Sabtu, 05 November 2016

Lorong Gelap


https://uniania.wordpress.com/category/racauan-si-galau/

Oleh. Rohmat Sholihin*

“Ndok, pokoknya kamu harus mau menikah dengan Mas Rustam. Ia itu orangnya baik, dewasa, punya status jelas, pekerjaannya jelas, dan masa depan yang cemerlang.” Bicara Ibu diruang tamu.
“Memangnya, Ibu sudah tahu banyak tentang dia? Aku punya pilihan hati sendiri Ibu. Dan tolong kasih ruang padaku untuk memilih sesuai dengan kata hatiku, Ibu. Apa jadinya jika Tami menikah dengan orang yang tidak Tami cintai Ibu?” jawab Tami dengan perlahan.
“Apakah kau akan tetap melanjutkan hubunganmu dengan pacarmu itu, yang belum jelas statusnya, Ibu tidak rela kau menikah dengannya, Ibu malu dengan tetangga-tetangga, apa kata mereka? Kamu ini anak Ibu yang ragil Tami, Ibu harus memilihkan laki-laki yang special untuk anak Ibu.”
“Dan pilihan ibu belum tentu cocok di hati Tami. Kenapa mesti malu ibu? Yang menjalani itu kan Tami, bukan ibu. Biarlah omongan para tetangga dan rasa malu biar Tami yang rasakan, ibu tenang saja, tak usah pusing-pusing ikut memikirkan jodohku.”
“Tak bisa begitu Tami, kau menikah juga berkewajiban memadukan dua keluarga. tidak boleh menikah hanya untuk egois memikirkan dirimu dan calon suamimu saja. Kita ini mencari jodoh juga harus lihat-lihat Tami, bentuk rupanya atau fisiknya, keluarganya, kekayaannya, ilmunya, dan juga tanggung jawabnya. Tak boleh anak ibu cari suami hanya asal laki-laki biasa, harus luar biasa.”
“Ah ibu, jangan buat Tami tambah merasa bingung terus hanya permasalahan jodoh, ibu. Tami capek, belum tentu laki-laki pilihan Tami jelek di hadapan ibu, dan belum tentu pilihan ibu yang selama ini ibu anggap baik, baik untukku. Biarkan Tami bebas menentukan pilihan.”
“Pokoknya Tami terima saja, mas Rustam itu baik.””
“Aduh ibu jangan paksa Tami.”
“Tidak, kamu harus terima saja dulu Ndok. Titik.”
“Ibu.”
“Iya.”
“Ibu jangan paksa Tami.”
“Terima saja dulu.”
“Ibu, ini sudah zaman kemajuan, sudah tidak zaman seperti ibu dulu, jika zamannya ibu dulu mau menikah dipilihkan sama orang tua, ini zaman sudah beda ibu. Sudah bukan zaman Siti Nurbaya.”
“Halah, siapa Siti Nurbaya itu? Siti temanmu itu juga sudah menikah.”

            Memang sangat susah menjelaskan pada ibu, jika sudah punya kemauan, mau tak mau kita harus menurutinya meskipun hati kita tidak cocok, dan hampir semua saudara-saudaraku begitu. Menikah dipilihkan oleh ibu. Dan yang jadi pilihan ibu tentunya faktor kekayaan. Entah punya jabatan, sawah yang luas, dan kaya. Hingga terkenal dimata orang-orang sekitar bahwa ibu adalah keluarga matre.         
 
            Akhirnya waktu yang sangat ditunggu-tunggu ibu tiba. Ibu telah mempersiapkan segala persiapan kedatangan keluarga mas Rustam untuk bersilaturrohmi ke rumah. Hatiku menjadi semakin kecewa, marah, benci, kenapa ibu tidak pernah mendengarkan penjelasanku. Dan tanpa sepengetahuanku terlebih dahulu tiba-tiba ibu mengambil sikap yang sangat membuatku kecewa. Namun, aku tak patut marah. Bagaimanapun bentuknya aku tetap yang keliru karena marah kepada wanita yang telah melahirkanku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya menyerah dan pasrah. Dengan hati berat aku menuruti kemauan ibu untuk menemui keluarga mas Rustam. Hatiku kecut, pikiranku melayang pada seorang laki-laki yang aku cintai sejak masih sekolah setingkat SLTP, hubungan kami terus berlanjut meski ibu tak pernah mau sedikitpun menyukainya. Namun, melihat kegigihan cintanya padaku, hatiku mulai tertambat perlahan-lahan sampai aku benar-benar merasakan cinta. Kita sudah berikrar disaksikan senja bahwa kita akan mengarungi hidup bersama. Membuktikan pada dunia bahwa cinta bisa merubah segalanya, termasuk upayamu untuk membuktikan cintamu bahwa kau lelaki yang bertanggung jawab. Bahkan kau rela bekerja apa saja untuk membuktikan bahwa kamu mampu. Dan itu bukan masalah yang mudah, harga diri taruhannya, pernah kau bekerja sebagai kuli bangunan, penjual es keliling, bahkan yang terakhir kau membuka usaha bubur ayam, dan itupun tak lepas dari ideku, kita harus bisa membuka usaha sendiri, dengan modal kita sendiri, aku rela menjual gelangku dari menyisihkan gajiku sebagai seorang pengajar di taman kanak-kanak dikampungku. Dan itupun aku tak pernah bilang pada ibu, aku tak ingin ibu marah-marah dan bisa membuat penyakit hipertensinya kambuh. Jika ibu tanya tentang gelangku, aku jawab kujual untuk beli HP baru.

            Suasana kekeluargaan dan keramah-tamahan malam ini sangat aneh kurasakan. Tidak seperti pada ibu, bapak, dan saudara-saudaraku yang tersenyum senang.
“Ganti baju yang baru Tam!” perintah mbakku.
“Tidak, ini sudah bagus, lagian yang punya tamu kan ibu, bukan aku.” Jawabku ketus dengan hati yang sungkel.
“Iya, tapi kalau tampil cantik kan lebih bagus toh Tam.”
“Begini saja sudah cukup.” Kataku sambil kembali ke kamar dan kutumpahkan segala perasaanku yang kecewa, takut, benci, menjadi haru biru dalam kalbu. Hatiku menangis dalam diam, tak ada yang membelaku, tak ada yang memahami hatiku, “huuuuuuh, rasanya ingin pergi jauh.” Batinku.
“Tami, rombongan mas Rustam sudah tiba, ndok. Ayo keluar!”  ajak ibu.
“Iya, sebentar.” Jawabku pelan. Segera ku usap air mata yang membasahi pipiku, ku tutup lagi dengan bedak agar tak terlihat sedih dan pucat. Aku menuju ruang tamu yang sudah ada keluarga mas Rustam dan keluargaku. Aku duduk disebelah ibu, menunduk dan menunduk, seakan-akan aku tak punya keberanian mendongak untuk menatap semua yang hadir, hatiku terasa teradili oleh kekeliruan yang fatal, yaitu memberi ruang harapan pada keluarga mas Rustam bahwa aku juga bersedia menjalin silaturrohmi yang ujung-ujungnya adalah menuju pernikahan. Hatiku hancur berkeping-keping, disisi lain aku merasa berdosa pada lelaki pilihanku yang telah berikrar sehidup semati. Dan aku telah memakan janjiku sendiri, mengingkari prasasti yang telah aku catat dalam hati, bahwa kita akan hidup bersama.

Ramah tamahpun selesai sudah. Dan yang paling membuatku terbang ke awang-awang tentang keputusan ibu yang terlalu cepat dan tidak memberikan kesempatan padaku untuk bicara. Bahwa hari pernikahan ditentukan tujuh hari ke depan. Aku seperti disambar petir tujuh kali sampai remuk dan hancur. Apa yang akan terjadi padaku dan kamu? Jika kau sampai tahu dan mendengar berita ini. Betapa kecewanya hatimu, pasti kau akan melaknatku. Menyumpahiku setinggi langit, bahwa aku adalah perempuan iblis. Dan apa yang harus aku lakukan? Entah.
Waktu terus berjalan. Tak perduli pada hati yang telah gundah, bingung, putus asa dan mencekam. Sedangkan waktu pernikahan semakin dekat, kurang tiga hari. Ibu memang sengaja mempercepat pernikahanku supaya aku tak punya ruang untuk berfikir lagi. Berita rencana pernikahanku semakin menyebar dan bahkan banyak tetangga-tetanggapun mengetahuinya melalui beberapa surat undangan yang telah disebarkan, tak terkecuali kamu yang sedang duduk di warung bubur ayam usaha kita. Aku sempatkan datang untuk memberikan penjelasan yang masuk akal dan solusi yang terbaik untuk kita.
“Mas, maafkan aku mas, tentunya mas sudah mendengar dari banyak orang-orang, bahwa aku telah dijodohkan sama lelaki pilihan ibu.” Kau masih tenang dan tak bereaksi. Hanya matamu menatapku tajam seperti mata elang.
“Kau serius?”
“iya, ini serius.”
“Kau mau?”
“Aku tak bisa berbuat apa-apa mas, aku tak punya pihak untuk bisa aku ajak kerjasama, semua saudaraku tak ada yang berani sama ibu, hampir mereka semua saudara-saudaraku juga begitu…..”
“Cukup. Kita tutup hubungan kita sampai disini dan kita sudahi warung kita ini.” Dengan marah kau melempar mangkuk disudut tembok dengan keras suaranya “pyar” memekakkan telingaku.
“Sudah, pulanglah kau. Cintamu hanya sebatas di mulut saja. Biarkan semua barang-barang yang ada disini aku hancurkan bersama dengan hatiku yang juga hancur. Aku sudah menduga dari awal hubungan kita bahwa kau hanya bisa bermain-main saja.”
“Tapi mas,”
“Sudahlah kita selesai.”
Dengan hati yang hancur akupun pulang. Hatiku remuk redam serasa tak ada kekuatan, pikiranku tumpul, aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, hatiku sangat marah dan kecewa hingga terasa aneh. Sesampai dikamarku aku luapkan kekecewaanku pada diri yang sunyi, sendiri tertikam luka hati yang tak ada obatnya. Mau berkeluh kesah pada ibu pasti marah, bapak hanya menurut saja pada keputusan ibu. Saudara-saudaraku, mereka sudah punya kesibukan sendiri bersama dengan keluarganya masing-masing. “Hah….aku benci.” Hatikupun memberontak. Jemariku mengambil HP yang tergeletak sunyi di tolet kamar, aku ingin coba berkeluh kesah lagi denganmu melalui SMS, dan semoga kau mau mengerti keadaanku. Namun percuma tak ada balasan sedikitpun darimu, aku tahu kau masih sangat marah.
“Mas, jika kau anggap aku tak mencintaimu, baiklah. Aku rela kau ajak pergi dari rumah sekalipun.” SMS ku kirim. Masih tak ada jawaban. Semakin banyak aku luapkan terus tulisan keluh kesahku padamu, namun sekatapun tak ada balasan, tetap sunyi.
“Mas, jika kau masih marah padaku, baiklah, kau boleh mengataiku iblis, hantu, pengkhianat, namun dalam diriku, dari pada aku kawin dengan orang yang tak aku cintai, dan kau sudah membenciku, lebih baik aku mati, mas.” SMS terakhir aku lontarkan, namun juga tetap sunyi. Aku semakin bingung dan ketakutan, hatiku limbung, pikiranku kosong. Ada bayang-bayang dalam otakku, jelas sekali, wajah ibu yang sedang kecewa, wajah bapak yang diam, wajah mas Rustam yang tertawa terbahak-bahak, dan tentu ada wajahmu yang telah melototiku. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi, aku kalap, lebih baik aku mati. Tiba-tiba kamarku berubah menjadi gelap, ibu sedang menjerit histeris, bapak pingsan, orang-orang yang datang semua pada menangis, saudara-saudaraku menjerit histeris memanggilku, semua orang berduyun-duyun datang, kau juga datang membisikkan secarik kata, “iya aku mencintaimu,” namun telah terlambat, aku tak bisa bangkit untuk meraih tanganmu. Hanya air mataku meleleh, aku telah pergi ke lorong gelap dan takkan kembali. Seribu sesal tak ada guna, seperti iman didada telah lenyap dari dalamnya.

*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda