Jumat, 06 Januari 2017

Putri Bah Tei # 11

Oleh. Rohmat Sholihin*

 Google.com


Hari ke Empat

            Hari masih tetap cerah, secerah mentari dengan sinarnya yang berhamburan menembus daun-daun hutan Bukit Duwur. Mata Bah Tei menerawang ke suatu tempat yang tidak jelas. Tak terasa air matanya berderai, bayangan-bayangan kisah terdahulu yang berhamburan dalam otaknya semakin membuat hatinya perih dan sakit.
“Ibu kau tinggalkan aku sendiri begini membuatku tak bisa mengadu. Babah juga pergi mencari tempat aman dari serangan cecunguk-cecunguk Blancak Nyilu. Aku terpaku sendiri disini menahan sepi. Aku tak bisa mengalihkan semua hatiku dari bayang-bayang masa lalu, ketika ibu dengan sabar mengajariku keterampilan membatik di sanggar, Mbok Yem juga turut serta dengan membawa teh hangat kesukaanku, Babah juga ikut mengatur pewarnaannya, semua itu aku kerjakan hanya ibu ingin aku bisa meneruskan warisan leluhur, yaitu usaha batik. Hari-hari aku lalui dengan bahagia.” Batin Bah Tei.
“Ah, sudahlah, hidup tidak mungkin tidak berubah, dunia juga berputar mengikuti hukum alam. Takdir manusia tak ada yang tahu, manusia tak sanggup melawan takdir. Aku harus kuat bertahan dengan segala resiko, hidup hanya untuk bertahan, sekuat tenaga manusia hidup harus bertahan meski harus pupus juga pada akhirnya, namun tidak patut jika manusia hidup harus menyerah dengan keadaan kecuali segala kekuatan yang telah kita kerahkan berakhir, kita kembalikan semuanya hasil pada yang Maha Kuasa.” Semangat Bah Tei kembali memuncak.
“Bah Tei, ayo kita segera berlatih kembali.” Ki Baroto memanggilnya.
“Baik Ki. Bah Tei telah siap,” dengan cepat Bah Tei mengusap air matanya yang masih berderai. Kemudian bangkit dan berjalan mengikuti Ki Baroto yang telah berjalan terlebih dahulu dari pondok menuju tempat Joko melakukan semedi di atas puncak pohon seperti kelelawar. Dan tak lama merekapun tiba di tempat latihan seperti biasa sambil menjaga dan mengawasi Joko yang sedang berjuang mati-matian untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dalam melakukan semedi. Dan kali ini memasuki hari ke empat dalam bersemedi seperti hewan kalong. Tubuhnya masih terlihat bugar dan segar. Matanya terpejam dengan posisi kedua tangan bersendekap didada. Kelihatannya ia tidak menghadapi berbagai macam persoalan, tubuhnya tenang, tak bergerak, seperti orang yang sedang tertidur pulas, namun pikiran dan batinnya telah menyeruak dan menyibak semesta entah kemana. Seakan-akan alam pikirannya telah pergi menyusuri gurun pasir yang luas tak ada batasnya, tak ada apapun, hanya pasir dan angin yang telah berhembus memainkan pasir-pasir yang seakan berbisik pada hati yang sendu, kau telah melewati daerah gurun, kau tak bisa kembali lagi sebelum kau bertemu dengan seorang kakek jubah putih. Kau harus terus berjalan ke depan tanpa batas. Jika kau kembali kau akan kembali dari awal, begitu terus, kau tidak boleh kembali, kau harus punya keteguhan hati untuk bisa melewati gurun ini. Hidup tidak untuk bernostalgia dengan masa lalu, tapi hidup harus terus maju dengan segala rintangan yang terus ada di depan. Jangan takut, ketakutan hanya membuatmu tidak bisa maju. Alam pikiran Joko terus mengikuti gurun yang tiada batas meski kelelahan hinggap dalam alam pikirnya. Dia tetap berlalu tiada henti. Batinnya harus kuat. Tubuhnya sesekali terjatuh akibat melimpahnya pasir yang mengganggu jalannya untuk maju. Bahkan terkadang ia harus bersujud dengan kepala yang ditutupi bajunya karena desiran angin menggulung pasir seperti ombak di lautan, tak heran jika di gurun juga disebut lautan pasir. Dengan bersujud ia terus mengingat sang pencipta dan melafalkan doa-doa yang telah diberikan oleh Ki Baroto. Ketika desiran angin berhenti iapun keluar dari kubang pasir yang telah menutupi tubuhnya. Berjalan lagi, lagi dan lagi tiada henti. Jika ada desiran angin kencang, iapun bersujud, bersujud lagi tiada berhenti. Terus begitu hingga tiada terasa ia telah bertemu dengan lelaki tua berjubah putih. Wajahnya tak jelas seperti bayang-bayang tersapu desiran angin pada lautan pasir. Ia mendekat, lelaki tua menjauh lagi, ia mendekat lelaki tua itu menjauh lagi, begitu seterusnya tiada henti, ia tetap sabar terus berjalan. Tak perduli pada siapapun, ia tetap terus melanjutkan perjalanan menyusuri lautan pasir yang tiada batas ini.
“Berhenti anak muda! Hendak kemana kau ini? Kenapa kau terus berjalan mendekati aku.” Kata bayang-bayang lelaki tua berjubah putih dengan suara halusnya.
“Maaf kakek, aku hanya ingin terus berjalan menyusuri lautan pasir ini.” Jawab Joko.
“Kau hendak mencari siapa?, dari wajahmu sepertinya kau lelah dan capek. Apakah kau tersesat anak muda? Di lautan pasir ini tak ada siapa-siapa kecuali aku, nak. Kau tak bisa melanjutkan perjalanan sejauh ini, kau bisa kehabisan tenaga dan mati, nak.”
“Tak ada siapa-siapa, kenapa kakek juga bisa ada disini? Kenapa kakek tidak mati?”
“Ini adalah rumahku, nak. Aku hafal betul lautan pasir ini. Aku sudah tinggal di lautan pasir ini bertahun-tahun, nak. Ini adalah rumahku dan ini adalah surgaku.”
“Maafkan aku kakek, aku hanya ingin lewat saja. Tak ada niat untuk membuat kerusakan di rumah kakek yang indah ini dan penuh dengan pasir ini.”
“Kau harus kembali nak! Kau tak kan bisa melanjutkan perjalanan yang berat ini. Kau tak kan kuat, kau harus kembali sekarang juga!” tiba-tiba kakek berjubah putih itu membentaknya.
“Maaf kek, aku hanya mau lewat saja.”
“Tak bisa kau harus kembali sekarang juga, jika tidak kembali lautan pasir ini akan menggulungmu, nak.”
“Kembali!”
“Maaf kek, tidak bisa.”
“Kembali!”
“Tidak bisa.”
Kemarahan kakek tak bisa di hindari, dengan sekejap desiran angin semakin kencang dan pasir-pasirpun berhamburan, kesana-kemari, hingga menggumpal dan berbaris menjadi satu. Lalu menyerang Joko yang tetap berdiri dengan kokoh dan sigap. Tak perduli apapun rintangan yang akan di hadapinya. Desiran angin semakin meliuk-liuk dan sebentar lagi akan menerjang tubuh Joko dan dalam sekejap pasti tubuhnya akan terpental dan jatuh tertimbun pasir.
“Siapa kau sebenarnya anak muda?” Tiba-tiba kakek itu bertanya, desiran pasir masih tetap mendesir dan menggumpal siap menerjang.
“Aku hanya mau lewat, untuk meneruskan perjalanan, aku tak berniat mengganggu kakek, aku hanya mau lewat lautan pasir ini.”
“Hendak pergi kemana?”
“Tak tahu kek, tiba-tiba aku tersesat di lautan pasir ini. Aku tak bisa menemukan jalan kembali, aku harus terus berjalan lurus, apapun yang terjadi, jika aku kembali sama dengan aku memulai hidup dari titik nol lagi, apa yang telah aku lakukan dan apa yang telah aku rintis akan hancur total, kek. Maka, aku mohon kepada kakek izinkan aku lewat, tak ada niat dalam hati untuk merusak tempat ini apalagi mengganggu kakek.”
“Ehm, apa yang akan kau cari anak muda?”
“Aku hanya mau mencari keteguhan hati, kek.”
“He…he…he..mencari keteguhan hati? Dimana kau akan mencarinya?”
“Tak tahu kek, aku harus tetap terus berjalan sampai batas waktu yang tak terhingga, gunung aku daki, lautan pasir aku lalui, bukit-bukit aku terjang, lautan aku seberangi, hanya untuk mencari keteguhan hati. Agar hati ini kuat dan terlatih menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di kemudian hari.”
“Apa kau ingin jadi penguasa?”
“Tak ada sedikitpun niat pada hati ini untuk menjadi penguasa atau raja bahkan kaisar sekalipun, kek. Aku hanya ingin menyelamatkan seorang perempuan lemah dari kungkungan orang yang tamak dan rakus, kek.”
“Siapa perempuan itu?”
“Perempuan itu adalah majikanku sendiri, kek.”
“Kenapa ia kau anggap lemah? Bukankah ia perempuan majikanmu? Tentunya ia perempuan tangguh dan kuat.”
“Secara fisik dan kekayaan ia memang tangguh, punya keterampilan hidup yang di atas rata-rata perempuan lainnya. Tapi ia tak sadar bahwa dari hasil keterampilannya yang memukau, yang bisa mendatangkan sumber rezeki besar, kekayaannya bertumpuk-tumpuk, adalah sumber malapetaka besar bagi dirinya, karena kemakmuran adalah biang perseteruan. Dimana-mana akan selalu penuh dengan keculasan. Dan pada akhirnya adalah perebutan karena intrik penuh persaingan. Ia lupa bahwa seharusnya ia juga butuh belajar membela dirinya sendiri dari keculasan.”
“Keculasan?”
“Iya keculasan.”
“Siapa majikanmu itu?”
“Ia tidak dari bangsa saya, ia berasal dari bangsa yang maju, bangsa yang telah mempunyai peradaban dan sistem pemerintahan serta kekaisaran yang kuat. Ia berasal dari negeri mata sipit yaitu Negeri Atas Angin.”
“Siapa namanya?”
“Ia bernama Bah Tei, putra dari pengusaha batik terkenal di kota Lao sam, bernama Xio Bah.”
Kakek hanya diam, wajahnya yang tak jelas itu menatap Joko agak lama. Tak ada sepatah katapun yang terlontar darinya. Desiran angin dengan pasir-pasir yang beterbangan siap menyerang Joko, perlahan-lahan mulai meredup dan pasir-pasir itupun kembali rapi ke tempat semula jatuh dengan beraturan, indah sekali. Gumpalan-gumpalan cahaya oleh pernak-pernik pasir seperti kilau emas dan intan yang terkena cahaya, memantul terang warna-warni. Sosok kakek dengan baju putih dan mata sipit berdiri menatap Joko, sejuk sekali, tak ada api kemarahan ataupun gelagat untuk menyerang Joko. Senyum menghias pada bibirnya.
‘Maaf, kakek siapa?”
“Aku adalah Wu Zie.”
“Wu Zie.”
“Iya. Aku adalah Wu Zie, anehkah?”
“Ake belum pernah mendengar nama itu, kek. Maafkan aku ini.”
“Tak apa, aku hidup bukan di zamanmu, anak muda. Aku telah hidup jauh sebelum kamu ada.”
“Lantas, kenapa kakek juga bisa berada di tempat ini. Tersesatkah?”
“Bukan anak muda, aku mendapatkan perintah dari Kaisar untuk menjaga tempat ini dari serangan musuh, aku adalah seorang Jenderal perang. Aku mendapatkan perintah dari kaisar agar jangan mundur dari tempat ini barang setapakpun, dan perintah itupun aku pegang sampai sekarang, musuh-musuh itupun juga belum datang, prajurit-prajuritku banyak yang sudah binasa karena kelaparan dan ganasnya cuaca, hingga hanya tinggal saya seorang diri disini sampai titik darah penghabisanku. Aku bertahan disini sendirian dalam waktu yang sangat lama bahkan sang Kaisar pun juga telah mati. Tapi aku tak punya hati untuk mengkhianati perintah kaisar untuk meninggalkan daerah lautan pasir ini.”
Joko tertegun dan seakan tak percaya atas apa yang dilakukan oleh kakek Wu Zie.
“Kenapa kakek masih bisa bertahan?, sedangkan prajurit-prajurit kakek telah binasa.”
“Aku juga tidak tahu anak muda, tapi barangsiapa berlaku lurus dan tenang, ia akan teguh. Dan bilamana hati dan pikiran berada pada tempatnya, mata dan telinga pun tajam dan peka, keempat anggota badan pun kuat dan teguh. Begitulah caraku melindungi inti kehidupan, inti kehidupan adalah pemurni.”
“Aku tidak mengerti kakek.”
“Tak usah kau paksa pikiranmu untuk memahaminya, karena itu muncul bagaikan sinar dari langit yang akan jatuh dalam pikiranmu. Tidak dengan cara berkelahi atau menaklukan kekuasaan sekalipun, tapi dengan cara yang sunyi.”
“Kenapa harus dengan kesunyian?”
“Jiwamu tak kan mampu membagi kelabunya dunia yang hanya sementara ini. Dan kau hari ini baru akan memulainya untuk menuju inti kehidupan itu. Bilamana aura dalam hatimu mengalir lancar, maka kehidupan pun berjalan. Bilamana kehidupan berjalan, maka pemahaman pun muncul. Bilamana pemahaman muncul, maka ilmu pengetahuan pun mewujud. Bilamana ilmu pengetahuan mewujud. Maka berhentilah. Bilamana terlalu banyak ilmu pengetahuan dalam hati dan pikiran maka seseorang akan kehilangan kehidupannya. Dan semoga kau tak rakus dengan benda-benda keduniawian.”
Joko terdiam mencoba memahami kalimat yang baru saja diucapkan kakek Wu Zie itu. Ia tak banyak bertanya, dalam hatinya masih mereka-reka tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berikutnya. Namun di sisi lain ia banyak mengiyakan perkataan-perkataan kakek Wu Zie sebagai bekal hidup untuk mencapai nilai hidup yang penuh kebaikan.
“Baiklah anak muda kau boleh melanjutkan perjalananmu menuju keinginanmu, sebelum kau pergi, ingat anak muda, tentang kehidupan manusia: langit memberi kehidupan. Bumi memberi tubuh. Perpaduannya adalah manusia. Dalam keharmonisan terbentuklah kehidupan. Tanpa keharmonisan tiada kehidupan. Jika hanya mengamati jiwa dalam keharmonisan, tak kan terlihat intinya. Tak banyak pertanda. Seimbangkanlah dan luruskanlah hati. Maka jalan keharmonisan akan merasuk ke dalam sanubari dan hidup pun berumur panjang. Silahkan anak muda kau terus berjalan dengan keteguhan yang ada dalam hatimu, karena esok kau akan menjadi penolong bagi yang ingin kau tolong. Apa yang mengerut harus diluruskan. Apa yang melemah harus dikuatkan. Apa yang jatuh harus dibangkitkan. Apa yang diambil, harus diberikan. Begitulah memahami alam. Yang lembut mengatasi yang keras. Yang lemah menghadapi yang kuat. Ikan tak mungkin meninggalkan air. Demikian senjatamu harus disimpan baik-baik.”

Bersambung………

Bangilan, 7 Januari 2017.

*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda