Rabu, 26 Oktober 2016

Buatlah PR Yang Menyenangkan

Buatlah PR Yang Menyenangkan
Oleh. Rohmat Sholihin*

Google.com

            Isu kebijakan terbaru dalam dunia pendidikan yang berkembang saat ini salah satunya adalah menghapus PR (Pekerjaan Rumah) kepada anak didik yang memicu banyak kontroversial tersendiri bagi guru, masyarakat, pemerhati pendidikan, praktisi pendidikan, orang tua, siswa, bahkan anggota DPR. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju, meski yang lain juga ada yang tak ambil pusing. Itulah aneka macam pendapat yang harus kita jadikan modal sebagai bahan evaluasi dalam dunia pendidikan kita. Agar tidak menjadikan permasalahan yang juntrutnya malah semakin membingungkan hanya karena PR siswa.

            Ada sisi positifnya ketika kita sebagai guru memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada siswa yaitu akan menambah penguat pemahaman materi kepada anak didik dan tetap konsentrasi terhadap perlunya belajar meski dirumah. Anak didik akan selalu giat belajar meski dirumah dan selalu mempersiapkan diri akan materi untuk besok disekolah. Anak didik tidak punya kesempatan keluyuran yang bisa mengurangi konsentrasi belajarnya. Sedangkan sisi negatifnya, bahwa kebebasan anak terberangus, ketika masa-masa indahnya untuk meluangkan waktunya untuk bermain dan bersosialisasi  dengan teman-teman sebayanya hilang karena harus berkutat dengan seabrek pekerjaan rumah (PR) dari sekolah yang harus diselesaikannya. Dan tak ada waktu untuk bercanda dengan teman-temannya bahkan dengan keluarganya, hidupnya hanya untuk tugas-tugas sekolah atau PR yang sangat menjemukan sehingga makna sekolah tak lagi asyik untuk bercanda, hanya tugas-tugas soal yang menjemukan, jadinya anak didik merasa tak lagi nyaman di sekolah. Belum lagi harus mengikuti jam tambahan les privat atau les di lembaga-lembaga kursus hanya akan menambah jam bermainnya berkurang. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa anak yang sibuk belajar, mengerjakan tugas-tugas sekolah hanya akan menjadi anak yang aneh, kuper, bahkan kurang bisa bergaul dalam artian “tak asyik”, ia hanya berfikir bahwa hidup itu sempit hanya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah untuk meraih kesuksesan dalam hal belajar, katakanlah ia mampu meraih peringkat pertama dalam kelasnya. Dan itulah ia akan mendapatkan sebutan anak yang paling pandai, rajin, sukses, dan primadona. Sedangkan anak yang nakal karena tak pernah mengerjakan PR, mengerjakan tugas-tugas sekolah, hanya mengandalkan gerilya dari teman-temannya untuk mencari contekan, terkesan pemalas. Tapi ia tetap berusaha dengan caranya sendiri, yaitu menggunakan keunggulannya dalam hal berteman sehingga bisa digunakan untuk meminjam jawaban tugas-tugas sekolahnya dari teman-temannya. Baguskah kebiasaan itu? Tunggu dulu jangan langsung dijawab bagus atau tidak bagus. Kalaupun toh akhirnya strategi contekan juga dimanfaatkan oleh bapak/ibu guru disekolah untuk mendongkrak reputasi sekolah ketika menghadapi Ujian Nasional (UN) yaitu dengan cara mencontek massal dengan tujuan lulus dan mendapatkan nilai rata-rata tertinggi sehingga animo masyarakat dan orang tua akan bangga dengan prestasi yang telah diraih oleh lembaga sekolah itu meskipun  dari contekan massal. Apakah itu mendidik?

            Ingat! Apapun dan bagaimanapun kurikulumnya, kebijakannya, hanyalah sistem yang ingin membuat batu loncatan kemajuan atau prestasi yang ingin diharapkan dari model sebelumnya yang terkadang tak lepas dari image politik di hati masyarakat tanpa betul-betul murni dalam dunia pendidikan yang bertujuan mencerdaskan manusia Indonesia seutuhnya secara lahir dan batin, baik pemikirannya dan sikapnya. Karena masalah pendidikan nasional tak luput dari kebijakan kekuasaan pemerintah yang telah berkuasa, buktinya setiap ganti menteri selalu saja ganti kebijakan bahkan juga selalu berlomba-lomba untuk ganti kurikulum. Siapa yang menjadi korban? Tentu saja guru, anak didik, dan orang tua sebagai masyarakat. Guru, anak didik, orang tua hanya dijadikan kelinci percobaan oleh kebijakan sistem yang dibungkus memanusiakan manusia yaitu makhluk pendidikan. Membingungkan dan ruwet. Bukankah seharusnya pendidikan itu proses yang menyenangkan, membangun karakter dengan proses bertahap, belajar dari yang tidak bisa menjadi tahu, bekerja sama dan bersosialisasi dengan damai, bertukar pikiran secara dewasa, membebaskan pola pikir yang kritis, dan bukan hanya sekedar mengejar target nilai minimal untuk kelulusan. Pendidikan yang telah diukur oleh standart nasional ini juga membawa dampak tersendiri bagi sekolah yang telah kami jabarkan diatas yaitu tidak menutup kemungkinan pihak-pihak sekolah akan berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai yang tertinggi meski jalan pintas harus ditempuh yaitu contekan massal karena kunci jawaban telah dimainkan oleh penjoki dan bahkan itu gurunya sendiri.

            Dimana nilai konsekwensi pendidikan yang terus digembor-gemborkan dalam visi misi yang telah dipajang besar-besar oleh setiap lembaga sekolah? Jika pada kenyataannya hanya membunuh karakter siswanya melalui ujian-ujian yang tidak dibuat oleh gurunya sendiri. Untuk apa seabrek pekerjaan rumah (PR),  jika pada kenyataannya harus berakhir dengan contekan massal. Itulah sekelumit problematika pendidikan yang harus menjadi titik penyelesaian dan pekerjaan rumah para pemikir-pemikir pendidikan di rumah kita yang besar ini yaitu Indonesia. Yang kaya akan sumber daya alamnya namun sistem pendidikannya seakan-akan telah memisahkan anak didiknya dengan lingkungan alam dan sosialnya. Budaya lokal yang melimpah seakan-akan harus diterjang oleh arus media yang telah mendominasi ruang gerak kita sehingga kita lupa akan budaya kita sendiri. Bukan kita pesimis tapi setidaknya masalah-masalah pendidikan kita harus selalu tetap konsekwensi ke arah pendidikan yang kritis, kesadaran belajar peserta didik harus selalu dipupuk dengan menyenangkan dan konsisten terhadap nilai-nilai kejujuran. Dan kemana lagi kalau bukan ke arah kualitas guru, kebijakan pemerintah, praktisi-praktisi pendidikan, masyarakat, dan sistem kurikulumnya.

            Jika hanya masalah kebijakan tentang penghapusan PR (Pekerjaan Rumah) bagi anak didik hanyalah masalah semut yang berdiri di gunung tertinggi, sangat kecil dan kita sebagai guru mau memberikan PR (Pekerjaan Rumah) karena ditentang dengan alasan anak didik tidak punya waktu berkumpul dengan keluarga, buatlah PR (Pekerjaan Rumah) yang menyenangkan yang ada integrasinya dengan materi pembelajaran, tentu saja semua itu tergantung oleh pelaku pendidikan dilapangan yaitu guru yang kreatif dan inovatif sebagai pilot yang langsung berhubungan dengan anak didik, bercanda, bersenda gurau, bermain, belajar, dengan akrab dan mengasyikkan. Bukankah begitu? Asalkan jangan PR (Pungutan Rapopo).

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda