PETA PEMIKIRAN PENDIDIKAN PRAMOEDYA DALAM NOVEL BUMI MANUSIA
Oleh. Rohmat Sholihin*
https://tofikpr.wordpress.com/2013/06/07/menikmati-sastra-dalam-toilet/
Masalah pendidikan masih saja aktual dan cocok untuk selalu
dibahas dalam paradigma kekinian. Karena pendidikan akan terus bermetamorfosis dengan
kemajuan zaman. Kemajuan zaman yang terus berubah mengikuti pola pikir manusia
dan perkembangan tehnologi yang terus digagas oleh manusia. Manusia tak kan
puas dengan inovasi-inovasinya. Dinamis dan berevolusi. Berlomba-lomba
menciptakan alat-alat canggih untuk memudahkan seluruh pekerjaan kita. Cara
untuk menjadi manusia yang kreatif adalah dengan pendidikan yang kritis dan
inovatif. Dengan tanpa memandang status, ras, dan golongan. Pendidikan adalah
kebebasan untuk berfikir, mengemukakan pendapat dengan alasan yang masuk akal
dan tanggung jawab. Sehingga anak didik tak kan merasakan ketakutan dan
pengkerdilan karakter yang ia telah bentuk dengan wataknya yang heterogen.
Bukan watak yang homogen dan seragam. Dijamin kreatifitas tak kan muncul. Yang
muncul hanya budaya yang kaku dan menjemukan.
Dan disaat ini
pemerintah terus membentuk pola dan strategi pendidikan nasional yang inovatif
seukuran manusia Indonesia yang majemuk. Mencari format yang tepat mengikuti
perkembangan zaman yang terus berubah. Hal ini yang menjadi tarik- ulur para
pakar-pakar pendidikan Indonesia. Termasuk mencetuskan pendidikan berbasis
karakter dengan tujuan agar anak didik mempunyai karakter yang adiluhung dan
tak ikut hanyut dalam pergeseran globalisasi yang kejam. Kejam dengan menelan
budaya-budaya setiap bangsa. Karena budaya globalisasi telah menggerus bak
gelombang besar yang lebih dahsyat dari tsunami melalui guritanya yang bernama
informasi dan tehnologi. Contohnya dengan internet semua akses pertanyaan dapat
dijawab dengan gamblang. Segamblang bak membalikkan telapak tangan.
Tak usah
susah-susah kesana-kemari dan bingung mencari akses data apapun. Dari kemajuan
tehnologi itu, anak didik juga mampu menggunakan fasilitas itu dengan baik.
Sehingga internet dapat dijadikan sumber belajar yang komprehensif dan aktual.
Namun kelemahan dari hal itu adalah anak didik merasa ketergantungan yang cukup
besar dengan benda yang namanya internet. Semangat membaca bukunya akan hilang
perlahan-lahan karena telah terganti oleh benda lunak komputer. Anak akan
menjadi malas dan manja terhadap internet ini.
Anak didik semakin
maju dalam menggunakan fasilitas kemajuan ilmu pengetahuan yang mencengangkan
sebentuk komputer, dunia apapun dijamahnya meskipun tak nyata hanya bersifat
maya tapi sangat nyata. Akan tetapi, mereka sangat miskin akan prinsip dan ide
dari dirinya sendiri.
Karena dalam
euphoria globalisasi itu masyarakat dunia disuruh percaya bahwa globalisasi
menjanjikan masa depan dunia yang lebih indah. John Ralston Saul menulis janji
globalisasi seperti sering dikemukakan para sponsornya itu antara lain sebagai
berikut :
1.
Kekuasaan negara bangsa (nation
state) semakin redup
2.
Negara-bangsa semacam itu mungkin
malah segera gulung tikar
3.
Di masa depan kekuasaan terletak
pada pasar global
4.
Ekonomi, bukan politik dan
militer, yang membentuk peristiwa-peristiwa masyarakat
5.
Pasar ekonomi global, bila
dibiarkan berjalan bebas, akan mencapai keseimbangan ekonomi internasional
6.
Masalah abadi siklus boom and bust
akan berakhir
7.
Pasar bebas akan mendorong
gelombang dagang yang pada gilirannya akan mengangkat pertumbuhan ekonomi baik
di negara kaya maupun negara miskin
8.
Kemakmuran yang diraih akan
menggeser kediktatoran dan menggantinya dengan demokrasi
9.
Demokrasi baru itu akan
melenyapkan nasionalisme picik, rasisme yang tidak bertanggung jawab dan
kekerasan politik
10.
Di lapangan ekonomi, pertumbuhan
pasar yang dahsyat memerlukan kehadiran berbagai korporasi yang lebih besar
11.
Korporasi yang begitu besar tidak
memungkinkan terjadinya kebangkrutan dan karena itu justru menjamin stabilitas
internasional
12.
Para tokoh korporasi
trans-nasional akan memegang kepemimpinan peradaban karena penguasanya atas
pasar
13.
Akhirnya berbagai korporasi dunia
itu akan menjadi semacam negara dan tatanan kehebatan dominasinya tidak mudah
dimasuki prasangka-prasangka politik lokal.[1]
Itulah kebejatan globalisasi yang masyarakat luas banyak yang tidak
menyadarinya. Dikira globalisasi lebih memudahkan segalanya. Akan tetapi juga
bagai setan yang garang akan kekuasaan. Bahkan cara baru untuk neo
kolonialisme.
Pendidikan yang
dilukiskan Pramoedya dalam novelnya yang berjudul Bumi Manusia sungguh menggugah kita untuk segera berbenah dari
keterpurukan sistem dan model pendidikan kita yang masih kalah jauh dari
negara-negara asia sendiri. Pendidikan yang digagas Pram adalah pendidikan yang
manusiawi tulen. Tak peduli dimanapun berada sekalipun dinegeri asing yang
namanya pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan menjadikan manusia yang
tamak dan memakan sesamanya seperti binatang. Tidak saling adu kepintaran yang
kompetitif sehingga akan sama saja hasilnya dengan persaingan. Yang pintar akan
memakan yang bodoh, yang kuat akan memakan yang lemah. Itulah kesan pendidikan
sekarang. Meskipun didukung dengan canggihnya fasilitas namun hatinya kelu oleh
masalah yang kompleks.
Ide pemikiran pendidikan
sederhana yang digagas oleh Pramoedya dalam novel Bumi Manusia perlu untuk dimunculkan lagi dalam permukaan sebagai
khasanah paradigma pedagogis Indonesia. Anak didik harus mempunyai semangat
yang tinggi untuk mengupas permasalahan disekitarnya. Baik masalah sosial,
alam, politik, sastra, dan yang lainnya. Intinya pendidikan tidak
hanya cukup pada teori semata, pendidikan merupakan jawaban dari pembelajaran
yang berada dalam kelas kemudian berlanjut pada dunia nyata, bukan pembelajaran
teori-teori namun faktanya jauh dari apa yang dipelajari dalam sekolahan. Pendidikan
itu harus seperti suasana manusia, bukan suasana hewan yang hanya ditekan untuk
menuruti apa yang dikehendaki oleh sang guru, murid atau peserta didik hanya
sebuah objek yang dapat diperintah dengan tidak memberi kesempatan berekspresi
sesuai bakat apa yang ada dalam diri anak didik. Pendidikan kita hanya
dikondisikan untuk menjawab soal-soal dalam ujian, baik semester ataupun ujian
nasional yang saat ini rencana akan dimoratorium oleh Menteri Pendidikan kita. Melihat
banyaknya biaya untuk pelaksanaan ujian nasional yang hasilnya tidak sesuai
dengan yang kita inginkan, misalnya, dengan ujian nasional masih banyak
mendidik anak didik untuk berbuat curang, dan tidak sportif. Guru dan beberapa
oknum banyak bermain didalamnya dengan memberikan atau membocorkan kunci
jawaban kepada peserta ujian, dan hal itu sudah tidak menjadi rahasia lagi,
terbuka dengan alasan, mengasihani peserta didik jika misalkan sampai tidak
lulus ujian, belum lagi beban moral yang akan ditanggung pada pihak lembaga
pendidikan yang bersangkutan yang bisa membuat citranya dimasyarakat semakin
terpuruk dan ada krisis kepercayaan dari masyarakat, sehingga masyarakat enggan
lagi mendaftarkan anaknya ke lembaga tersebut. Seharusnya itu tidak boleh
terjadi melihat biaya yang cukup besar yang dianggarkan oleh pemerintah, karena
hasilnya nihil, hasilnya hanya sebatas nilai-nilai hasil ujian yang telah
dipajang dipapan pengumuman sebagai tanda bahwa peserta didik telah berhasil
atau lulus ujian, kemudian dilanjutkan dengan pawai-pawai kelulusan yang
notabenenya sangat mengganggu orang lain, kebut-kebutan dijalan dan resikonya
besar, mengecat seragam sekolah dengan pylox warna-warni sebagai tanda kesuksesan,
meski ada sebagian peserta didik yang peka terhadap masyarakat yang lain dengan
cara memberikan bantuan sebagai ucapan rasa syukur, namun kapasitasnya kecil. Ada
lagi dengan pesta narkoba, pesta seks, dan pesta minuman keras walaupun juga
tidak semuanya, namun juga ada. Pendidikan belum bisa memberikan nilai-nilai, sikap atau moral yang mencerminkan adat ketimuran, karena seperti yang saya singgung
diatas bahwa faktor globalisasi sudah sangat mendominasi budaya-budaya asing
yang terus berhamburan melalui satelit dan diterima oleh perangkat android
kita, kita tidak pernah membayangkan sampai ke situ bahwa sistem informasi yang
sudah maju adalah piranti sebagai propaganda negara-negara yang telah mempunyai
sistem informasi dan komunikasi yang maju. Karena siapa yang telah menguasai
arus informasi dialah pemenang dalam berbagai hal termasuk upaya menguasai
dunia dengan jaringan-jaringan informasi yang telah dibentangkan. Dan berapa
keuntungan yang telah diambil oleh orang-orang yang menguasai dan mengembangkan
sistem informasi dan komunikasi seperti perusahaan Microsoft, Face Book,
Wattsapp, Twiter, dsb yang telah menjamur ke belahan dunia bahkan sampai ke
pelosok-pelosok desa yang sulit dijangkau bahkan tak berpenghuni. Seperti apa
yang telah dikatakan oleh ahli Strukturalis yang bernama Leviss Straus bahwa
dunia telah penuh dan siap pecah.
Dalam
Bumi Manusia, Pramoedya membeberkan
perkembangan pada awal abad 18, banyak penemuan-penemuan baru atau discovery seperti
berlomba-lomba, dengan diketemukannya bidang-bidang tertentu, dunia seperti
disibak dengan fungsi disiplin ilmu masing-masing akibat dari perkembangan ilmu
filsafat yang terus dinamis dan dikembangkan. Dunia-dunia semakin mudah
dijelajah dengan menggunakan transportasi baik dari darat, udara dan laut. Kebutuhan-kebutuhan tentang hidup semakin
mudah diakses melalui sistem transportasi, perdagangan semakin maju dan sistem
persaingan semakin ketat, tak ayal manusia semakin berkompetisi dengan banyak
cara, bahkan dengan cara curang dan kejampun harus ditempuh seperti misal penjajahan
atas manusia lain semakin dibenarkan, untuk mendorong profit yang lebih besar,
seakan-akan manusia itu lupa bahwa esok hari masih ada hari lagi, tapi hal itu
semakin dilupakan karena demi pepatah dagang bahwa siapa cepat siapa dapat, tak
perduli orang lain terjungkal yang penting keuntungan ada ditangan kita. Ilmu pengetahuan
dan tekhnologi semakin menjadi raja, siapa yang menguasai ilmu pengetahuan
dialah pemenang, sedangkan di negara kita Hindia-Belanda ilmu pengetahuan telah
disimpan rapat-rapat oleh pihak penguasa yaitu Kolonial Belanda untuk satu
tujuan penjajahan bagi orang-orang pribumi yang selalu dibodohkan oleh penguasa
Kolonial Belanda. Meski sudah dirancang politik balas budi Trias Politika namun
pelaksanaannyapun masih tetap nihil,
buktinya orang-orang pribumi yang boleh bersekolah ala pendidikan Eropa
hanya orang-orang priyayi dan keturunan ningrat dan juga pejabat. Komplit sudah
bahwa pendidikan hanyalah bertujuan untuk menghegemoni kekuasaan bisa juga
untuk melanggengkan kekuasaan atas tanah jajahan yang telah dikuasai. Tak ayal
Pramoedya lewat buku kritis Bumi Manusia ingin
menyampaikan bahwa pendidikan tak ubahnya melanggengkan penjajahan diatas bumi
jajahan. Meski Pramoedya membuat tokoh Minke yang pada dasarnya cerdas dalam
sekolah namun sepertinya itu tidak cukup untuk modal bagi tokoh Minke untuk
memahami lingkungan sosialnya yang cenderung hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan,
ada perasaan ketidaksukaan dalam hati Minke terhadap sistem Kolonial Belanda
sehingga dengan alat pena Minke menuliskan hal-hal tentang ketimpangan
lingkungan sosialnya yang dalam keadaan sekarat. Minke seperti hidup terasing
dengan dunianya, disatu sisi ia merasa beruntung punya kesempatan bersekolah
setingkat HBS, namun disisi lain ia merasa bingung dengan kondisi alam
sosialnya yang semakin menderita, ia mencari keadilan yang juga belum
menemukannya, apakah sekolah atau pendidikan hanya untuk orang-orang kaya atau
mampu atau juga keturunan kaum priyayi?, kenapa orang-orang kecil tidak boleh
ikut bersekolah dan dibiarkan bodoh seperti hewan yang dungu, dimana letak
keadilan sebagai anak manusia, bukankah seorang terpelajar harus sudah berbuat
adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan? Inilah fenomena yang harus
dicari jawabannya oleh Minke sebagai sosok protagonis yang kelelahan akibat
beratnya medan kolonialisme yang sudah mengakar kuat dalam struktur sosial
kita.
Pemikiran
yang berani dalam tokoh Minke dalam Bumi
Manusia seharusnya perlu kita kaji dan kita renungkan bersama-sama. Meski hanya
dalam bayangan sastra namun dunia sastra itu lahir sangat mustahil jika tidak
dari alam nyata. Boleh kita pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah
bekerja untuk keabadian. Dengan pena dan tulisan Minke melawan ketidakadilan
yang diderita oleh bangsanya, tak perduli ia harus tersendat-sendat didalam
pelajaran sekolahnya namun ia lebih puas ketika pena dalam genggaman jarinya
akan menuliskan ketidakadilan yang diderita kaumnya dari sistem penjajahan yang
tiada perikemanusiaan daripada ia pandai dan maju dalam bidang pelajaran sampai
deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra dan menuliskan
kenyataan yang dialami oleh rakyat kecil yang tertindas, ia tak ubahnya hanya
hewan yang pandai. Inilah pemikiran Pramoedya dalam sastra yang menyinggung
tentang tujuan pendidikan kita yang banyak berkecimpung dalam keformalitasannya
saja tanpa ada upaya membangun manusia yang mencintai keadilan dan kesamaaan
hak, yaitu maju dalam membela dan melindungi negaranya dari ketidakadilan para
penguasa. Siapa saja yang cenderung menguasai sedikit tidaknya ada
ketidakadilan didalamnya, dan itu harus dilawan. Begitu juga dalam dunia
pendidikan kita, jika ada pendidikan yang hanya bertujuan melanggengkan kekuasaan
tanpa melihat sisi kemanusiaan yang adil dan beradab. Ayo kita lawan
ramai-ramai, kita bubarkan saja. Seperti apa yang dikatakana oleh Tan Malaka
jika kaum terpelajar mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan tinggi namun ia
enggan bergaul dengan orang-orang kecil yang membutuhkan pertolongan, lebih
baik pendidikan kita tiadakan bahkan kita ganyang saja. Bumi Manusia ini haram bagi orang-orang yang suka menindas dalam
segala hal termasuk dalam pendidikan.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening
Bangilan-Tuban.
Label: catatan khusus
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda