Lorong Gelap
https://uniania.wordpress.com/category/racauan-si-galau/
Oleh. Rohmat Sholihin*
“Ndok, pokoknya kamu harus mau
menikah dengan Mas Rustam. Ia itu orangnya baik, dewasa, punya status jelas,
pekerjaannya jelas, dan masa depan yang cemerlang.” Bicara Ibu diruang tamu.
“Memangnya, Ibu sudah tahu banyak
tentang dia? Aku punya pilihan hati sendiri Ibu. Dan tolong kasih ruang padaku
untuk memilih sesuai dengan kata hatiku, Ibu. Apa jadinya jika Tami menikah
dengan orang yang tidak Tami cintai Ibu?” jawab Tami dengan perlahan.
“Apakah kau akan tetap
melanjutkan hubunganmu dengan pacarmu itu, yang belum jelas statusnya, Ibu
tidak rela kau menikah dengannya, Ibu malu dengan tetangga-tetangga, apa kata
mereka? Kamu ini anak Ibu yang ragil Tami, Ibu harus memilihkan laki-laki yang
special untuk anak Ibu.”
“Dan pilihan ibu belum tentu
cocok di hati Tami. Kenapa mesti malu ibu? Yang menjalani itu kan Tami, bukan
ibu. Biarlah omongan para tetangga dan rasa malu biar Tami yang rasakan, ibu
tenang saja, tak usah pusing-pusing ikut memikirkan jodohku.”
“Tak bisa begitu Tami, kau menikah
juga berkewajiban memadukan dua keluarga. tidak boleh menikah hanya untuk egois
memikirkan dirimu dan calon suamimu saja. Kita ini mencari jodoh juga harus
lihat-lihat Tami, bentuk rupanya atau fisiknya, keluarganya, kekayaannya,
ilmunya, dan juga tanggung jawabnya. Tak boleh anak ibu cari suami hanya asal
laki-laki biasa, harus luar biasa.”
“Ah ibu, jangan buat Tami tambah
merasa bingung terus hanya permasalahan jodoh, ibu. Tami capek, belum tentu
laki-laki pilihan Tami jelek di hadapan ibu, dan belum tentu pilihan ibu yang
selama ini ibu anggap baik, baik untukku. Biarkan Tami bebas menentukan
pilihan.”
“Pokoknya Tami terima saja, mas
Rustam itu baik.””
“Aduh ibu jangan paksa Tami.”
“Tidak, kamu harus terima saja
dulu Ndok. Titik.”
“Ibu.”
“Iya.”
“Ibu jangan paksa Tami.”
“Terima saja dulu.”
“Ibu, ini sudah zaman kemajuan,
sudah tidak zaman seperti ibu dulu, jika zamannya ibu dulu mau menikah
dipilihkan sama orang tua, ini zaman sudah beda ibu. Sudah bukan zaman Siti
Nurbaya.”
“Halah, siapa Siti Nurbaya itu?
Siti temanmu itu juga sudah menikah.”
Memang
sangat susah menjelaskan pada ibu, jika sudah punya kemauan, mau tak mau kita
harus menurutinya meskipun hati kita tidak cocok, dan hampir semua
saudara-saudaraku begitu. Menikah dipilihkan oleh ibu. Dan yang jadi pilihan
ibu tentunya faktor kekayaan. Entah punya jabatan, sawah yang luas, dan kaya.
Hingga terkenal dimata orang-orang sekitar bahwa ibu adalah keluarga matre.
Akhirnya
waktu yang sangat ditunggu-tunggu ibu tiba. Ibu telah mempersiapkan segala
persiapan kedatangan keluarga mas Rustam untuk bersilaturrohmi ke rumah. Hatiku
menjadi semakin kecewa, marah, benci, kenapa ibu tidak pernah mendengarkan
penjelasanku. Dan tanpa sepengetahuanku terlebih dahulu tiba-tiba ibu mengambil
sikap yang sangat membuatku kecewa. Namun, aku tak patut marah. Bagaimanapun
bentuknya aku tetap yang keliru karena marah kepada wanita yang telah
melahirkanku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya menyerah dan pasrah.
Dengan hati berat aku menuruti kemauan ibu untuk menemui keluarga mas Rustam.
Hatiku kecut, pikiranku melayang pada seorang laki-laki yang aku cintai sejak
masih sekolah setingkat SLTP, hubungan kami terus berlanjut meski ibu tak
pernah mau sedikitpun menyukainya. Namun, melihat kegigihan cintanya padaku,
hatiku mulai tertambat perlahan-lahan sampai aku benar-benar merasakan cinta.
Kita sudah berikrar disaksikan senja bahwa kita akan mengarungi hidup bersama.
Membuktikan pada dunia bahwa cinta bisa merubah segalanya, termasuk upayamu
untuk membuktikan cintamu bahwa kau lelaki yang bertanggung jawab. Bahkan kau
rela bekerja apa saja untuk membuktikan bahwa kamu mampu. Dan itu bukan masalah
yang mudah, harga diri taruhannya, pernah kau bekerja sebagai kuli bangunan,
penjual es keliling, bahkan yang terakhir kau membuka usaha bubur ayam, dan
itupun tak lepas dari ideku, kita harus bisa membuka usaha sendiri, dengan
modal kita sendiri, aku rela menjual gelangku dari menyisihkan gajiku sebagai
seorang pengajar di taman kanak-kanak dikampungku. Dan
itupun aku tak pernah bilang pada ibu, aku tak ingin ibu marah-marah dan bisa
membuat penyakit hipertensinya kambuh. Jika ibu tanya tentang gelangku, aku
jawab kujual untuk beli HP baru.
Suasana
kekeluargaan dan keramah-tamahan malam ini sangat aneh kurasakan. Tidak seperti
pada ibu, bapak, dan saudara-saudaraku yang tersenyum senang.
“Ganti baju yang baru Tam!”
perintah mbakku.
“Tidak, ini sudah bagus, lagian yang
punya tamu kan ibu, bukan aku.” Jawabku ketus dengan hati yang sungkel.
“Iya, tapi kalau tampil cantik
kan lebih bagus toh Tam.”
“Begini saja sudah cukup.” Kataku
sambil kembali ke kamar dan kutumpahkan segala perasaanku yang kecewa, takut,
benci, menjadi haru biru dalam kalbu. Hatiku menangis dalam diam, tak ada yang
membelaku, tak ada yang memahami hatiku, “huuuuuuh, rasanya ingin pergi jauh.”
Batinku.
“Tami, rombongan mas Rustam sudah
tiba, ndok. Ayo keluar!” ajak ibu.
“Iya, sebentar.” Jawabku pelan.
Segera ku usap air mata yang membasahi pipiku, ku tutup lagi dengan bedak agar
tak terlihat sedih dan pucat. Aku menuju ruang tamu yang sudah ada keluarga mas
Rustam dan keluargaku. Aku duduk disebelah ibu, menunduk dan menunduk,
seakan-akan aku tak punya keberanian mendongak untuk menatap semua yang hadir,
hatiku terasa teradili oleh kekeliruan yang fatal, yaitu memberi ruang harapan
pada keluarga mas Rustam bahwa aku juga bersedia menjalin silaturrohmi yang
ujung-ujungnya adalah menuju pernikahan. Hatiku hancur berkeping-keping, disisi
lain aku merasa berdosa pada lelaki pilihanku yang telah berikrar sehidup
semati. Dan aku telah memakan janjiku sendiri, mengingkari prasasti yang telah
aku catat dalam hati, bahwa kita akan hidup bersama.
Ramah tamahpun selesai sudah. Dan
yang paling membuatku terbang ke awang-awang tentang keputusan ibu yang terlalu
cepat dan tidak memberikan kesempatan padaku untuk bicara. Bahwa hari
pernikahan ditentukan tujuh hari ke depan. Aku seperti disambar petir tujuh
kali sampai remuk dan hancur. Apa yang akan terjadi padaku dan kamu? Jika kau
sampai tahu dan mendengar berita ini. Betapa kecewanya hatimu, pasti kau akan
melaknatku. Menyumpahiku setinggi langit, bahwa aku adalah perempuan iblis. Dan
apa yang harus aku lakukan? Entah.
Waktu terus berjalan. Tak perduli
pada hati yang telah gundah, bingung, putus asa dan mencekam. Sedangkan waktu
pernikahan semakin dekat, kurang tiga hari. Ibu memang sengaja mempercepat
pernikahanku supaya aku tak punya ruang untuk berfikir lagi. Berita rencana
pernikahanku semakin menyebar dan bahkan banyak tetangga-tetanggapun
mengetahuinya melalui beberapa surat undangan yang telah disebarkan, tak
terkecuali kamu yang sedang duduk di warung bubur ayam usaha kita. Aku sempatkan
datang untuk memberikan penjelasan yang masuk akal dan solusi yang terbaik
untuk kita.
“Mas, maafkan aku mas, tentunya
mas sudah mendengar dari banyak orang-orang, bahwa aku telah dijodohkan sama
lelaki pilihan ibu.” Kau masih tenang dan tak bereaksi. Hanya matamu menatapku
tajam seperti mata elang.
“Kau serius?”
“iya, ini serius.”
“Kau mau?”
“Aku tak bisa berbuat apa-apa
mas, aku tak punya pihak untuk bisa aku ajak kerjasama, semua saudaraku tak ada
yang berani sama ibu, hampir mereka semua saudara-saudaraku juga begitu…..”
“Cukup. Kita tutup hubungan kita
sampai disini dan kita sudahi warung kita ini.” Dengan marah kau melempar
mangkuk disudut tembok dengan keras suaranya “pyar” memekakkan telingaku.
“Sudah, pulanglah kau. Cintamu
hanya sebatas di mulut saja. Biarkan semua barang-barang yang ada disini aku
hancurkan bersama dengan hatiku yang juga hancur. Aku sudah menduga dari awal
hubungan kita bahwa kau hanya bisa bermain-main saja.”
“Tapi mas,”
“Sudahlah kita selesai.”
Dengan hati yang hancur akupun
pulang. Hatiku remuk redam serasa tak ada kekuatan, pikiranku tumpul, aku tak
tahu lagi apa yang harus aku lakukan, hatiku sangat marah dan kecewa hingga
terasa aneh. Sesampai dikamarku aku luapkan kekecewaanku pada diri yang sunyi,
sendiri tertikam luka hati yang tak ada obatnya. Mau berkeluh kesah pada ibu
pasti marah, bapak hanya menurut saja pada keputusan ibu. Saudara-saudaraku,
mereka sudah punya kesibukan sendiri bersama dengan keluarganya masing-masing.
“Hah….aku benci.” Hatikupun memberontak. Jemariku mengambil HP yang tergeletak
sunyi di tolet kamar, aku ingin coba berkeluh kesah lagi denganmu melalui SMS,
dan semoga kau mau mengerti keadaanku. Namun percuma tak ada balasan sedikitpun
darimu, aku tahu kau masih sangat marah.
“Mas, jika kau anggap aku tak
mencintaimu, baiklah. Aku rela kau ajak pergi dari rumah sekalipun.” SMS ku
kirim. Masih tak ada jawaban. Semakin banyak aku luapkan terus tulisan keluh
kesahku padamu, namun sekatapun tak ada balasan, tetap sunyi.
“Mas, jika kau masih marah
padaku, baiklah, kau boleh mengataiku iblis, hantu, pengkhianat, namun dalam
diriku, dari pada aku kawin dengan orang yang tak aku cintai, dan kau sudah
membenciku, lebih baik aku mati, mas.” SMS terakhir aku lontarkan, namun
juga tetap sunyi. Aku semakin bingung dan ketakutan, hatiku limbung, pikiranku
kosong. Ada bayang-bayang dalam otakku, jelas sekali, wajah ibu yang sedang
kecewa, wajah bapak yang diam, wajah mas Rustam yang tertawa terbahak-bahak,
dan tentu ada wajahmu yang telah melototiku. Aku tak tahu lagi apa yang
terjadi, aku kalap, lebih baik aku mati. Tiba-tiba kamarku berubah menjadi
gelap, ibu sedang menjerit histeris, bapak pingsan, orang-orang yang datang
semua pada menangis, saudara-saudaraku menjerit histeris memanggilku, semua
orang berduyun-duyun datang, kau juga datang membisikkan secarik kata, “iya aku
mencintaimu,” namun telah terlambat, aku tak bisa bangkit untuk meraih
tanganmu. Hanya air mataku meleleh, aku telah pergi ke lorong gelap dan takkan
kembali. Seribu sesal tak ada guna, seperti iman didada telah lenyap dari
dalamnya.
*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening
Bangilan-Tuban.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda