Tempuran dan Pram
http://www.harianblora.com/2015/01/pramoedya-ananta-toer-dan-seks.html
Oleh. Rohmat Sholihin*
Jika ingat kata-kata Tempuran, pasti membuat istriku
sedikit cemburu. Ada kisah unik tentang ini. Seakan-akan kisah ini berjalan sesuai
dengan rencana, ada rentetan didalamnya. Meski aku tak pernah mengagendakan
sebelumnya. Tempuran adalah tempat bendungan peninggalan Kolonial Belanda yang
ada di kota Blora-Jawa Tengah. Tempuran sekelas tempat makan yang suasananya
dibangun diatas pinggir bendungan yang luas. Sejuk, alami dengan banyak
pohon-pohon besar yang mengitari area itu. Ada beberapa fasilitas diarea makan
itu. Seperti karaoke, kolam renang, dan permainan anak-anak. Menunya ada ikan
gurame bakar, cumi bakar, ayam bakar. Harganya terkenal murah, merakyat,
dan sudah pasti enak.
Tanggal 1 Januari 2007. Hari libur tahun baru masehi. Ada
tawaran teman untuk sekedar menikmati jalan-jalan ke hutan yang telah diaspal.
Jalur Bendonglateng-Jamprong-Tawaran-hingga berakhir diwaduk Tempuran untuk
makan siang. Kami berangkat berempat dengan naik motor Jupiter Z dan GL Max.
Selama perjalanan kami menikmati hutan, kebun, sawah,sungai dan bukit yang
masih hijau. Sayang pada saat itu belum merebak budaya selfie karena fitur di
Hp masih belum secanggih sekarang. Hp masih hanya sebatas media berkomunikasi
saja, mengirim sms, telpon, dan bermain game untuk hiburannya,
itupun game yang masih terbatas.
Sebenarnya dalam hati enggan untuk
melanjutkan perjalanan yang tak ada tujuan berarti ini. Meski hati penasaran
dengan waduk Tempuran dari cerita kawan bahwa ada waduk indah dengan tempat
makan yang murah serta lezat. Tapi dalam hati terlintas wajah seorang kakek
yang terkenal dengan dunia kepengarangannya. Siapa lagi kalau bukan Pramoedya
Ananta Toer atau biasa dipanggil Pram. Beberapa buku-buku beliau aku koleksi. Seperti
Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah, rumah Kaca, Arus Balik, Bukan Pasar Malam, Larasati, Keluarga Gerilya,
Mangir, Perburuan. Dan ada yang kental dengan ceritanya tentang Blora. Cerita Dari Blora. Sampai-sampai jika
ingat kota Blora selalu ingat wajah kakek Pram. Rasanya hati ingin bertemu dan
berbincang-bincang langsung dengan beliau tentang pengalaman hidupnya yang
tragis. Tapi beliau sudah meninggal sekitar tahun 2006 lalu. Dan kudengar
dikota kelahirannya yaitu Blora beliau juga mendirikan rumah baca Pattaba,
penasaran hati ingin menginjakkan kaki dirumah aslinya. Rumah masa kecilnya dan
rumah yang banyak menyimpan kisah kehidupannya bermula. Entah yang medirikan
Pattaba itu Pram sendiri atau adiknya pak Soesilo saya kurang tahu, yang jelas
rumah masa kecil Pram di jalan Sumbawa itu berdiri rumah baca bernama Pattaba.
Dari keragu-raguan untuk meneruskan
perjalanan, kita sampai juga di waduk Tempuran. Kesan pikiranku tentang tempat
ini memang seperti membayangkan ada kenangan mengerikan, waduk seluas ini
dibangun untuk menampung air dalam jumlah besar. Agar air tidak menghantam
pemukiman dalam bentuk banjir. Di musim kemarau juga bisa digunakan mengairi
sawah dan ladang. Kenangan mengerikan itu tertuju pada Blora, kota dengan
kekayaan alamnya berupa kayu jati dan minyak, tapi hanya bisa dirasakan oleh
beberapa pihak, terutama pihak yang suka menjajah dengan kesewenang-wenangan,
rakyat kecil hanya bernasib seperti jongos. Jongos dirumah sendiri. Hampir
peristiwa-peristiwa itu terjadi disetiap daerah. Peranan kaum pemodal tetap
menjadi primadona sedangkan orang yang tak punya modal hanya keringatnya yang
terus diperas. Kamipun memasuki area tempat makan yang ditata apik disetiap
pinggir waduk yang sejuk. Lalu meminta daftar menu yang dibawa oleh pelayan
rumah makan. Kami asyik melihat-lihat daftar menu masakan dan mencocokkan
dengan selera makan. Aduhai, mata memandang waduk yang luas dengan lepas. Ada
banyak ikan berloncat-loncatan dan banyak juga orang memancing. Serasa waduk
peninggalan kolonial Belanda membawa memori tersendiri yaitu memori luka yang
belum bisa tersembuhkan, luka yang masih dipakai anak bangsa untuk mengatur
negeri besar ini. Warisannya masih menjamur, sebagai bukti bahwa korupsi juga
salah satu budaya warisan kolonial.
Pohon-pohon yang rindang dan besar
banyak tumbuh berderet-deret mengelilingi waduk membuat suasana semakin nyaman
dan sejuk. Kami bercanda dengan lepasnya tanpa beban, namun tiba-tiba kami
disapa oleh rombongan yang hendak pulang. Kira-kira ada empat orang. Ah,
ternyata bapaknya perempuan yang pernah aku kenal, dekat, dan pernah ada rasa
meski waktu itu masih seusia anak Sekolah Lanjutan Pertama. Bisa dikatakan
cinta monyet, namun sungguh pertama kali aku merasa tertarik dengan perempuan
hanya dengan dia. Aku tersenyum hambar, malu, dan sedikit canggung, namun aku
tetap harus menjaga perasaan agar luka dalam hati tidak seperti luka bangsa ini
selama mengalami penjajahan oleh kolonial Belanda. Kami berjabat tangan dan
berbicara basa-basi sebentar sebelum dia dan rombongannya berlalu, kami
tersenyum melepas mereka sekeluarga pergi. Meski aku sempat bertanya kabar
anaknya yang kini telah berkeluarga dan menetap di kota B. Setidaknya aku
bertanya tentangnya, tanya sebatas kabar kehidupannya walau hatiku sebenarnya
sedikit terpaksa. Aku menyalami ibunya, adiknya, dan maaf satu lagi tetangganya
yang aku kenal sebagai adik angkatan sewaktu menempuh studi Islam di kota S.
Kami berempat makan Gurame bakar dan
nasi untuk empat porsi. Dengan minum Jus Tomat serta mangga. Serasa perut
kembali lagi berisi dan nyaman, hidup terasa tenang dan pikiran kembali hidup. Serasa
kami benar-benar anak muda, begitu enaknya makan ditempat yang sejuk dengan
suara musik mendayu-dayu oleh lagu-lagu hits. Tempat ini memang telah dirancang
dan didesain khusus agar para pengunjung betah dan puas bersenda gurau,
ngobrol, diskusi dan tentu saja kencan. Tempat yang romantis. Tempuran, tempat
makan yang telah memberi kesan bahwa kita pernah muda. Mengisi cerita-cerita
tentang indahnya berbagi canda tentang kisah-kisah hidup dalam pikiran muda
yang menggebu-gebu meski dalam kenyataannyapun melenceng. Apa boleh buat,
setidaknya kita pernah muda. Pernah menabur senyum bersama meski akhirnya ada
sesal juga. Tak masalah, hidup harus berani mencoba dan bergaul dengan siapa
saja.
Setelah makan-makan cukup, bayangan
Pram masih memutar-mutar dikepala. Ingin rasanya bertemu dengan keluarga Pram
dan tahu rumah masa kecil Pram. Ini kota Blora, kota yang identik dengan
Pramoedya Ananta Toer. Kami berempatpun bergegas mencari bayangan itu menuju
kota, kami bertanya-tanya tentang seorang pengarang terkenal yang bernama Pram,
setiap orang yang aku temui hanya geleng-geleng kepala, kami terus saja
mencari, setiap rumah yang aku tanya masih saja geleng-geleng kepala, kami
putus asa bergegas cabut pulang menuju jalur Randublatung-Cepu-Banyurip-Senori
dan tentu desaku Bangilan.
Beberapa bulan berlalu misteri
kecemburuan istriku tentang Tempuran terjawab sudah. Adik kelasku yang pernah
studi Islam dikota S, yang pernah kutemui di Tempuran waktu itu bercerita
kepada calon istriku yang sempat bertemu di kota S, bahwa aku pernah berpacaran
dengan perempuan manis yang bernama A dan pernah makan bersama-sama ditempat romantis
Tempuran. Hampir saja pertunanganku gagal, ia marah, namun untung saja aku
diselamatkan oleh alasan bahwa kita semua pernah muda dan Allah belum
mempertemukan kita dalam cinta. Tak ada alasan kau marah lagi. Kau tetap
menerimaku namun masih saja cemburu dengan jejak dan langkahku yang pernah
singgah hanya untuk makan di waduk Tempuran Blora. Ingin menghapus jejak
langkahku jelas tak bisa, melupakannya iya, tapi jika kau biarkan perasaan
hatimu mengalir dengan kedewasaan, bukan hanya jejak langkahku yang terhapus
sirna, tapi cemburu dalam hatimu akan redam dengan sendirinya.
*Penulsi anggota Komunitas Kali Kening
Bangilan-Tuban
Label: catatan khusus
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda