Mbak Yu Sri
Oleh.
Rohmat Sholihin*
https://lylyopsida.wordpress.com/author/lylyopsida/page/5/
“Awas
mbak! Gula darahmu sudah hampir
mendekati 500, itu dignosa dokter Susi.” Kataku pada mbak yu Sri dengan nada serius dan penuh khawatir. “Iya.” Cukup singkat jawaban yang keluar dari bibirnya. Tak ada
perasaan khawatir atau was-was sedikitpun dari hatinya, tapi bagaimana juga, memang sudah seperti itu
karakter orangnya, tak pernah ambil pusing atau mikirin penyakitnya itu,
Diabetes mellitus yang sudah berjalan hampir sepuluh tahun dan terus masih melakukan kontrol
atau obat jalan pada dokter kesayangannya yaitu dr. Susi. Aneh memang, mbak yu
Sri ini jika sudah melihat dan bertemu dengan dokter Susi hatinya tenang dan
bahagia, apalagi diajak senyum oleh dokter kesayangannya itu. Hatinya
berbunga-bunga dan pulang dengan senyum dan banyak omong selama dijalan.
Orang-orang dalam mobil angkutan pasti diajak ngobrol dengan nyaman dan senang,
padahal karakternya mbak yu Sri termasuk pendiam dan jarang senyum dengan
orang. Pernah aku iseng tanya pada mbak yu Sri dirumah sewaktu ia lagi duduk-duduk
diruang tamu.
“Mbak,
kenapa kau begitu gembira jika mau ke dokter Susi?” Tanyaku dengan santai dan
sedikit senyum.
“Orangnya
baik, cantik dan pintar.” Jawabnya.
Aduh
mbak yu Sri, sudah kuduga jawabanmu pasti begitu. Aku sudahi saja tanyaku
karena untuk alasan baik, cantik dan pintar semua orang pasti akan menilai
dokter Susi begitu. Yang membuat aku penasaran setiap kali setelah selesai berobat
di dokter Susi tidak malah sedih karena urusan penyakitnya bertambah kronis
tapi ia terlihat bahagia dan no problem.
Heran, aku yang menjadi khawatir ketika
mendengar keterangan dari dokter Susi, pikiranku langsung melayang-layang ikut
memikirkan penyakitnya itu. Meski dalam hatiku selalu mendoakan untuk
kesembuhannya. Aku tak tega melihanya sakit, bagiku mbak yu Sri adalah tumpuan
keluarga juga, sebagai kaki ibu, kemana-mana dan butuh apa saja ibu selalu
menyuruh mbak yu Sri. Hampir urusan dapur keluarga dipercayakan kepada mbak yu
Sri. Mulai memasak, membuat wedang teh, kopi. Maklum mbak yu Sri adalah anak
tertua dikeluargaku. Waktu adik-adiknya masih kecil mbak yu Sri lah yang hampir
mengurusi semuanya mulai dari memandikan, mencuci, menidurkan, dan sebagainya.
Sedangkan ibu sudah capek membuat jajanan yang harus dijual dipasar sebagai
penopang ekonomi yang serba sulit, bapak sebagai pegawai negeri golongan Ib
yang gajinya masih sangat rendah. Tak cukup untuk kebutuhan anak-anaknya yang
jumlahnya tujuh.
“Tak
usah makan nasi beras dulu mbak!” Kataku dengan nada keras.
“Ya.”
Jawabnya pelan. Tapi aku masih tak yakin dengan jawabannya karena meski ia
bilang ya,
masih saja ia langgar pantangan-pantangan itu. Diam-diam ia pasti mencampur
nasi jagungnya dengan nasi beras, separo-separo, nasi beras juga nasi jagung
dicampur.
“Bener
lo ya, tak usah makan nasi beras dulu, boleh makan nasi jagung saja. Jajan-jajan
yang manis juga tak boleh. Hindari dulu.” Kataku lagi dengan ketus.
Ia
hanya mengangguk saja. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hanya
matanya yang mengawasiku dengan penuh arti. Mengartikan sejuta kata yang sulit
aku ungkapkan karena aku juga tak tahu bahasa hatinya. Namun aku bisa
merasakan, betapa sedihnya ia dengan penyakitnya yang sudah kronis itu. Meski
begitu, putus asa dan keluh kesah yang hampir tak pernah ia tampakkan pada
adik-adiknya, anaknya, dan pada bapak-ibu juga. Dalam keadaan sakit pun masih
mau membantu ibu didapur dan membeli sesuatu ditoko. Meski sudah aku ingatkan
berkali-kali, tapi masih saja ia lakukan juga. Jawabnya masuk akal, “daripada
menganggur lebih baik aku buat bergerak, olahraga.”
“Ya
baguslah, tapi hati-hati jangan terlalu, apa-apa jika serba terlalu jadinya
juga tambah tidak bagus.” Mudah-mudahan ia paham apa yang aku ucapkan dan aku maksud.
Ia hanya diam saja tak bersuara, matanya saja yang mengartikan jawaban yang
masih menjadi teka-teki pikiranku.
Hingga pagi dibulan Juli 2010. Kabar yang seharusnya
menggembirakan berubah menjadi sedikit menyedihkan. Mbak yu Sri mempunyai cucu
laki-laki dari anak perempuan semata wayangnya, sehat, normal berat badannya
dan normal panjangnya, namun bibirnya terbelah alias sumbing.
“Astaghfirullahaladzim, semoga Allah selalu menjagamu nak.” Batinku kepada bayi
yang tak berdosa ketika digendong oleh bu leknya. Aku lihat bayi itu dengan seksama,
kuperhatikan bibir atasnya yang terbelah, dalam pikiranku “InsyaAllah ini masih bisa
dioperasi dan dibentuk, tapi bagaimanapun juga hati siapa yang tak miris
melihat buah hati mempunyai bibir sumbing?”
Mbak
yu Sri juga masih tetap tenang dan tidak risau dengan keadaan cucunya yang
sumbing, ia masih bisa tersenyum, mengabarkan ke orang-orang jika ia telah
punya cucu laki-laki. Meski jika ada tetangga dan kerabat yang mau melihat dan
menjenguk bayinya agak sedikit berat untuk bisa melihat. Anaknya masih tertekan
dan merasa minder untuk memperlihatkan bayinya ke orang lain.
“Tak
boleh begitu ndok, kita tak boleh menutup-nutupi pemberian Allah. Sabarlah,
suatu saat bayimu itu punya keistimewaan tersendiri, Allah menciptakan
makhluknya sudah dalam pengukuran yang matang, seimbang, dan tepat.” Bicara
nenek dikamar anaknya mbak yu Sri.
“Baiklah
mbah, tunggu aku sampai siap menerima cobaan ini.” Jawab anak mbak yu Sri.
“Ya
sudah nduk, kita harus ikhlas menerima pemberian dari-Nya. Kita syukuri saja,
banyak sekarang dokter yang bisa operasi bibir sumbing, apalagi itu hanya
sedikit, masih bisa dibenahi. Yang penting bayinya sehat.” Jelas nenek.
“Ya mbah, semoga ada rezeki untuk
mengobatkannya.” Jawab anak mbak yu Sri.
Semua hampir berjalan seperti biasa. Tak ada
yang janggal. Hanya anak mbak yu Sri masih terlilit kekalutan hati. Merasakan
kesedihan melihat anak pertamanya itu mengalami bibir sumbing. Semua merasa
iba, namun mau bagaimana? Anak adalah titipan Sang Pencipta. Bagaimana
bentuknya kita harus menerimanya. Meski hati terasa berat karena tidak sesuai
yang kita inginkan, memang harus belajar bersabar.
Sedang musim politik pemilukada
mulai ramai, dari salah satu calon ada yang menawarkan operasi bibir sumbing,
dan informasi ini sampai juga ke telinga anak mbak yu Sri. Dengan semangat
menyala-nyala langsung mendaftarkan diri, tanpa basa-basi, apa yang ditunggu
selama ini telah tiba juga akhirnya. Semua senang dan mendukungnya. Tak
menunggu lama, setelah persyaratan masuk ke panitia timses bakal calon Bupati, mereka
bertiga dengan bayi yang masih mungilpun terbang ke kota Surabaya untuk
melakukan operasi bibir sumbing. Namun tidak begitu bagi mbak yu Sri, ada
kesedihan yang meledak-ledak dalam hatinya di saat semua merasa bahagia. Ketika
anaknya, cucunya yang masih bayi, menantunya, dan suaminya berangkat ke kota
Surabaya. Ia seakan-akan ditikam kekhawatiran yang sulit untuk diungkapkan,
meski kutanya seribu kali tentang kecemasan yang hinggap dalam hatinya, sepatah
katapun tak keluar, hanya sedikit bertanya tentang cucunya, bayi mungil itu.
Dengan perasaan berat mbak yu Sri melepas mereka ke Surabaya.
“Ah bagaimana kalau mbak yu Sri ikut ke
Surabaya?” Tanyaku dengan bercanda. Ia hanya geleng-geleng kepala tak mau. Aku
sudah pasti tahu, mbak yu Sri tak kan mau.
“Mbak yu Sri sudah berapa lama tidak periksa di
dr. Susi?” tanyaku lagi.
“Sudah lama, tapi belum ada uang untuk berobat
lagi.” Jawabnya.
“Sabar Mbak, besok jika ada uang aku antarkan
sendiri ke dr. Susi.”
“Iya” senyummu.
Tapi dalam hatiku seperti ada
firasat buruk. Dan itu benar sepulang jam istirahat dari mengajar aku sempatkan
untuk pulang ke rumah untuk sekedar melihat keadaan. Rumah terasa sepi.
Biasanya mbak yu Sri duduk dikursi tamu, sekarang tak lagi tampak. “Mungkin di
belakang,” pikirku. Baru saja aku taruh kontak sepeda motorku dimeja, “Gubraak”,
hatiku tersentak. Dan kulihat mbak yu Sri jatuh terduduk sambil membawa bak
air, ia mau bangkit tapi tak sanggup, segera kuraih tubuhnya, kududukkan
dikursi belakang. Aku lihat tubuhnya semakin bertambah pucat dengan kedua
matanya yang tak bisa fokus, sepertinya ia merasakan sesuatu hal yang tak bisa
aku jabarkan dengan bahasa medis, sebentar tubuhnya seperti kejang-kejang,
hanya hatiku menerka, “apakah ini yang dimaksud komplikasi hiperglikemia?
Keadaan tubuh seseorang yang telah mengalami gula darah tinggi akut yang
mengakibatkan jaringan tubuh lainnya menjadi rusak.” Kulihat lagi wajahnya
mulai berangsur-angsur membaik. Kesadarannya juga mulai membaik, tapi tak bisa
bertahan sejam, tubuhnya kembali seperti akan kejang-kejang lagi. Aku bingung
dan menjadi sedikit panik, ku bawa ke Puskesamas terdekat. Hanya diinfus tiga
hari tiga malam tak ada perkembangan namun kejang-kejangnya sedikit hilang. Dan
dokter telah menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit kabupaten. “Aduh, semakin
menjadi tak karu-karuan hati ini, mendengar kata rujuk.” Hatiku pasrah.
Beberapa hari sepulang dari
Puskesmas terdekat, mbak yu Sri masih bisa bertahan seperti sedia kala. Kami
sekeluarga merasa sedikit lega. Maklum untuk membawa ke rumah sakit pasti
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan uang darimana?, itu yang menjadi
kendala kita sekeluarga. Apalagi cucunya tercinta juga telah dibawa rujuk ke
Surabaya untuk operasi bibir sumbing. Kita seakan mendapatkan musibah yang
bertumpuk-tumpuk, tapi kita tidak boleh menyalahkan siapapun, semua sudah
ditentukan oleh Tuhan. Patokannya, Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi
kapasitas kemampuan seseorang.
Hingga puncaknyapun tiba, ibaratnya
kita seperti menyimpan bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Siang menjelang
sore, bertepatan di rumah ada acara kirim doa untuk satu tahun meninggalnya
bapak. Biasanya mbak yu Sri juga ikut sibuk membantu, tapi kali ini ia tak bisa
ikut membantu, hanya tidur terbaring dikamarnya. Tidur dengan hari-hari yang
menjemukan, iapun bangkit ingin melihat-lihat suasana orang yang sibuk
mempersiapkan segala sesuatu untuk kondangan, pertama, ia berjalan dekat pintu
kamarnya dengan tangan yang berpegangan pada kusen pintu. Berikutnya ia penasaran,
melihat karung yang berisi beras, ia buka dan ia lihat, “oh, berasnya masih
banyak,” batinnya. Ia pun kembali masuk kamarnya, namun ketika ia akan masuk ke
dalam kamarnya, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, tubuhnya serasa
tegang, pandangannya tak fokus, dan tubuhnya roboh ke depan, tak sadarkan diri.
“Brak…” suara tubuh terpelanting ke depan, semua yang ada di rumah menjerit
histeris. Darah mengalir dari mulutnya, giginya rampal, dan bagaimanapun juga
ia harus dilarikan ke rumah sakit kabupaten. Nafasnya tersengal-sengal,
tubuhnya dalam beberapa menit kejang-kejang, ia mengalami koma beberapa hari
dan harus di rawat ke ruang ICU. “Mbak Yu Sri semoga kau bisa tertolong.”
Doaku.
Bangilan, 30 Januari 2017.
Mengenang saudara yang telah meninggal akibat
penyakit diabetes mellitus.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda