“Membungkam Kata-Kata”
Oleh.
Rohmat S*
http://galerirupa.blogspot.co.id/2013/03/api-wiji-thukul-masih-mnyala-payung.html
Senja mulai
memudar, cahayanya perlahan-lahan hilang, tertelan pekat malam. Angin
hilir-mudik meniupkan aroma rindu pada sepotong kenangan. Ketika kau datang
mengendap-endap, mengetuk pintu kamarku malam itu.
“Boleh aku
masuk?”
“Siapa?”
“Wiwid.”
Aku terkejut
mendengar nama itu. Tapi disisi lain hatiku, terendap penasaran yang menggila.
Tanpa basa-basi lagi, dan serentak aku pegang gagang pintu dan segera kubuka.
“Wiwid.” Sapaku.
“Sssstttt, boleh
aku masuk dulu, kawan?”
“Oh iya,
silahkan. Syukurlah kau masih bugar, Wid.”
“Iya.” Tanpa
ragu, sejenak kita berpelukan, mendekap hangat persaudaraan.
“Kemana saja
kau, Wid? Kau tak lagi aman.”
“Aku tahu, tapi
dalam hatiku semakin meronta. Mengobarkan semangatku dan menampar-nampar
batinku agar aku terus melawan, memperjuangkan kata-kata, bahwa ketidakadilan
harus ditegakkan, dan hanya ada satu kata, lawan!”
“Tapi,…”
“Biarkan
ketapi-tapian itu pergi saja, aku tidak takut pada tapi,”
“lalu.”
“Aku akan menjadi bintang dilangit, cahayaku sulit untuk diusik, meskipun mereka mengejarku, menembakku dengan peluru tajamnya, aku akan tetap bersinar dengan cahaya dan kata-kataku sebagai manusia yang telah ditindas oleh kelaliman.”
“Aku akan menjadi bintang dilangit, cahayaku sulit untuk diusik, meskipun mereka mengejarku, menembakku dengan peluru tajamnya, aku akan tetap bersinar dengan cahaya dan kata-kataku sebagai manusia yang telah ditindas oleh kelaliman.”
“Setidaknya kau
mencari tempat aman dulu, Wid.”
“Disini sudah
aman, sobat.”
“Tapi,…”
“Tak usah kau
risaukan lagi tentang tapi itu. Aku sudah cukup aman disini.”
‘Tidak untuk
selamanya.”
“Siapa takut?”
“Ah kau ini,
Wid. Kau adalah kata-katamu dalam mulutmu itu. Keluar seperti peluru dan
berteriak seperti hantu.”
“Hantu, seperti
perbedaan dinegeriku ini. Perbedaan seperti hantu. Hanya penguasa tiran yang
menganggap perbedaan adalah hantu.”
“Cukup, Wid.”
“Kenapa?”
“Istirahatkan
dulu kata-katamu itu. Kita bisa minum teh manis atau kopi sejenak, setelah itu
kau rajut lagi kata-katamu itu.”
“Baiklah, minum
teh dan kopi bersama seperti ini yang tidak pernah diajarkan dalam hinanya
kekuasaan yang penuh penindasan. Karena semua telah dibuat ketakutan.
Orang-orang tak boleh berkumpul, mengeluarkan pendapat, berdemokrasi, saling
mengkritik, hampir susah kita temukan lagi, negeri kita telah berubah menjadi
negeri tiran.”
“Stop. Kita
minum teh dan kopi dulu.”
“Baiklah,
setidaknya aku berhenti jika suara-suara penindasan ikut berhenti pula.”
“Setop, Wid.”
“Ah kau…”
“Apalagi…”
“Tidak. Hanya
ingin menatap punggungmu sejenak, sobat. Karena esok sebelum fajar aku sudah
berpamitan, pergi menembus tapal batas ketakutan, ketakutan dari kemerdekaan
yang telah dirampas.”
“Kemana?”
“Delapan penjuru,
agar mereka tak bisa menangkapku. Dan aku titip kata-kata, tolong sampaikan
istri dan anak-anakku, bahwa esok ia akan mengerti bahwa bapaknya adalah
seorang pemberani. Berani melawan tiran yang tega membunuh rakyat-rakyatnya
sendiri.”
“Ah, sebaiknya
kau hentikan amarahmu dulu, Wid.”
“Tidak, amarahku
telah sampai pada pucuk nadiku, kata-kataku harus terus bicara, perlawanan
adalah perlawanan, diujung dunia yang keluar tetaplah perlawanan, kata-kataku
adalah kau, rakyat yang tertindih beban penguasa, penguasa yang ingin selalu
berkuasa, tamak dan rakus memakan keringat rakyatnya. Mulut mereka ditutup
rapat-rapat dengan bedil dan senapan agar suara mereka menghilang, membisu,
suara-suara telah disumbat.”
Aku diam, hanya
menatap kedua matanya yang masih menyala-nyala tapi teduh, karena menyimpan
kebenaran dalam hatinya. Wajahnya tetap kurus namun batinnya sehat melebihi
seukuran normal manusia lainnya. Karena hatinya peka dan merdeka. Tak takut
menghadapi 1000 peluru yang telah menghadangnya. Teh yang aku hidangkan padanya
telah ia minum dengan nikmatnya. Aku tahu bahwa dirinya tertelan kekhawatiran
dan kecemasan. Aku takjub padanya, Tuhan menciptakan makhluk seperti kau dengan
kelebihan yang memukau, pensil dan kertas putih bisa kau sulap seperti roh yang
mampu menyuarakan perlawanan, kata-kata yang kau tulis dengan sederhana menjadi
tameng jiwa-jiwa merdeka, merdeka dari rezim tiran yang kejam. Bahwa kata-kata
yang kau lesakkan seperti peluru. Menembus batas imaji jiwa.
“Apa perlu aku
belikan roti, nasi atau?”
‘Tak usah,
sobat. Aku hanya mampir sejenak, titip pesan yang telah aku tulis ini meski
kurang rapi, aku hanya titip kata-kata, suatu saat nanti pasti berguna.”
“Hendak pergi
kemana lagi, Wid?”
“Biarkan angin
segar membawa jiwaku pergi dari kota ke kota, desa ke desa, pulau ke pulau,
bahkan kalau perlu langit ke langit.”
“Wid.”
“Iya.”
“Kau bisa
tinggal disini untuk beberapa hari, Wid.”
“Tidak, terima
kasih, karena para serigala akan selalu mengintaiku. Mereka akan mencabik-cabik
tubuhku, menghisap darahku, dan membakar tulang-tulangku.”
“Tenanglah, aku
dan kawan-kawan bisa memberikan perlindungan padamu.”
“Dengan cara
apa?”
“Advokasi.”
“Advokasi telah
juga dimatikan, yang ada disikat habis. Boleh kau bela aku hari ini dan
seterusnya, tapi besoknya lagi, kau akan menemukanku dalam keadaan tak bernyawa
dengan tubuh telanjang, tergeletak diperempat jalan, jembatan, atau juga di pasar.”
Aku merinding
mendengarnya, ketakutan mulai menyelimuti, kekhawatiran mulai menyeruak bahwa
esok adalah harapan hidup yang tipis, satu hembusan nafas adalah satu langkah
menuju kematian. Seakan-akan kita ingin menuntaskan segala keluh kesah malam
ini dengan diselimuti kabut tipis dari lembah merapi.
“Kau diam,
sobat. Takut?”
“Aku bayangkan
keselamatanmu, Wid.”
“Ah tak usah kau
bayangkan, aku adalah bagian dari rakyat yang menyuarakan perbedaan, dan suara
rakyat adalah suara tuhan, siapa menentang suara tuhan, jatuh juga akhirnya.”
“Berhenti, Wid!”
“Ada apa?”
“Ada yang
datang.”
“Siapa?”
“Sebentar.” Aku
mulai mengendap-ngendap membuka sedikit tirai jendela, ku lihat ada beberapa
orang sedang berdiri di pinggir jalan dengan pakaian preman. Kulihat kakinya
bersepatu, bertopi dan berjaket. Ada kumis tebal menghiasi atas bibirnya.
Berjalan tegap menuju halaman rumah kontrakanku.
“Aku tak
mengenalinya, Wid. Bisakah kau pergi dari pintu belakang dan kaburlah,
hati-hati karena mereka juga berjaga-jaga di belakang.” Suaraku pelan.
“Baiklah,
kira-kira ada berapa orang, oh iya, maaf aku titip catatan ini, simpanlah
dengan baik, jangan sampai terlihat oleh antek-antek penguasa, apalagi sampai
dirampasnya, kau juga akan ikut tersangka.”
“Baiklah, Wid. Yang
terlihat ada tiga tapi tak tahu mungkin ada yang lain.”
Kau tak menjawab
hanya diam dengan sedikit kegugupan.
“Selamat jalan.
Semoga selamat.” Aku dekap tubuhnya dengan hati yang berdetak cepat, melepas
kepergianmu, keringatmu masih bercampur dengan kata-katamu yang bau, bau bagi
penguasa yang bermulut serigala. Aku temukan kegusaran di dahimu meski kau
tetap tenang.
“Aku pergi,
sobat.” Katamu pelan, sepelan kau mengatupkan kelopak matamu yang mulai lelah.
“Hati-hati.”
Jawabku perlahan.
Kau berjalan
setengah berlari menuju pintu belakang. Sejenak sepi, hanya ada suara pintu
diketuk tiga kali dari luar. Aku masih berdiri mematung di kamar, bingung
mencari tempat aman untuk menyimpan sebuah catatan. Waktu semakin sempit, pintu
semakin diketuk-ketuk, tak ada pilihan lagi, kulemparkan catatan itu ke atas
atap plafon kamar.
“Siapa?”
“Polisi.”
Dengan
ragu-ragu, pintu aku buka, dengan kecemasan yang berusaha aku sembunyikan,
meski dada seakan sesak menahan detak jantung yang mendesir cepat.
“Iya, silahkan,
ada yang bisa saya bantu, bapak?”
“Maaf mengganggu
mas, mau tanya, apakah ada orang menginap disini, mungkin teman atau saudara?”
tanya Polisi dengan penuh menyelidik.
“Maaf, tak ada
bapak. Aku tinggal dengan ibu kos yang berada disebelahnya ini, biasanya ramai,
tapi ini sedang musim liburan semester, jadi sepi, semua pada pulang ke kampung
masing-masing. Bapak hendak mencari siapa?”
“Seseorang,
buron pemerintah.”
“Salah apa?”
“Meracik
kata-kata makar.”
“Makar? Seperti
apa kata-katanya, kalau boleh tahu, bapak.”
Polisi itu hanya
diam tak menjawab. Matanya melirik kesana-kemari.
“Boleh aku
masuk?”
“Untuk apa?”
“Menggeledah
rumah ini.”
“Tak bisa,
disini tak ada siapa-siapa, apa jaminannya, bapak? Ada surat tugas.” Tanyaku
sedikit mengulur-ulur waktu agar Wiwid punya kesempatan untuk berlari jauh.
“Apa, surat
tugas? Kau mau melawan tugas negara.”
“Aku hanya
tanya, apa jaminannya?”
“Minggir!”
“Tak bisa, ini
adalah rumahku, kau tak berhak menggeledah rumah orang meskipun bapak adalah
aparat negara, tapi mana buktinya?, surat tugas saja tidak ada, bahkan hanya
memakai pakaian preman. Bisa-bisa bapak adalah penjahat yang akan bermaksud
jahat, aku bisa tuntut bapak.”
“Mau minggir,
atau aku obrak-abrik rumah ini!” Ancam orang berpakaian preman.
“Bapak
mengancamku.”
Tak ada jawaban,
hanya ada dorongan yang keras padaku dari anggota yang satunya, aku terjerembab
jatuh, dan sebelum bangun tanganku telah dibekuk, tak berkutik, hanya nafasku
yang tersengal-sengal menahan sakit.
“Geledah!
Cepat!” Perintah atasannya itu. Dan tanpa pikir panjang kedua anak buahnya
masuk ke dalam kamar dan kemudian keluar lagi.
“Tak ada
siapa-siapa, pak.”
“Cari di
belakang!”
“Siap pak!”
Tak lama melapor
lagi.
“Tak ada
siapa-siapa pak. Hanya pintu belakang seperti habis dibuka.”
“Kau menyuruh
lari dari belakang.” Tanya komandan padaku dengan nada mengancam.
“Apakah begini
tugas seorang aparat, sukanya main ancam. Itu tadi saya dari belakang, buang
air kecil, lalu aku tergopoh-gopoh membuka pintu karena kau yang mengetuk.”
Jawabku.
“Bawa ke
kantor!” Dengan kasar akupun di bawa ke kantor. Aku tetap tenang. Dalam hati
terlintas harapan, “semoga kau bisa berlari jauh, Wid.”
Sejak saat itu
aku tak pernah melihat hidungmu lagi, apalagi mendengar nafasmu pasca
penggerebekan di kontrakanku. Hanya catatan pada kertas putih dengan tulisan
pensil berisi 27 pesan puisi pada anak-anakmu, istrimu, kawan-kawanmu, lebih
tepatnya kawan-kawan seperjuanganmu, agar tangan terus mengepal, menyuarakan
perlawanan tanpa henti meski hari-hari telah menjadi milik kita. Karena
kekuasaan oleh tiran tak kan pernah mati, hanya beristirahat, seperti
kata-katamu, yang telah membatu seperti batu karang di tengah samudera, meski
kau telah menghilang dalam kesunyian dan tak tampak lagi namun kata-kata yang
telah kau bisikkan pada dunia telah menjadi permata. Aku masih menyimpan rapi
pesanmu agar di akhirat kau tak menuntutku.
Bangilan, 21
Januari 2017.
*Penulis aktif
di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.
Cerpen ini kupersembahkan untuk pejuang
kata-kata, Widji Thukul. Betapa susahnya menjadi seorang pelarian kata-kata di
Negeri yang tidak menghargai kata-kata.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda