679 mdpl
Oleh. Rohmat Sholihin*
Di Puncak Gunung Butak Sale-Rembang, 679 mdpl.
“Menaklukan sebuah
gunung,
bukan berarti
menaklukan sebuah puncak,
namun kami ingin
menaklukan diri sendiri.”
Selasa, 22/12/2016. Hari yang cerah, matahari dengan sinarnya masih setia
memberikan kehangatan pada seluruh kehidupan yang ada di bumi. Sehingga, kami
dalam melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Butak di kecamatan Sale-Jawa
Tengah tidak ada kendala. Baik kendala hujan, medan yang licin. Kami pun dapat
melanjutkan perjalanan dengan naik motor menuju puncak tertinggi Gunung Butak
kurang lebih 679 mdpl. Kalah jauh tingginya jika dibandingkan dengan puncak
Mahameru Gunung Semeru atau puncak Bromo yang ada di Jawa Timur, namun kami
berdua hanya ingin memastikan dan melihat lokasi Telaga Jambangan yang berada
dilereng Gunung Butak, telaga ini adalah sumber mata air bersih bagi warga Desa
Bitingan Kecamatan Sale yang persis berada di lereng Gunung Butak, rencana ke
depan kami akan menanam benih ikan air tawar di telaga Jambangan ini dalam jumlah besar agar ikan-ikan air
tawar dapat berkembang biak dengan baik dan bisa dimanfaatkan oleh warga
sekitar sebagai tambahan kebutuhan pangan dalam segi pemenuhan gizi protein.
Disamping itu, untuk menyeimbangkan ekosistem yang saat ini mendekati
ketidakseimbangan karena ada beberapa komponennya mengalami kepunahan. Seperti,
banyak pohon-pohon yang berusia ratusan tahun sebagai kekayaan flora telah
ditebang habis dan menjadikan hutan-hutan yang menutupi Gunung Butak menjadi
rusak dan botak. Keindahan alamnya sedikit berkurang dan fungsi hutan sebagai
habitat fauna mengalami kerusakan. Sehingga pemerintah Jawa Tengah menjadikan
kawasan Gunung Butak sebagai kawasan cagar alam melalui SK Penetapan Menteri
Pertanian No : 55/Kpts/Um/2/1975/ pada tanggal 17 Februari 1975 dengan tujuan
untuk mengembalikan peran hutan Gunung Butak sebagai kawasan yang perlu untuk
dilestarikan sebagai aset negara yang harus selalu dikawal dan dijaga bersama.
Sebelum memasuki kawasan Gunung
Butak kami berdua dengan mengendarai mobil Kijang Super warna hijau melintasi
sisa-sisa sejarah pabrik piring TPK kecamatan Sale dekat hutan menuju kecamatan
Pamotan yang didirikan oleh Belanda, meski bangunan pabrik itu telah sirna
namun kenangan dan suasana masih membekas dalam hati. Ada pertanyaan yang
terlintas dalam benak kami berdua sambil berdiskusi, kenapa pabrik piring itu
tidak didirikan lagi ketika Belanda kalah dengan Jepang sekitar 1942?, dan
Belanda menyuruh masyarakat pribumi untuk menghancurkan piring-piring yang
telah diproduksi di pabrik itu jika Jepang datang. Ironis, barang-barang piring
yang telah diproduksi harus dihancurkan lagi. Cara itu dilakukan Belanda agar
hasil produksi tidak digunakan lagi. Baik digunakan oleh Jepang maupun
masyarakat pribumi. Melihat kecamatan Sale yang begitu potensial dengan sumber
daya alamnya berupa bahan tambang kapur. Seperti juga di tetangga desa sebelah
yaitu kecamatan Pamotan, tepatnya di dukuh Tajen, Desa Pamotan, kecamatan
Pamotan Kabupaten Rembang telah dibangun menara oleh Belanda, yaitu dikenal
dengan Menara Kosten atau Menara Schoorsteen.
Menara ini berfungsi sebagai cerobong asap pabrik pembuatan piring, dilihat
dari banyak peninggalan Belanda di sekitar Sale dan Pamotan bisa dipastikan
bahwa dulu desa-desa ini mempunyai peran penting dalam berproduksi
barang-barang pembuatan piring. Namun sayang, pabrik-pabrik pembuatan piring
hingga kini tidak tampak lagi. Yang tampak hanya pengambilan bahan mentah, bahan
kapur yang diolah di pabrik-pabrik kapur saja tanpa tahu kelanjutan pembuatan
pabrik piring lagi. Dan secuilpun bangunan pabrik piring yang kami lalui menuju
desa Bitingan kecamatan Sale tak berbekas, hilang tinggal cerita yang masih
perlu ntuk menelusuri kembali kebenarannya. Hampir sama dengan jalan kereta api
jurusan Bojonegoro-Rembang yang hanya tinggal puing-puingnya saja. Kamipun
berlalu dengan mobil yang tetap melaju.
Desa Bitingan mulai tampak, desa
yang berada di lereng Gunung Butak Sale. Menurut cerita orang yang ada di
sampingku yang memang berasal dari daerah ini, yaitu Bapak Jupriyanto, S.Pd.I,
M.Pd.I sebagai Pengawas Pendidikan Agama Islam TK/RA dan MI/SD kecamatan
Singgahan dan Kecamatan Bangilan ini, bahwa daerah Bitingan dulu adalah desa
yang masih menggunakan cara hidup primitif, karena melihat letak dan posisi di
lereng gunung Butak dan berada di tengah-tengah hutan. Pola hidupnya masih
banyak berburu hewan di hutan meski ada sebagian masyarakat yang mulai bercocok
tanam di ladang, dapat macan dimakan, dapat kera dimakan, dapat babi hutan
dimakan, dapat rusa dimakan, apapun dimakan. Hidup hanya makan, bermamah biak,
beranak, persis cara hidup primitif, namun seiring perkembangan zaman beberapa
diantara mereka mulai tertarik dengan pendidikan sekolah, walau letak
sekolahnya lumayan jauh, harus turun gunung setiap hari menuju kecamatan Sale.
Perlu perjuangan yang berat untuk dapat bersekolah. Karena di lokasi desa
Bitingan belum ada lembaga Sekolah Dasar. Baru beberapa tahun kemudian dibangunlah
lembaga pendidikan Sekolah Dasar di lokasi desa Bitingan. Aku lihat lembaga
pendidikan yang masih ada sampai sekarang masih hanya lembaga Sekolah Dasar.
Lebaga sekolah lanjutan tingkat pertama tak sempat aku temukan atau mungkin tak
aku lewati, aku pun bertanya sama pak Jupri, memang belum ada.
Mobil Kijang hanya sampai pada
pertengahan jalan kemudian berganti motor karena melihat medannya yang sulit
dan curam, bisa dengan naik mobil seperti mobil sekelas Jeep yang bergardan
double. Dengan lincah motor matic melewati jalan yang cukup menanjak, jalan
yang belum beraspal. Kanan-kiri jurang yang cukup curam menjadi tantangan bagi
kami. Di bawahnya area sawah-sawah yang di buat dengan sistem sengkedan atau
terasering berkelok-kelok, indah sekali. Serasa kami berada di pulau Bali.
Tanaman padi (Oryza sativa) yang di
tanam dengan menggunakan sistem gogo rancah terlihat hijau dan menawan serasa
karpet hijau yang dibentangkan, sejuk dan segar. Dari jalur yang menanjak kami
sampai di jalur utama menuju puncak yang jalurnya sudah ada semenjak zaman
kolonial Belanda. Jalurnya di buat landai meski jaraknya semakin jauh tapi
cukup nyaman untuk sampai pada puncak Gunung Butak dengan ketinggian kurang
lebih 679 mdpl.
Telaga Jambangan di lereng Gunung Butak Sale dengan luas 3,5 Hektar.
Sebelum sampai puncak Gunung Butak,
kami mampir melihat kondisi Telaga Jambangan di lereng Gunung Butak, Telaga
Jambangan yang luasnya sekitar 3,5 hektar dan banyak dikelilingi pohon-pohon
besar, seperti Durian, Nangka, Kemiri (Aleurites
moluccanus), Panggang (Ficus
annulata), Serut (Streblus asper) ,
Mangga (Mangivera indica), Tlutup,
Timoho, Ketumpel, Wadang (Pterospermum
sp), Jenar (Murraya paniculata),
Weru (Albizia procera), Salam (Eugenia polyantha), Kedoyo (Amoora aphanamixis), Ingas (Gluta rengas), Kelapan (Neolamarckia cadamba), Lengki (Leea angulata), Popohan (Buchanania arborescens), Girang (Leea indica), Trengguli (Cassia
fistula), dan lain-lain. Selain tumbuhan (flora), cagar alam Gunung Butak ini juga mempunyai potensi fauna
yang melimpah. Beberapa hewan yang tercatat menghuni kawasan konservasi ini
diantaranya seperti Kijang (Muntiacus
muntjak), Lutung (Presbytis sp),
Biawak (Varanus sp), Luwak (Lariscus insignis), dan Babi Hutan (Sus sp), juga berbagai macam jenis
burung seperti Elang (Accipitridae),
Rangkong (Bucerotidae), burung
Prenjak (Prinia subflava), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Pelatuk Bawang ( Dinopium javanense), Burung Larwo, dan
lainnya. Setelah menikmati Telaga Jambangan di Gubuk yang telah disiapkan oleh
petugas Cagar Alam Gunung Butak, kamipun bergegas lagi melanjutkan perjalanan
menuju puncak Gunung Butak yang masih membutuhkan sekitar 30 menit dengan medan
yang curam.
Dengan menikmati jalan yang
berkelok-kelok dan curam akhirnya kamipun sampai di atas puncak Gunung Butak
yang ada di desa Bitingan kecamatan Sale Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Kami di
atas puncak yang berkabut tipis-tipis sambil sesekali menarik nafas kemudian
menghembuskannya perlahan-lahan ada rasa syukur yang sangat dalam bahwa bumi
kita yang luas ini yang terbentang mulai dari Sabang sampai Merauke adalah bumi
yang kaya, pepatah Jawa mengatakan bahwa bumi Nusantara ini adalah bumi surga, Gemah Lipah Loh Jinawi. Semua hampir ada
dan melimpah di bumi Nusantara ini. Belanda adalah negara yang telah menguasai
bumi Nusantara ini dengan waktu yang lama, menginjak-injak harga diri
orang-orang Nusantara dan bumi Nusantara yang kaya ini, kekayaannya telah
dieksploitasi besar-besaran dan hasilnya digunakan untuk membangun negeri
Kincir Angin hingga menjadi negara yang maju dan kaya, padahal jika dilihat
keadaan negara Belanda termasuk negara yang kecil dan banyak di terjang oleh
air laut. Jauh jika dibandingkan dengan kekayaan bumi Nusantara ini. Karena
masyarakat kita sendiri yang lalai bahwa status sosialnya telah dicabik-cabik
hingga tak ada ruang untuk menghirup angin persatuan dan kesatuan, kitapun di
pecah belah, di adu domba, dan saling berkelahi dengan darah kita sendiri,
saling membunuh tanpa ampun dan dendam yang berkepanjangan. Sedangkan kolonial
Belanda dengan asyik terus menguras sumber-sumber kekayaan bumi kita yang
sangat kaya ini. Bangsa kita terlena dengan iming-iming kekuasaan yang semu
karena banyaknya kerajaan-kerajaan yang telah berdiri di bumi Nusantara namun
bertekuk lutut di hadapan bangsa kulit putih yaitu Belanda yang lebih
mengagungkan ilmu pengetahuan dari pada dogma-dogma yang tak ada gunanya.
Masyarakat kita terus dibodohkan tanpa ada kesempatan belajar, bangsa kita
dijadikan budak di negerinya sendiri. Kami berdua memandang dari atas puncak
Gunung Butak bahwa di bawah ada banyak lahan-lahan sawah yang hijau menghampar,
begitu luasnya hingga mata tak snggup memandangnya, rumah-rumah pemukiman yang
asri, sungai yang berkelok-kelok dengan airnya yang bening dan jernih,
hewan-hewan ternak berjalan berbaris-baris, dan beberapa pabrik-pabrik berdiri
dengan cerobong asapnya yang menari-nari di udara, dan semoga mereka bukanlah
bangsa yang telah menggantikan bangsa penjajah sebelumnya, semoga mereka yang
hidup dalam pabrik itu mengerti akan keseimbangan hidup termasuk rakyat kecil
dan alamnya yang telah mereka keruk untuk kemakmuran bersama. Di atas puncak
Gunung Butak ini ada juga Pesarean
dari Jati Kusuma yang belum banyak kuketahui. Meski sekilas kuperhatikan dan
dalam benak mengatakan bahwa orang yang disemayamkan di atas puncak Gunung
Butak ini pastilah orang yang berpengaruh dalam masyarakatnya dan bukan orang
sembarangan. Kamipun duduk di teras Pesarean
Jati Kusuma dengan tenang, nyaman dengan udara sepoi-sepoi, meski dalam hati
lelah kami tetap merasakan bisikan-bisikan alam dengan seksama. Ketika daun
jatuh hatikupun tersentuh pada irama alam semesta.
Gunung Butak 679 dpl.
*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali
Kening Bangilan.
Label: Traveler
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda