Senin, 05 Desember 2016

Pram Dan Penjara

 http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160430002028-241-127685/pesan-dalam-sepatu-kabar-pramoedya-untuk-dunia/


Oleh. Rohmat Sholihin*

Tiada kata jera meski penjara memberangus pikiran Pram. Manusia bukanlah seonggok gabus yang hilang ditelan ombak pantai, manusia bagaimanapun rupa dan bentuknya ia tetap manusia, dengan hatinya ia masih bisa bersuara dan melawan meski segala keterbatasan telah dilumpuhkan. Karena sejarah dan manusia adalah saudara dan sulit dipisahkan. Manusia tanpa sejarah tak ubahnya seperti tikus got yang hanya sibuk mencari makan, kawin, lalu mati. Manusia yang membangun sejarah akan melahirkan peradaban, dan dunia tanpa peradaban akan seperti dunia tanpa busana, telanjang, seperti manusia purba tak ubahnya hidup seperti hewan. Manusia punya fase-fase perkembangan, baik fisik dan juga kebudayaannya. Menusialah yang mengisi dan menorehkan sejarah untuk peradaban. Sedangkan bukti peradaban manusia adalah pemikiran, karya tulis, bahasa, bangunan, dan juga tradisi.

Dari balik jeruji penjara, Pram tak ada niat sejengkalpun untuk berkata berhenti dari menulis. Bahkan suara dalam tulisan Pram makin menggila, dan berkobar-kobar, membakar jiwa. Seperti syair dari pengagumnya, Linda Tria Sumarno,

Bacalah…
Dan bakarlah
Semangatmu…
Bacalah…
Dan bakarlah
Kesombonganmu…
Bacalah…
Dan bakarlah
Ketidakadilan...
Budaya membaca untuk menumbuhkan budaya menulis…

Pram takkan tinggal diam dan berpangku tangan meski dalam jeruji penjara. Ketidakadilan harus terus dilawan dan keadilan harus terus ditegakkan. Meski lewat tulisan dan buku-buku karyanya, Pram selalu mencoba berteriak meski hatinya terpasung oleh penjara. Penjara terlalu kecil bagi jiwanya yang besar. Penjara hanya membatasi tubuhnya tapi pikirannya telah menyeruak kemana-mana, bergentayangan seperti hantu-hantu yang penasaran terhadap pembebasan dan kemerdekaan. Seperti Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, salah satu bukti bahwa dirinya telah berada di pulau pembuangan Pulau Buru, Maluku. Ditempat itu ada banyak orang-orang yang terasing dari sistem sosialnya dan melakukan aktivitas hidup yang terisolasi dan serba terbatas. Tak tahu dan jauh dari sentuhan keluarganya, dari masyarakatnya, dan juga dari tradisi-tradisinya, mereka harus kuat bertahan dengan keadaan apapun meski dalam situasi pembuangan, bahwa kita masih diberi kesempatan hidup dan bernafas merupakan anugerah terindah dari sang pencipta. Banyak juga cara untuk kuat bertahan dalam pembuangan dan sakit hati dalam bentuk kekecewaaan. Pram mencoba bertahan dengan caranya sendiri untuk kuat bertahan mendekam dalam jeruji penjara, yaitu dengan cara mengosongkan pikirannya dari beban-beban pikiran yang masih mendekam dalam otaknya ketika hendak beristirahat, tubuhnya ditelentangkan pada bale atau lantai, pikirannya dibiarkan kosong, dalam ritmik tertentu menarik nafas lalu dihembuskan perlahan, tak jauh beda dengan meditasi, tak usah takut, semua permasalahan pasti akan berlalu dengan sendirinya, cara itu dilakukan berulang-ulang agar udara oksigen dalam otak mampu terpenuhi. Dan ketika tidur, beban-beban itupun berlalu. Tak ayal, meski dalam pembuangan dan tekanan dari kekuasaan, Pram melahirkan tetralogi Buru yang sangat fantastik, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan masih ada lagi catatan-catatan khusus seperti Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2, Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer. Nasib-sebagai orang buangan memang sangat tragis. Dalam buku Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer mengisahkan betapa kejamnya seorang manusia dalam memperlakukan seorang manusia. Bahkan melebihi binatang sekalipun. Manusia yang punya harga diri dipaksa untuk menghilangkan harga dirinya, kebusukan dan kebejatan manusia melebihi batas-batas kewajaran sebagai anak manusia, manusia dihempaskan dalam lumpur kenistaan oleh manusia, manusia dihabisi juga oleh manusia, manusia dibelenggu juga oleh manusia, manusia menjadi entitas tertinggi terhadap manusia. Manusia yang hidup dimuka bumi ini melebihi kekuasaan Tuhan, mengatur, memerintah, menyiksa, dan membunuh bisa saja terjadi terhadap manusia. Membahas sisi manusia tak kan pernah usai. Selalu berkesinambungan sepanjang masa. Dan kembali pada sisi sejarah bahwa anak manusia tak bisa terlepas dari sejarah meski kecenderungan akan terulang kembali.

            Seperti Pram, keluar masuk penjara hanya karena bekerja untuk keabadian, menulis permasalahan demi permasalahan disekitar kita. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia rasakan hampir komplit terekam dalam memori Pram dan kemudian lahirlah tulisan. Seperti Gadis Pantai dengan kritis ia ingin menghilangkan tradisi feodalisme Jawa yang masih kental hubungan antara priyayi dengan kelas bawah yang terjadi tidak wajar. Ada sekat hubungan kedua kelas ini, bahkan berlaku bagi hubungan suami-istri, dimana perbedaan kelas terjadi antara suami yang priyayi dan si istri yang kelas bawah dari masyarakat miskin pantai. Hubungan yang kaku dan kurang pantas disebut sebagai manusia yang sama dihadapan Tuhan. Ketika si suami sudah puas dengan perempuannya, bahkan sudah keluar anak keturunannya, tak perduli, kita memang beda kelas, pergi saja, dan kembali ke habitatmu pada kelas rendahan didaerah pantai, bahkan anak keturunannya sedikitpun tak boleh ia jamah, meski dengan susah payah gadis lugu itu melahirkan anak dari rahimnya sendiri sebagai darah daging yang telah menyatu. Benar tidaknya tulisan yang telah digagas Pram, kita semua bertanya-tanya, banyak penilaian yang keluar sebagai kritik sastra, Pram sungguh terlalu dalam menciptakan tokoh antagonis, seorang tokoh Bendoro yang paham betul dengan agama melakukan perbuatan yang tidak manusiawi, yaitu memperlakukan perempuan istrinya sendiri seperti orang lain, bahkan dengan tega mengusirnya dari rumah ketika semua keinginan tuan Bendoro terpenuhi, tentu saja kebutuhan nafsu seks dari gadis lugu yang belum tahu apa-apa. Dan boleh saja para pembaca mempunyai penafsiran yang berbeda-beda melalui kritik sastra dari sudut pandang yang berbeda-beda pula. Karena sebuah sastra lahir atau ditulis oleh seseorang bukan untuk gagah-gagahan tapi sedikitnya ada dan terjadi pada alam nyata, meski pada dasarnya seorang pengaranglah yang pandai atau tidaknya meracik bumbu-bumbu dalam tulisannya, sehingga tulisan itu terkesan hidup untuk berbicara mewakili kenyataan yang sebenarnya pada masyarakat luas. Bukankah feodalisme Jawa sudah ada sejak tumbuh kerajaan-kerajaan di tanah Jawa? Dan budaya Patrial masih mendominasi kuat diatas kaum Matrial. Disinilah kejelian Pram dalam menggambarkan ketimpangan kebiasaan hubungan dua kubu anatara laki-laki dan perempuan. Apakah selamanya kaum perempuan menjadi tertindas atas laki-laki?, apakah selamanya kaum perempuan menjadi sumber eksploitasi oleh kaum laki-laki? Inilah yang harus kita sikapi bahwa kesetaraan gender itu penting, meski ada juga batas-batasnya. Bolehlah tokoh antagonis Tuan Bendoro dalam Gadis Pantai yang ditulis oleh Pram itu kebablasan, tapi setidaknya itulah gambaran sejarah tradisi Jawa yang terus melakukan evolusi dari hari ke hari agar tidak kembali pada tradisi yang kaku yaitu priyayi centris.

            Pram akhirnya juga mengakui bahwa ketragisan hidup dalam penjara ke penjara ada hikmah dibalik itu semua, yaitu Pram punya kesempatan dan waktu lebih banyak dalam menulis dan membaca buku-bukunya, meski kebiasaannya menulis sempat juga dipaksa untuk berhenti, tapi menulis tidak harus diatas kertas putih, bisa juga dimedia-media lain yang bisa digunakan unruk menulis, menulis, dan menulis. Lahirlah tulisan dalam cangkang telur-telur ayam piaraannya dipulau Buru, didinding-dinding, dibatu-batu bahkan menulis dalam pikirannya sendiri, terekam cekam dalam kegusarannya sendiri, dan sendirian ia bagai orang marah dan haus akan kemerdekaan sebagaimana orang normal pada umumnya. Kebebasan, makhluk yang harus ia perjuangkan mati-matian dengan berbagai tulisan. Penjara tak kan bisa membunuh dan memberangus ide dan pemikiran Pram. Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.

            

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda