Senin, 30 Januari 2017

Mbak Yu Sri

Oleh. Rohmat Sholihin*
https://lylyopsida.wordpress.com/author/lylyopsida/page/5/

“Awas mbak! Gula darahmu sudah hampir mendekati 500, itu dignosa dokter Susi.” Kataku pada mbak yu Sri dengan nada serius dan penuh khawatir. “Iya.” Cukup singkat jawaban yang keluar dari bibirnya. Tak ada perasaan khawatir atau was-was sedikitpun dari hatinya, tapi bagaimana juga, memang sudah seperti itu karakter orangnya, tak pernah ambil pusing atau mikirin penyakitnya itu, Diabetes mellitus yang sudah berjalan hampir sepuluh tahun dan terus masih melakukan kontrol atau obat jalan pada dokter kesayangannya yaitu dr. Susi. Aneh memang, mbak yu Sri ini jika sudah melihat dan bertemu dengan dokter Susi hatinya tenang dan bahagia, apalagi diajak senyum oleh dokter kesayangannya itu. Hatinya berbunga-bunga dan pulang dengan senyum dan banyak omong selama dijalan. Orang-orang dalam mobil angkutan pasti diajak ngobrol dengan nyaman dan senang, padahal karakternya mbak yu Sri termasuk pendiam dan jarang senyum dengan orang. Pernah aku iseng tanya pada mbak yu Sri dirumah sewaktu ia lagi duduk-duduk diruang tamu.
“Mbak, kenapa kau begitu gembira jika mau ke dokter Susi?” Tanyaku dengan santai dan sedikit senyum.
“Orangnya baik, cantik dan pintar.” Jawabnya.
Aduh mbak yu Sri, sudah kuduga jawabanmu pasti begitu. Aku sudahi saja tanyaku karena untuk alasan baik, cantik dan pintar semua orang pasti akan menilai dokter Susi begitu. Yang membuat aku penasaran setiap kali setelah selesai berobat di dokter Susi tidak malah sedih karena urusan penyakitnya bertambah kronis tapi ia terlihat bahagia dan no problem.  Heran, aku yang menjadi khawatir ketika mendengar keterangan dari dokter Susi, pikiranku langsung melayang-layang ikut memikirkan penyakitnya itu. Meski dalam hatiku selalu mendoakan untuk kesembuhannya. Aku tak tega melihanya sakit, bagiku mbak yu Sri adalah tumpuan keluarga juga, sebagai kaki ibu, kemana-mana dan butuh apa saja ibu selalu menyuruh mbak yu Sri. Hampir urusan dapur keluarga dipercayakan kepada mbak yu Sri. Mulai memasak, membuat wedang teh, kopi. Maklum mbak yu Sri adalah anak tertua dikeluargaku. Waktu adik-adiknya masih kecil mbak yu Sri lah yang hampir mengurusi semuanya mulai dari memandikan, mencuci, menidurkan, dan sebagainya. Sedangkan ibu sudah capek membuat jajanan yang harus dijual dipasar sebagai penopang ekonomi yang serba sulit, bapak sebagai pegawai negeri golongan Ib yang gajinya masih sangat rendah. Tak cukup untuk kebutuhan anak-anaknya yang jumlahnya tujuh.
“Tak usah makan nasi beras dulu mbak!” Kataku dengan nada keras.
“Ya.” Jawabnya pelan. Tapi aku masih tak yakin dengan jawabannya karena meski ia bilang ya, masih saja ia langgar pantangan-pantangan itu. Diam-diam ia pasti mencampur nasi jagungnya dengan nasi beras, separo-separo, nasi beras juga nasi jagung dicampur.
“Bener lo ya, tak usah makan nasi beras dulu, boleh makan nasi jagung saja. Jajan-jajan yang manis juga tak boleh. Hindari dulu.” Kataku lagi dengan ketus.
Ia hanya mengangguk saja. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hanya matanya yang mengawasiku dengan penuh arti. Mengartikan sejuta kata yang sulit aku ungkapkan karena aku juga tak tahu bahasa hatinya. Namun aku bisa merasakan, betapa sedihnya ia dengan penyakitnya yang sudah kronis itu. Meski begitu, putus asa dan keluh kesah yang hampir tak pernah ia tampakkan pada adik-adiknya, anaknya, dan pada bapak-ibu juga. Dalam keadaan sakit pun masih mau membantu ibu didapur dan membeli sesuatu ditoko. Meski sudah aku ingatkan berkali-kali, tapi masih saja ia lakukan juga. Jawabnya masuk akal, “daripada menganggur lebih baik aku buat bergerak, olahraga.”
“Ya baguslah, tapi hati-hati jangan terlalu, apa-apa jika serba terlalu jadinya juga tambah tidak bagus.” Mudah-mudahan ia paham apa yang aku ucapkan dan aku maksud. Ia hanya diam saja tak bersuara, matanya saja yang mengartikan jawaban yang masih menjadi teka-teki pikiranku.
Hingga pagi dibulan Juli 2010. Kabar yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi sedikit menyedihkan. Mbak yu Sri mempunyai cucu laki-laki dari anak perempuan semata wayangnya, sehat, normal berat badannya dan normal panjangnya, namun bibirnya terbelah alias sumbing. “Astaghfirullahaladzim, semoga Allah selalu menjagamu nak.” Batinku kepada bayi yang tak berdosa ketika digendong oleh bu leknya. Aku lihat bayi itu dengan seksama, kuperhatikan bibir atasnya yang terbelah, dalam pikiranku “InsyaAllah ini masih bisa dioperasi dan dibentuk, tapi bagaimanapun juga hati siapa yang tak miris melihat buah hati mempunyai bibir sumbing?”
Mbak yu Sri juga masih tetap tenang dan tidak risau dengan keadaan cucunya yang sumbing, ia masih bisa tersenyum, mengabarkan ke orang-orang jika ia telah punya cucu laki-laki. Meski jika ada tetangga dan kerabat yang mau melihat dan menjenguk bayinya agak sedikit berat untuk bisa melihat. Anaknya masih tertekan dan merasa minder untuk memperlihatkan bayinya ke orang lain.  
“Tak boleh begitu ndok, kita tak boleh menutup-nutupi pemberian Allah. Sabarlah, suatu saat bayimu itu punya keistimewaan tersendiri, Allah menciptakan makhluknya sudah dalam pengukuran yang matang, seimbang, dan tepat.” Bicara nenek dikamar anaknya mbak yu Sri.
“Baiklah mbah, tunggu aku sampai siap menerima cobaan ini.” Jawab anak mbak yu Sri.
“Ya sudah nduk, kita harus ikhlas menerima pemberian dari-Nya. Kita syukuri saja, banyak sekarang dokter yang bisa operasi bibir sumbing, apalagi itu hanya sedikit, masih bisa dibenahi. Yang penting bayinya sehat.”  Jelas nenek.
“Ya mbah, semoga ada rezeki untuk mengobatkannya.” Jawab anak mbak yu Sri.
Semua hampir berjalan seperti biasa. Tak ada yang janggal. Hanya anak mbak yu Sri masih terlilit kekalutan hati. Merasakan kesedihan melihat anak pertamanya itu mengalami bibir sumbing. Semua merasa iba, namun mau bagaimana? Anak adalah titipan Sang Pencipta. Bagaimana bentuknya kita harus menerimanya. Meski hati terasa berat karena tidak sesuai yang kita inginkan, memang harus belajar bersabar.
Sedang musim politik pemilukada mulai ramai, dari salah satu calon ada yang menawarkan operasi bibir sumbing, dan informasi ini sampai juga ke telinga anak mbak yu Sri. Dengan semangat menyala-nyala langsung mendaftarkan diri, tanpa basa-basi, apa yang ditunggu selama ini telah tiba juga akhirnya. Semua senang dan mendukungnya. Tak menunggu lama, setelah persyaratan masuk ke panitia timses bakal calon Bupati, mereka bertiga dengan bayi yang masih mungilpun terbang ke kota Surabaya untuk melakukan operasi bibir sumbing. Namun tidak begitu bagi mbak yu Sri, ada kesedihan yang meledak-ledak dalam hatinya di saat semua merasa bahagia. Ketika anaknya, cucunya yang masih bayi, menantunya, dan suaminya berangkat ke kota Surabaya. Ia seakan-akan ditikam kekhawatiran yang sulit untuk diungkapkan, meski kutanya seribu kali tentang kecemasan yang hinggap dalam hatinya, sepatah katapun tak keluar, hanya sedikit bertanya tentang cucunya, bayi mungil itu. Dengan perasaan berat mbak yu Sri melepas mereka ke Surabaya.
“Ah bagaimana kalau mbak yu Sri ikut ke Surabaya?” Tanyaku dengan bercanda. Ia hanya geleng-geleng kepala tak mau. Aku sudah pasti tahu, mbak yu Sri tak kan mau.
“Mbak yu Sri sudah berapa lama tidak periksa di dr. Susi?” tanyaku lagi.
“Sudah lama, tapi belum ada uang untuk berobat lagi.” Jawabnya.
“Sabar Mbak, besok jika ada uang aku antarkan sendiri ke dr. Susi.”
“Iya” senyummu.
Tapi dalam hatiku seperti ada firasat buruk. Dan itu benar sepulang jam istirahat dari mengajar aku sempatkan untuk pulang ke rumah untuk sekedar melihat keadaan. Rumah terasa sepi. Biasanya mbak yu Sri duduk dikursi tamu, sekarang tak lagi tampak. “Mungkin di belakang,” pikirku. Baru saja aku taruh kontak sepeda motorku dimeja, “Gubraak”, hatiku tersentak. Dan kulihat mbak yu Sri jatuh terduduk sambil membawa bak air, ia mau bangkit tapi tak sanggup, segera kuraih tubuhnya, kududukkan dikursi belakang. Aku lihat tubuhnya semakin bertambah pucat dengan kedua matanya yang tak bisa fokus, sepertinya ia merasakan sesuatu hal yang tak bisa aku jabarkan dengan bahasa medis, sebentar tubuhnya seperti kejang-kejang, hanya hatiku menerka, “apakah ini yang dimaksud komplikasi hiperglikemia? Keadaan tubuh seseorang yang telah mengalami gula darah tinggi akut yang mengakibatkan jaringan tubuh lainnya menjadi rusak.” Kulihat lagi wajahnya mulai berangsur-angsur membaik. Kesadarannya juga mulai membaik, tapi tak bisa bertahan sejam, tubuhnya kembali seperti akan kejang-kejang lagi. Aku bingung dan menjadi sedikit panik, ku bawa ke Puskesamas terdekat. Hanya diinfus tiga hari tiga malam tak ada perkembangan namun kejang-kejangnya sedikit hilang. Dan dokter telah menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit kabupaten. “Aduh, semakin menjadi tak karu-karuan hati ini, mendengar kata rujuk.” Hatiku pasrah.
Beberapa hari sepulang dari Puskesmas terdekat, mbak yu Sri masih bisa bertahan seperti sedia kala. Kami sekeluarga merasa sedikit lega. Maklum untuk membawa ke rumah sakit pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan uang darimana?, itu yang menjadi kendala kita sekeluarga. Apalagi cucunya tercinta juga telah dibawa rujuk ke Surabaya untuk operasi bibir sumbing. Kita seakan mendapatkan musibah yang bertumpuk-tumpuk, tapi kita tidak boleh menyalahkan siapapun, semua sudah ditentukan oleh Tuhan. Patokannya, Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kapasitas kemampuan seseorang.
Hingga puncaknyapun tiba, ibaratnya kita seperti menyimpan bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Siang menjelang sore, bertepatan di rumah ada acara kirim doa untuk satu tahun meninggalnya bapak. Biasanya mbak yu Sri juga ikut sibuk membantu, tapi kali ini ia tak bisa ikut membantu, hanya tidur terbaring dikamarnya. Tidur dengan hari-hari yang menjemukan, iapun bangkit ingin melihat-lihat suasana orang yang sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk kondangan, pertama, ia berjalan dekat pintu kamarnya dengan tangan yang berpegangan pada kusen pintu. Berikutnya ia penasaran, melihat karung yang berisi beras, ia buka dan ia lihat, “oh, berasnya masih banyak,” batinnya. Ia pun kembali masuk kamarnya, namun ketika ia akan masuk ke dalam kamarnya, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, tubuhnya serasa tegang, pandangannya tak fokus, dan tubuhnya roboh ke depan, tak sadarkan diri. “Brak…” suara tubuh terpelanting ke depan, semua yang ada di rumah menjerit histeris. Darah mengalir dari mulutnya, giginya rampal, dan bagaimanapun juga ia harus dilarikan ke rumah sakit kabupaten. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya dalam beberapa menit kejang-kejang, ia mengalami koma beberapa hari dan harus di rawat ke ruang ICU. “Mbak Yu Sri semoga kau bisa tertolong.” Doaku.

Bangilan, 30 Januari 2017.
Mengenang saudara yang telah meninggal akibat penyakit diabetes mellitus.
 *Penulis aktif di Komunitas Kali Kening Bangilan.








Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda