Selasa, 06 Desember 2016

PETA PEMIKIRAN PENDIDIKAN PRAMOEDYA DALAM NOVEL BUMI MANUSIA

Oleh. Rohmat Sholihin*


https://tofikpr.wordpress.com/2013/06/07/menikmati-sastra-dalam-toilet/

Masalah pendidikan masih saja aktual dan cocok untuk selalu dibahas dalam paradigma kekinian. Karena pendidikan akan terus bermetamorfosis dengan kemajuan zaman. Kemajuan zaman yang terus berubah mengikuti pola pikir manusia dan perkembangan tehnologi yang terus digagas oleh manusia. Manusia tak kan puas dengan inovasi-inovasinya. Dinamis dan berevolusi. Berlomba-lomba menciptakan alat-alat canggih untuk memudahkan seluruh pekerjaan kita. Cara untuk menjadi manusia yang kreatif adalah dengan pendidikan yang kritis dan inovatif. Dengan tanpa memandang status, ras, dan golongan. Pendidikan adalah kebebasan untuk berfikir, mengemukakan pendapat dengan alasan yang masuk akal dan tanggung jawab. Sehingga anak didik tak kan merasakan ketakutan dan pengkerdilan karakter yang ia telah bentuk dengan wataknya yang heterogen. Bukan watak yang homogen dan seragam. Dijamin kreatifitas tak kan muncul. Yang muncul hanya budaya yang kaku dan menjemukan.
                Dan disaat ini pemerintah terus membentuk pola dan strategi pendidikan nasional yang inovatif seukuran manusia Indonesia yang majemuk. Mencari format yang tepat mengikuti perkembangan zaman yang terus berubah. Hal ini yang menjadi tarik- ulur para pakar-pakar pendidikan Indonesia. Termasuk mencetuskan pendidikan berbasis karakter dengan tujuan agar anak didik mempunyai karakter yang adiluhung dan tak ikut hanyut dalam pergeseran globalisasi yang kejam. Kejam dengan menelan budaya-budaya setiap bangsa. Karena budaya globalisasi telah menggerus bak gelombang besar yang lebih dahsyat dari tsunami melalui guritanya yang bernama informasi dan tehnologi. Contohnya dengan internet semua akses pertanyaan dapat dijawab dengan gamblang. Segamblang bak membalikkan telapak tangan.
                Tak usah susah-susah kesana-kemari dan bingung mencari akses data apapun. Dari kemajuan tehnologi itu, anak didik juga mampu menggunakan fasilitas itu dengan baik. Sehingga internet dapat dijadikan sumber belajar yang komprehensif dan aktual. Namun kelemahan dari hal itu adalah anak didik merasa ketergantungan yang cukup besar dengan benda yang namanya internet. Semangat membaca bukunya akan hilang perlahan-lahan karena telah terganti oleh benda lunak komputer. Anak akan menjadi malas dan manja terhadap internet ini.
                Anak didik semakin maju dalam menggunakan fasilitas kemajuan ilmu pengetahuan yang mencengangkan sebentuk komputer, dunia apapun dijamahnya meskipun tak nyata hanya bersifat maya tapi sangat nyata. Akan tetapi, mereka sangat miskin akan prinsip dan ide dari dirinya sendiri.
                Karena dalam euphoria globalisasi itu masyarakat dunia disuruh percaya bahwa globalisasi menjanjikan masa depan dunia yang lebih indah. John Ralston Saul menulis janji globalisasi seperti sering dikemukakan para sponsornya itu antara lain sebagai berikut :
1.       Kekuasaan negara bangsa (nation state) semakin redup
2.       Negara-bangsa semacam itu mungkin malah segera gulung tikar
3.       Di masa depan kekuasaan terletak pada pasar global
4.       Ekonomi, bukan politik dan militer, yang membentuk peristiwa-peristiwa masyarakat
5.       Pasar ekonomi global, bila dibiarkan berjalan bebas, akan mencapai keseimbangan ekonomi internasional
6.       Masalah abadi siklus boom and bust akan berakhir
7.       Pasar bebas akan mendorong gelombang dagang yang pada gilirannya akan mengangkat pertumbuhan ekonomi baik di negara kaya maupun negara miskin
8.       Kemakmuran yang diraih akan menggeser kediktatoran dan menggantinya dengan demokrasi
9.       Demokrasi baru itu akan melenyapkan nasionalisme picik, rasisme yang tidak bertanggung jawab dan kekerasan politik
10.   Di lapangan ekonomi, pertumbuhan pasar yang dahsyat memerlukan kehadiran berbagai korporasi yang lebih besar
11.   Korporasi yang begitu besar tidak memungkinkan terjadinya kebangkrutan dan karena itu justru menjamin stabilitas internasional
12.   Para tokoh korporasi trans-nasional akan memegang kepemimpinan peradaban karena penguasanya atas pasar
13.   Akhirnya berbagai korporasi dunia itu akan menjadi semacam negara dan tatanan kehebatan dominasinya tidak mudah dimasuki prasangka-prasangka politik lokal.[1]
Itulah kebejatan globalisasi yang masyarakat luas banyak yang tidak menyadarinya. Dikira globalisasi lebih memudahkan segalanya. Akan tetapi juga bagai setan yang garang akan kekuasaan. Bahkan cara baru untuk neo kolonialisme.
                Pendidikan yang dilukiskan Pramoedya dalam novelnya yang berjudul Bumi Manusia sungguh menggugah kita untuk segera berbenah dari keterpurukan sistem dan model pendidikan kita yang masih kalah jauh dari negara-negara asia sendiri. Pendidikan yang digagas Pram adalah pendidikan yang manusiawi tulen. Tak peduli dimanapun berada sekalipun dinegeri asing yang namanya pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan menjadikan manusia yang tamak dan memakan sesamanya seperti binatang. Tidak saling adu kepintaran yang kompetitif sehingga akan sama saja hasilnya dengan persaingan. Yang pintar akan memakan yang bodoh, yang kuat akan memakan yang lemah. Itulah kesan pendidikan sekarang. Meskipun didukung dengan canggihnya fasilitas namun hatinya kelu oleh masalah yang kompleks.
                Ide pemikiran pendidikan sederhana yang digagas oleh Pramoedya dalam novel Bumi Manusia perlu untuk dimunculkan lagi dalam permukaan sebagai khasanah paradigma pedagogis Indonesia. Anak didik harus mempunyai semangat yang tinggi untuk mengupas permasalahan disekitarnya. Baik masalah sosial, alam, politik, sastra, dan yang lainnya. Intinya pendidikan tidak hanya cukup pada teori semata, pendidikan merupakan jawaban dari pembelajaran yang berada dalam kelas kemudian berlanjut pada dunia nyata, bukan pembelajaran teori-teori namun faktanya jauh dari apa yang dipelajari dalam sekolahan. Pendidikan itu harus seperti suasana manusia, bukan suasana hewan yang hanya ditekan untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh sang guru, murid atau peserta didik hanya sebuah objek yang dapat diperintah dengan tidak memberi kesempatan berekspresi sesuai bakat apa yang ada dalam diri anak didik. Pendidikan kita hanya dikondisikan untuk menjawab soal-soal dalam ujian, baik semester ataupun ujian nasional yang saat ini rencana akan dimoratorium oleh Menteri Pendidikan kita. Melihat banyaknya biaya untuk pelaksanaan ujian nasional yang hasilnya tidak sesuai dengan yang kita inginkan, misalnya, dengan ujian nasional masih banyak mendidik anak didik untuk berbuat curang, dan tidak sportif. Guru dan beberapa oknum banyak bermain didalamnya dengan memberikan atau membocorkan kunci jawaban kepada peserta ujian, dan hal itu sudah tidak menjadi rahasia lagi, terbuka dengan alasan, mengasihani peserta didik jika misalkan sampai tidak lulus ujian, belum lagi beban moral yang akan ditanggung pada pihak lembaga pendidikan yang bersangkutan yang bisa membuat citranya dimasyarakat semakin terpuruk dan ada krisis kepercayaan dari masyarakat, sehingga masyarakat enggan lagi mendaftarkan anaknya ke lembaga tersebut. Seharusnya itu tidak boleh terjadi melihat biaya yang cukup besar yang dianggarkan oleh pemerintah, karena hasilnya nihil, hasilnya hanya sebatas nilai-nilai hasil ujian yang telah dipajang dipapan pengumuman sebagai tanda bahwa peserta didik telah berhasil atau lulus ujian, kemudian dilanjutkan dengan pawai-pawai kelulusan yang notabenenya sangat mengganggu orang lain, kebut-kebutan dijalan dan resikonya besar, mengecat seragam sekolah dengan pylox warna-warni sebagai tanda kesuksesan, meski ada sebagian peserta didik yang peka terhadap masyarakat yang lain dengan cara memberikan bantuan sebagai ucapan rasa syukur, namun kapasitasnya kecil. Ada lagi dengan pesta narkoba, pesta seks, dan pesta minuman keras walaupun juga tidak semuanya, namun juga ada. Pendidikan belum bisa memberikan nilai-nilai, sikap atau moral yang mencerminkan adat ketimuran, karena seperti yang saya singgung diatas bahwa faktor globalisasi sudah sangat mendominasi budaya-budaya asing yang terus berhamburan melalui satelit dan diterima oleh perangkat android kita, kita tidak pernah membayangkan sampai ke situ bahwa sistem informasi yang sudah maju adalah piranti sebagai propaganda negara-negara yang telah mempunyai sistem informasi dan komunikasi yang maju. Karena siapa yang telah menguasai arus informasi dialah pemenang dalam berbagai hal termasuk upaya menguasai dunia dengan jaringan-jaringan informasi yang telah dibentangkan. Dan berapa keuntungan yang telah diambil oleh orang-orang yang menguasai dan mengembangkan sistem informasi dan komunikasi seperti perusahaan Microsoft, Face Book, Wattsapp, Twiter, dsb yang telah menjamur ke belahan dunia bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa yang sulit dijangkau bahkan tak berpenghuni. Seperti apa yang telah dikatakan oleh ahli Strukturalis yang bernama Leviss Straus bahwa dunia telah penuh dan siap pecah.
                Dalam Bumi Manusia, Pramoedya membeberkan perkembangan pada awal abad 18, banyak penemuan-penemuan baru atau discovery seperti berlomba-lomba, dengan diketemukannya bidang-bidang tertentu, dunia seperti disibak dengan fungsi disiplin ilmu masing-masing akibat dari perkembangan ilmu filsafat yang terus dinamis dan dikembangkan. Dunia-dunia semakin mudah dijelajah dengan menggunakan transportasi baik dari darat, udara dan laut.  Kebutuhan-kebutuhan tentang hidup semakin mudah diakses melalui sistem transportasi, perdagangan semakin maju dan sistem persaingan semakin ketat, tak ayal manusia semakin berkompetisi dengan banyak cara, bahkan dengan cara curang dan kejampun harus ditempuh seperti misal penjajahan atas manusia lain semakin dibenarkan, untuk mendorong profit yang lebih besar, seakan-akan manusia itu lupa bahwa esok hari masih ada hari lagi, tapi hal itu semakin dilupakan karena demi pepatah dagang bahwa siapa cepat siapa dapat, tak perduli orang lain terjungkal yang penting keuntungan ada ditangan kita. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi semakin menjadi raja, siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dialah pemenang, sedangkan di negara kita Hindia-Belanda ilmu pengetahuan telah disimpan rapat-rapat oleh pihak penguasa yaitu Kolonial Belanda untuk satu tujuan penjajahan bagi orang-orang pribumi yang selalu dibodohkan oleh penguasa Kolonial Belanda. Meski sudah dirancang politik balas budi Trias Politika namun pelaksanaannyapun masih tetap nihil,  buktinya orang-orang pribumi yang boleh bersekolah ala pendidikan Eropa hanya orang-orang priyayi dan keturunan ningrat dan juga pejabat. Komplit sudah bahwa pendidikan hanyalah bertujuan untuk menghegemoni kekuasaan bisa juga untuk melanggengkan kekuasaan atas tanah jajahan yang telah dikuasai. Tak ayal Pramoedya lewat buku kritis Bumi Manusia ingin menyampaikan bahwa pendidikan tak ubahnya melanggengkan penjajahan diatas bumi jajahan. Meski Pramoedya membuat tokoh Minke yang pada dasarnya cerdas dalam sekolah namun sepertinya itu tidak cukup untuk modal bagi tokoh Minke untuk memahami lingkungan sosialnya yang cenderung hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan, ada perasaan ketidaksukaan dalam hati Minke terhadap sistem Kolonial Belanda sehingga dengan alat pena Minke menuliskan hal-hal tentang ketimpangan lingkungan sosialnya yang dalam keadaan sekarat. Minke seperti hidup terasing dengan dunianya, disatu sisi ia merasa beruntung punya kesempatan bersekolah setingkat HBS, namun disisi lain ia merasa bingung dengan kondisi alam sosialnya yang semakin menderita, ia mencari keadilan yang juga belum menemukannya, apakah sekolah atau pendidikan hanya untuk orang-orang kaya atau mampu atau juga keturunan kaum priyayi?, kenapa orang-orang kecil tidak boleh ikut bersekolah dan dibiarkan bodoh seperti hewan yang dungu, dimana letak keadilan sebagai anak manusia, bukankah seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan? Inilah fenomena yang harus dicari jawabannya oleh Minke sebagai sosok protagonis yang kelelahan akibat beratnya medan kolonialisme yang sudah mengakar kuat dalam struktur sosial kita.
                Pemikiran yang berani dalam tokoh Minke dalam Bumi Manusia seharusnya perlu kita kaji dan kita renungkan bersama-sama. Meski hanya dalam bayangan sastra namun dunia sastra itu lahir sangat mustahil jika tidak dari alam nyata. Boleh kita pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dengan pena dan tulisan Minke melawan ketidakadilan yang diderita oleh bangsanya, tak perduli ia harus tersendat-sendat didalam pelajaran sekolahnya namun ia lebih puas ketika pena dalam genggaman jarinya akan menuliskan ketidakadilan yang diderita kaumnya dari sistem penjajahan yang tiada perikemanusiaan daripada ia pandai dan maju dalam bidang pelajaran sampai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra dan menuliskan kenyataan yang dialami oleh rakyat kecil yang tertindas, ia tak ubahnya hanya hewan yang pandai. Inilah pemikiran Pramoedya dalam sastra yang menyinggung tentang tujuan pendidikan kita yang banyak berkecimpung dalam keformalitasannya saja tanpa ada upaya membangun manusia yang mencintai keadilan dan kesamaaan hak, yaitu maju dalam membela dan melindungi negaranya dari ketidakadilan para penguasa. Siapa saja yang cenderung menguasai sedikit tidaknya ada ketidakadilan didalamnya, dan itu harus dilawan. Begitu juga dalam dunia pendidikan kita, jika ada pendidikan yang hanya bertujuan melanggengkan kekuasaan tanpa melihat sisi kemanusiaan yang adil dan beradab. Ayo kita lawan ramai-ramai, kita bubarkan saja. Seperti apa yang dikatakana oleh Tan Malaka jika kaum terpelajar mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan tinggi namun ia enggan bergaul dengan orang-orang kecil yang membutuhkan pertolongan, lebih baik pendidikan kita tiadakan bahkan kita ganyang saja. Bumi Manusia ini haram bagi orang-orang yang suka menindas dalam segala hal termasuk dalam pendidikan.

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.




[1] Amin Rais, 2008. Hal 17-18.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda