Stasiun Tua Di Kampungku
Google. com
Oleh. Rohmat S.
Puing bangunan stasiun tua itu telah
sirna. Berganti bangunan perumahan warga, tanahnya terkavling-kavling untuk
berbagai macam kepentingan, ada yang dibuat rumah, ruko, dan ada yang dibuat
kebun jati, kebun pisang dan kebun sayur-sayuran. Suasananya telah berubah
total, kini seperti suasana perumahan yang tidak terlalu ramai dan yang paling
membuat rasa kangen adalah suara bel Kereta Api jurusan Bojonegoro-Rembang. Suaranya
keras memekakkan telinga, bisa terdengar dengan jarak radius 500 meter. Suara
getaran keretanya juga sangat terasa sekali. Jik-ijak-ijuk-ijak-ijuk atau
jegleng-jegleng-jegleng begitu gemuruhnya jika kereta api tua peninggalan
Belanda itu lewat. Dan untuk hati-hati juga para pengguna jalan raya agar lebih
memperhatikan ketika kereta api sedang lewat agar kita berhenti sejenak sampai
kereta api selesai melewati jalan raya. Tak mau kalah banyak transportasi becak
dan ojek motor berlomba-lomba menawarkan jasa angkutan ke semua para penumpang
yang telah turun di stasiun itu. Seakan-akan stasiun telah menjadi roh kegiatan
ekonomi masyarakat sekitar. Area sekitar stasiun yang luas dan rindang itu yang
penuh dengan pohon-pohon besar yang berusia puluhan tahun itu harus pupus juga.
Hilang ditelan ambisi manusia yang semakin berkuasa.
Bentuk bangunan stasiun itu cukup megah,
bangunan dengan arsitektur Eropa sangat praktis dan rapi. Seperti bangunan
gedung meski agak kecil, ada ruang tunggu para penumpang dengan kursi kayu jati
yang dilapisi plitur, ada ruang untuk membeli karcis atau loket, ada ruang
kantornya yang cukup nyaman, ada berandanya untuk para penumpang yang akan naik
kereta, ada dua ruang toilet disebelah pojok yang juga cukup nyaman jika selalu
dibersihkan namun sayang khusus untuk ruang toilet pria kurang diperhatikan
oleh petugas kebersihan sehingga bau tak sedap sangat mengganggu. Ini
pemandangan yang cukup jorok tapi bisa teratasi tergantung kedisiplinan dan
etos kerja petugas kebersihan kantor.
Disamping kanan-kiri bangunan stasiun
itu juga dibangun taman yang asri, ada pohon kamboja warna-warni yang pohonnya
sudah besar, ada pohon mangga yang bisa membuat suasana semakin sejuk. Membuat
kita betah untuk berlama-lama bermain di stasiun. Stasiun itu juga
berhadap-hadapan dengan bangunan gudang Tempat Pelelangan Kayu (TPK) yang
dilindungi oleh pohon-pohon besar yang usianya hampir ratusan tahun, pohon itu
menjulang tinggi dan kokoh akarnya laksana karang yang mencengkeram bumi tak
goyah walau diterjang angin puyuh sekalipun. Semakin membawa kesejukan udara
yang masih bersih. Depannya TPK itu juga digunakan untuk area persawahan
semakin membawa panorama yang hijau, indah dan natural. Dilingkari sungai-sungai kecil yang bermuara ditelaga
dibawah pohon besar itu. Airnya bening dan jernih, ikan-ikannya berlari-lari
kesana-kemari dengan bebasnya tanpa takut obat kimia yang dapat membuat
kontaminasi air, polusi air. Menambah suasana stasiun itu damai nan sejuk. Di
Telaga kecil itu ikan bertambah banyak namun dilarang oleh petugas TPK untuk
diambil setiap hari baik diambil dengan kail, jaring, digopyok rame-rame, tapi jika musim kemarau tiba baru boleh diambil
rame-rame karena airnya mulai berkurang dan sekalian membersihkan Telaga dari
kedangkalan lumpur yang terus bertambah. Tak perduli anak kecil, anak muda,
orang tua, pria, wanita semua pada terjun ke Telaga untuk menangkap ikan
bersama-sama. Banyak ikan-ikan yang mereka tangkap seperti udang, gabus, bader,
wader, betek, tawes, mujaer, lele, sili, dan terkadang juga ada yang dapat
belut. Lumayan bisa digunakan lauk-pauk dimeja makan sebagai tambahan kandungan
protein bagi tubuh kita.
Meski kebutuhan ikan sungai yang
mudah kita dapat waktu itu, masih ada juga keanehan-keanehan yang harus kita
hindari. Mungkin alam memberikan peringatan sebagai keseimbangan agar manusia
tidak rakus mengkonsumsinya. Apabila kita mencari ikan disekitar Telaga depan
Stasiun yang ada dibawah pohon rindang itu, diarea TPK, kebetulan kita
menemukan atau menangkap ikan lele yang berwarna seperti emas ada
anting-antingnya lebih baik tidak usah diambil atau ditangkap apalagi dibawa
pulang dan dimasak, biarkan ikan lele emas beranting-anting itu kembali ke
habitatnya karena pernah kejadian orang yang makan ikan lele emas
beranting-anting mulutnya menjadi perot
atau penceng tak bisa kembali seperti sedia kala. Baru setelah berhari-hari
dibawa ke rumah Mbah Kyai, diobati dengan suwuk
atau pengobatan yang dilakukan dengan doa-doa baru akan tersembuhkan. Sehingga
orang sekitar sangat menghindari akan kehadiran ikan lele emas beranting-anting
itu.
Para pekerja kantor stasiun itu juga
terlihat rapi dan disiplin, seragamnya sangat istimewa, baju warna biru muda
dan celana panjangnya warna biru gelap, sungguh pasangan seragam yang modis,
memakai topi seperti polisi dan topi mayoret. Penampilan para pekerja kantor
yang necis itu juga menarik perhatianku, ingin rasanya aku seperti mereka. Bisa
menjadi pekerja kereta api. Menjadi pegawai pemerintahan yang sangat diidamkan
setiap orang. Apalagi ketika melihat para kondektur kereta api sedang menarik
karcis pada para penumpang seakan-akan bagaikan pejabat yang turun ke bawah
untuk melihat keadaan bawahannya. Diikat pinggangnya terdapat tas kecil yang
penuh dengan uang para penumpang yang tak sempat beli karcis diloket, mereka
membayar langsung pada sang kondektur, membawa juga alat pencomplong karcis
yang bentuknya seperti staples untuk menandai karcis yang sudah dipakai, karcis
itu berwarna hijau kotak persegi panjang, tebal seukuran kartu domino. Hati
siapa yang tak ingin seperti sang kondektur itu. Meskipun juga ada banyak orang
yang membencinya karena kehadirannya sangat tidak diinginkan berhubungan para
pembenci itu tak punya uang alias tak mau bayar. Tak ayal maka akan terjadi
tawar menawar yang kejam. Pak Kondekturpun akan marah-marah dengan mengatai “memang
kereta ini punya kakek buyutmu, tak turunkan disini baru tahu rasa kowe.” Sedang jawaban penumpang itupun
tak kalah ketusnya, “Pak, ora bayar
sepisan wae kok muring-muring, kentekan duwit pak.” Itulah pemandangan yang
saat ini tak bisa kutemukan lagi karena kereta itu sudah tinggal cerita.
Puing-puing rel nya saja tak lagi berbekas entah dijual kemana. Bahkan
batu-batu krecaknya pun banyak diambil oleh warga untuk dijual atau dibuat
pondasi rumah.
Banyak juga orang yang berjualan
makanan diberanda stasiun dan di dalam kereta untuk mengikuti kemanapun kereta
itu berjalan. Ada yang jualan nasi pincuk,
kacang godok, kacang goreng, pisang godok, pisang goreng, telur puyuh, telur
asin, minuman dan rokok eceran. Dan terasa kereta api bagaikan pasar yang
berjalan penuh dengan orang dan dagangan. Sehingga terkadang timbul pikiran
bosan naik kereta api karena tak lagi nyaman, berdesak-desakan, serasa sesak
menyakitkan. Namun, kita harus belajar sabar dan menerima kenyataan mau tidak
mau kereta api itulah sistem transportasi satu-satunya untuk bepergian keluar
kota. Penumpangnya tak tanggung-tanggung berapapun banyak jumlahnya, kereta
tetap kuat dan tak akan ada masalah pada rodanya karena semua bahannya terbuat
dari baja tulen. Sehingga tak usah heran jika penumpangnya berjubel-jubel
sampai diatas atap kereta yang resikonya sangat berbahaya. Jika kereta melewati
jembatan mereka harus waspada dan posisi tiarap jika tidak ingin terbentur
kepalanya oleh pembatas jembatan yang terbuat dari besi tulen.
Distasiun itu juga ada monumen yang
dibangun oleh pemerintah setempat. Monumen Pahlawan yang telah gugur dalam
perang kemerdekaan melawan agresi Belanda. Namun sekitar tahun 1980-an telah
diambil dan dipindah ke Makam Pahlawan di kota Tuban yang tepatnya di jalan
Pahlawan itu. Monumen Pahlawan itu juga masih berdiri hingga saat ini namun
telah ditutupi oleh bangunan ruko-ruko yang berdiri. Sehingga hilang juga
maknanya dan terganti dengan kebutuhan masyarakat sekarang yaitu nilai yang
lebih menguntungkan atau yang lebih mendapatkan profit. Zaman dulu yang suka
mengagungkan peristiwa heroik penuh dengan kepahlawanan mulai reda tergilas api
modernitas yang tak perduli siapapun juga. Di Monumen ini tanahnya lapang
banyak anak-anak bermain sepak bola, kejar-kejaran, loncat tali, egrang,
layang-layang, bersepeda, ada juga yang hanya duduk-duduk manis sambil
bercanda.
Masih ingat, jika hari libur aku dan
teman-temanku suka bermain digerbong-gerbong yang ditinggalkan untuk sementara
distasiun itu oleh lokomotifnya karena berdasarkan kapasitas muatan. Aku kagum
dengan baja utuh yang dapat berjalan itu. Aku bingung bagaimana cara membuatnya,
mencetak liku-liku dan bentuk-bentuknya sehingga bisa digunakan untuk angkutan.
Benar-benar penemuan yang jenius. Bisa mengolah bahan baja untuk kendaraan
seperti kereta api yang punya jalur khusus yaitu rel. Tapi masa bodoh saja tak
sampai otakku ke arah itu. Memang benar-benar manusia super yang bisa
menciptakan kareta api. Aku bermain naik dan turun dari gerbong-gerbong itu.
Hatiku sudah sangat senang bisa naik meski dalam keadaan diam tak berjalan.
Namun seakan-akan aku kondisikan seperti berjalan. Maklum memang masih masa anak-anak
yang seakan-akan dunia miliknya. Padahal orang tuaku melarang keras untuk
bermain distasiun, mereka mengkhawatirkan keselamatanku jika kereta api tiba
dan berlalu, namanya juga orang tua yang mempunyai pikiran-pikiran buruk,
seandainya begini, seandainya begitu yang ada hubungannya dengan petaka. Akupun
secara diam-diam suka bermain distasiun itu. Tanpa sepengetahuan orang tuaku. Bahkan
pernah teman-temanku sering meledekiku.
“Hai, itu ada bapakmu kemari. Cepat kau sembunyi
saja.” Candanya
Hatikupun langsung berdesir panik. Akupun langsung
bersembunyi dibalik gerbong. Dari balik gerbong aku dengarkan mereka tertawa
terpingkal-pingkal terhadap kelucuanku.
“Sompret kau semua. Kenapa kau begitu tega kepadaku,
sudah tahu aku penakut masih saja kau takut-takuti.” Teriakku pada
teman-temanku.
“Hai kau jadi orang jangan terlalu takut, penakut itu
tidak akan menjadi orang hebat.” Bicara mereka padaku.
Akupun diam terpaksa menerima omongan-omongan mereka
sebagai tanda kekalahanku akan hal kebebasan dari orang tua. Karena aku pahami
bahwa orang tuaku sangat protektif terhadap anak-anaknya yang terkadang
keblablasan. Namun itulah orang tuaku yang sangat berharga bagiku dan aku
menerima sisi kekurangan mereka dan mengakui sisi kelebihan mereka. Toh,
teman-temanku terkadang tak menerima itu, aku sendiri harus bisa menempatkan
diri untuk bisa mengambil jalan tengah yang aman.
Warung khas masakan nasi pecel Kang Tarman
juga telah berganti bangunan rumah warga. Fungsinya telah beralih menjadi rumah
singgah dan ruko. Kabarnya warung itu harus dijual oleh anaknya sepeninggal
Kang Tarman dan istrinya karena tak ada generasi penerusnya, anaknya tak mau
tinggal dikampung itu karena untuk memilih bekerja diluar kota dan jalan
satu-satunya harus dijual ke orang lain. Ya, hilang juga warung Kang Tarman
yang telah berjasa bagi orang-orang ke stasiun untuk naik kereta api. Pagi buta
sudah buka dan orang-orang juga sudah banyak yang duduk dan makan diwarung Kang
Tarman itu untuk menunggu kereta api yang akan ke kota Bojonegoro. Tak kalah
juga para pelajar-pelajar yang akan berangkat sekolah ke kota Ledre Bojonegoro
itu juga tampak terlihat meski tak banyak karena dulu anak yang mau sekolah
masih sangat sedikit tak seperti sekarang ini. Sekolah bagaikan mutiara yang
banyak dicari orang meski sangat mahal biayanya, kalau dulu sekolah bagaikan
tempat asing yang kecil peminatnya. Dulu orang tak suka sekolah karena ada
kutukan sekolah tinggi-tinggi terus mau jadi apa? Lebih baik kerja lalu menikah
dan punya anak.
Ada juga tempat yang keramat dekat
gudang alat-alat di Stasiun. Tempat itu seperti gundukan bukit yang masih
terhubung dengan rel kereta api padahal jika ditelusuri tempat keramat itu
berfungsi jalur buntu pada kereta. Banyak orang-orang sekitar Stasiun menamakan
kuburan jaran atau kuda. Ceritanya,
ada seekor kuda yang mati dan dikubur ditempat itu. Setiap malam kuda itu
tampak sambil meloncat-loncat dan merengek-rengek, setiap aku dengar cerita itu
tubuhku merinding, dasar penakut, batinku.
Padahal cerita itu hanya khayalan orang semata yang tidak betul kejadiannya.
Disebelah gundukan kuburan kuda itu juga pernah terkubur orang gila yang
bernama Klewer, tragis ceritanya. Si Klewer ini orang yang gila kesaktian.
Suatu hari ada kereta yang lewat dari arah Bojonegoro menuju Rembang. Ia sudah
mengambil posisi menghadang dengan gagahnya, ia berdiri berada di tengah-tengah
rel samping pabrik krupuk milik orang Tionghoa Liem Wie Gie dan Liem Hong Kie,
ia mengancugkan pedangnya, namun baja dengan berton-ton beratnya meluncur
dengan kecepatan tinggi tak kan bisa berhenti dalam waktu sekejab, tubuh Klewer
terpental lalu terseret lebih dari 100 meter. Mati seketika. Banyak orang
datang berduyun-duyun untuk melihat tubuh Klewer yang hancur lebur. Keluarga
Klewer pun juga ikut datang dengan perasaan sedih meski tahu Klewer mengalami
gangguan kejiwaan tapi namanya mati tetap akan menjadi catatan kesedihan dalam
hati keluarganya. Karena jasadnya remuk dan hancur dengan kesepakatan bersama
akhirnya warga menguburkan Klewer dekat kuburan kuda. Lengkap sudah
cerita-cerita mengerikan dari warga yang akan menghubungkan antara kuburan kuda
dan kuburan si Klewer. Dan akan selalu terngiang kalimat-kalimat menakuti dari
para orang tua untuk anak-anaknya, “Jangan pernah main dekat kuburan Klewer
biar tidak kesurupan.” Begitulah petikan kalimatnya yang sampai sekarang masih
terngiang ditelingaku.
Dan sekarang cerita-cerita tentang
Stasiun Kereta Api jarang kutemukan lagi dalam hiruk-pikuk kehidupan warga. Bahkan
bukan hanya stasiun yang ada dikampungku, nasib sama juga dialami
stasiun-stasiun daerah lain sepanjang Bojonegoro-Rembang hampir hilang nilai
sejarahnya. Meski tak semuanya stasiun-stasiun itu hancur, meski masih ada yang
tersisa namun juga telah beralih fungsi sebagai tempat warung, tunawisma,
bahkan ada yang sebagai tempat pelacuran kelas teri. Karena semua telah sibuk
dengan kegiatan ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, hidup telah
berubah total, zaman semakin maju, budaya semakin berkembang, inovasi semakin
banyak ditemukan, dan kereta api tua harus mengalah dengan keadaan perkembangan
tekhnologi yang semakin canggih, yaitu hadirnya banyak bus-bus dan mobil
pribadi yang bisa digunakan setiap saat tanpa harus menunggu jam pemberangkatan
oleh kereta. Ya, biarkan cerita-cerita tentang sejarah kereta dan staisun tua itu
menjadi nina bobok anak-anak yang akan beranjak tidur paling tidak anak-anak
akan sedikit tahu tentang sejarah kehidupan pada lingkungan sekitarnya.
Bangilan,
28 Agustus 2014
Penulis anggota Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda