Kamis, 17 November 2016

Surat Kartini Untuk Negeri

Bagian Satu

https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini 

Oleh. Rohmat Sholihin*

Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menantang terhadap kami. Aduhai! Betapa banyaknya duka cita dahulu semasa masih kanak-kanak disekolah; para guru kami dan banyak diantara kawan-kawan sekolah kami mengambil sikap permusuhan terhadap kami. Tapi memang tidak semua guru dan murid membenci kami. Banyak juga yang mengenal kami dan menyayangi kami, sama halnya terhadap murid-murid lain. Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun murid berhak menerimanya. Pendidikan kolonial yang selalu membeda-bedakan, pendidikan hanya sarana menghegemoni dan melanggengkan kekuasaan atas penindasan. Tak ingin anak-anak jajahan bisa memperoleh kedudukan yang sama, mempunyai hak yang sama sebagai manusia, mengajukan pendapat yang sejajar dalam kedudukan, bertukar pikiran dengan kritis, menerima kritik dan mengkritik. Ah manusia dimanapun selalu sama, bersaing dan ambisi untuk saling menguasai.

Bagaimanapun juga orang pribumi tak kan boleh maju, tetap harus dalam posisi dijajah, alamnya dikeruk, budayanya di ambil, dan di adu domba. Biar semakin terjajah dan lumpuh, itu merupakan penderitaan yang tak terkira pedihnya. Anak-anak pribumi tak boleh sekolah, hanya beberapa saja yang berkasta menengah ke atas baru boleh sekolah, pembodohan masiv dengan rentang waktu yang lama, mencukur pola pikir rakyat pribumi, semua buta huruf, tak bisa membaca, semua hanya orang-orang yang dianggap tak tahu apa-apa, membebek dan bisu. Budaya kritisnya diberangus. Pribumi sungguh menjadi manusia yang berkasta binatang. Sekelas budak yang bermamah biak dikandangnya sendiri.

Berhari-hari aku merasakan bahwa hidup hanya untuk mengabdi pada juragan, serba diatur, ketat, bahkan kentut saja harus melapor, memangnya kita hidup ditanah asing? Ini adalah tanah moyang kami, aku dibesarkan dibumi moyang kami, seharusnya kebebasan kami tak dibatasi oleh sistem kolonial Belanda yang tak bisa adil dalam sistem sosial. Kami rakyat pribumi tetap diperlakukan sebagai kasta terendah yang tak boleh tahu apa-apa, bahkan dibutakan oleh pengetahuan-pengetahuan, budaya, bahkan cara baca tulis, dan bahasa. Rakyat pribumi dibiarkan terkapar dengan segala resiko yang mengancam. Aku gusar menulis surat ini, karena emosiku yang meledak-ledak melihat tangis ratap anak bangsa yang serba menderita, tiada kira.

Jika persatuan dan kesatuan terus dipupuk, kita bisa melawan dengan segala bentuk perlawanan yang kita hadapi. Mustahil, dengan persatuan dan kesatuan apa yang tidak bisa kita lakukan, gunung saja bisa kita pindah, laut juga bisa kita pindah, bahkan samudera bisa kita bendung, apalagi sistem penjajahan Belanda pasti dengan mudah bisa kita hancurkan. Bersatulah kawan, kita sudah bosan dan menderita dengan perpecahan, perang saudara yang ruginya kembali pada kita sendiri, yang mengambil untung adalah musuh kita, musuh yang telah menjajah kita seakar-akarnya sampai kita sekarat dan tak berdaya. Suatu saat kita pasti bisa. Selagi matahari masih bersinar, dan embun masih membasahi rerumputan dan dedaunan kita masih bisa melawan dengan daya upaya yang kita miliki sepenuhnya.

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda