Sabtu, 03 Desember 2016

Tempuran dan Pram


http://www.harianblora.com/2015/01/pramoedya-ananta-toer-dan-seks.html
Oleh. Rohmat Sholihin*

            Jika ingat kata-kata Tempuran, pasti membuat istriku sedikit cemburu. Ada kisah unik tentang ini. Seakan-akan kisah ini berjalan sesuai dengan rencana, ada rentetan didalamnya. Meski aku tak pernah mengagendakan sebelumnya. Tempuran adalah tempat bendungan peninggalan Kolonial Belanda yang ada di kota Blora-Jawa Tengah. Tempuran sekelas tempat makan yang suasananya dibangun diatas pinggir bendungan yang luas. Sejuk, alami dengan banyak pohon-pohon besar yang mengitari area itu. Ada beberapa fasilitas diarea makan itu. Seperti karaoke, kolam renang, dan permainan anak-anak. Menunya ada ikan gurame bakar, cumi bakar, ayam bakar. Harganya terkenal murah, merakyat, dan sudah pasti enak.
            Tanggal 1 Januari 2007. Hari libur tahun baru masehi. Ada tawaran teman untuk sekedar menikmati jalan-jalan ke hutan yang telah diaspal. Jalur Bendonglateng-Jamprong-Tawaran-hingga berakhir diwaduk Tempuran untuk makan siang. Kami berangkat berempat dengan naik motor Jupiter Z dan GL Max. Selama perjalanan kami menikmati hutan, kebun, sawah,sungai dan bukit yang masih hijau. Sayang pada saat itu belum merebak budaya selfie karena fitur di Hp masih belum secanggih sekarang. Hp masih hanya sebatas media berkomunikasi saja, mengirim sms, telpon, dan bermain game untuk hiburannya, itupun game yang masih terbatas.
            Sebenarnya dalam hati enggan untuk melanjutkan perjalanan yang tak ada tujuan berarti ini. Meski hati penasaran dengan waduk Tempuran dari cerita kawan bahwa ada waduk indah dengan tempat makan yang murah serta lezat. Tapi dalam hati terlintas wajah seorang kakek yang terkenal dengan dunia kepengarangannya. Siapa lagi kalau bukan Pramoedya Ananta Toer atau biasa dipanggil Pram. Beberapa buku-buku beliau aku koleksi. Seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, rumah Kaca, Arus Balik, Bukan Pasar Malam, Larasati, Keluarga Gerilya, Mangir, Perburuan. Dan ada yang kental dengan ceritanya tentang Blora. Cerita Dari Blora. Sampai-sampai jika ingat kota Blora selalu ingat wajah kakek Pram. Rasanya hati ingin bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan beliau tentang pengalaman hidupnya yang tragis. Tapi beliau sudah meninggal sekitar tahun 2006 lalu. Dan kudengar dikota kelahirannya yaitu Blora beliau juga mendirikan rumah baca Pattaba, penasaran hati ingin menginjakkan kaki dirumah aslinya. Rumah masa kecilnya dan rumah yang banyak menyimpan kisah kehidupannya bermula. Entah yang medirikan Pattaba itu Pram sendiri atau adiknya pak Soesilo saya kurang tahu, yang jelas rumah masa kecil Pram di jalan Sumbawa itu berdiri rumah baca bernama Pattaba.
            Dari keragu-raguan untuk meneruskan perjalanan, kita sampai juga di waduk Tempuran. Kesan pikiranku tentang tempat ini memang seperti membayangkan ada kenangan mengerikan, waduk seluas ini dibangun untuk menampung air dalam jumlah besar. Agar air tidak menghantam pemukiman dalam bentuk banjir. Di musim kemarau juga bisa digunakan mengairi sawah dan ladang. Kenangan mengerikan itu tertuju pada Blora, kota dengan kekayaan alamnya berupa kayu jati dan minyak, tapi hanya bisa dirasakan oleh beberapa pihak, terutama pihak yang suka menjajah dengan kesewenang-wenangan, rakyat kecil hanya bernasib seperti jongos. Jongos dirumah sendiri. Hampir peristiwa-peristiwa itu terjadi disetiap daerah. Peranan kaum pemodal tetap menjadi primadona sedangkan orang yang tak punya modal hanya keringatnya yang terus diperas. Kamipun memasuki area tempat makan yang ditata apik disetiap pinggir waduk yang sejuk. Lalu meminta daftar menu yang dibawa oleh pelayan rumah makan. Kami asyik melihat-lihat daftar menu masakan dan mencocokkan dengan selera makan. Aduhai, mata memandang waduk yang luas dengan lepas. Ada banyak ikan berloncat-loncatan dan banyak juga orang memancing. Serasa waduk peninggalan kolonial Belanda membawa memori tersendiri yaitu memori luka yang belum bisa tersembuhkan, luka yang masih dipakai anak bangsa untuk mengatur negeri besar ini. Warisannya masih menjamur, sebagai bukti bahwa korupsi juga salah satu budaya warisan kolonial.
            Pohon-pohon yang rindang dan besar banyak tumbuh berderet-deret mengelilingi waduk membuat suasana semakin nyaman dan sejuk. Kami bercanda dengan lepasnya tanpa beban, namun tiba-tiba kami disapa oleh rombongan yang hendak pulang. Kira-kira ada empat orang. Ah, ternyata bapaknya perempuan yang pernah aku kenal, dekat, dan pernah ada rasa meski waktu itu masih seusia anak Sekolah Lanjutan Pertama. Bisa dikatakan cinta monyet, namun sungguh pertama kali aku merasa tertarik dengan perempuan hanya dengan dia. Aku tersenyum hambar, malu, dan sedikit canggung, namun aku tetap harus menjaga perasaan agar luka dalam hati tidak seperti luka bangsa ini selama mengalami penjajahan oleh kolonial Belanda. Kami berjabat tangan dan berbicara basa-basi sebentar sebelum dia dan rombongannya berlalu, kami tersenyum melepas mereka sekeluarga pergi. Meski aku sempat bertanya kabar anaknya yang kini telah berkeluarga dan menetap di kota B. Setidaknya aku bertanya tentangnya, tanya sebatas kabar kehidupannya walau hatiku sebenarnya sedikit terpaksa. Aku menyalami ibunya, adiknya, dan maaf satu lagi tetangganya yang aku kenal sebagai adik angkatan sewaktu menempuh studi Islam di kota S.
            Kami berempat makan Gurame bakar dan nasi untuk empat porsi. Dengan minum Jus Tomat serta mangga. Serasa perut kembali lagi berisi dan nyaman, hidup terasa tenang dan pikiran kembali hidup. Serasa kami benar-benar anak muda, begitu enaknya makan ditempat yang sejuk dengan suara musik mendayu-dayu oleh lagu-lagu hits. Tempat ini memang telah dirancang dan didesain khusus agar para pengunjung betah dan puas bersenda gurau, ngobrol, diskusi dan tentu saja kencan. Tempat yang romantis. Tempuran, tempat makan yang telah memberi kesan bahwa kita pernah muda. Mengisi cerita-cerita tentang indahnya berbagi canda tentang kisah-kisah hidup dalam pikiran muda yang menggebu-gebu meski dalam kenyataannyapun melenceng. Apa boleh buat, setidaknya kita pernah muda. Pernah menabur senyum bersama meski akhirnya ada sesal juga. Tak masalah, hidup harus berani mencoba dan bergaul dengan siapa saja.
            Setelah makan-makan cukup, bayangan Pram masih memutar-mutar dikepala. Ingin rasanya bertemu dengan keluarga Pram dan tahu rumah masa kecil Pram. Ini kota Blora, kota yang identik dengan Pramoedya Ananta Toer. Kami berempatpun bergegas mencari bayangan itu menuju kota, kami bertanya-tanya tentang seorang pengarang terkenal yang bernama Pram, setiap orang yang aku temui hanya geleng-geleng kepala, kami terus saja mencari, setiap rumah yang aku tanya masih saja geleng-geleng kepala, kami putus asa bergegas cabut pulang menuju jalur Randublatung-Cepu-Banyurip-Senori dan tentu desaku Bangilan.
            Beberapa bulan berlalu misteri kecemburuan istriku tentang Tempuran terjawab sudah. Adik kelasku yang pernah studi Islam dikota S, yang pernah kutemui di Tempuran waktu itu bercerita kepada calon istriku yang sempat bertemu di kota S, bahwa aku pernah berpacaran dengan perempuan manis yang bernama A dan pernah makan bersama-sama ditempat romantis Tempuran. Hampir saja pertunanganku gagal, ia marah, namun untung saja aku diselamatkan oleh alasan bahwa kita semua pernah muda dan Allah belum mempertemukan kita dalam cinta. Tak ada alasan kau marah lagi. Kau tetap menerimaku namun masih saja cemburu dengan jejak dan langkahku yang pernah singgah hanya untuk makan di waduk Tempuran Blora. Ingin menghapus jejak langkahku jelas tak bisa, melupakannya iya, tapi jika kau biarkan perasaan hatimu mengalir dengan kedewasaan, bukan hanya jejak langkahku yang terhapus sirna, tapi cemburu dalam hatimu akan redam dengan sendirinya.

 *Penulsi anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda