SELEMBAR KERTAS USANG
Oleh. Rohmat S*
Pagi,
Angin masih basah oleh embun dan berhamburan menyesakkan paru-paru kita.
Rembulanpun baru saja beranjak pergi, hewan nokturnal sibuk mencari rumah
persembunyiannya untuk berkumpul dengan komunitasnya. Para
pekerja malam juga telah beranjak tidur menebus rasa kantuk semalam sibuk
bekerja. Suara adzan subuh berkumandang dari masjid dan surau untuk mengajak
orang-orang muslim beribadah kepada-Nya. Dan sebentar lagi jalanan akan ramai
oleh kendaraan berlalu lalang mengejar kesibukan masing-masing sebagai pertanda
bahwa kota
masih aktif melakukan kegiatan-kegiatan rutin. Waktu begitu relatif
mengantarkan mereka yang berkepentingan dalam hal apapun. Begitu penting, namun keras tanpa ampun,
lembut nan santun. Tergantung mereka mengartikan dan memaknai hasrat
dibaliknya.
Kang Tres,
Tokoh ceritaku yang menghantam angkuhnya waktu.
Pagi bekerja dan pulang habis isya’. Anaknya
selusin dan hidup diperkampungan kumuh perkotaan. Riuh dengan segudang sampah berserakan tak teratur menghiasi rumah
sempitnya. Baunya amis bercampur ampek tak terhingga membaur dengan udara
menusuk disetiap sela-sela rumah kumuh yang padat, bergerombol, berhimpitan
diatas sungai yang mampat oleh berbagai sampah. Airnya keruh berwarna hitam
pekat, mengerikan juga menjijikkan mata yang melihatnya. Ikanpun takkan tampak
mulutnya sebab banyak racun yang menggenangi perairannya. Entah, racun dari
bahan sampah plastik, rumah tangga, obat kadaluarsa, jarum suntik bekas dan
masih banyak lagi yang tercerai berai didalam sungai kota . Tapi manusia yang terjepit oleh situasi
kehidupan akan bertahan hidup memperjuangkan hak dan kewajibannya untuk
mencapai kesejahteraan yang terasa jauh, jauh dari pelupuk mata dan seakan tak
mungkin karena terlalu berat melaluinya. Banyak juga manusia yang mampus dengan
jalan membunuh dirinya sendiri karena tak kuat dengan himpitan beban hidup,
beban ekonomi, beban biaya pendidikan, beban biaya kesehatan, beban mental
lingkungan yang kejam. Bahkan rela
lari berpindah tempat mencari peraduan nasib ke negeri tetangga. Tak apalah
nasib jadi kuli, yang terpenting dapat memberikan kiriman kepada keluarga dan
kompor tetap mengepul sebagai penyambung hidup untuk mengatasi kelaparan akibat
kemiskinan. Miskin ide cemerlang, kemauan,
dan keterampilan menciptakan ruang kerja mandiri.
Kang
Tres, sebagai pengais sampah kota menghidupi anaknya yang jumlahnya selusin. Tiap
hari bergelut dengan bau dan kuman-kuman sampah yang siap menerkam organ
tubuhnya. Bahaya itu sudah tak terlintas dalam otaknya, diotaknya hanya ada
seberkas harapan hidup yang layak sebagai manusia pada umumnya. Bekerja dengan normal,
bisa berkumpul dengan keluarga dan masyarakat dengan nyaman tanpa beban moral
yang menekan hatinya. Status pengais sampah yang dekil dan bau, mana bisa maju
jadi manusia seutuhnya. Otak dan hati sampah yang kotor dan berpenyakit pula
takkan bisa merubah status kelas lebih baik pada masyarakat. Tetap saja hidup
pada kelas kumuh yang termarjinalkan. Dan hari esok tetap saja kelabu, tak ada
indahnya sedikitpun. Rela hidupnya berbanting tulang, berjibaku dengan
keringat, bau sampah, hanya untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya dan makan. Seperti
pagi ini Kang Tres, tubuhnya sudah bergelut dengan gunung sampah yang telah
bertahun-tahun menumpuk, membusuk menutupi tumpukan tanah yang basah oleh air
hujan, akibatnya tanah itu menjadi mudah ambruk. Keadaan tanah yang terbungkus
sampah, humus terkikis, kesuburan larut menjadi sumber penyakit. Nyamuk
bersarang, kuman berkembang biak berevolusi. Tanah Indonesia sumber pangan dunia
hilang sebagian, warga tetap diam terpaku menunggu harga pangan melonjak
tinggi. Wabah kelaparan dan penyakit berdatangan silih berganti wargapun siap
menunggu kematian dengan terpaku memelas menunggu takdir Tuhan. Takdir masalah
pribadi Tuhan yang tak bisa dikuak oleh setiap makhluk-Nya. Malaikatpun tak
mampu. Sedangkan manusia dituntut untuk berusaha tanpa menunggu takdir tiba,
jika manusia menunggu takdir akibatnya manusia akan malas berusaha dan pasrah
tanpa daya. Takdir, sesuatu yang datang belakangan ketika kita sudah melalui
proses perjalanan panjang. Kita dituntut untuk selalu berusaha, belajar dari
kejadian-kejadian yang telah menimpa kita. Tapi faktor kekuatan manusialah yang
berbeda, sehingga ada yang menang dan ada yang kalah dalam memainkan peran
kehidupan dan takdir telah menjawab itu semua dengan usaha dari segala
kehendak-Nya, tak sepatutnya Tuhan disalahkan tanpa alasan sebagai pelimpahan
rasa kekecawaan yang berat, akan tetapi hanya kita yang belum mampu mencernanya
sebagai hikmah dibalik itu semua. Untuk menjadikan hikmah perlu adanya ruang belajar
dan pola pikir yang cemerlang tanpa rasa putus asa. Bertawakkal adalah jawaban yang tepat.
Bukankah manusia hanya bisa melakukan itu.
Kang Tres menggunakan
kaos oblong panjang, warnanya sudah tak berbentuk entah kuning, merah, hijau.
Hanya sesaat jika diperhatikan dengan ilmu pengurai warna kemungkinan coklat
kehitaman sebab selalu saja menggunakan baju yang sama setiap bekerja. Baju
pertama yang digunakan ketika ia menekuni karir pengais sampah, tapi ada
tulisan kecil bercetak buram didada sebelah kiri, aku tidak berani membacanya
sebab terlalu pribadi, mengenai salah satu partai politik dan calegnya dengan
slogannya yang intinya membela orang kecil dan kaum miskin kota. Aku tak banyak
mengurusi dunia politik karena bukan ahli politik. Biarkan politik berjalan
dengan irama yang menyentak sesuai dengan janji-janji dan program perubahan
yang akan diusung untuk memperbaiki bangsa dan negara, bukan sebaliknya politik dijadikan label pencari kekuasaan
dan penindasan serta ketenaran. Sebentar negara akan kocar-kocir sistem dan cara kerja pada semua bidang yang
harus dipikulnya, rakyat tetap akan menjadi sengsara akibat kualitas kerja yang
bobrok.
Kakinya telanjang tak ada alas kaki berupa sepatu atau sandal, meskipun
begitu tetap saja berjalan lincah tanpa beban ketakutan menginjak pecahan kaca
atau paku karatan, tak peduli penyakit tetanus mengintai. Kedua tangannya
lincah mengumpulkan sampah plastik, kertas, dan besi. Begitu seterusnya.
Ia bekerja menghidupi anak-anaknya yang selusin. Tak ada kejenuhan dalam
hatinya. Bekerja dan bekerja, sampai waktu yang tak terhingga. Ia duda yang
ditinggal mati istrinya setahun lalu akibat luka tetanus. Tak ada usaha
mengobatkan ke rumah sakit sebab tak ada biaya. Hidup bagi mereka hanya sampah,
mendaur ulang menjadi uang lalu makan dan esok
cerita akan berganti lagi. Tak ada waktu untuk bercanda dikafe, dimall,
atau tempat hiburan lainnya. Biaya untuk kebutuhan refresing, menenangkan diri
atau memanjakan diri sangat jauh dari perkiraan dan pemikirannya. Hidup sudah
terhimpit waktu dan kebutuhan tiada henti. Bersosialisasi dengan tetangga saja
sungguh jarang dan bahkan tak mungkin. Hanya saja , terkadang dengan sesama
pengais sampah, sama-sama derajatnya. Asyik mengobrol tentang kampung halaman
mereka yang sekarang telah menjadi ramai. Jika saja balik ke kampung akan
membuka bisnis warung kopi, jualan nasi, bubur ayam, atau mie ayam. Tapi itu
perlu modal, sedangkan Ia masih berada dalam perjuangan mencarinya dengan
keras, selalu saja habis buat makan. Sulit mencari peluang bisnis kecil-kecilan
hanya untuk membuat warung nasi dan kopi.
Mengambil kredit
di bank juga sulit. Tak punya modal sebagai jaminan bank. Dan pihak bank takkan
percaya dengan hanya jaminan ide atau gambaran yang masih bersifat abstrak.
Sehingga mau tak mau kita harus tetap tegar menjalani kisah hidup yang panjang
dan melelahkan ini. Didesapun sudah tidak punya apa-apa. Sebidang tanah, sapi,
kerbau milik orang tua sudah dijual untuk bekal urbanisasi, pergi ke kota untuk mencari kerja
yang menjanjikan, apalah daya?, bekal ijazah juga tak punya, lapangan kerja
sudah semakin sulit. Akhirnya kang Tres rela bekerja sebagai pengais sampah,
bertahan sampai hari ini dan entah esok hari apakah masih menjadi pengais
sampah, tak ada yang tahu.
Memang hidup tak boleh manja
dengan keadaan apapun. Dan biasanya orang yang hidupnya selalu membiasakan
sifat manja bagaikan telur yang tak bisa menetas, membeku dan bungker bahkan
baunya sangat menyebalkan hidung. Budaya kerja keras harus terus dipupuk dan
ditegakkan pada masyarakat kita agar menuai buah hikmahnya yang memuaskan hati.
Seperti Negara Jepang yang terkenal semangat majunya yang berawal dari kelas
samurai yang merupakan tulang punggung pembaruan Meiji (1868-1911), dan etika
samurai itu sendiri berakar dalam ajaran-ajaran Tokugawa. Sedangkan etika samurai yang mempengaruhi adaptasi
paling menarik kepada situasi industrialis, modern:
- Janganlah disibukkan oleh persoalan-persoalan kecil.
Pusatkan perhatian kepada manajemen usaha-usaha besar.
- Sekali engkau memulai suatu usaha, yakinlah bahwa engkau akan berhasil.
- Jangan
melibatkan diri ke dalam usaha-usaha spekulatif.
- Jalankan semua usaha dengan jiwa kepentingan nasional.
- Jangan sekali-kali melupakan jiwa murni pelayanan umum dan makoto.
- Bekerjakeraslah dan hiduplah sederhana, dan penuh perhatian kepada orang-orang lain.
- Gunakan personel yang tepat.
- Perlakukan karyawan-karyawan dengan baik.
- Bersikaplah keras dan tegas dalam memulai suatu usaha, tetapi hati-hati dan cermatlah dalam kelanjutan usaha itu.
Begitu proses aturan
yang menarik dan bertanggung jawab atas dasar kemajuan untuk Negara Jepang yang
masih tetap bertaring dalam bidang industri dan tekhnologi dunia, bisa disebut
sebagai macan Asia. Keadaan sumber daya alam negara Jepang jika dibandingkan dengan negara Indonesia sangat berbeda jauh, negara Indonesia punya segalanya,
hanya minim dalam pengelolaannya dan pengolahannya. Jepang unggul kecerdasan
otak manusianya yang sanggup mengelola sumber alamnya. Faktor itu karena
pengaruh dari sistem kerja keras dan maju serta konsisten untuk membangun
Negara dalam bidang apapun, terutama pendidikan yang menjadi faktor vital.
Menurut pendapat Kang Tres pada suatu ketika dalam obrolan perjamuan
makan malam yang sederhana dengan selusin anaknya diberanda rumah sederhana:
“Anak-anakku, pendidikan merupakan suatu
proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan
hidupnya secara lebih efektif dan efisien.” Katanya serius dengan mengerutkan
dahi meyakinkan anak-anaknya. Tak satupun anaknya yang membantah karena takut
bertatapan dengan wajah serius ayahnya yang
telah puluhan tahun terbakar panas matahari. Hitam, berwibawa, menyengat
sekalipun radiasi dengan jarak yang jauh. Tak tampak dipelupuk mata namun sikap
dan konsisten perhatian kepada anak-anaknya yang menjadi tolok ukur jika akan
berbuat sembarangan seusia anak-anak remaja zaman sekarang. Sikap itulah yang
dianut oleh selusin anak-anaknya yang selalu bekerja keras tanpa ampun baik
dalam bidang pendidikan dan bekerja keras untuk membantu ayahnya. Entah!.
Anak-anaknya terkejut dan bertanya-tanya dalam hati, darimana ayahnya
mengetahui kalimat yang baru saja Ia ucapkan, dari buku-buku sekolah, dari
koran, dari majalah bulletin, atau dari ketika ayah masih mengenyam sekolah
rakyat yang telah berlalu. Rasa penasaran menyelimuti anak-anaknya. Tapi,
mereka tetap saja diam tak bersuara sedikitpun, hanya dari sorot mata-mata
mereka yang tajam mengartikan setuju dan
mencoba memahaminya. Anak-anaknya yang telah mengenyam sekolahpun baru saja
mendengar kata-kata itu dari mulut ayahnya yang tak berpendidikan.
Tiba-tiba sang
bungsu bertanya.
“Pake darimana
kalimat hebat itu?”
Senyum tipis
mengembang pada mulut kang Tres. Gigi hitamnya menyeringai. Asap rokok
lintingan mengepul. Ia terlihat kagum atas keberanian sang bungsu dengan
pertanyaan yang kritis. Sepuluh saudara sang bungsu ikut tersenyum dan
penasaran akan jawaban bapaknya. Makanan dimeja kecilnya masih utuh, selusin
anaknya belum ada yang berani menyentuh. Menunggu sang bapak mempersilahkan.
Burung condet sawah kota
memperhatikan obrolan mereka dengan mata yang tajam dan siaga terhadap
keberadaan sangkarnya yang terbuat dari rumput ilalang kering untuk menyimpan
telur-telurnya yang sebentar lagi akan menetas. Menetas lalu diambil tangan
manusia dan dijual ke pasar burung, sungguh mengenaskan kehidupan fauna condet
yang akan mengalami kepunahan. Bau sampah mengepul dan tak jadi masalah bagi makan
malam mereka karena telah terbiasa dengan keadaan seperti itu.
“Kemarin pada saat aku mengais sampah. Ada robekan
kertas lusuh yang kacau oleh perubahan suhu, lama tertimbun sampah. Aku ambil
lalu aku menemukan kalimat itu didalamnya. Tulisan yang sudah tak jelas. Namun
aku telah mengingatnya karena aku merasa tertarik oleh kata-kata didalamnya.
Andaikan kertas-kertas itu lengkap dan utuh dalam buku, aku sangat ingin
membacanya disela-sela istirahat makan siang. Jika waktu istirahatku tak cukup
akan kulanjutkan membaca pada malam hari yang tenang. Tapi sayang, hanya
selembar kertas usang yang telah membusuk.” Jawabnya perlahan-lahan, lalu
mengajak makan malam selusin anaknya yang dengan sabar menunggu.
Suasana
makan malam yang menyenangkan. Menu sederhana, hanya nasi, sayur asam, sambal
terasi, tempe, krupuk, telur dadar. Tapi yang menyenangkan adalah keharmonisan
keluarga Kang Tres yang selalu utuh meskipun tanpa sang ibu. Kehadiran Kang
Tres sebagai single parent sudah
cukup memberikan kehangatan bagi anak-anaknya. Dan Kang Tres selalu membiasakan
makan bersama agar semua masalah dapat diselesaikan secara diskusi disela-sela
canda yang sederhana. Si bungsu merasa tertarik
akan kalimat itu yang baru saja diucapkan oleh bapaknya. Si bungsu kembali
bertanya. “sekarang masih pake simpan?.” Tanyanya penasaran tak sabar ingin
segera membacanya. Membaca bagi si
bungsu merupakan pengalaman yang sangat penting bagi suplemen pengetahuan.
Memang, dalam suatu masyarakat pengetahuan, unit produksi terpenting bukan lagi
mesin, melainkan pengetahuan manusia. Sebagai ganti membakar BBM untuk
menggerakkan mesin, manusia dapat membakar informasi untuk menggerakkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Informasi merupakan BBM yang bersih jika
dibandingkan dengan batubara atau minyak bumi. Buku bagi keluarga Kang Tres merupakan
barang berharga yang melebihi harga emas
sekalipun. Meskipun sangat susah untuk memiliki buku karena harganya mahal
bukan berarti tak ada usaha untuk mendapatkannya. Banyak cara yang dapat
dilakukan mereka untuk mendapatkan pengetahuan yaitu dengan cara mengkliping
berita-berita yang ada dikoran bekas hasil mengaisnya ditempat pembuangan
sampah. Potongan-potongan berita koran itu ditempelkan pada dinding triplek
rumah. Bahkan rumah berisi berita-berita koran, usang namun berguna sebagai
media pembelajaran yang jitu. Seperti mading disekolah-sekolah. Digalakkan oleh
siswa untuk melatih keterampilan dan informasi agar menjadi manusia yang
kreatif dan aktif. Bukan manusia yang membebek dalam kegiatan intelektual
disekolah. Sekolah hanya dijadikan tempat pergaulan bagi kaum membebek untuk
berpesta pora gaya
dan mode kekinian, mode import. Pergolakan budaya yang kejam tak pandang bulu
sedangkan prinsip terabaikan oleh arus
globalisasi. Ciri keaslian masyarakat kita porak poranda dihantam dengan budaya
lain yang lebih vulgar dengan kendaraan alat teknologi.
“Masih, aku
taruh di sela-sela papan triplek kamar, jika utuh sebuah buku bisa kamu gunakan
sebagai bahan bacaan yang menyenangkan. Pasti pengetahuanmu akan bertambah dan
tidak jadi orang yang dungu karena malas membaca serta kosong melompong otakmu
akan jadi kelu tak berisi. Aku tak mau kamu menjadi sosok seperti itu, aku
kecewa jika kamu semua tak suka membaca dan belajar. Orang-orang hebat dunia
seperti Enstein saja harus rela waktunya digunakan untuk membaca selama enam
belas jam setiap hari sebelum menemukan teori relativitas atom. Pak Hatta juga
hobi membaca selama dipengasingan oleh kolonial Belanda tak lepas sedikitpun
oleh buku-buku. Mempunyai skill intelektual merupakan kebahagiaan tersendiri anak-anakku”
Jelasnya dengan tegas dan meyakinkan. Tak lama, makan malam mereka usai. Kang
Tres mengambil segelas air putih yang telah tersedia dimeja makan. Meja makan
yang terbuat dari bahan-bahan sampah kertas kardus yang dipadukan dengan bambu
sebagai kaki penyangganya. Antik, jika diperhatikan dari samping seperti kapal
pecah karena tak beraturan, dari dekat seperti meja judi kaum pinggiran yang
ruwet.
Tak terasa malam semakin
larut. Hewan musang melenggang pelan kekenyangan sehabis menangkap tikus disemak-semak
ilalang kota yang lebat akibat tak pernah disentuh oleh pemerintah kota untuk
dibersihkan sehingga topografi terlihat kacau. Hanya ketika status
tanahnya telah laku terjual oleh kaum investor baru serentak terlihat sibuk membereskan
keperluannya. Budaya kita masih saja berlaku begitu. Seperti sampah dibiarkan
berserakan, berhamburan, belum ada penanganan serius. Dan malam ini orang kecil
seperti Kang Tres sibuk terus memanfaatkan sampah untuk diolah menjadi kertas
uang yang berharga bagi masa depan selusin anaknya dan dirinya sendiri yang
hidup digaris kemiskinan yang mengerikan. Bagaimanapun juga Ia termasuk orang
yang kreatif, tangguh dan pekerja keras yang handal, semangat hidupnya membaja
seperti tokoh-tokoh dunia. Namun, sebagai pengais sampah statusnya tersembunyi
dibaliknya. Adakah orang yang akan menyibaknya menjadi pengais pengalaman yang
bermakna. Kita tak tahu, kapan waktunya?. Kang Tres juga tak pernah mengharap
hal terjadi seperti itu. Biarlah
Ia sibuk dan tetap pengais sampah
yang berguna bagi anak-anaknya dikemudian hari.
Perjamuan makan malam keluarga Kang Tres usai. Anak-anaknya masuk ke
dalam rumah dekil yang seakan-akan mau roboh. Rumah sederhana dengan dua ruang.
Ruang dapur dan ruang tamu. Semua kegiatan penghuninya terfokus diruang tamu,
seperti tidur, belajar, menerima tamu, makan, bersenda gurau, dan kegiatan
lainnya. Tak ada kursi, meja, televisi. Hanya ada kardus-kardus berjejer
berurutan sebagai penyimpan baju dan buku-buku sekolah. Dua lampu TL
berkekuatan 15 watt menerangi masing-masing ruangan, listriknya menyalur dari
kantor satpam TPS (Tempat Pembuangan Sampah). Setiap bulan harus membayar lima belas ribu rupiah
dengan perjanjian hanya untuk dua lampu TL saja.
Bila malam dan waktu tidur tiba, anak-anaknya mulai sibuk mengatur satu
ruangan, lantainya mulai ditutupi kertas koran dan kardus. Tikar digelar untuk
menutupi lantai. Siap sudah ruangan digunakan untuk melepas lelah. Merajut
mimpi indah. Begerombol dan berjajar mereka sandarkan tubuh yang terasa lelah,
lelah oleh ambisi-ambisi yang belum sempat mereka raih. Merekapun terlelap
nyenyak. Nyamuk takkan sanggup mengusiknya walaupun darah mereka banyak yang
dihisap sedangkan rasa lelah mereka sungguh lebih berat daripada harus
mengurusi sekawanan nyamuk-nyamuk nakal.
Hingga esok hari. Ada
kabar mengagetkan telinga Kang Tres. Tubuhnya gemetar, dadanya berdegap
kencang. Angin berhenti berhembus, petir menggelegar tanpa hujan. Burung condet
tak lagi terlihat terbang pendek menyambar-nyambar belalang sambil bersiul
panjang nan indah. Daun-daun pohon pisang tak lagi melambai-lambai. Ada secarcik surat
dari sekolah si bungsu yang datang padanya. Tangan Kang Tres gemetar membuka
isinya. Isinya tentang surat
panggilan untuk segera menghadap kepada Kepala sekolah besok. Tak ada keterangan
lain yang ditulis pada surat
kecuali harus datang menghadap kepala sekolah esok hari. Rasa penasaran
mendekam dan menghantui hatinya yang sedikit kacau. Seribu pertanyaan
menggumpal–gumpal pada kepalanya yang belum bisa Ia pecahkan segera. Ia mencari
si bungsu dibelakang rumah yang lagi asyik mengais sampah plastik tanpa beban.
Ia tanyakan padanya dengan nada tertekan. “Anakku, ada apa gerangan?. Pihak
sekolah memanggilku datang ke sekolah, apa yang telah kau perbuat disekolah?.
Berkelahi atau mencuri?” Tanya Kang Tres pada si bungsu. Kemudian Kang Tres
mengeluarkan secarcik surat
dan memberikan pada si bungsu sebagai tanda bukti atas permasalahannya. Kang
Tres merasa khawatir, biasanya jika ada surat
panggilan sekolah selalu ada masalah yang kurang menyenangkan. Si bungsu
menerimanya lalu membacanya sebentar, Ia merasa bingung dan berfikir sejenak
lalu ia berkata: “ aku tak melakukan perkelahian dan mencuri apapun. Aku tak
merasa melakukan hal itu.” Ia menyarankan kepada bapaknya agar datang saja menuruti
pihak sekolah. Dan ia merasa tak pernah melakukan kesalahan apapun pada
sekolahnya. Uang untuk membayar buku LKS dan buku-buku lainnya sudah ia
bayarkan kemarin. Setelah menerima uang dari penjualan sampah.
“Coba kamu
ingat-ingat lagi anakku!, mungkin kamu lupa jika telah berbuat tak pantas pada
sekolah. Berbuat salah pada gurumu atau temanmu. Bapak tak ingin punya anak
yang pengecut, berani berbuat tapi tak berani bertanggung jawab, lari dari
kenyataan dan resiko, itu adalah perbuatan yang menyakitkan. Sungguh sakit
sebab batin kita akan selalu terhantui
dan merasa terasingkan oleh diri kita sendiri, lain lagi jika terasingkan oleh
batin yang berbeda pendapat demi keadilan dan persamaan hak, atau batin perlawanan
pada penindasan oleh sang penguasa, itu merupakan sikap pemberani yang sejati.”
Selidik Kang Tres pada si bungsu.
“Benar pake!.
Aku tak pernah berbuat hal itu. Jika aku berbuat seperti itu aku sudah berterus
terang dari awal sebelum pake menanyakan hal itu. Dulu ketika aku berkelahi
dengan temanku karena telah mengejek status pake dan statusku sendiri: sebagai
tukang sampah yang kotor dan bau besi karatan. Aku berterus terang pada pake
jika habis berantem dengan temanku. Pake dipanggil sekolah lalu mengisi surat pernyataan yang
isinya jika hal itu terulang lagi maka aku akan dikeluarkan. Dan setelah itu aku bagaikan seonggok beruk yang
penurut dan bertahan dengan panas kedua telingaku akibat ejekan-ejekan
teman-teman yang terus menterorku dengan statusku, pake. Aku diam, aku kalah,
aku sampah, aku hanyalah sebatang tubuh yang tiada harganya didepan mereka
hanya karena statusku sebagai pengais sampah.” Cerita si bungsu.
Hari senyap,
hening, wajah kang Tris limbung bagai sebongkah batu.
“Sabarlah
anakku, tak perlu kau risaukan ejekan teman-temanmu itu. Kita memang sampak
anakku, dan meski kita sampah, kita tetap berusaha untuk terus mendaurnya,
suatu saat mereka pasti akan membutuhkan kita.” Bicara Kang Tris sambil memeluk
anaknya.
*Penulis anggota Komunitas Kali
Kening Bangilan-Tuban.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda