Surat Kartini Untuk Negeri
Bagian
Satu
https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
Oleh.
Rohmat Sholihin*
Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan
kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menantang
terhadap kami. Aduhai! Betapa banyaknya duka cita dahulu semasa masih
kanak-kanak disekolah; para guru kami dan banyak diantara kawan-kawan sekolah
kami mengambil sikap permusuhan terhadap kami. Tapi memang tidak semua guru dan
murid membenci kami. Banyak juga yang mengenal kami dan menyayangi kami, sama
halnya terhadap murid-murid lain. Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan
angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun murid berhak menerimanya. Pendidikan
kolonial yang selalu membeda-bedakan, pendidikan hanya sarana menghegemoni dan
melanggengkan kekuasaan atas penindasan. Tak ingin anak-anak jajahan bisa memperoleh
kedudukan yang sama, mempunyai hak yang sama sebagai manusia, mengajukan
pendapat yang sejajar dalam kedudukan, bertukar pikiran dengan kritis, menerima
kritik dan mengkritik. Ah manusia dimanapun selalu sama, bersaing dan ambisi
untuk saling menguasai.
Bagaimanapun juga orang pribumi tak
kan boleh maju, tetap harus dalam posisi dijajah, alamnya dikeruk, budayanya di
ambil, dan di adu domba. Biar semakin terjajah dan lumpuh, itu merupakan
penderitaan yang tak terkira pedihnya. Anak-anak pribumi tak boleh sekolah,
hanya beberapa saja yang berkasta menengah ke atas baru boleh sekolah,
pembodohan masiv dengan rentang waktu yang lama, mencukur pola pikir rakyat
pribumi, semua buta huruf, tak bisa membaca, semua hanya orang-orang yang
dianggap tak tahu apa-apa, membebek dan bisu. Budaya kritisnya diberangus. Pribumi
sungguh menjadi manusia yang berkasta binatang. Sekelas budak yang bermamah
biak dikandangnya sendiri.
Berhari-hari aku merasakan bahwa hidup
hanya untuk mengabdi pada juragan, serba diatur, ketat, bahkan kentut saja
harus melapor, memangnya kita hidup ditanah asing? Ini adalah tanah moyang
kami, aku dibesarkan dibumi moyang kami, seharusnya kebebasan kami tak dibatasi
oleh sistem kolonial Belanda yang tak bisa adil dalam sistem sosial. Kami rakyat
pribumi tetap diperlakukan sebagai kasta terendah yang tak boleh tahu apa-apa,
bahkan dibutakan oleh pengetahuan-pengetahuan, budaya, bahkan cara baca tulis,
dan bahasa. Rakyat pribumi dibiarkan terkapar dengan segala resiko yang
mengancam. Aku gusar menulis surat ini, karena emosiku yang meledak-ledak
melihat tangis ratap anak bangsa yang serba menderita, tiada kira.
Jika persatuan dan kesatuan terus
dipupuk, kita bisa melawan dengan segala bentuk perlawanan yang kita hadapi. Mustahil,
dengan persatuan dan kesatuan apa yang tidak bisa kita lakukan, gunung saja
bisa kita pindah, laut juga bisa kita pindah, bahkan samudera bisa kita bendung,
apalagi sistem penjajahan Belanda pasti dengan mudah bisa kita hancurkan. Bersatulah
kawan, kita sudah bosan dan menderita dengan perpecahan, perang saudara yang
ruginya kembali pada kita sendiri, yang mengambil untung adalah musuh kita,
musuh yang telah menjajah kita seakar-akarnya sampai kita sekarat dan tak
berdaya. Suatu saat kita pasti bisa. Selagi matahari masih bersinar, dan embun
masih membasahi rerumputan dan dedaunan kita masih bisa melawan dengan daya
upaya yang kita miliki sepenuhnya.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban
Label: Tokoh Inspirasi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda