Putri Bah Tei # 11
Oleh.
Rohmat Sholihin*
Google.com
Hari ke Empat
Hari masih tetap cerah, secerah mentari dengan sinarnya
yang berhamburan menembus daun-daun hutan Bukit Duwur. Mata Bah Tei menerawang
ke suatu tempat yang tidak jelas. Tak terasa air matanya berderai,
bayangan-bayangan kisah terdahulu yang berhamburan dalam otaknya semakin
membuat hatinya perih dan sakit.
“Ibu kau tinggalkan aku
sendiri begini membuatku tak bisa mengadu. Babah juga pergi mencari tempat aman
dari serangan cecunguk-cecunguk Blancak Nyilu. Aku terpaku sendiri disini
menahan sepi. Aku tak bisa mengalihkan semua hatiku dari bayang-bayang masa
lalu, ketika ibu dengan sabar mengajariku keterampilan membatik di sanggar,
Mbok Yem juga turut serta dengan membawa teh hangat kesukaanku, Babah juga ikut
mengatur pewarnaannya, semua itu aku kerjakan hanya ibu ingin aku bisa
meneruskan warisan leluhur, yaitu usaha batik. Hari-hari aku lalui dengan
bahagia.” Batin Bah Tei.
“Ah, sudahlah, hidup tidak
mungkin tidak berubah, dunia juga berputar mengikuti hukum alam. Takdir manusia
tak ada yang tahu, manusia tak sanggup melawan takdir. Aku harus kuat bertahan
dengan segala resiko, hidup hanya untuk bertahan, sekuat tenaga manusia hidup
harus bertahan meski harus pupus juga pada akhirnya, namun tidak patut jika
manusia hidup harus menyerah dengan keadaan kecuali segala kekuatan yang telah
kita kerahkan berakhir, kita kembalikan semuanya hasil pada yang Maha Kuasa.”
Semangat Bah Tei kembali memuncak.
“Bah Tei, ayo kita segera
berlatih kembali.” Ki Baroto memanggilnya.
“Baik Ki. Bah Tei telah siap,”
dengan cepat Bah Tei mengusap air matanya yang masih berderai. Kemudian bangkit
dan berjalan mengikuti Ki Baroto yang telah berjalan terlebih dahulu dari
pondok menuju tempat Joko melakukan semedi di atas puncak pohon seperti
kelelawar. Dan tak lama merekapun tiba di tempat latihan seperti biasa sambil
menjaga dan mengawasi Joko yang sedang berjuang mati-matian untuk menghadapi
kesulitan-kesulitan dalam melakukan semedi. Dan kali ini memasuki hari ke empat
dalam bersemedi seperti hewan kalong.
Tubuhnya masih terlihat bugar dan segar. Matanya terpejam dengan posisi kedua
tangan bersendekap didada. Kelihatannya ia tidak menghadapi berbagai macam
persoalan, tubuhnya tenang, tak bergerak, seperti orang yang sedang tertidur
pulas, namun pikiran dan batinnya telah menyeruak dan menyibak semesta entah
kemana. Seakan-akan alam pikirannya telah pergi menyusuri gurun pasir yang luas
tak ada batasnya, tak ada apapun, hanya pasir dan angin yang telah berhembus
memainkan pasir-pasir yang seakan berbisik pada hati yang sendu, kau telah
melewati daerah gurun, kau tak bisa kembali lagi sebelum kau bertemu dengan
seorang kakek jubah putih. Kau harus terus berjalan ke depan tanpa batas. Jika
kau kembali kau akan kembali dari awal, begitu terus, kau tidak boleh kembali,
kau harus punya keteguhan hati untuk bisa melewati gurun ini. Hidup tidak untuk
bernostalgia dengan masa lalu, tapi hidup harus terus maju dengan segala
rintangan yang terus ada di depan. Jangan takut, ketakutan hanya membuatmu
tidak bisa maju. Alam pikiran Joko terus mengikuti gurun yang tiada batas meski
kelelahan hinggap dalam alam pikirnya. Dia tetap berlalu tiada henti. Batinnya
harus kuat. Tubuhnya sesekali terjatuh akibat melimpahnya pasir yang mengganggu
jalannya untuk maju. Bahkan terkadang ia harus bersujud dengan kepala yang
ditutupi bajunya karena desiran angin menggulung pasir seperti ombak di lautan,
tak heran jika di gurun juga disebut lautan pasir. Dengan bersujud ia terus
mengingat sang pencipta dan melafalkan doa-doa yang telah diberikan oleh Ki
Baroto. Ketika desiran angin berhenti iapun keluar dari kubang pasir yang telah
menutupi tubuhnya. Berjalan lagi, lagi dan lagi tiada henti. Jika ada desiran
angin kencang, iapun bersujud, bersujud lagi tiada berhenti. Terus begitu
hingga tiada terasa ia telah bertemu dengan lelaki tua berjubah putih. Wajahnya
tak jelas seperti bayang-bayang tersapu desiran angin pada lautan pasir. Ia
mendekat, lelaki tua menjauh lagi, ia mendekat lelaki tua itu menjauh lagi,
begitu seterusnya tiada henti, ia tetap sabar terus berjalan. Tak perduli pada
siapapun, ia tetap terus melanjutkan perjalanan menyusuri lautan pasir yang
tiada batas ini.
“Berhenti anak muda! Hendak
kemana kau ini? Kenapa kau terus berjalan mendekati aku.” Kata bayang-bayang
lelaki tua berjubah putih dengan suara halusnya.
“Maaf kakek, aku hanya ingin
terus berjalan menyusuri lautan pasir ini.” Jawab Joko.
“Kau hendak mencari siapa?,
dari wajahmu sepertinya kau lelah dan capek. Apakah kau tersesat anak muda? Di
lautan pasir ini tak ada siapa-siapa kecuali aku, nak. Kau tak bisa melanjutkan
perjalanan sejauh ini, kau bisa kehabisan tenaga dan mati, nak.”
“Tak ada siapa-siapa, kenapa
kakek juga bisa ada disini? Kenapa kakek tidak mati?”
“Ini adalah rumahku, nak. Aku
hafal betul lautan pasir ini. Aku sudah tinggal di lautan pasir ini bertahun-tahun,
nak. Ini adalah rumahku dan ini adalah surgaku.”
“Maafkan aku kakek, aku hanya
ingin lewat saja. Tak ada niat untuk membuat kerusakan di rumah kakek yang
indah ini dan penuh dengan pasir ini.”
“Kau harus kembali nak! Kau
tak kan bisa melanjutkan perjalanan yang berat ini. Kau tak kan kuat, kau harus
kembali sekarang juga!” tiba-tiba kakek berjubah putih itu membentaknya.
“Maaf kek, aku hanya mau lewat
saja.”
“Tak bisa kau harus kembali
sekarang juga, jika tidak kembali lautan pasir ini akan menggulungmu, nak.”
“Kembali!”
“Maaf kek, tidak bisa.”
“Kembali!”
“Tidak bisa.”
Kemarahan kakek tak bisa di
hindari, dengan sekejap desiran angin semakin kencang dan pasir-pasirpun
berhamburan, kesana-kemari, hingga menggumpal dan berbaris menjadi satu. Lalu
menyerang Joko yang tetap berdiri dengan kokoh dan sigap. Tak perduli apapun
rintangan yang akan di hadapinya. Desiran angin semakin meliuk-liuk dan
sebentar lagi akan menerjang tubuh Joko dan dalam sekejap pasti tubuhnya akan
terpental dan jatuh tertimbun pasir.
“Siapa kau sebenarnya anak
muda?” Tiba-tiba kakek itu bertanya, desiran pasir masih tetap mendesir dan
menggumpal siap menerjang.
“Aku hanya mau lewat, untuk
meneruskan perjalanan, aku tak berniat mengganggu kakek, aku hanya mau lewat
lautan pasir ini.”
“Hendak pergi kemana?”
“Tak tahu kek, tiba-tiba aku
tersesat di lautan pasir ini. Aku tak bisa menemukan jalan kembali, aku harus
terus berjalan lurus, apapun yang terjadi, jika aku kembali sama dengan aku
memulai hidup dari titik nol lagi, apa yang telah aku lakukan dan apa yang
telah aku rintis akan hancur total, kek. Maka, aku mohon kepada kakek izinkan
aku lewat, tak ada niat dalam hati untuk merusak tempat ini apalagi mengganggu
kakek.”
“Ehm, apa yang akan kau cari
anak muda?”
“Aku hanya mau mencari keteguhan
hati, kek.”
“He…he…he..mencari keteguhan
hati? Dimana kau akan mencarinya?”
“Tak tahu kek, aku harus tetap
terus berjalan sampai batas waktu yang tak terhingga, gunung aku daki, lautan
pasir aku lalui, bukit-bukit aku terjang, lautan aku seberangi, hanya untuk
mencari keteguhan hati. Agar hati ini kuat dan terlatih menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi di kemudian hari.”
“Apa kau ingin jadi penguasa?”
“Tak ada sedikitpun niat pada
hati ini untuk menjadi penguasa atau raja bahkan kaisar sekalipun, kek. Aku
hanya ingin menyelamatkan seorang perempuan lemah dari kungkungan orang yang
tamak dan rakus, kek.”
“Siapa perempuan itu?”
“Perempuan itu adalah
majikanku sendiri, kek.”
“Kenapa ia kau anggap lemah?
Bukankah ia perempuan majikanmu? Tentunya ia perempuan tangguh dan kuat.”
“Secara fisik dan kekayaan ia
memang tangguh, punya keterampilan hidup yang di atas rata-rata perempuan
lainnya. Tapi ia tak sadar bahwa dari hasil keterampilannya yang memukau, yang
bisa mendatangkan sumber rezeki besar, kekayaannya bertumpuk-tumpuk, adalah
sumber malapetaka besar bagi dirinya, karena kemakmuran adalah biang
perseteruan. Dimana-mana akan selalu penuh dengan keculasan. Dan pada akhirnya
adalah perebutan karena intrik penuh persaingan. Ia lupa bahwa seharusnya ia juga
butuh belajar membela dirinya sendiri dari keculasan.”
“Keculasan?”
“Iya keculasan.”
“Siapa majikanmu itu?”
“Ia tidak dari bangsa saya, ia
berasal dari bangsa yang maju, bangsa yang telah mempunyai peradaban dan sistem
pemerintahan serta kekaisaran yang kuat. Ia berasal dari negeri mata sipit
yaitu Negeri Atas Angin.”
“Siapa namanya?”
“Ia bernama Bah Tei, putra
dari pengusaha batik terkenal di kota Lao sam, bernama Xio Bah.”
Kakek hanya diam, wajahnya
yang tak jelas itu menatap Joko agak lama. Tak ada sepatah katapun yang
terlontar darinya. Desiran angin dengan pasir-pasir yang beterbangan siap
menyerang Joko, perlahan-lahan mulai meredup dan pasir-pasir itupun kembali
rapi ke tempat semula jatuh dengan beraturan, indah sekali. Gumpalan-gumpalan
cahaya oleh pernak-pernik pasir seperti kilau emas dan intan yang terkena
cahaya, memantul terang warna-warni. Sosok kakek dengan baju putih dan mata
sipit berdiri menatap Joko, sejuk sekali, tak ada api kemarahan ataupun gelagat
untuk menyerang Joko. Senyum menghias pada bibirnya.
‘Maaf, kakek siapa?”
“Aku adalah Wu Zie.”
“Wu Zie.”
“Iya. Aku adalah Wu Zie,
anehkah?”
“Ake belum pernah mendengar
nama itu, kek. Maafkan aku ini.”
“Tak apa, aku hidup bukan di
zamanmu, anak muda. Aku telah hidup jauh sebelum kamu ada.”
“Lantas, kenapa kakek juga
bisa berada di tempat ini. Tersesatkah?”
“Bukan anak muda, aku
mendapatkan perintah dari Kaisar untuk menjaga tempat ini dari serangan musuh,
aku adalah seorang Jenderal perang. Aku mendapatkan perintah dari kaisar agar
jangan mundur dari tempat ini barang setapakpun, dan perintah itupun aku pegang
sampai sekarang, musuh-musuh itupun juga belum datang, prajurit-prajuritku
banyak yang sudah binasa karena kelaparan dan ganasnya cuaca, hingga hanya
tinggal saya seorang diri disini sampai titik darah penghabisanku. Aku bertahan
disini sendirian dalam waktu yang sangat lama bahkan sang Kaisar pun juga telah
mati. Tapi aku tak punya hati untuk mengkhianati perintah kaisar untuk
meninggalkan daerah lautan pasir ini.”
Joko tertegun dan seakan tak
percaya atas apa yang dilakukan oleh kakek Wu Zie.
“Kenapa kakek masih bisa
bertahan?, sedangkan prajurit-prajurit kakek telah binasa.”
“Aku juga tidak tahu anak
muda, tapi barangsiapa berlaku lurus dan tenang, ia akan teguh. Dan bilamana hati
dan pikiran berada pada tempatnya, mata dan telinga pun tajam dan peka, keempat
anggota badan pun kuat dan teguh. Begitulah caraku melindungi inti kehidupan,
inti kehidupan adalah pemurni.”
“Aku tidak mengerti kakek.”
“Tak usah kau paksa pikiranmu
untuk memahaminya, karena itu muncul bagaikan sinar dari langit yang akan jatuh
dalam pikiranmu. Tidak dengan cara berkelahi atau menaklukan kekuasaan
sekalipun, tapi dengan cara yang sunyi.”
“Kenapa harus dengan kesunyian?”
“Jiwamu tak kan mampu membagi
kelabunya dunia yang hanya sementara ini. Dan kau hari ini baru akan memulainya
untuk menuju inti kehidupan itu. Bilamana aura dalam hatimu mengalir lancar,
maka kehidupan pun berjalan. Bilamana kehidupan berjalan, maka pemahaman pun muncul.
Bilamana pemahaman muncul, maka ilmu pengetahuan pun mewujud. Bilamana ilmu
pengetahuan mewujud. Maka berhentilah. Bilamana terlalu banyak ilmu pengetahuan
dalam hati dan pikiran maka seseorang akan kehilangan kehidupannya. Dan semoga
kau tak rakus dengan benda-benda keduniawian.”
Joko terdiam mencoba memahami
kalimat yang baru saja diucapkan kakek Wu Zie itu. Ia tak banyak bertanya,
dalam hatinya masih mereka-reka tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi berikutnya. Namun di sisi lain ia banyak mengiyakan perkataan-perkataan
kakek Wu Zie sebagai bekal hidup untuk mencapai nilai hidup yang penuh
kebaikan.
“Baiklah anak muda kau boleh
melanjutkan perjalananmu menuju keinginanmu, sebelum kau pergi, ingat anak
muda, tentang kehidupan manusia: langit memberi kehidupan. Bumi memberi tubuh. Perpaduannya
adalah manusia. Dalam keharmonisan terbentuklah kehidupan. Tanpa keharmonisan
tiada kehidupan. Jika hanya mengamati jiwa dalam keharmonisan, tak kan terlihat
intinya. Tak banyak pertanda. Seimbangkanlah dan luruskanlah hati. Maka jalan
keharmonisan akan merasuk ke dalam sanubari dan hidup pun berumur panjang. Silahkan
anak muda kau terus berjalan dengan keteguhan yang ada dalam hatimu, karena
esok kau akan menjadi penolong bagi yang ingin kau tolong. Apa yang mengerut
harus diluruskan. Apa yang melemah harus dikuatkan. Apa yang jatuh harus
dibangkitkan. Apa yang diambil, harus diberikan. Begitulah memahami alam. Yang lembut
mengatasi yang keras. Yang lemah menghadapi yang kuat. Ikan tak mungkin
meninggalkan air. Demikian senjatamu harus disimpan baik-baik.”
Bersambung………
Bangilan, 7 Januari 2017.
*Penulis aktif di Komunitas
Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.
Label: Dongeng serial
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda