Senin, 26 Desember 2016

679 mdpl


Oleh. Rohmat Sholihin*


Di Puncak Gunung Butak Sale-Rembang, 679 mdpl.

Istirahat di Makam Jati Kusuma di atas puncak Gunung Butak Sale-Rembang.


“Menaklukan sebuah gunung,
bukan berarti menaklukan sebuah puncak,
namun kami ingin menaklukan diri sendiri.”


Selasa, 22/12/2016. Hari yang cerah, matahari dengan sinarnya masih setia memberikan kehangatan pada seluruh kehidupan yang ada di bumi. Sehingga, kami dalam melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Butak di kecamatan Sale-Jawa Tengah tidak ada kendala. Baik kendala hujan, medan yang licin. Kami pun dapat melanjutkan perjalanan dengan naik motor menuju puncak tertinggi Gunung Butak kurang lebih 679 mdpl. Kalah jauh tingginya jika dibandingkan dengan puncak Mahameru Gunung Semeru atau puncak Bromo yang ada di Jawa Timur, namun kami berdua hanya ingin memastikan dan melihat lokasi Telaga Jambangan yang berada dilereng Gunung Butak, telaga ini adalah sumber mata air bersih bagi warga Desa Bitingan Kecamatan Sale yang persis berada di lereng Gunung Butak, rencana ke depan kami akan menanam benih ikan air tawar di telaga Jambangan  ini dalam jumlah besar agar ikan-ikan air tawar dapat berkembang biak dengan baik dan bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai tambahan kebutuhan pangan dalam segi pemenuhan gizi protein. Disamping itu, untuk menyeimbangkan ekosistem yang saat ini mendekati ketidakseimbangan karena ada beberapa komponennya mengalami kepunahan. Seperti, banyak pohon-pohon yang berusia ratusan tahun sebagai kekayaan flora telah ditebang habis dan menjadikan hutan-hutan yang menutupi Gunung Butak menjadi rusak dan botak. Keindahan alamnya sedikit berkurang dan fungsi hutan sebagai habitat fauna mengalami kerusakan. Sehingga pemerintah Jawa Tengah menjadikan kawasan Gunung Butak sebagai kawasan cagar alam melalui SK Penetapan Menteri Pertanian No : 55/Kpts/Um/2/1975/ pada tanggal 17 Februari 1975 dengan tujuan untuk mengembalikan peran hutan Gunung Butak sebagai kawasan yang perlu untuk dilestarikan sebagai aset negara yang harus selalu dikawal dan dijaga bersama.
            Sebelum memasuki kawasan Gunung Butak kami berdua dengan mengendarai mobil Kijang Super warna hijau melintasi sisa-sisa sejarah pabrik piring TPK kecamatan Sale dekat hutan menuju kecamatan Pamotan yang didirikan oleh Belanda, meski bangunan pabrik itu telah sirna namun kenangan dan suasana masih membekas dalam hati. Ada pertanyaan yang terlintas dalam benak kami berdua sambil berdiskusi, kenapa pabrik piring itu tidak didirikan lagi ketika Belanda kalah dengan Jepang sekitar 1942?, dan Belanda menyuruh masyarakat pribumi untuk menghancurkan piring-piring yang telah diproduksi di pabrik itu jika Jepang datang. Ironis, barang-barang piring yang telah diproduksi harus dihancurkan lagi. Cara itu dilakukan Belanda agar hasil produksi tidak digunakan lagi. Baik digunakan oleh Jepang maupun masyarakat pribumi. Melihat kecamatan Sale yang begitu potensial dengan sumber daya alamnya berupa bahan tambang kapur. Seperti juga di tetangga desa sebelah yaitu kecamatan Pamotan, tepatnya di dukuh Tajen, Desa Pamotan, kecamatan Pamotan Kabupaten Rembang telah dibangun menara oleh Belanda, yaitu dikenal dengan Menara Kosten atau Menara Schoorsteen. Menara ini berfungsi sebagai cerobong asap pabrik pembuatan piring, dilihat dari banyak peninggalan Belanda di sekitar Sale dan Pamotan bisa dipastikan bahwa dulu desa-desa ini mempunyai peran penting dalam berproduksi barang-barang pembuatan piring. Namun sayang, pabrik-pabrik pembuatan piring hingga kini tidak tampak lagi. Yang tampak hanya pengambilan bahan mentah, bahan kapur yang diolah di pabrik-pabrik kapur saja tanpa tahu kelanjutan pembuatan pabrik piring lagi. Dan secuilpun bangunan pabrik piring yang kami lalui menuju desa Bitingan kecamatan Sale tak berbekas, hilang tinggal cerita yang masih perlu ntuk menelusuri kembali kebenarannya. Hampir sama dengan jalan kereta api jurusan Bojonegoro-Rembang yang hanya tinggal puing-puingnya saja. Kamipun berlalu dengan mobil  yang tetap melaju.
            Desa Bitingan mulai tampak, desa yang berada di lereng Gunung Butak Sale. Menurut cerita orang yang ada di sampingku yang memang berasal dari daerah ini, yaitu Bapak Jupriyanto, S.Pd.I, M.Pd.I sebagai Pengawas Pendidikan Agama Islam TK/RA dan MI/SD kecamatan Singgahan dan Kecamatan Bangilan ini, bahwa daerah Bitingan dulu adalah desa yang masih menggunakan cara hidup primitif, karena melihat letak dan posisi di lereng gunung Butak dan berada di tengah-tengah hutan. Pola hidupnya masih banyak berburu hewan di hutan meski ada sebagian masyarakat yang mulai bercocok tanam di ladang, dapat macan dimakan, dapat kera dimakan, dapat babi hutan dimakan, dapat rusa dimakan, apapun dimakan. Hidup hanya makan, bermamah biak, beranak, persis cara hidup primitif, namun seiring perkembangan zaman beberapa diantara mereka mulai tertarik dengan pendidikan sekolah, walau letak sekolahnya lumayan jauh, harus turun gunung setiap hari menuju kecamatan Sale. Perlu perjuangan yang berat untuk dapat bersekolah. Karena di lokasi desa Bitingan belum ada lembaga Sekolah Dasar. Baru beberapa tahun kemudian dibangunlah lembaga pendidikan Sekolah Dasar di lokasi desa Bitingan. Aku lihat lembaga pendidikan yang masih ada sampai sekarang masih hanya lembaga Sekolah Dasar. Lebaga sekolah lanjutan tingkat pertama tak sempat aku temukan atau mungkin tak aku lewati, aku pun bertanya sama pak Jupri, memang belum ada.
            Mobil Kijang hanya sampai pada pertengahan jalan kemudian berganti motor karena melihat medannya yang sulit dan curam, bisa dengan naik mobil seperti mobil sekelas Jeep yang bergardan double. Dengan lincah motor matic melewati jalan yang cukup menanjak, jalan yang belum beraspal. Kanan-kiri jurang yang cukup curam menjadi tantangan bagi kami. Di bawahnya area sawah-sawah yang di buat dengan sistem sengkedan atau terasering berkelok-kelok, indah sekali. Serasa kami berada di pulau Bali. Tanaman padi (Oryza sativa) yang di tanam dengan menggunakan sistem gogo rancah terlihat hijau dan menawan serasa karpet hijau yang dibentangkan, sejuk dan segar. Dari jalur yang menanjak kami sampai di jalur utama menuju puncak yang jalurnya sudah ada semenjak zaman kolonial Belanda. Jalurnya di buat landai meski jaraknya semakin jauh tapi cukup nyaman untuk sampai pada puncak Gunung Butak dengan ketinggian kurang lebih 679 mdpl.

Telaga Jambangan di lereng Gunung Butak Sale dengan luas 3,5 Hektar.

            Sebelum sampai puncak Gunung Butak, kami mampir melihat kondisi Telaga Jambangan di lereng Gunung Butak, Telaga Jambangan yang luasnya sekitar 3,5 hektar dan banyak dikelilingi pohon-pohon besar, seperti Durian, Nangka, Kemiri (Aleurites moluccanus), Panggang (Ficus annulata), Serut (Streblus asper) , Mangga (Mangivera indica), Tlutup, Timoho, Ketumpel, Wadang (Pterospermum sp), Jenar (Murraya paniculata), Weru (Albizia procera), Salam (Eugenia polyantha), Kedoyo (Amoora aphanamixis), Ingas (Gluta rengas), Kelapan (Neolamarckia cadamba), Lengki (Leea angulata), Popohan (Buchanania arborescens), Girang (Leea indica),  Trengguli (Cassia fistula), dan lain-lain. Selain tumbuhan (flora), cagar alam Gunung Butak ini juga mempunyai potensi fauna yang melimpah. Beberapa hewan yang tercatat menghuni kawasan konservasi ini diantaranya seperti Kijang (Muntiacus muntjak), Lutung (Presbytis sp), Biawak (Varanus sp), Luwak (Lariscus insignis), dan Babi Hutan (Sus sp), juga berbagai macam jenis burung seperti Elang (Accipitridae), Rangkong (Bucerotidae), burung Prenjak (Prinia subflava), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Pelatuk Bawang ( Dinopium javanense), Burung Larwo, dan lainnya. Setelah menikmati Telaga Jambangan di Gubuk yang telah disiapkan oleh petugas Cagar Alam Gunung Butak, kamipun bergegas lagi melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Butak yang masih membutuhkan sekitar 30 menit dengan medan yang curam.
            Dengan menikmati jalan yang berkelok-kelok dan curam akhirnya kamipun sampai di atas puncak Gunung Butak yang ada di desa Bitingan kecamatan Sale Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Kami di atas puncak yang berkabut tipis-tipis sambil sesekali menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan-lahan ada rasa syukur yang sangat dalam bahwa bumi kita yang luas ini yang terbentang mulai dari Sabang sampai Merauke adalah bumi yang kaya, pepatah Jawa mengatakan bahwa bumi Nusantara ini adalah bumi surga, Gemah Lipah Loh Jinawi. Semua hampir ada dan melimpah di bumi Nusantara ini. Belanda adalah negara yang telah menguasai bumi Nusantara ini dengan waktu yang lama, menginjak-injak harga diri orang-orang Nusantara dan bumi Nusantara yang kaya ini, kekayaannya telah dieksploitasi besar-besaran dan hasilnya digunakan untuk membangun negeri Kincir Angin hingga menjadi negara yang maju dan kaya, padahal jika dilihat keadaan negara Belanda termasuk negara yang kecil dan banyak di terjang oleh air laut. Jauh jika dibandingkan dengan kekayaan bumi Nusantara ini. Karena masyarakat kita sendiri yang lalai bahwa status sosialnya telah dicabik-cabik hingga tak ada ruang untuk menghirup angin persatuan dan kesatuan, kitapun di pecah belah, di adu domba, dan saling berkelahi dengan darah kita sendiri, saling membunuh tanpa ampun dan dendam yang berkepanjangan. Sedangkan kolonial Belanda dengan asyik terus menguras sumber-sumber kekayaan bumi kita yang sangat kaya ini. Bangsa kita terlena dengan iming-iming kekuasaan yang semu karena banyaknya kerajaan-kerajaan yang telah berdiri di bumi Nusantara namun bertekuk lutut di hadapan bangsa kulit putih yaitu Belanda yang lebih mengagungkan ilmu pengetahuan dari pada dogma-dogma yang tak ada gunanya. Masyarakat kita terus dibodohkan tanpa ada kesempatan belajar, bangsa kita dijadikan budak di negerinya sendiri. Kami berdua memandang dari atas puncak Gunung Butak bahwa di bawah ada banyak lahan-lahan sawah yang hijau menghampar, begitu luasnya hingga mata tak snggup memandangnya, rumah-rumah pemukiman yang asri, sungai yang berkelok-kelok dengan airnya yang bening dan jernih, hewan-hewan ternak berjalan berbaris-baris, dan beberapa pabrik-pabrik berdiri dengan cerobong asapnya yang menari-nari di udara, dan semoga mereka bukanlah bangsa yang telah menggantikan bangsa penjajah sebelumnya, semoga mereka yang hidup dalam pabrik itu mengerti akan keseimbangan hidup termasuk rakyat kecil dan alamnya yang telah mereka keruk untuk kemakmuran bersama. Di atas puncak Gunung Butak ini ada juga Pesarean dari Jati Kusuma yang belum banyak kuketahui. Meski sekilas kuperhatikan dan dalam benak mengatakan bahwa orang yang disemayamkan di atas puncak Gunung Butak ini pastilah orang yang berpengaruh dalam masyarakatnya dan bukan orang sembarangan. Kamipun duduk di teras Pesarean Jati Kusuma dengan tenang, nyaman dengan udara sepoi-sepoi, meski dalam hati lelah kami tetap merasakan bisikan-bisikan alam dengan seksama. Ketika daun jatuh hatikupun tersentuh pada irama alam semesta.


Gunung Butak 679 dpl.
*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan.


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda