Sabtu, 21 Januari 2017

“Membungkam Kata-Kata”

Oleh. Rohmat S*

http://galerirupa.blogspot.co.id/2013/03/api-wiji-thukul-masih-mnyala-payung.html

Senja mulai memudar, cahayanya perlahan-lahan hilang, tertelan pekat malam. Angin hilir-mudik meniupkan aroma rindu pada sepotong kenangan. Ketika kau datang mengendap-endap, mengetuk pintu kamarku malam itu.
“Boleh aku masuk?”
“Siapa?”
“Wiwid.”
Aku terkejut mendengar nama itu. Tapi disisi lain hatiku, terendap penasaran yang menggila. Tanpa basa-basi lagi, dan serentak aku pegang gagang pintu dan segera kubuka.
“Wiwid.” Sapaku.
“Sssstttt, boleh aku masuk dulu, kawan?”
“Oh iya, silahkan. Syukurlah kau masih bugar, Wid.”
“Iya.” Tanpa ragu, sejenak kita berpelukan, mendekap hangat persaudaraan.
“Kemana saja kau, Wid? Kau tak lagi aman.”
“Aku tahu, tapi dalam hatiku semakin meronta. Mengobarkan semangatku dan menampar-nampar batinku agar aku terus melawan, memperjuangkan kata-kata, bahwa ketidakadilan harus ditegakkan, dan hanya ada satu kata, lawan!”  
“Tapi,…”
“Biarkan ketapi-tapian itu pergi saja, aku tidak takut pada tapi,”
“lalu.”
“Aku akan menjadi bintang dilangit, cahayaku sulit untuk diusik, meskipun mereka mengejarku, menembakku dengan peluru tajamnya, aku akan tetap bersinar dengan cahaya dan kata-kataku sebagai manusia yang telah ditindas oleh kelaliman.”
“Setidaknya kau mencari tempat aman dulu, Wid.”
“Disini sudah aman, sobat.”
“Tapi,…”
“Tak usah kau risaukan lagi tentang tapi itu. Aku sudah cukup aman disini.”
‘Tidak untuk selamanya.”
“Siapa takut?”
“Ah kau ini, Wid. Kau adalah kata-katamu dalam mulutmu itu. Keluar seperti peluru dan berteriak seperti hantu.”
“Hantu, seperti perbedaan dinegeriku ini. Perbedaan seperti hantu. Hanya penguasa tiran yang menganggap perbedaan adalah hantu.”
“Cukup, Wid.”
“Kenapa?”
“Istirahatkan dulu kata-katamu itu. Kita bisa minum teh manis atau kopi sejenak, setelah itu kau rajut lagi kata-katamu itu.”
“Baiklah, minum teh dan kopi bersama seperti ini yang tidak pernah diajarkan dalam hinanya kekuasaan yang penuh penindasan. Karena semua telah dibuat ketakutan. Orang-orang tak boleh berkumpul, mengeluarkan pendapat, berdemokrasi, saling mengkritik, hampir susah kita temukan lagi, negeri kita telah berubah menjadi negeri tiran.”
“Stop. Kita minum teh dan kopi dulu.”
“Baiklah, setidaknya aku berhenti jika suara-suara penindasan ikut berhenti pula.”
“Setop, Wid.”
“Ah kau…”
“Apalagi…”
“Tidak. Hanya ingin menatap punggungmu sejenak, sobat. Karena esok sebelum fajar aku sudah berpamitan, pergi menembus tapal batas ketakutan, ketakutan dari kemerdekaan yang telah dirampas.”
“Kemana?”
“Delapan penjuru, agar mereka tak bisa menangkapku. Dan aku titip kata-kata, tolong sampaikan istri dan anak-anakku, bahwa esok ia akan mengerti bahwa bapaknya adalah seorang pemberani. Berani melawan tiran yang tega membunuh rakyat-rakyatnya sendiri.”
“Ah, sebaiknya kau hentikan amarahmu dulu, Wid.”
“Tidak, amarahku telah sampai pada pucuk nadiku, kata-kataku harus terus bicara, perlawanan adalah perlawanan, diujung dunia yang keluar tetaplah perlawanan, kata-kataku adalah kau, rakyat yang tertindih beban penguasa, penguasa yang ingin selalu berkuasa, tamak dan rakus memakan keringat rakyatnya. Mulut mereka ditutup rapat-rapat dengan bedil dan senapan agar suara mereka menghilang, membisu, suara-suara telah disumbat.”
Aku diam, hanya menatap kedua matanya yang masih menyala-nyala tapi teduh, karena menyimpan kebenaran dalam hatinya. Wajahnya tetap kurus namun batinnya sehat melebihi seukuran normal manusia lainnya. Karena hatinya peka dan merdeka. Tak takut menghadapi 1000 peluru yang telah menghadangnya. Teh yang aku hidangkan padanya telah ia minum dengan nikmatnya. Aku tahu bahwa dirinya tertelan kekhawatiran dan kecemasan. Aku takjub padanya, Tuhan menciptakan makhluk seperti kau dengan kelebihan yang memukau, pensil dan kertas putih bisa kau sulap seperti roh yang mampu menyuarakan perlawanan, kata-kata yang kau tulis dengan sederhana menjadi tameng jiwa-jiwa merdeka, merdeka dari rezim tiran yang kejam. Bahwa kata-kata yang kau lesakkan seperti peluru. Menembus batas imaji jiwa.
“Apa perlu aku belikan roti, nasi atau?”
‘Tak usah, sobat. Aku hanya mampir sejenak, titip pesan yang telah aku tulis ini meski kurang rapi, aku hanya titip kata-kata, suatu saat nanti pasti berguna.”
“Hendak pergi kemana lagi, Wid?”
“Biarkan angin segar membawa jiwaku pergi dari kota ke kota, desa ke desa, pulau ke pulau, bahkan kalau perlu langit ke langit.”
“Wid.”
“Iya.”
“Kau bisa tinggal disini untuk beberapa hari, Wid.”
“Tidak, terima kasih, karena para serigala akan selalu mengintaiku. Mereka akan mencabik-cabik tubuhku, menghisap darahku, dan membakar tulang-tulangku.”
“Tenanglah, aku dan kawan-kawan bisa memberikan perlindungan padamu.”
“Dengan cara apa?”
“Advokasi.”
“Advokasi telah juga dimatikan, yang ada disikat habis. Boleh kau bela aku hari ini dan seterusnya, tapi besoknya lagi, kau akan menemukanku dalam keadaan tak bernyawa dengan tubuh telanjang, tergeletak diperempat jalan, jembatan, atau juga di pasar.”
Aku merinding mendengarnya, ketakutan mulai menyelimuti, kekhawatiran mulai menyeruak bahwa esok adalah harapan hidup yang tipis, satu hembusan nafas adalah satu langkah menuju kematian. Seakan-akan kita ingin menuntaskan segala keluh kesah malam ini dengan diselimuti kabut tipis dari lembah merapi.
“Kau diam, sobat. Takut?”
“Aku bayangkan keselamatanmu, Wid.”
“Ah tak usah kau bayangkan, aku adalah bagian dari rakyat yang menyuarakan perbedaan, dan suara rakyat adalah suara tuhan, siapa menentang suara tuhan, jatuh juga akhirnya.”
“Berhenti, Wid!”
“Ada apa?”
“Ada yang datang.”
“Siapa?”
“Sebentar.” Aku mulai mengendap-ngendap membuka sedikit tirai jendela, ku lihat ada beberapa orang sedang berdiri di pinggir jalan dengan pakaian preman. Kulihat kakinya bersepatu, bertopi dan berjaket. Ada kumis tebal menghiasi atas bibirnya. Berjalan tegap menuju halaman rumah kontrakanku.
“Aku tak mengenalinya, Wid. Bisakah kau pergi dari pintu belakang dan kaburlah, hati-hati karena mereka juga berjaga-jaga di belakang.” Suaraku pelan.
“Baiklah, kira-kira ada berapa orang, oh iya, maaf aku titip catatan ini, simpanlah dengan baik, jangan sampai terlihat oleh antek-antek penguasa, apalagi sampai dirampasnya, kau juga akan ikut tersangka.”
“Baiklah, Wid. Yang terlihat ada tiga tapi tak tahu mungkin ada yang lain.”
Kau tak menjawab hanya diam dengan sedikit kegugupan.
“Selamat jalan. Semoga selamat.” Aku dekap tubuhnya dengan hati yang berdetak cepat, melepas kepergianmu, keringatmu masih bercampur dengan kata-katamu yang bau, bau bagi penguasa yang bermulut serigala. Aku temukan kegusaran di dahimu meski kau tetap tenang.
“Aku pergi, sobat.” Katamu pelan, sepelan kau mengatupkan kelopak matamu yang mulai lelah.
“Hati-hati.” Jawabku perlahan.
Kau berjalan setengah berlari menuju pintu belakang. Sejenak sepi, hanya ada suara pintu diketuk tiga kali dari luar. Aku masih berdiri mematung di kamar, bingung mencari tempat aman untuk menyimpan sebuah catatan. Waktu semakin sempit, pintu semakin diketuk-ketuk, tak ada pilihan lagi, kulemparkan catatan itu ke atas atap plafon kamar.
“Siapa?”
“Polisi.”
Dengan ragu-ragu, pintu aku buka, dengan kecemasan yang berusaha aku sembunyikan, meski dada seakan sesak menahan detak jantung yang mendesir cepat.
“Iya, silahkan, ada yang bisa saya bantu, bapak?”
“Maaf mengganggu mas, mau tanya, apakah ada orang menginap disini, mungkin teman atau saudara?” tanya Polisi dengan penuh menyelidik.
“Maaf, tak ada bapak. Aku tinggal dengan ibu kos yang berada disebelahnya ini, biasanya ramai, tapi ini sedang musim liburan semester, jadi sepi, semua pada pulang ke kampung masing-masing. Bapak hendak mencari siapa?”
“Seseorang, buron pemerintah.”
“Salah apa?”
“Meracik kata-kata makar.”
“Makar? Seperti apa kata-katanya, kalau boleh tahu, bapak.”
Polisi itu hanya diam tak menjawab. Matanya melirik kesana-kemari.
“Boleh aku masuk?”
“Untuk apa?”
“Menggeledah rumah ini.”
“Tak bisa, disini tak ada siapa-siapa, apa jaminannya, bapak? Ada surat tugas.” Tanyaku sedikit mengulur-ulur waktu agar Wiwid punya kesempatan untuk berlari jauh.
“Apa, surat tugas? Kau mau melawan tugas negara.”
“Aku hanya tanya, apa jaminannya?”
“Minggir!”
“Tak bisa, ini adalah rumahku, kau tak berhak menggeledah rumah orang meskipun bapak adalah aparat negara, tapi mana buktinya?, surat tugas saja tidak ada, bahkan hanya memakai pakaian preman. Bisa-bisa bapak adalah penjahat yang akan bermaksud jahat, aku bisa tuntut bapak.”
“Mau minggir, atau aku obrak-abrik rumah ini!” Ancam orang berpakaian preman.
“Bapak mengancamku.”
Tak ada jawaban, hanya ada dorongan yang keras padaku dari anggota yang satunya, aku terjerembab jatuh, dan sebelum bangun tanganku telah dibekuk, tak berkutik, hanya nafasku yang tersengal-sengal menahan sakit.
“Geledah! Cepat!” Perintah atasannya itu. Dan tanpa pikir panjang kedua anak buahnya masuk ke dalam kamar dan kemudian keluar lagi.
“Tak ada siapa-siapa, pak.”
“Cari di belakang!”
“Siap pak!”
Tak lama melapor lagi.
“Tak ada siapa-siapa pak. Hanya pintu belakang seperti habis dibuka.”
“Kau menyuruh lari dari belakang.” Tanya komandan padaku dengan nada mengancam.
“Apakah begini tugas seorang aparat, sukanya main ancam. Itu tadi saya dari belakang, buang air kecil, lalu aku tergopoh-gopoh membuka pintu karena kau yang mengetuk.” Jawabku.
“Bawa ke kantor!” Dengan kasar akupun di bawa ke kantor. Aku tetap tenang. Dalam hati terlintas harapan, “semoga kau bisa berlari jauh, Wid.”
Sejak saat itu aku tak pernah melihat hidungmu lagi, apalagi mendengar nafasmu pasca penggerebekan di kontrakanku. Hanya catatan pada kertas putih dengan tulisan pensil berisi 27 pesan puisi pada anak-anakmu, istrimu, kawan-kawanmu, lebih tepatnya kawan-kawan seperjuanganmu, agar tangan terus mengepal, menyuarakan perlawanan tanpa henti meski hari-hari telah menjadi milik kita. Karena kekuasaan oleh tiran tak kan pernah mati, hanya beristirahat, seperti kata-katamu, yang telah membatu seperti batu karang di tengah samudera, meski kau telah menghilang dalam kesunyian dan tak tampak lagi namun kata-kata yang telah kau bisikkan pada dunia telah menjadi permata. Aku masih menyimpan rapi pesanmu agar di akhirat kau tak menuntutku.

Bangilan, 21 Januari 2017.

*Penulis aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.

Cerpen ini kupersembahkan untuk pejuang kata-kata, Widji Thukul. Betapa susahnya menjadi seorang pelarian kata-kata di Negeri yang tidak menghargai kata-kata.









Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda