Stasiun Tua Di Kampungku
Oleh.
Rohmat Sholihin*
https://www.google.com/search?q=sketsa+cinta+stasiun+tua&client=firefox-b-ab&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwi0rPXTxObRAhVKsI8KHfpCDHkQ_AUICCgB&biw=1366&bih=657
Bangunan stasiun tua itu
telah sirna. Berganti bangunan perumahan warga, tanahnya terkavling-kavling
untuk berbagai macam kepentingan, ada yang dibuat rumah, ruko, dan ada yang
dibuat kebun jati, kebun pisang dan kebun sayur-sayuran. Aku termangu di depan puingnya, hatiku masih merasakan
getaran kereta api tua jurusan Bojonegoro-Rembang, seakan-akan suasana itu masih
jelas terekam dalam ingatan. Dan mataku masih memperhatikan puing-puingnya. Ada
sepotong kenangan yang tertinggal dalam puing-puing stasiun tua itu. Suatu hari
aku menunggumu di taman stasiun yang penuh dengan bunga kamboja. Hembusan angin
memainkan daun dan bunganya yang bertebaran jatuh ke tanah, tak kalah aroma
harum bunga itu ikut terbawa. Mungkin kereta api datang di stasiun tua ini kurang
lebih sejam lagi. Telat, karena harus menunggu kereta api menuju Bojonegoro di
stasiun Sembung terlebih dahulu. Meski agak lama, aku harus tetap menunggumu
dengan hatiku yang bertalu-talu. Dan yang kutunggu akhirnya datang juga. Dari
kejauhan lokomotif tua berjalan menderu-deru dengan terompet khasnya yang
memekakkan telinga. Tibalah kereta api di stasiun tua ini. Senyum manismu
membuatku semakin meraju.
“Sudah lama kau menungguku mas?” tanyamu
“Baru sejam. Dan itu hal biasa dalam dunia kereta
api.”
“Apa itu?”
“Terlambat.”
“Iya. “
“Lebih baik datang terlambat asalkan selamat dan
utuh.”
“Apa maksudmu mas?”
“Ehm, utuh dengan senyum manismu.”
“Kau mencoba merayuku.”
“Tidak, aku hanya mengatakan sejujur-jujurnya bahwa
senyummu memang manis.”
“Gombal.”
“Serius Nad!, aku rela menunggu bidadari manis di
stasiun ini mulai dari pukul 15.00, dan kau baru muncul pukul 16.15. Lumayan
lama kan.”
“Bidadari tak ada yang manis, yang ada cantik, mas.”
“Oh iya, ini bidadari unik, bidadari yang suka naik
kereta.”
“Ha..ha..mas selalu begitu, selalu menggombal di
depanku.”
“Dan tidak ada cukup bukti aku sedang gombal-in kau.”
“Sama saja mas.”
“Apanya…”
“Gombalnya.”
“Ih kau, Nadia. Kita langsung pulang, atau…”
“Makan dulu mas.”
“Di warung Kang Tarman?”
“Iya.”
“Sip.”
Stasiun
tua di kampungku itu perlahan-lahan mulai sepi. Meski masih ada satu perjalanan
lagi kereta api malam dari Rembang yang akan menuju Bojonegoro, sekitar pukul
19.00 WIB. Tapi hatiku tak lagi sepi, ada Nadia di sampingku yang baru pulang
dari Bojonegoro. Ia baru saja pulang dari kuliahnya yang mengambil jurusan
sekolah guru. Ia perempuan tangguh meski hampir semua perempuan seusianya telah sibuk mengurus keluarga dan
anaknya, ia masih sibuk mengejar impiannya. Sedangkan aku belum punya
kesempatan kuliah, tak apalah, suatu saat pasti aku bisa. Setidaknya ada niat
dalam hati ini.
Di warung kang Tarman juga terlihat sepi, hanya ada
beberapa anak pondok yang sedang asyik
menikmati makanan. Begitu juga aku dan Nadia.
“Tak biasanya kamu pulang Nad?, biasanya sebulan atau
lebih, perasaanku baru seminggu kau sudah pulang lagi.”
“Kau tak suka?”
“Bukan, sekalian tak usah kembali lagi ke Bojonegoro
juga tak apa, Nad.”
“Kau berani menanggungku?”
‘Tergantung.”
“Kok tergantung.”
“Tergantung, jika kau mau menerimaku dengan sederhana,
tahu sendiri kan, statusku masih belum jelas, kerja juga belum.”
“Ah kau mas. Terlalu bicara hari esok. Hari esok itu
berjalan melambat mas, masih bisa kita pikir hari ini. Biarlah esok apa kata
dunia. Hidup itu lebih asyik mengikuti arus saja mas. Lebih enak dan tidak
berat.”
“Relatif, Nad.”
“Itu bukan jawaban yang kusuka, mas.”
“Lantas…”
“Jadi lelaki itu yang pasti, tak usah berbelit-belit
mas. Kalau iya bilang saja iya, kalau tidak ya tidak, kenapa mas harus menunggu
ini dan itu dulu?”
“Keadaan Nad.”
“Memangnya keadaannya kenapa?”
“Aku belum menjadi lelaki yang mapan, aku tak ada
keberanian untuk melamarmu.”
“Dan kau masih saja terus menggombal, mas.”
“Aku mencoba serius, Nad.”
“Seserius apa?”
Pertanyaan Nadia kali ini menusukku. Aku hanya diam,
menatap pohon-pohon Trembesi raksasa yang tegar berdiri di sekitar area TPK (Tempat
Pelelangan Kayu) depan stasiun. Aku ragu dengan diriku yang tak punya cukup
nyali untuk melamarnya, hati kecilku seakan-akan ada bisikan bahwa keluarganya
tak kan menerimaku. Meski hal itu aku belum pernah mencobanya.
“Mas, seserius apa?”
“Aku belum bisa menjelaskan sekarang, Nad. Maaf.”
“Ah, keluar gombalnya lagi.”
“Ini bukan gombal Nad, tapi maukah bapakmu
menerimaku?, statusku sebagai kuli di pabrik kerupuk
Liem
Wie Gie dan Liem Hong Kie yang gajinya
kecil.”
“Keberanian tidak diukur dengan penghasilan,
keberanian tetaplah keberanian, dan penakut sampai kapanpun tetaplah penakut.”
“Nad!”
“Buktikan, mas.”
“Buktikan, mas.”
Aku seperti ditendang perutku hingga limbung dan
terhuyung-huyung. Nadia memaksaku untuk membicarakan hubungan yang lebih serius
dengan bapaknya. Sedangkan aku tahu, bahwa bapaknya adalah orang yang berada di
kampung ini. Setidaknya aku bisa menebaknya bahwa Nadia yang disekolahkan
sampai perguruan tinggi pastilah bapaknya punya pilihan yang lebih baik, paling
tidak seorang dokter atau sesama teman kuliahnya. Meski aku tahu Nadia
menyukaiku. Tapi bermodal suka belum tentu bapaknya menerimaku.
“Baiklah, Nad. Aku akan mencobanya.”
Nadia hanya diam. Matanya menatap halaman stasiun yang
masih saja sepi. Hanya ada beberapa orang mondar-mandir tak tahu tujuannya. Aku
tahu ia kecewa. Aku hanya berani bertemu di stasiun untuk menjemputnya lalu aku
antar dengan sepeda jengki cukup sampai di depan pasar Bangilan.
“Ehm, aku mau pulang, mas.”
“Masih mau aku antar?”
Kau hanya mengangguk tak bersemangat.
Dan
esoknya ketika ia akan balik lagi ke kota Bojonegoro, ia mengajakku bertemu di
bawah pohon Trembesi dekat telaga, anginya sepoi-sepoi menerpa rambutmu yang
bergoyang-goyang sendu. Sesendu wajahmu menatapku. Seakan-akan kau enggan untuk
membuka pembicaraan denganku. Seperti ada gumpalan kecemasan yang menindih
hatimu. Ikan-ikan yang biasanya berloncat-loncatan di telaga juga tak tampak.
Hanya yuyu yang terlihat malu-malu menampakkan supitnya, matanya menatapmu
seakan-akan ingin mencubitmu dan mengajakmu bercanda.
“Ada apa Nad?” aku beranikan diri lagi untuk bertanya.
“Kau tidak marah atau kecewa jika aku mengatakan hal
ini padamu, mas?”
“Kenapa?.” Tanyaku cemas.
“Dari mana aku harus memulai untuk mengatakannya, mas.
Aku bingung bercampur takut.”
“Sudah katakan saja!”
“Ehm, kepulanganku kemarin ada maksud dari bapak bahwa
malam itu sehabis kau antarkan aku pulang dari stasiun, ada tamu dari teman
dekatnya bapak, dari kota Banjarmasin yang sengaja datang ke rumah, karena
ingin memintaku untuk dijodohkan dengan anaknya. Anak laki-laki semata
wayangnya yang baru saja menuntaskan studinya di fakultas kedokteran di Jakarta
dan saat ini sudah dinas di rumah sakit Banjarmasin.”
Tulang-tulang persendianku serasa copot, rasanya ingin
ambruk, hatiku panas seakan-akan disambar geledek di siang ini, aku tak bisa
berkata-kata, hanya wajahku yang senantiasa gugup menyimpan luka. Aku bersandar
pada pohon trembesi raksasa, terkulai lemas dengan menatap telaga yang airnya
seakan menderu-deru tersapu sang bayu.
“Kau menerimanya?” kataku lesu.
“Tak tahu mas, bapak yang mengatur semuanya.”
Dan aku semakin terpojok dengan jawaban Nadia.
Sebentar lagi aku menjadi orang yang kalah, lalu menepi dengan perasaan dongkol
yang menyelimuti hati seumur hidup. Apalah arti diriku bagi dia dan
keluarganya?. Hanya sepotong gabus dan tak berarti apa-apa, itulah alasanku
sampai saat ini aku tak punya cukup keberanian untuk melamarmu. Orang kecil
yang hanya ingin mengayuh rembulan. Sampai kapanpun takkan pernah sampai. Meski
mengayuh cinta tak kan pernah salah. Semua manusia berhak merengkuhnya.
“Mas, kenapa diam?”
“Aku sedang membayangkan kau akan pergi jauh dariku.
Dan bisakah kau pergi dariku sekarang? Agar aku punya kesempatan untuk melukis
punggungmu.”
“Mas, aku belum memberikan jawaban padanya. Kenapa kau
sudah menyuruhku pergi?”
“Pergi sekarang atau pergi nanti, sama saja. Karena
sama-sama pergi.”
“Katanya tadi tidak akan emosi. Kenapa sekarang malah
emosi.”
Sejenak kita hanya terdiam. Mematung dan membisu,
namun kereta tua jurusan Bojonegoro telah datang, dan kita masih membisu, hanya
memandang semua orang yang hilir mudik menuju tempat tujuan masing-masing.
Kereta api punya stasiun untuk berhenti dan berlalu, manusia punya hati untuk
merasakan kenangan-kenangan yang datang dan berlalu.
“Aku tidak emosi Nad, hanya belum kuat menahan emosiku
tentang kabarmu tadi. Tapi kau punya pilihan Nad, dan kau sendiri yang akan
menentukan pilihanmu yang paling tepat. Aku tidak punya hak mempengaruhimu, kau
perempaun berpendidikan tinggi tentunya punya kebijakan yang lebih logis.”
“Itu sama saja kau emosi, mas. Kau sanggup membawaku
lari mas?”
“Dan itu bukan kebijakan yang paling tepat, hanya cara
untuk menghindari saja, Nad. Namun kau punya keluarga dan aku juga punya
keluarga, bukankah menikah itu juga memadukan dua keluarga?, dan paling sulit
memadukan keluarga kita, Nad.”
“Lalu apa pendapatmu tentang masalah ini, mas?”
“Kau turuti saja kemauan bapakmu, Nad.”
“Apa?”
“Iya. Kau ikuti saja dulu kemauan bapakmu.”
“Kamu?”
“Biarkan aku menjadi senja yang sempat menghiasi
hatimu sejenak, setelah itu pergi kembali dan menghilang dalam pekat malam.”
“Kau mulai menggombal lagi, mas.”
“Tidak.”
Beberapa hari surat darimu datang, mengabarkan kau
akan menikah dan menetap di kota Banjarmasin. “Akhirnya kau jadi pergi juga,
Nad.” Gumamku. Meninggalkanku sendiri mematung di stasiun tua ini. Stasiun yang telah di bangun dengan
arsitektur Kolonial Belanda itu kini di musnahkan dan tidak di bangun lagi.
Begitu mudahnya orang-orang itu menghancurkannya, namun sulit untuk membangun
lagi. Begitu juga perasaanku yang telah dihancurkan oleh keluarga Nadia.
Bapaknya tak sudi jika anaknya punya suami hanya dari kelas kuli. Tapi aku
sadar. Aku tahu, hati Nadia tak kan mudah melupakan namaku dalam hatinya. Meski
bisa, tapi setidaknya namaku pernah tertulis rapi di sudut hatinya yang
temaram. Dan jika kereta api yang datang silih berganti, selalu mengingatkanku
pada Nadia, jika aku sering menjemput bidadari manis di stasiun tua di
kampungku yang kini telah sirna bersama kenangan-kenangan di dalamnya.
Bangilan, 20 Januari 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening
Bangilan-Tuban.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda