Buatlah PR Yang Menyenangkan
Buatlah PR Yang
Menyenangkan
Oleh. Rohmat
Sholihin*
![]() |
Google.com |
Isu kebijakan terbaru dalam dunia
pendidikan yang berkembang saat ini salah satunya adalah menghapus PR
(Pekerjaan Rumah) kepada anak didik yang memicu banyak kontroversial tersendiri
bagi guru, masyarakat, pemerhati pendidikan, praktisi pendidikan, orang tua,
siswa, bahkan anggota DPR. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju, meski
yang lain juga ada yang tak ambil pusing. Itulah aneka macam pendapat yang harus
kita jadikan modal sebagai bahan evaluasi dalam dunia pendidikan kita. Agar
tidak menjadikan permasalahan yang juntrutnya malah semakin membingungkan hanya
karena PR siswa.
Ada sisi positifnya ketika kita
sebagai guru memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada siswa yaitu akan menambah
penguat pemahaman materi kepada anak didik dan tetap konsentrasi terhadap
perlunya belajar meski dirumah. Anak didik akan selalu giat belajar meski
dirumah dan selalu mempersiapkan diri akan materi untuk besok disekolah. Anak
didik tidak punya kesempatan keluyuran yang bisa mengurangi konsentrasi
belajarnya. Sedangkan sisi negatifnya, bahwa kebebasan anak terberangus, ketika
masa-masa indahnya untuk meluangkan waktunya untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya hilang karena
harus berkutat dengan seabrek pekerjaan rumah (PR) dari sekolah yang harus
diselesaikannya. Dan tak ada waktu untuk bercanda dengan teman-temannya bahkan
dengan keluarganya, hidupnya hanya untuk tugas-tugas sekolah atau PR yang
sangat menjemukan sehingga makna sekolah tak lagi asyik untuk bercanda, hanya
tugas-tugas soal yang menjemukan, jadinya anak didik merasa tak lagi nyaman di
sekolah. Belum lagi harus mengikuti jam tambahan les privat atau les di
lembaga-lembaga kursus hanya akan menambah jam bermainnya berkurang. Sehingga
bisa ditarik kesimpulan bahwa anak yang sibuk belajar, mengerjakan tugas-tugas
sekolah hanya akan menjadi anak yang aneh, kuper, bahkan kurang bisa bergaul
dalam artian “tak asyik”, ia hanya berfikir bahwa hidup itu sempit hanya untuk
mengerjakan tugas-tugas sekolah untuk meraih kesuksesan dalam hal belajar,
katakanlah ia mampu meraih peringkat pertama dalam kelasnya. Dan itulah ia akan
mendapatkan sebutan anak yang paling pandai, rajin, sukses, dan primadona. Sedangkan
anak yang nakal karena tak pernah mengerjakan PR, mengerjakan tugas-tugas
sekolah, hanya mengandalkan gerilya dari teman-temannya untuk mencari contekan,
terkesan pemalas. Tapi ia tetap berusaha dengan caranya sendiri, yaitu
menggunakan keunggulannya dalam hal berteman sehingga bisa digunakan untuk
meminjam jawaban tugas-tugas sekolahnya dari teman-temannya. Baguskah kebiasaan
itu? Tunggu dulu jangan langsung dijawab bagus atau tidak bagus. Kalaupun toh
akhirnya strategi contekan juga dimanfaatkan oleh bapak/ibu guru disekolah
untuk mendongkrak reputasi sekolah ketika menghadapi Ujian Nasional (UN) yaitu
dengan cara mencontek massal dengan tujuan lulus dan mendapatkan nilai
rata-rata tertinggi sehingga animo masyarakat dan orang tua akan bangga dengan prestasi
yang telah diraih oleh lembaga sekolah itu meskipun dari contekan massal. Apakah itu mendidik?
Ingat! Apapun dan bagaimanapun kurikulumnya,
kebijakannya, hanyalah sistem yang ingin membuat batu loncatan kemajuan atau
prestasi yang ingin diharapkan dari model sebelumnya yang terkadang tak lepas
dari image politik di hati masyarakat tanpa betul-betul murni dalam dunia
pendidikan yang bertujuan mencerdaskan manusia Indonesia seutuhnya secara lahir
dan batin, baik pemikirannya dan sikapnya. Karena masalah pendidikan nasional
tak luput dari kebijakan kekuasaan pemerintah yang telah berkuasa, buktinya
setiap ganti menteri selalu saja ganti kebijakan bahkan juga selalu
berlomba-lomba untuk ganti kurikulum. Siapa yang menjadi korban? Tentu saja
guru, anak didik, dan orang tua sebagai masyarakat. Guru, anak didik, orang tua
hanya dijadikan kelinci percobaan oleh kebijakan sistem yang dibungkus
memanusiakan manusia yaitu makhluk pendidikan. Membingungkan dan ruwet.
Bukankah seharusnya pendidikan itu proses yang menyenangkan, membangun karakter
dengan proses bertahap, belajar dari yang tidak bisa menjadi tahu, bekerja sama
dan bersosialisasi dengan damai, bertukar pikiran secara dewasa, membebaskan
pola pikir yang kritis, dan bukan hanya sekedar mengejar target nilai minimal
untuk kelulusan. Pendidikan yang telah diukur oleh standart nasional ini juga
membawa dampak tersendiri bagi sekolah yang telah kami jabarkan diatas yaitu
tidak menutup kemungkinan pihak-pihak sekolah akan berlomba-lomba untuk
mendapatkan nilai yang tertinggi meski jalan pintas harus ditempuh yaitu
contekan massal karena kunci jawaban telah dimainkan oleh penjoki dan bahkan
itu gurunya sendiri.
Dimana nilai konsekwensi pendidikan
yang terus digembor-gemborkan dalam visi misi yang telah dipajang besar-besar
oleh setiap lembaga sekolah? Jika pada kenyataannya hanya membunuh karakter
siswanya melalui ujian-ujian yang tidak dibuat oleh gurunya sendiri. Untuk apa
seabrek pekerjaan rumah (PR), jika pada
kenyataannya harus berakhir dengan contekan massal. Itulah sekelumit
problematika pendidikan yang harus menjadi titik penyelesaian dan pekerjaan
rumah para pemikir-pemikir pendidikan di rumah kita yang besar ini yaitu
Indonesia. Yang kaya akan sumber daya alamnya namun sistem pendidikannya
seakan-akan telah memisahkan anak didiknya dengan lingkungan alam dan
sosialnya. Budaya lokal yang melimpah seakan-akan harus diterjang oleh arus
media yang telah mendominasi ruang gerak kita sehingga kita lupa akan budaya
kita sendiri. Bukan kita pesimis tapi setidaknya masalah-masalah pendidikan
kita harus selalu tetap konsekwensi ke arah pendidikan yang kritis, kesadaran
belajar peserta didik harus selalu dipupuk dengan menyenangkan dan konsisten
terhadap nilai-nilai kejujuran. Dan kemana lagi kalau bukan ke arah kualitas
guru, kebijakan pemerintah, praktisi-praktisi pendidikan, masyarakat, dan
sistem kurikulumnya.
Jika hanya masalah kebijakan tentang
penghapusan PR (Pekerjaan Rumah) bagi anak didik hanyalah masalah semut yang
berdiri di gunung tertinggi, sangat kecil dan kita sebagai guru mau memberikan
PR (Pekerjaan Rumah) karena ditentang dengan alasan anak didik tidak punya
waktu berkumpul dengan keluarga, buatlah PR (Pekerjaan Rumah) yang menyenangkan
yang ada integrasinya dengan materi pembelajaran, tentu saja semua itu
tergantung oleh pelaku pendidikan dilapangan yaitu guru yang kreatif dan
inovatif sebagai pilot yang langsung berhubungan dengan anak didik, bercanda,
bersenda gurau, bermain, belajar, dengan akrab dan mengasyikkan. Bukankah
begitu? Asalkan jangan PR (Pungutan Rapopo).
Label: Opini
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda