Senin, 05 Desember 2016

SELEMBAR KERTAS USANG

Oleh. Rohmat S*
  


Pagi,
Angin masih basah oleh embun dan berhamburan menyesakkan paru-paru kita. Rembulanpun baru saja beranjak pergi, hewan nokturnal sibuk mencari rumah persembunyiannya untuk berkumpul dengan komunitasnya. Para pekerja malam juga telah beranjak tidur menebus rasa kantuk semalam sibuk bekerja. Suara adzan subuh berkumandang dari masjid dan surau untuk mengajak orang-orang muslim beribadah kepada-Nya. Dan sebentar lagi jalanan akan ramai oleh kendaraan berlalu lalang mengejar kesibukan masing-masing sebagai pertanda bahwa kota masih aktif melakukan kegiatan-kegiatan rutin. Waktu begitu relatif mengantarkan mereka yang berkepentingan dalam hal apapun. Begitu penting, namun keras tanpa ampun, lembut nan santun. Tergantung mereka mengartikan dan memaknai hasrat dibaliknya.
Kang Tres,
Tokoh ceritaku yang menghantam angkuhnya waktu.
Pagi bekerja dan pulang habis isya’. Anaknya selusin dan hidup diperkampungan kumuh perkotaan. Riuh dengan segudang sampah berserakan tak teratur menghiasi rumah sempitnya. Baunya amis bercampur ampek tak terhingga membaur dengan udara menusuk disetiap sela-sela rumah kumuh yang padat, bergerombol, berhimpitan diatas sungai yang mampat oleh berbagai sampah. Airnya keruh berwarna hitam pekat, mengerikan juga menjijikkan mata yang melihatnya. Ikanpun takkan tampak mulutnya sebab banyak racun yang menggenangi perairannya. Entah, racun dari bahan sampah plastik, rumah tangga, obat kadaluarsa, jarum suntik bekas dan masih banyak lagi yang tercerai berai didalam sungai kota. Tapi manusia yang terjepit oleh situasi kehidupan akan bertahan hidup memperjuangkan hak dan kewajibannya untuk mencapai kesejahteraan yang terasa jauh, jauh dari pelupuk mata dan seakan tak mungkin karena terlalu berat melaluinya. Banyak juga manusia yang mampus dengan jalan membunuh dirinya sendiri karena tak kuat dengan himpitan beban hidup, beban ekonomi, beban biaya pendidikan, beban biaya kesehatan, beban mental lingkungan yang kejam. Bahkan rela lari berpindah tempat mencari peraduan nasib ke negeri tetangga. Tak apalah nasib jadi kuli, yang terpenting dapat memberikan kiriman kepada keluarga dan kompor tetap mengepul sebagai penyambung hidup untuk mengatasi kelaparan akibat kemiskinan. Miskin ide cemerlang, kemauan,  dan keterampilan menciptakan ruang kerja mandiri.
            Kang Tres, sebagai pengais sampah kota menghidupi anaknya yang jumlahnya selusin. Tiap hari bergelut dengan bau dan kuman-kuman sampah yang siap menerkam organ tubuhnya. Bahaya itu sudah tak terlintas dalam otaknya, diotaknya hanya ada seberkas harapan hidup yang layak sebagai manusia pada umumnya. Bekerja dengan normal, bisa berkumpul dengan keluarga dan masyarakat dengan nyaman tanpa beban moral yang menekan hatinya. Status pengais sampah yang dekil dan bau, mana bisa maju jadi manusia seutuhnya. Otak dan hati sampah yang kotor dan berpenyakit pula takkan bisa merubah status kelas lebih baik pada masyarakat. Tetap saja hidup pada kelas kumuh yang termarjinalkan. Dan hari esok tetap saja kelabu, tak ada indahnya sedikitpun. Rela hidupnya berbanting tulang, berjibaku dengan keringat, bau sampah, hanya untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya dan makan. Seperti pagi ini Kang Tres, tubuhnya sudah bergelut dengan gunung sampah yang telah bertahun-tahun menumpuk, membusuk menutupi tumpukan tanah yang basah oleh air hujan, akibatnya tanah itu menjadi mudah ambruk. Keadaan tanah yang terbungkus sampah, humus terkikis, kesuburan larut menjadi sumber penyakit. Nyamuk bersarang, kuman berkembang biak berevolusi. Tanah Indonesia sumber pangan dunia hilang sebagian, warga tetap diam terpaku menunggu harga pangan melonjak tinggi. Wabah kelaparan dan penyakit berdatangan silih berganti wargapun siap menunggu kematian dengan terpaku memelas menunggu takdir Tuhan. Takdir masalah pribadi Tuhan yang tak bisa dikuak oleh setiap makhluk-Nya. Malaikatpun tak mampu. Sedangkan manusia dituntut untuk berusaha tanpa menunggu takdir tiba, jika manusia menunggu takdir akibatnya manusia akan malas berusaha dan pasrah tanpa daya. Takdir, sesuatu yang datang belakangan ketika kita sudah melalui proses perjalanan panjang. Kita dituntut untuk selalu berusaha, belajar dari kejadian-kejadian yang telah menimpa kita. Tapi faktor kekuatan manusialah yang berbeda, sehingga ada yang menang dan ada yang kalah dalam memainkan peran kehidupan dan takdir telah menjawab itu semua dengan usaha dari segala kehendak-Nya, tak sepatutnya Tuhan disalahkan tanpa alasan sebagai pelimpahan rasa kekecawaan yang berat, akan tetapi hanya kita yang belum mampu mencernanya sebagai hikmah dibalik itu semua. Untuk menjadikan hikmah perlu adanya ruang belajar dan pola pikir yang cemerlang tanpa rasa putus asa.  Bertawakkal adalah jawaban yang tepat. Bukankah manusia hanya bisa melakukan itu.
Kang Tres menggunakan kaos oblong panjang, warnanya sudah tak berbentuk entah kuning, merah, hijau. Hanya sesaat jika diperhatikan dengan ilmu pengurai warna kemungkinan coklat kehitaman sebab selalu saja menggunakan baju yang sama setiap bekerja. Baju pertama yang digunakan ketika ia menekuni karir pengais sampah, tapi ada tulisan kecil bercetak buram didada sebelah kiri, aku tidak berani membacanya sebab terlalu pribadi, mengenai salah satu partai politik dan calegnya dengan slogannya yang intinya membela orang kecil dan kaum miskin kota. Aku tak banyak mengurusi dunia politik karena bukan ahli politik. Biarkan politik berjalan dengan irama yang menyentak sesuai dengan janji-janji dan program perubahan yang akan diusung untuk memperbaiki bangsa dan negara, bukan sebaliknya politik dijadikan label pencari kekuasaan dan penindasan serta ketenaran. Sebentar negara akan kocar-kocir sistem dan cara kerja pada semua bidang yang harus dipikulnya, rakyat tetap akan menjadi sengsara akibat kualitas kerja yang bobrok.
Kakinya telanjang tak ada alas kaki berupa sepatu atau sandal, meskipun begitu tetap saja berjalan lincah tanpa beban ketakutan menginjak pecahan kaca atau paku karatan, tak peduli penyakit tetanus mengintai. Kedua tangannya lincah mengumpulkan sampah plastik, kertas, dan besi. Begitu seterusnya.
Ia bekerja menghidupi anak-anaknya yang selusin. Tak ada kejenuhan dalam hatinya. Bekerja dan bekerja, sampai waktu yang tak terhingga. Ia duda yang ditinggal mati istrinya setahun lalu akibat luka tetanus. Tak ada usaha mengobatkan ke rumah sakit sebab tak ada biaya. Hidup bagi mereka hanya sampah, mendaur ulang menjadi uang lalu makan dan esok  cerita akan berganti lagi. Tak ada waktu untuk bercanda dikafe, dimall, atau tempat hiburan lainnya. Biaya untuk kebutuhan refresing, menenangkan diri atau memanjakan diri sangat jauh dari perkiraan dan pemikirannya. Hidup sudah terhimpit waktu dan kebutuhan tiada henti. Bersosialisasi dengan tetangga saja sungguh jarang dan bahkan tak mungkin. Hanya saja , terkadang dengan sesama pengais sampah, sama-sama derajatnya. Asyik mengobrol tentang kampung halaman mereka yang sekarang telah menjadi ramai. Jika saja balik ke kampung akan membuka bisnis warung kopi, jualan nasi, bubur ayam, atau mie ayam. Tapi itu perlu modal, sedangkan Ia masih berada dalam perjuangan mencarinya dengan keras, selalu saja habis buat makan. Sulit mencari peluang bisnis kecil-kecilan hanya untuk membuat warung nasi dan kopi.
Mengambil kredit di bank juga sulit. Tak punya modal sebagai jaminan bank. Dan pihak bank takkan percaya dengan hanya jaminan ide atau gambaran yang masih bersifat abstrak. Sehingga mau tak mau kita harus tetap tegar menjalani kisah hidup yang panjang dan melelahkan ini. Didesapun sudah tidak punya apa-apa. Sebidang tanah, sapi, kerbau milik orang tua sudah dijual untuk bekal urbanisasi, pergi ke kota untuk mencari kerja yang menjanjikan, apalah daya?, bekal ijazah juga tak punya, lapangan kerja sudah semakin sulit. Akhirnya kang Tres rela bekerja sebagai pengais sampah, bertahan sampai hari ini dan entah esok hari apakah masih menjadi pengais sampah, tak ada yang tahu.
 Memang hidup tak boleh manja dengan keadaan apapun. Dan biasanya orang yang hidupnya selalu membiasakan sifat manja bagaikan telur yang tak bisa menetas, membeku dan bungker bahkan baunya sangat menyebalkan hidung. Budaya kerja keras harus terus dipupuk dan ditegakkan pada masyarakat kita agar menuai buah hikmahnya yang memuaskan hati. Seperti Negara Jepang yang terkenal semangat majunya yang berawal dari kelas samurai yang merupakan tulang punggung pembaruan Meiji (1868-1911), dan etika samurai itu sendiri berakar dalam ajaran-ajaran Tokugawa. Sedangkan etika samurai yang mempengaruhi adaptasi paling menarik kepada situasi industrialis, modern:

  1. Janganlah disibukkan oleh persoalan-persoalan kecil.
Pusatkan perhatian kepada manajemen usaha-usaha besar.
  1. Sekali engkau memulai suatu usaha, yakinlah bahwa engkau akan berhasil.
  2. Jangan melibatkan diri ke dalam usaha-usaha spekulatif.
  3. Jalankan semua usaha dengan jiwa kepentingan nasional.
  4. Jangan sekali-kali melupakan jiwa murni pelayanan umum dan makoto.
  5. Bekerjakeraslah dan hiduplah sederhana, dan penuh perhatian kepada orang-orang lain.
  6. Gunakan personel yang tepat.
  7. Perlakukan karyawan-karyawan dengan baik.
  8. Bersikaplah keras dan tegas dalam memulai suatu usaha, tetapi hati-hati dan cermatlah dalam kelanjutan usaha itu.

Begitu proses aturan yang menarik dan bertanggung jawab atas dasar kemajuan untuk Negara Jepang yang masih tetap bertaring dalam bidang industri dan tekhnologi dunia, bisa disebut sebagai macan Asia. Keadaan sumber daya alam negara Jepang jika dibandingkan dengan negara Indonesia sangat berbeda jauh, negara Indonesia punya segalanya, hanya minim dalam pengelolaannya dan pengolahannya. Jepang unggul kecerdasan otak manusianya yang sanggup mengelola sumber alamnya. Faktor itu karena pengaruh dari sistem kerja keras dan maju serta konsisten untuk membangun Negara dalam bidang apapun, terutama pendidikan yang menjadi faktor vital.
Menurut pendapat Kang Tres pada suatu ketika dalam obrolan perjamuan makan malam yang sederhana dengan selusin anaknya diberanda rumah sederhana:
Anak-anakku, pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.” Katanya serius dengan mengerutkan dahi meyakinkan anak-anaknya. Tak satupun anaknya yang membantah karena takut bertatapan dengan wajah serius ayahnya yang telah puluhan tahun terbakar panas matahari. Hitam, berwibawa, menyengat sekalipun radiasi dengan jarak yang jauh. Tak tampak dipelupuk mata namun sikap dan konsisten perhatian kepada anak-anaknya yang menjadi tolok ukur jika akan berbuat sembarangan seusia anak-anak remaja zaman sekarang. Sikap itulah yang dianut oleh selusin anak-anaknya yang selalu bekerja keras tanpa ampun baik dalam bidang pendidikan dan bekerja keras untuk membantu ayahnya. Entah!. Anak-anaknya terkejut dan bertanya-tanya dalam hati, darimana ayahnya mengetahui kalimat yang baru saja Ia ucapkan, dari buku-buku sekolah, dari koran, dari majalah bulletin, atau dari ketika ayah masih mengenyam sekolah rakyat yang telah berlalu. Rasa penasaran menyelimuti anak-anaknya. Tapi, mereka tetap saja diam tak bersuara sedikitpun, hanya dari sorot mata-mata mereka yang tajam mengartikan  setuju dan mencoba memahaminya. Anak-anaknya yang telah mengenyam sekolahpun baru saja mendengar kata-kata itu dari mulut ayahnya yang tak berpendidikan.
Tiba-tiba sang bungsu bertanya.
“Pake darimana kalimat hebat itu?”
Senyum tipis mengembang pada mulut kang Tres. Gigi hitamnya menyeringai. Asap rokok lintingan mengepul. Ia terlihat kagum atas keberanian sang bungsu dengan pertanyaan yang kritis. Sepuluh saudara sang bungsu ikut tersenyum dan penasaran akan jawaban bapaknya. Makanan dimeja kecilnya masih utuh, selusin anaknya belum ada yang berani menyentuh. Menunggu sang bapak mempersilahkan. Burung condet sawah kota memperhatikan obrolan mereka dengan mata yang tajam dan siaga terhadap keberadaan sangkarnya yang terbuat dari rumput ilalang kering untuk menyimpan telur-telurnya yang sebentar lagi akan menetas. Menetas lalu diambil tangan manusia dan dijual ke pasar burung, sungguh mengenaskan kehidupan fauna condet yang akan mengalami kepunahan. Bau sampah mengepul dan tak jadi masalah bagi makan malam mereka karena telah terbiasa dengan keadaan seperti itu.
“Kemarin pada saat aku mengais sampah. Ada robekan kertas lusuh yang kacau oleh perubahan suhu, lama tertimbun sampah. Aku ambil lalu aku menemukan kalimat itu didalamnya. Tulisan yang sudah tak jelas. Namun aku telah mengingatnya karena aku merasa tertarik oleh kata-kata didalamnya. Andaikan kertas-kertas itu lengkap dan utuh dalam buku, aku sangat ingin membacanya disela-sela istirahat makan siang. Jika waktu istirahatku tak cukup akan kulanjutkan membaca pada malam hari yang tenang. Tapi sayang, hanya selembar kertas usang yang telah membusuk.” Jawabnya perlahan-lahan, lalu mengajak makan malam selusin anaknya yang dengan sabar menunggu.
            Suasana makan malam yang menyenangkan. Menu sederhana, hanya nasi, sayur asam, sambal terasi, tempe, krupuk, telur dadar. Tapi yang menyenangkan adalah keharmonisan keluarga Kang Tres yang selalu utuh meskipun tanpa sang ibu. Kehadiran Kang Tres sebagai single parent sudah cukup memberikan kehangatan bagi anak-anaknya. Dan Kang Tres selalu membiasakan makan bersama agar semua masalah dapat diselesaikan secara diskusi disela-sela canda yang sederhana.  Si bungsu merasa tertarik akan kalimat itu yang baru saja diucapkan oleh bapaknya. Si bungsu kembali bertanya. “sekarang masih pake simpan?.” Tanyanya penasaran tak sabar ingin segera membacanya. Membaca bagi si bungsu merupakan pengalaman yang sangat penting bagi suplemen pengetahuan. Memang, dalam suatu masyarakat pengetahuan, unit produksi terpenting bukan lagi mesin, melainkan pengetahuan manusia. Sebagai ganti membakar BBM untuk menggerakkan mesin, manusia dapat membakar informasi untuk menggerakkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Informasi merupakan BBM yang bersih jika dibandingkan dengan batubara atau minyak bumi. Buku bagi keluarga Kang Tres merupakan barang  berharga yang melebihi harga emas sekalipun. Meskipun sangat susah untuk memiliki buku karena harganya mahal bukan berarti tak ada usaha untuk mendapatkannya. Banyak cara yang dapat dilakukan mereka untuk mendapatkan pengetahuan yaitu dengan cara mengkliping berita-berita yang ada dikoran bekas hasil mengaisnya ditempat pembuangan sampah. Potongan-potongan berita koran itu ditempelkan pada dinding triplek rumah. Bahkan rumah berisi berita-berita koran, usang namun berguna sebagai media pembelajaran yang jitu. Seperti mading disekolah-sekolah. Digalakkan oleh siswa untuk melatih keterampilan dan informasi agar menjadi manusia yang kreatif dan aktif. Bukan manusia yang membebek dalam kegiatan intelektual disekolah. Sekolah hanya dijadikan tempat pergaulan bagi kaum membebek untuk berpesta pora gaya dan mode kekinian, mode import. Pergolakan budaya yang kejam tak pandang bulu sedangkan  prinsip terabaikan oleh arus globalisasi. Ciri keaslian masyarakat kita porak poranda dihantam dengan budaya lain yang lebih vulgar dengan kendaraan alat teknologi.
“Masih, aku taruh di sela-sela papan triplek kamar, jika utuh sebuah buku bisa kamu gunakan sebagai bahan bacaan yang menyenangkan. Pasti pengetahuanmu akan bertambah dan tidak jadi orang yang dungu karena malas membaca serta kosong melompong otakmu akan jadi kelu tak berisi. Aku tak mau kamu menjadi sosok seperti itu, aku kecewa jika kamu semua tak suka membaca dan belajar. Orang-orang hebat dunia seperti Enstein saja harus rela waktunya digunakan untuk membaca selama enam belas jam setiap hari sebelum menemukan teori relativitas atom. Pak Hatta juga hobi membaca selama dipengasingan oleh kolonial Belanda tak lepas sedikitpun oleh buku-buku. Mempunyai skill intelektual merupakan kebahagiaan tersendiri anak-anakku” Jelasnya dengan tegas dan meyakinkan. Tak lama, makan malam mereka usai. Kang Tres mengambil segelas air putih yang telah tersedia dimeja makan. Meja makan yang terbuat dari bahan-bahan sampah kertas kardus yang dipadukan dengan bambu sebagai kaki penyangganya. Antik, jika diperhatikan dari samping seperti kapal pecah karena tak beraturan, dari dekat seperti meja judi kaum pinggiran yang ruwet.
Tak terasa malam semakin larut. Hewan musang melenggang pelan kekenyangan sehabis menangkap tikus disemak-semak ilalang kota yang lebat akibat tak pernah disentuh oleh pemerintah kota untuk dibersihkan sehingga topografi terlihat kacau. Hanya ketika status tanahnya telah laku terjual oleh kaum investor baru serentak terlihat sibuk membereskan keperluannya. Budaya kita masih saja berlaku begitu. Seperti sampah dibiarkan berserakan, berhamburan, belum ada penanganan serius. Dan malam ini orang kecil seperti Kang Tres sibuk terus memanfaatkan sampah untuk diolah menjadi kertas uang yang berharga bagi masa depan selusin anaknya dan dirinya sendiri yang hidup digaris kemiskinan yang mengerikan. Bagaimanapun juga Ia termasuk orang yang kreatif, tangguh dan pekerja keras yang handal, semangat hidupnya membaja seperti tokoh-tokoh dunia. Namun, sebagai pengais sampah statusnya tersembunyi dibaliknya. Adakah orang yang akan menyibaknya menjadi pengais pengalaman yang bermakna. Kita tak tahu, kapan waktunya?. Kang Tres juga tak pernah mengharap hal terjadi seperti itu. Biarlah Ia sibuk dan tetap pengais sampah yang berguna bagi anak-anaknya dikemudian hari.  
Perjamuan makan malam keluarga Kang Tres usai. Anak-anaknya masuk ke dalam rumah dekil yang seakan-akan mau roboh. Rumah sederhana dengan dua ruang. Ruang dapur dan ruang tamu. Semua kegiatan penghuninya terfokus diruang tamu, seperti tidur, belajar, menerima tamu, makan, bersenda gurau, dan kegiatan lainnya. Tak ada kursi, meja, televisi. Hanya ada kardus-kardus berjejer berurutan sebagai penyimpan baju dan buku-buku sekolah. Dua lampu TL berkekuatan 15 watt menerangi masing-masing ruangan, listriknya menyalur dari kantor satpam TPS (Tempat Pembuangan Sampah). Setiap bulan harus membayar lima belas ribu rupiah dengan perjanjian hanya untuk dua lampu TL saja.
Bila malam dan waktu tidur tiba, anak-anaknya mulai sibuk mengatur satu ruangan, lantainya mulai ditutupi kertas koran dan kardus. Tikar digelar untuk menutupi lantai. Siap sudah ruangan digunakan untuk melepas lelah. Merajut mimpi indah. Begerombol dan berjajar mereka sandarkan tubuh yang terasa lelah, lelah oleh ambisi-ambisi yang belum sempat mereka raih. Merekapun terlelap nyenyak. Nyamuk takkan sanggup mengusiknya walaupun darah mereka banyak yang dihisap sedangkan rasa lelah mereka sungguh lebih berat daripada harus mengurusi sekawanan nyamuk-nyamuk nakal.
Hingga esok hari. Ada kabar mengagetkan telinga Kang Tres. Tubuhnya gemetar, dadanya berdegap kencang. Angin berhenti berhembus, petir menggelegar tanpa hujan. Burung condet tak lagi terlihat terbang pendek menyambar-nyambar belalang sambil bersiul panjang nan indah. Daun-daun pohon pisang tak lagi melambai-lambai. Ada secarcik surat dari sekolah si bungsu yang datang padanya. Tangan Kang Tres gemetar membuka isinya. Isinya tentang surat panggilan untuk segera menghadap kepada Kepala sekolah besok. Tak ada keterangan lain yang ditulis pada surat kecuali harus datang menghadap kepala sekolah esok hari. Rasa penasaran mendekam dan menghantui hatinya yang sedikit kacau. Seribu pertanyaan menggumpal–gumpal pada kepalanya yang belum bisa Ia pecahkan segera. Ia mencari si bungsu dibelakang rumah yang lagi asyik mengais sampah plastik tanpa beban. Ia tanyakan padanya dengan nada tertekan. “Anakku, ada apa gerangan?. Pihak sekolah memanggilku datang ke sekolah, apa yang telah kau perbuat disekolah?. Berkelahi atau mencuri?” Tanya Kang Tres pada si bungsu. Kemudian Kang Tres mengeluarkan secarcik surat dan memberikan pada si bungsu sebagai tanda bukti atas permasalahannya. Kang Tres merasa khawatir, biasanya jika ada surat panggilan sekolah selalu ada masalah yang kurang menyenangkan. Si bungsu menerimanya lalu membacanya sebentar, Ia merasa bingung dan berfikir sejenak lalu ia berkata: “ aku tak melakukan perkelahian dan mencuri apapun. Aku tak merasa melakukan hal itu.” Ia menyarankan kepada bapaknya agar datang saja menuruti pihak sekolah. Dan ia merasa tak pernah melakukan kesalahan apapun pada sekolahnya. Uang untuk membayar buku LKS dan buku-buku lainnya sudah ia bayarkan kemarin. Setelah menerima uang dari penjualan sampah.
“Coba kamu ingat-ingat lagi anakku!, mungkin kamu lupa jika telah berbuat tak pantas pada sekolah. Berbuat salah pada gurumu atau temanmu. Bapak tak ingin punya anak yang pengecut, berani berbuat tapi tak berani bertanggung jawab, lari dari kenyataan dan resiko, itu adalah perbuatan yang menyakitkan. Sungguh sakit sebab batin  kita akan selalu terhantui dan merasa terasingkan oleh diri kita sendiri, lain lagi jika terasingkan oleh batin yang berbeda pendapat demi keadilan dan persamaan hak, atau batin perlawanan pada penindasan oleh sang penguasa, itu merupakan sikap pemberani yang sejati.” Selidik Kang Tres pada si bungsu.
“Benar pake!. Aku tak pernah berbuat hal itu. Jika aku berbuat seperti itu aku sudah berterus terang dari awal sebelum pake menanyakan hal itu. Dulu ketika aku berkelahi dengan temanku karena telah mengejek status pake dan statusku sendiri: sebagai tukang sampah yang kotor dan bau besi karatan. Aku berterus terang pada pake jika habis berantem dengan temanku. Pake dipanggil sekolah lalu mengisi surat pernyataan yang isinya jika hal itu terulang lagi maka aku akan dikeluarkan. Dan  setelah itu aku bagaikan seonggok beruk yang penurut dan bertahan dengan panas kedua telingaku akibat ejekan-ejekan teman-teman yang terus menterorku dengan statusku, pake. Aku diam, aku kalah, aku sampah, aku hanyalah sebatang tubuh yang tiada harganya didepan mereka hanya karena statusku sebagai pengais sampah.” Cerita si bungsu.
Hari senyap, hening, wajah kang Tris limbung bagai sebongkah batu.
“Sabarlah anakku, tak perlu kau risaukan ejekan teman-temanmu itu. Kita memang sampak anakku, dan meski kita sampah, kita tetap berusaha untuk terus mendaurnya, suatu saat mereka pasti akan membutuhkan kita.” Bicara Kang Tris sambil memeluk anaknya.



*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda