Putri Bah Tei # 10
http://cryptozoology.blogspot.co.id/2011/04/mencari-kebenaran-adanya-naga.html
Oleh. Rohmat Sholihin.
Pada Hari Ketiga
Setelah mengarungi petualangan yang mengerikan selama dua
hari, kini Joko memasuki kesulitan-kesulitan pada hari ketiga. Dalam hatinya
terus berusaha keras menjaga kewaspadaan, jangan sampai hatinya lengah dan
goyah yang bisa membuat jiwanya kalah dan gagal dalam menjalani Ajian Melebur
Bayu Sukma. Tubuhnya masih terlihat stabil, menggelantung seperti kelelawar,
matanya terpejam, terkadang mulutnya terlihat bergerak-gerak seperti melafalkan
doa-doa. Dan sesekali mulutnya ia buka perlahan-lahan, mengharap ada setetes
embun jatuh dari daun, agar tubuhnya kembali segar dan kuat.
Kembali pikirannya tercerabut, terbawa angin sepoi-sepoi
pada suatu senja di danau mati, airnya tidak mengalir, kecuali diwaktu musim
hujan yang airnya melimpah-ruah. Kala senja itu ia sedang bermain dengan
teman-teman sebayanya, mandi dengan asyiknya, berteriak, menjerit, tertawa
penuh suka. Berlari-lari mengitari danau yang riuh, sampai lupa waktu.
“Kita pulang, hari semakin
senja, sebentar lagi gelap.”
“Sebentar, aku masih belum
puas.”
“Tenanglah.”
“Kenapa kau gugup?”
“Tak tahu, aku ingin cepat
pulang.”
“Sebentar lagi ya, jika
matahari benar-benar tak tampak, kita pulang.”
“Keburu malam.”
“Ini masih senja. Belum malam.
Kita masih bisa bermain lagi sepuasnya.”
“Besok kita mandi lagi ke
sini.”
“Gampang, yang penting kita
mandi dulu saja.”
Temannya itupun mengikutinya.
Tak berapa lama ketika mereka masih asyik mandi, tiba-tiba air danau menjadi
berputar-putar, semakin cepat dan semakin cepat, arusnya menghancurkan dan
membawa benda-benda disekitarnya, rumput, bahkan teman-teman ikut terbawa arus,
suara jerit ketakutan menyelimuti teman-teman yang ikut terbawa arus air yang
semakin dahsyat. Air satu danau seakan-akan tersedot oleh benda asing, tubuh
mereka satu persatu hilang tertelan arus air yang semakin kencang. Tampaklah
benda raksasa menyerupai ular, tubuhnya panjang menggelapar-gelepar, kepalanya
mengerikan dan matanya merah menyala, apapun ditelan, tanpa tersisa. Teman-temannyapun
ludes tak ada batang hidungnya.
‘Lepaskan, lepaskan, lepaskan
teman-temanku.” Teriak Joko seperti orang ketakutan.
Tak ada suara dari binatang
aneh dan keji itu, mulutnya menyeringai, taring-taringnya tajam mengerikan.
“Lepaskan!” tantang Joko.
Dengan sekejap kepalanya
mendekati tubuh Joko yang menggigil ketakutan. Lidahnya ia julur-julurkan, mata
merahnya tajam menatap Joko,
“Hentikan semedimu!,
teman-temanmu akan aku lepaskan.” Jawab binatang yang menyerupai naga.
“Tak akan kuhentikan semediku
naga tengik. Lepaskan teman-temanku!.” Gertak Joko.
Dengan cepat tubuh binatang aneh
itupun melilit tubuh Joko. Tubuh Joko yang tak terlihat itupun semakin tak
berdaya, kekuatan yang telah ia miliki seakan-akan musnah, yang tersisa hanya
nafasnya yang tersengal-sengal. Binatang aneh itupun terus melilit Joko. Tak
ada perlawanan. Dalam hatinya terus ia melafalkan doa-doa, setidaknya jika ia
mati dalam keadaan masih memegang iman. Binatang aneh itupun masih kuat terus
melilit tubuh Joko. Joko merasakan tulang dan persendiannya mulai rontok satu
persatu, sakit. Ia mau menjerit tetap tak bisa. Hanya pasrah yang ia lakukan. Tubuhnya
semakin lemas, namun ia tetap terus melafalkan doa-doa yang telah diberikan
oleh Ki Baroto. Menjalani semedi untuk menyempurnakan ilmu Ajian Melebur Bayu
Sukma seperti hidup dalam ketertindasan, pikiran mengawang-awang tak tentu,
sedangkan hati terus dibiasakan dalam keadaan tenang meski banyak
perasaan-perasaan yang terus menggoda pikirannya yang sulit terbendung. Hidup
seperti dimainkan oleh perasaan, ancaman, kekhawatiran, meski semuanya berlalu
tapi kita harus kuat bertahan dalam keadaan dan situasi apapun. Dan intinya
hidup adalah tidak boleh terumbar oleh sifat iri dan dengki apalagi kesombongan
yang dapat menggerogoti iman dalam hati.
“Lihatlah Ki!, sepertinya Joko
semakin lemas Ki.”
“Tenang Bah Tei, berdoalah!
Semoga Joko selalu kuat bertahan dengan tindihan-tindihan perasaan dan
pikirannya, ia tidak berperang dengan musuhnya tapi ia sedang berperang dengan
dirinya sendiri melawan perasaan dan pikirannya sendiri, ia harus bisa
menaklukan kekuatan yang ada dalam dirinya sendiri.”
“Tapi,…..”
“Tenanglah, ia pasti bisa
menguasai dirinya dengan kesulitan-kesulitan yang ia hadapi secara terus
menerus sehingga ia bisa menjadi terbiasa.”
“Aku semakin khawatir Ki
dengan kondisi Joko, aku khawatir ia tidak mampu bertahan dengan situasinya
yang semakin sulit.”
“Syukurlah, jika kau mulai
mengkhawatirkan dia.”
“Ki….”
“Iya Bah Tei, itu tandanya kau
mulai perhatian dan tertarik dengan dia.”
“Aku sudah tidak punya
siapa-siapa Ki selain dia, Babah, orang yang satu-satunya aku banggakan kini
telah hidup mengungsi mencari keselamatan di negeri Tumasek. Dan kini aku juga
belum tahu kabarnya.”
“Semoga Babahmu selamat Tei.”
“Iya Ki, semoga Babah sampai
di Tumasek dengan sehat dan bertemu dengan
Bibi Lou.”
“Semoga.”
Ki Baroto dan Bah Tei
berbincang-bincang disela-sela selesai berlatih kanoragan, dengan setia mereka
terus menunggui Joko yang sedang bersemedi dengan segala resiko dan
tantangan-tantangan yang ia hadapi. Tubuhnya semakin lemas dan tak bergerak,
pikirannya dihimpit oleh binatang aneh yang meyerupai naga di danau mati tempat
ia dan kawan-kawan kecilnya mandi. Binatang itu kini telah melilit tubuhnya dan
mengancam untuk menghentikan semedinya. Tubuh Joko tak berdaya, semakin lemah
dan tak kuasa menahan lilitan binatang aneh yang menyerupai naga itu. Namun ia
tetap tabah dan sabar menahan sakit yang tak terperikan, meski hanya perasaan
dan pikirannya saja tapi sungguh membuat tubuh Joko lungset seperti kertas
buram. Dengan bertahan terhadap lilitan binatang aneh yang menyerupai naga itu,
ia terus memusatkan pikirannya yang bercerai-berai meninggalkan jasadnya
terbang ke awang-awang, lama-kelamaan tenaganya mulai pulih lagi, sisa-sisa
kekuatan dalam tubuhnya kembali mengaliri peredaran darahnya dan terpusat pada
pikirannya yang kembali tenang.
“Pergi saja kau binatang
busuk, dan tak berguna, lepaskan juga kawan-kawanku yang telah kau sandera
diperutmu itu.”
“Enak saja anak muda. Kau dan
kawan-kawanmu akan kulumat.”
“Aku tak takut ancamanmu itu
naga busuk.”
“Cepat hentikan semedimu atau
aku lumatkan tubuhmu ini!.”
“Silahkan saja, aku sudah siap
mati untuk ini.”
“Enak saja kau mintanya
langsung mati, akan aku cincang dulu tubuhmu ini, dan sebelum kau hentikan
semedimu itu, cepat hentikan semedimu, kau sudah ditunggu perempuanmu itu yang
makin cemas menunggumu.”
“Maaf aku tidak takut dengan
ancamanmu naga tengik.”
“Goblok kau anak muda, apa
yang kau cari dalam semedimu ini?”
“Aku tak cari apa-apa, hanya
ingin menaklukan hawa nafsuku.”
“Kurang ajar!, kau memang
keparat anak muda.”
“Terserah apa katamu naga
tengik.”
“Persetan kau anak muda.”
“Kau sendiri yang menyerupai
syetan.”
“Apa aku ini syetan?”
“Bukan hanya syetan tapi
iblis.”
Dengan dikatakannya iblis,
tubuh binatang aneh yang menyerupai naga itupun perlahan-ahan luluh lantah, dan
sirna. Asap putih menyebar memenuhi
danau bersama tubuh anak-anak muda bergelimpangan dipinggir danau dalam
keadaan tertidur. Tubuh Jokopun kembali
segar dan tegar. Bersamaan dengan itu, tubuh-tubuh itupun juga menghilang, Joko
seperti bangun dari tidur, semua kembali seperti dari awal lagi. Mulut Joko
terus melafalkan doa-doa yang telah diberikan Ki Baroto.
Bersambung…
Bangilan, 1 Desember 2016.
Label: Dongeng serial
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda