 pada 1848/49 itu pada 1850 tinggal 120.000 jiwa, seiring yang dialami Kabupaten Grobogan dengan penduduknya 98.500 yang tersisa 9.000 jiwa, juga korban genosida tak langsung dari Cultuurstelses dalam tahun-tahun sama. Setengah abad kemudian, pada tahun 1900-1902 kembali Demak, juga Grobogan, dilanda wabah yang membunuh penduduk dan ternak-besarnya sekaligus.[12]

            Itulah gambaran ambisi beberapa orang yang dengan segala upaya mempertahankan wilayah jajahannya dari serangan Inggris dengan mengorbankan rakyat pribumi sebagai tumbal kemegahan sistem Kolonial yang hanya melahirkan perbudakan, kekerasan dan pembunuhan saja.

                                                                                                Bangilan, 8 September 2016

*Penulis aktif dan Aggota di Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.
           





[1] Rohmat Sholihin, Puisi Daendels.

[2] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 5-6.

[3] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 21-22.

[4] Andi Achdian, tanah bagi  yang  tak bertanah (Bogor:Kekal Press, 2009), hal. xv.

[5] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 26.

[6] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 38.

[7] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 71.

[8] Mohammad Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta:PPSK Press, 2008),hal. 4-5.

[9] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 71

[10] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 84.

[11] Mohammad Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta:PPSK Press, 2008),hal. 8-9.

[12] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta:Lentera Dipantara, 2010), hal. 94.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda