Senin, 27 November 2017

Mandi Bunga Tujuh Rupa

https://berugaqelen2010.wordpress.com/2015/09/10/menyaksikan-pohon-purba-di-pantai-pidana/
Pohon Meh raksasa itu masih mengepulkan asap hitam. Dan dupa-dupa yang telah dibakar membuat hidung menjadi kembang kempis. Bau kemenyan menyengat menjadikan nafas tersengal-sengal. Mantra-mantra terus dibaca dengan bahasa yang sulit dipahami. Bahasanya campuran, ada Jawa, Arab, Latin bahkan bahasa Kawi. Mendengar mantranya hati menjadi bergidik, bayangan terlintas menuju dedemit penunggu pohon-pohon meh raksasa. Seakan kepalanya menyembul dari pohon meh raksasa dengan taring dan tanduk dikepalanya. Dan menjadikan nyali semakin ciut.
            Perlahan sesepuh dan Paranormal Kerajaan Kali kening yang tersohor, Ki Kofo mengeluarkan bunga tujuh rupa dari tas kantong berwarna hitam. Matanya setengah mengatup ketika bunga itu ditaburkan disekitar pohon meh raksasa. Udeng-udeng yang dipakainya menambah kharisma tersendiri bahwa ia adalah orang pintar atau orang yang mempunyai ilmu ghoib tingkat tinggi. Satu langkah, ia berhenti untuk menaburkan bunganya di pohon meh raksasa, satu langkah ia berhenti lagi dan menaburkan bunganya pada pohon itu, setiap satu langkah ia selalu berhenti, begitu terus hingga selesai mengitari pohon meh raksasa. Ketika telah selesai tubuhnya kembali bersimpuh dengan khusyuk, ia membaca lagi mantra-mantra yang kian tak jelas maknanya. Orang-orang mempercayai bahwa mantra itu adalah media dialog dengan makhluk ghoib penunggu pohon meh raksasa. Seluruh rakyat Kali Kening juga sangat menghormati pohon meh raksasa yang konon telah berusia lebih dari tiga abad. Ada lebih dari tujuh pohon meh raksasa yang masih berdiri kokoh dengan akar-akarnya yang menancap kuat di makam keramat Ki Bangining.
Ki Bangining ini dulunya seorang Raja yang sakti mandraguna serta bijak luar biasa. Ia terkenal sebagai Raja yang mencintai rakyatnya. Begitu juga sebaliknya, rakyat Bangining  sangat mengagungkannya. Di tengah-tengah pohon meh raksasa itulah jasadnya dikebumikan. Ada gundukan tanah merah dengan batu alam sebagai nisannya. Sederhana namun terlihat angker.
            Raja baru Kali Kening, Raden Mas Ikal masih terdiam duduk bersila didepan salah satu pohon meh raksasa. Tubuh cekingnya menggigil kedinginan tersapu angin pohon meh raksasa. Hatinya sedikit ciut ketika melihat Ki Kofo menceburkan bunga tujuh rupa di danau kecil dekat pohon meh raksasa. Mulutnya komat-komit membacakan mantra lagi, kabut tipis mulai memenuhi seisi danau, sepertinya danau itu tahu jika ada sesuatu yang telah mengusiknya. Danau semakin gelap oleh kabut. Ki Kofo geragapan seperti terbangun dari mimpi buruk dalam tidurnya.
            “Tuan Raja Ikal, ada sesuatu yang aku tangkap dalam prosesi penyucian bunga tujuh rupa di pohon meh raksasa ini. Pesan itu dibawa oleh ikan lele emas beranting-anting satu. Bahwa Paduka Raja harus memperistri putri Ulla dan putri Ainis, yang sekarang berada di pinggiran Kerajaan Kali Kening.”
            “Apa, Ki, menikahi dua-duanya?”
            “Iya Tuan Raja. Apakah Tuan Raja pernah bertemu dengan mereka?”
            “Aku pernah mendengar nama itu ketika aku melakukan penelitian di desa Etab. Kedua putri itu adalah seorang putri yang cerdas dan mengelola Taman Baca Kerajaan Kali Kening di kawasan Etab. Dan banyak karya-karya tulisan lahir dari desa Etab.”
            “Apakah mereka telah mengetahui keberadaan Paduka Raja?”
            “Tidak. Aku telah menyamar sebagai seorang peneliti bukan sebagai keluarga Kerajaan Kali Kening. Ratu Tria dan Ratu Sundar memerintahkan kepadaku untuk meneliti seberapa majukah pola pikir desa Etab dan Kabarnya semakin maju dunia literasi di desa tersebut.”
            Ki Kofo diam dan manggut-manggut sebagai tanda setuju dan terkesima mendengar keterangan Raja Ikal yang terkenal dengan karya-karyanya yang monumental. Bahkan telah menjadi bacaan wajib bagi Kerajaan Kali Kening dengan syair-syair indahnya. Patung di Kepala menjadi buku pujaan setiap rakyat Kali Kening. Alasan itulah dua Ratu mengangkatnya sebagai pejabat Kerajaan bahkan kini telah berhasil menjabat sebagai Raja Kali Kening menggantikan kedua Ratu yang telah tiada. Karir yang bagus dan melejit sesuai dengan kepiawaiannya dia dalam menuliskan karya-karyanya dalam bentuk sastra. Kemudian Raja Ikal berbicara lagi.
“Ratu Tria dan Ratu Sundar sangat antusias ketika mendengar rakyatnya yang mempunyai kebiasaan membaca dan berkarya. Bahkan telah banyak beberapa karya yang telah lahir dari tangan-tangan mereka. Dan kabar yang telah beredar karyanya telah banyak tersebar ke seluruh dunia, memasuki negara bangsa kulit putih Arya, bangsa bermata sipit Moghul, bangsa Arab Keling, dan bangsa Hindis, dan masih tersebar ke negara-negara mitra dagang Kerajaan Kali Kening lainnya.”
             “Ampun, Raja. Dan yang menjadi kendala saat ini adalah Tuan Raja harus berjuang untuk bisa mempersunting kedua putri tersebut karena siapa tahu ada pihak-pihak lain yang akan merebutnya.”
            “Kenapa aku harus mempersunting kedua putri tersebut Ki?”
            “Itu tadi pesan yang aku tangkap Tuan Raja, bahwa ikan lele emas beranting-anting satu yang datang memberikan pesan sebagai bisikan pendiri Kerajaan Kali Kening yang megah ini, Ki Bangining, karena sebelum Ratu Tria dan Ratu Sudar Banong menjadi penguasa Kali Kening, Ki Bangining telah membangunnya meski belum menjadi kerajaan seperti ini tapi itu adalah cikal bakalnya.”
            “Baiklah Ki Kofo aku akan menuruti permintaan itu.”
            “Bagus Tuan Raja, sekarang Tuan Raja harus mandi di danau yang telah aku berikan sesaji bunga tujuh warna dan mantra-mantra untuk mengizinkan kepada Ki Bangining agar segala tindak dan tanduk selama Raja Ikal memangku jabatan sebagai Raja Kali Kening selalu mendapatkan keselamatan dan kesuksesan juga mampu membawa Kerajaan Kali Kening terbang tinggi menuju kesejahteraan dan kejayaan.”
            “Tapi bukankah selain aku masih ada pejabat-pejabat tinggi lainnya yang lebih pantas menjadi Raja di Kerajaan Kali Kening ini, Ki? Kenapa harus aku yang menjadi penguasa menggantikan dua Ratu hebat itu?”
            “Itu sudah menjadi suratan takdir dari penguasa alam ini, Tuan Raja. Mereka memang terkenal sebagai pejabat-pejabat yang mumpuni, seperti Patih Dino Jumantha, Mpu Rosho, Panglima Kafabiha, Penasehat JoyoJuwoto, namun mereka lebih suka yang menjadi Raja adalah Tuan Raja Ikal.”
            “Aku ini anak muda, Ki, kenapa mereka percaya sama anak muda?”
            “Bukan begitu Tuan Raja. Sudah seharusnya kekuasaan itu yang memegang adalah anak muda yang masih enerjik dan lincah.”
            “Baiklah, Ki, aku manut pada ketetapan Dewan Paseban Agung Kerajaan Kali Kening. Jika aku salah tegurlah, jika masih tidak bisa ditegur, ingatkanlah, jika tak bisa diingatkan, bunuhlah, dengan satu tekad demi kebenaran bersama.”
            Ki Kofo terdiam dan berusaha mencatat percakapan Tuan Raja Ikal dalam ingatannya. Kemudian menuntun Raja Ikal menuruni tangga yang terbuat dari bebatuan dan ditata dengan rapi menuju danau, airnya telah menjadi dingin sedingin es. Kabut masih tetap memenuhi seputar danau. Ketika tubuh Raja Ikal mulai terendam perlahan-lahan masuk ke dalam air danau, seakan-akan ada perubahan dalam tubuhnya, ia merasakan dinginnya air danau telah membuat seluruh persendian tubuhnya menjadi kaku, ia menyembul keluar dengan cepat dan geragapan.
            “Ada apa Tuan Raja?” Ki Kofo memberanikan diri untuk bertanya.
            “Tubuhku terasa kaku, Ki.”
            “Tak apa Tuan Raja, itu hanya sebentar. Setelah itu tubuh Tuan Raja akan terbiasa.”
            “Baiklah akan aku coba lagi.”
            “Aku akan tetap setia mendampingi Tuan Raja disini.”
            ‘Terima kasih, Ki.”
            “Sama-sama, itu sudah menjadi tugas hamba.”
            Kembali tubuh Tuan Raja Ikal diceburkan lagi pelan-pelan. Ia mulai merasakan kesegaran tubuhnya, pikirannyapun mulai segar dan kepercayaan dirinya mulai perlahan-lahan tumbuh memenuhi pori-pori. Kedua mata ia pejamkan. Nafasnya ia tahan. Seakan-akan ia sedang tidak berada dalam air. Lama ia terus bertahan didalam air. Pikirannya terbang memenuhi cakrawala berfikirnya yang mulai longgar. Pikirannya bertemu dengan sosok orang tua yang berjenggot putih dan bersorban hitam. Sepertinya ia melakukan pembicaraan dengannya.
            “Cucuku, untuk menjadi raja yang baik, hati harus tetap sabar, tabah, dan tegar. Dari ketiga faktor rasa itu ketenangan pola pikir akan selalu kau dapatkan. Memerintah tidak harus menggunakan kekuatan pedang ataupun pukulan, tapi memerintah lebih bijak adalah menggunakan ketajaman pola pikir yang brilian dan keramahan hati nurani.”
            “Baiklah, Kakek, saya akan terus berusaha menjaga pesan Kakek.”
            “Kalau boleh tahu Kakek ini siapa?”
            “Saya adalah Bangining.”
            “Terima kasih, Kakek Bangining.”
            Dalam sekejap Kakek Bangining hilang ditelan air. Tiba-tiba dari kejauhan ada benda yang bergerak terseot-seot mendekat. Sepertinya itu ikan.
            “Ampun Tuan Raja, saya adalah Ikan Lele Emas Beranting-anting satu, saya datang untuk memberikan pesan kepada Tuan Raja, bahwa Tuan Raja harus menikahi dua putri dari desa Etab, Putri Ulla dan Putri Ainis. Namun ingat jangan pernah kau sakiti hati keduanya, karena kedua putri itu adalah penulis hebat, jika kau sampai hati menyakiti penulis namamu akan selalu dikenang seumur hidup. Dan ingat! Menikahi kedua putri itu sama dengan kau menikahi kekuasaan. Karena kedua putri tersebut mempunyai kebiasaan membaca buku, banyak informasi-informasi yang telah ia simpan dalam otaknya. Sebelum ada musuh yang akan lebih dulu menikahinya, dan kau akan terjatuh.”
            Raja Ikal kaget.
            “Baiklah Ikan Lele Emas Beranting-anting satu.”
            Sekejap tubuh ikan itupun menghilang. Raja Ikalpun dengan cepat kembali menyembul ke permukaan. Kedua matanya masih terpejam kemudian ia mendengar pelan suara serak-serak basah dari Ki Kofo. Perlahan-lahan kedua matanya pun terbuka.
            “Bagaimana Tuan Raja, apakah Tuan Raja bertemu dengan bayangan-bayangan?”
            Dengan pelan dan masih tak percaya Raja Ikalpun mengangguk.
            “Iya, Ki Kofo.”
            “Siapa gerangan?” Tanya Ki Kofo penasaran.
            “Kakek Bangining dan ikan lele emas beranting-anting satu.”
            Ki Kofo tersenyum puas.
            “Bagus.”
Dengan pelan-pelan tubuh Tuan Raja Ikal naik lagi ke permukaan dan suasana sekitar pohon-pohon meh raksasa kembali cerah. Kabut-kabut yang telah menutupi danau sekitar pohon meh raksasa lenyap seketika.
            “Tuan Raja, tugas saya dalam prosesi penyucian Tuan Raja dengan bunga tujuh rupa telah selesai dan semua hampir telah berjalan dengan baik dan lancar bahkan penunggu danau pohon meh raksasa telah merestui Tuan Raja untuk memerintah Kerajaan Kali Kening yang telah kosong kekuasaan semenjak dua Ratu itu tiada.”
            “Terima kasih, Ki Kofo telah memberikan bantuan kepadaku.”
            “Sama-sama Tuan Raja itu sudah menjadi tugas hamba sebagai paranormal Kerajaan Kali Kening.”
            “Sampai bertemu lagi di Kerajaan, Ki.”
            “Siap Tuan Raja.”
            Dan Tuan Raja pun meninggalkan Ki Kofo yang masih duduk di depan pohon meh raksasa. Wajahnya terlihat lelah. Keringatnya disekitar wajahpun ia seka dengan sapu tangan warna merah jambu. Dalam hatinya bergumam, “semoga Kali Kening mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada.”
           
Bangilan, 27 Nopember 2017
Rohmat Sholihin
Anngota Komunitas Kali Kening.
            

Label:

Rabu, 22 November 2017

Tips Belajar Menulis



http://www.tamanbacakesiman.com/dapur/


Dari Menulis Menu Masakan
            Kemarin kita singgung cara belajar menulis sederhana dengan menulis daftar belanjaan. Dan sekarang kita bisa mencoba memulai belajar menulis dengan menulis menu masakan. Aneh tentunya. Namun, akan menjadi bahan tulisan yang menarik jika menu masakan itu kita jadikan quite-quite yang menarik. Kita tahu bahwa untuk menjadi penulis adalah harus bisa menggambarkan semua situasi dalam bentuk tulisan yang enak untuk dibaca dan dicerna dengan akal. Meski hanya dari situasi yang sederhana atau tidak begitu penting. Menulis menu masakan. Dan biasanya yang paling tanggap dan memikirkan perjuangan untuk mewujudkan masakan di meja makan setiap hari adalah kaum Hawa atau para ibu-ibu. Sedangkan para suami atau bapak-bapak hanya menuntut saja tak pernah mau tahu urusan dapur. Meski kaum bapak-bapak lebih bertanggung jawab dalam segi financial. Tapi juga banyak para ibu-ibu dengan lincah ikut berpartisipasi dalam membantu kondisi keuangan keluarga atau para ibu-ibu tidak mau tinggal diam dan duduk manis dirumah tapi ikut berjibaku membantu perekonomian keluarga.
            Meski para ibu-ibu juga ikut sibuk bekerja namun tidak pernah sedikitpun melupakan urusan dapur. Bagaimanapun di atas meja makan selalu tersedia menu masakan untuk keluarga, Walau jika sudah sangat sibuk tidak punya waktu untuk memasak didapur, bisa juga membeli di warung, ini lebih cepat dan akurat. Dan menu masakannya juga bisa berganti-ganti, sekarang masakan rawon, besok soto, besoknya lagi sayur asam, sayur lodeh dan seterusnya sesuai dengan selera masing-masing. Peran istri hanya membelikan bukan memasakkan. Untuk para istri tak usah tersinggung ya, karena memang sudah banyak ditemui di masyarakat kita. Terkadang lebih parahnya lagi jika ada ibu-ibu dengan sinis melihat temannya belanja sayur di pasar untuk dimasak dirumah, mereka mengejeknya bahkan bahasa now, mem-bully dengan kalimat-kalimat yang pedas. Lebih keterlaluan lagi difoto dan diunggah di media sosial dan ditambahi dengan komentar-komentar miring. Inilah fenomena sosial saat ini. ibu-ibu juga tak mau kalah dengan urusan pencitraan. Benar-benar, deh.
            Sedangkan ibu-ibu yang tetap setia memasak dirumah, ada banyak hal menarik untuk di tulis, meski sangat sederhana. Dari awal menulis menu masakan. Bagaimana menu masakan rawon, soto, pecel Madiun, dan masih banyak lagi. Dan tulisan itu bisa ditaruh di buku agenda, buku tulis atau bahkan dikertas lalu ditempel di dinding-dinding dapur seperti mading. Lumayan bisa menambah suasana dapur lebih menarik dan unik sehingga kita sebagai para ibu lebih betah untuk berada di dapur tercinta. Bahkan dapur bisa dimodifikasi penataan ruangnya mirip perpustakaan mini. Luar biasa. Ruang dapur menjadi perpustakaan menjadikan para ibu lebih rajin membaca dan memasak tidak bosan atau boring. Tentu saja lengkap dengan musiknya, radio, tv, bahkan dvd,dan bisa karaoke, dapur ala kafe.
            Ada lagi kalimat-kalimat ungkapan yang muncul di dapur ketika memasak juga banyak dan lucu-lucu. Misalnya:
-          baumu seperti sayur asam, kecut.
-          Bau terasi, kamu belum mandi.
-          Rasa masakanmu asin, kamu minta nikah ya.
-          Bicaramu seperti gado-gado, tak jelas.
-          Kisahmu manis seperti gula.
-          Kisahmu sedih dan pahit seperti pare.
-          Kritikmu pedas laksana cabe.
-          Dan seterusnya.
Meski hanya memulai dari menulis menu masakan, ternyata banyak juga ide-ide untuk
Bisa ditulis dan dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang menarik. Menulis tidak harus menuliskan ide-ide yang berat dan tingkat kesulitannya sangat sulit. Namun, menulis itu bisa dilakukan kapan saja dan ditempat mana saja. Selamat mencoba untuk belajar menulis. Tak usah takut untuk tidak dibaca.

Bangilan, 23 Nopember 2017.
Rohmat Sholihin.
                                                                                                                 

Label:

Selasa, 21 November 2017

Tips Belajar Menulis

www. google. com
Menulis Daftar Belanjaan

Ada seorang teman minta untuk diajari agar bisa menulis. Lalu aku jawab, menulis itu mudah, tak ada yang sulit. “Loh iya, serius.” Jawabnya. Benar kok menulis itu mudah jika kau berani mencoba untuk menulis. Tentu saja menulis apa saja yang kau suka. Dalam menulis itu tak ada aturan harus dari satu gender saja. Menulis itu gendernya banyak. Bisa puisi, artikel, cerpen, novel, berita, ilmiah, dan sebagainya.
            Kau bisa memilihnya gender tulisan yang kau suka. Tak usah ragu. Semua tulisan itu mempunyai dunianya masing-masing. Dan tak usah takut untuk dibilang jelek. Dalam tulisan itu sama saja, seorang penulis hebat hanya menang dalam jam terbang dan kemauan serta motivasi dalam menulis. Sehari ia bisa menggunakan waktunya untuk terus menulis. Sejam, dua jam, atau bahkan lebih berjam-jam.
            Ketika aku balik bertanya, “yang susah bagian mana dalam menulis?” jawabnya memulainya. Memulai dalam menulis kalimat atau memulai untuk niat, ternyata dua-duanya. Oke, taruhlah menulis itu ibarat sesuatu yang menyenangkan. Bisa kau mulai dari yang paling ringan, ini ada kaitannya dengan niat, bisa menarik nafas dalam-dalam dan dalam pikiran kita camkan saya harus bisa menulis, ketika nafas kita lepaskan dalam hati kita membatin, harus bisa menulis, harus bisa menulis. Lakukan sesuka hati asal jangan ditempat-tempat umum. “He..he…” tawaku pelan.
            Memang dalam memulai apapun, kalau tidak ada motivasi dan niat sangatlah sulit bahkan akan menjadi sesuatu yang besar. Seperti akan mendaki gunung, kalau tidak sesuatu hal yang kita persiapkan, baik materi maupun immateri akan menjadi pekerjaan yang berat bahkan mustahil akan tercapai. Namun, jika kita persiapkan dengan pelan-pelan, sabar, ulet, pasti akan berhasil begitu juga dalam hal menulis.
            Jika masih sulit dalam menulis, terkait dengan ide tulisan. Awalilah dengan tulisan yang sangat sederhana meski itu diawali dengan menulis daftar belanjaan. Apa kebutuhan belanja perhari bahkan perbulan dan pertahun, bisa ditulis semua dalam buku harian plus lengkap dengan daftar harganya. Sehingga secara tidak langsung kita akan mempunyai daftar lengkap harga-harga kebutuhan keluarga. Dan memahami jumlah pengeluaran dalam perhari, perbulan, bahkan pertahun yang akan kita keluarkan. Hebat kan, jika terus dikembangkan dari hal yang sederhana ini akan terus mengetahui jumlah rata-rata pengeluaran setiap keluarga dalam satu RT, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, bahkan dalam suatu Negara. Luar biasa, bukan? Selamat mencoba dan tetap terus menulis. Intinya belajar menulis ya harus menulis, menulis, menulis, dan belajar, belajar, belajar, dalam bahasa Rusia, Uchid, uchid, uchid, tanpa kenal berhenti. Dalam istilah asing: long live education. Meski dimulai dari menulis yang sederhana: menulis daftar belanjaan.


Bangilan, 22 Nopember 2017.
oleh. Rohmat Sholihin.


Label:

Senin, 20 November 2017

Malam itu Sehabis Kau Pergi



https://sydneydxb.wordpress.com/2012/02/06/just-wondering/

Nyamuk-nyamuk ini tak bosan juga menghisap darahku, seperti vampir kecil-kecil merubung tubuhku, tak berdaya aku mengusirnya, terlalu banyak dan terlalu kecil aku lumpuhkan. Tapi, tubuhku semakin tersiksa, serasa binasa, tak berkutik aku dibuatnya.
Malam…
Menunggu…
Sungguh membosankan…
Dipojok lapangan yang gersang. Hanya desahan angin malam membius tubuhku yang semakin menggigil. Jangkrik berpesta pora dengan iring-iringan lagunya yang hanya itu-itu saja, menjemukan. Tapi malam tanpa iringan nada jangkrik tak kan lengkap dikatakan malam, hanya malam yang sunyi tak berarti. “Kau juga tak kunjung muncul, dengan rambut terurai bermandi rembulan merah jambu, meski terkesan sendu namun sungguh kaulah perempuan pertama kali yang telah mencuri hatiku.” Kataku pada malam yang tetap membisu. Pohon ringin satu-satunya dipojok itu juga ikut bergoyang. Mungkin ia juga ikut tak sabar menunggu bidadari malam keluar. Atau memang hanya desahan angin malam yang nakal.
            Hatiku masih berdegup kencang tak sabar untuk segera bertemu dengan bidadari rembulan malam ditempat ini. Kenapa ditempat ini? Aku belum punya nyali untuk berani mampir dirumahmu. Meski setiap kali kau selalu mengajakku main ke rumahmu. Aku sendiri tak tahu kenapa tak ada nyali untuk itu? Setiap kali aku cari jawabannya otakku semakin tumpul. Melihat bapaknya serasa malaikat pencabut nyawa, ketika matanya memandangku seakan nyawaku serasa mau lepas. Ketika melihat ibunya serasa buto cakil yang akan melumatku hidup-hidup.
            Mungkin itu alasan kenapa anak belum cukup umur tak boleh memendam rasa cinta. Akalnya tak sejalan dengan rasa dalam hatinya. Meledak-ledak sedangkan akalnya tak mampu mengimbanginya. Seperti aku malam ini, menunggumu dalam gelap malam dengan diserbu jutaan nyamuk yang haus dan lapar. Dan sampai sekarang kau belum juga datang sedangkan malam semakin larut terus berjalan.
            Kubayangkan lagi isi surat dengan kertas wangi berwarna merah muda darimu.
Teruntuk : Mas R di kediaman
            Sebelumnya saya mohon maaf. Beberapa hari ini saya sangat tidak bisa tenang. Entah kenapa? Saya sendiri tidak tahu. Setiap saya melihatmu di sekolahan maunya saya ingin duduk denganmu dan bercerita apa saja. Namun tak pernah ada kesempatan untuk itu. Sedangkan kau selalu sibuk bercanda dengan teman-temanmu. Saya tak berani menyapa apalagi mendekat.
            Kalau boleh jujur ada rasa dihatiku tentangmu. Gejolak ini pertama kali saya alami ketika saya mengenalmu. Kamu boleh percaya atau tidak, karena memang begitu kenyataannya. Apakah saya salah? Tentu saja kau boleh marah padaku namun dari awal saya berusaha jujur pada diriku sendiri bahwa saya tak segan mengatakan saya mencintaimu. Kamulah cinta pertamaku
Dari seseorang yang mengagumimu:
Ayani R
Ketika menerima suratmu dan itu merupakan surat pertama kali yang aku terima dari seseorang perempuan pula. Jujur. Membukanya saja setidaknya saya harus makan minum dulu layaknya seseorang akan minum obat dari dokter. Supaya tidak gemetar.
            Beberapa hari setelah kau mengirim surat padaku. Sepertinya kau tak sabar menunggu surat balasan dariku. Pernah kita berpapasan di beranda kelas. Dengan tersenyum kau julurkan tangan isyarat meminta surat balasan. Sedangkan aku dalam beberapa hari ini pasca membaca suratmu, aku seperti orang terserang penyakit demam, panas dingin, karena baru kali ini aku membaca surat yang isinya sungguh membuatku terbelalak. Ada seorang gadis manis, berambut panjang, sipit, menaksirku. Serasa aku mendapatkan pulung kebahagiaan. Ibarat orang menemukan rezeki besar. Dan aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Tak tahu jadinya. Bingung dan bingung hingga aku tak mampu menulis surat untukmu. Sepatahpun tak ada kata-kata yang sanggup aku tulis kecuali kata-kata yang membebal dalam pikiranku: suka, suka, suka, namun harus bagaimana yang ku perbuat?
            Kebingungan saja yang terus menggundah. Menjelma dan menjerat puing-puing rindu ingin terus bertemu. Sedangkan kata-kata cinta yang telah kau ucapkan melalui kata-kata terus membius nuraniku. Mencabut anganku, sedang kita sangat susah untuk berbincang, apalagi bercanda dengan lepas. Sungguh ada sekat kuat yang masih menghalangi langkah-langkah ini. sedangkan kemampuan kita masih sangat terbatas. Kita belum bisa berfikir realistis. Hanya berkhayal setinggi-tingginya, mengayuh matahari, mengayuh rembulan, kaki-kaki kita masih tak sanggup.
            Nyamuk-nyamuk semakin nakal. Burung hantu pun mulai bersuara dengan lantang. Nyaliku mulai ciut. Dan aku harus memutuskan, menyudahi penantian yang belum jelas gambarnya. Keparat. Malam tetap tak bergeming untuk terus berlanjut menceritakan kisah-kisahnya dalam pekat. “Apa kabar cinta? Kau tak juga keluar malam ini menyambutku dengan dahaga kasih yang terus berdegup kencang, tak karu-karuan.” Dengan pelan akupun berlalu meninggalkan pojok lapangan yang tetap sepi. Sejuta keluh kesah mencibir pori-pori hatiku. Pikiranku semakin penat. Lebih baik aku putuskan menyerah tanpa syarat.
            Surat yang ingin aku berikan padamu ku baca lagi. Pada paragraf terakhir tertera bahwa aku kebingungan terhadap cinta yang telah kau capkan pada suratmu yang pertama. Rancau. Tak semanis dalam ucapan. Ini ada yang janggal. Setidaknya aku harus mencari kebenaran tulisan itu. Apa benar surat itu kau yang telah membuatnya? Atau jangan-jangan ada unsur lain yang sengaja mempermainkanku dan menjebakku.
            ‘Tega benar, kau.” Batinku menyelidik dengan hati yang remuk redam.
            “Ya, setidaknya jika kau setulus dalam ucapanmu, bagaimanapun juga dalam situasi malam yang gelap gulita kau tetap datang menghampiriku.”
            “Tapi, malam ini, bayanganmu saja tak tampak. Kau telah mengkhianati janjimu sendiri. Dan malam ini aku menarik kesimpulan bahwa kata-kata suci tentang cinta yang kau ucapkan tak ubahnya seperti bibirmu yang tipis. Pandai memainkan kata-kata gombal.”
            Dengan ditemani malam yang dingin maka ku tulis surat dengan tanganku sendiri bahwa kita lebih baik menjadi teman saja. Lebih bebas dan lebih bisa mengerti perasaan kita masing-masing. Bahwa kita belum pantas menyandang sebutan: sedang berpacaran. Dan rasa cinta yang pernah singgah dalam hati biarkan saja seperti apa jadinya.
            Hingga waktu terus berlalu. Beberapa tahun kemudian kita baru bisa menjawab teka-teki itu. Kita memang ditakdirkan hanya untuk saling menyapa dan kenal. Selebihnya itu hanya bualan. Hanya mengisi cerita pada kehidupan anak manusia, laki-laki, perempuan, tapi bukan berpasangan, hanya cukup menjadi teman.
            Akhir bulan desember 1999 kau melangsungkan pernikahan. Aku datang dengan hati yang kupaksa kuat. Ternyata aku memang kuat. Sekejap bayanganmu hilang ditelan awan. Aku tak lagi menyimpan bayanganmu. Aku sadar kau telah memilih kehidupanmu dengan lelaki yang kau pilih
Kini, 17 tahun kita tak pernah lagi bertemu.
Namun. Aku dengar kabar bahwa kau telah kembali pulang. Secara tak sengaja kita telah bertemu di pojok lapangan ini. Aku kembali ingat malam itu persis aku menunggumu di tempat ini dengan rasa yang tersiksa. Dan kini kau telah menjadi perempuan pendiam. Hanya bola matamu yang masih lentik, indah menari-nari, seperti ingin mengungkapkan rasa yang belum sempat terucapkan. Kau masih cantik seperti dulu, hanya saja kau telah menjadi ibu dari keempat anakmu, semuanya lelaki. Senyummu juga tidak berubah, masih tetap menawan, seperti dulu, dan kau tahu? Senyummu itulah yang paling aku suka. Sayang senyum yang manis itu telah dirudung duka. Aku dengar kabar kau telah bercerai dengan suamimu. Keceriaan yang dulu ada padamu telah padam hanya ada kemuraman dan kesenduan dalam hatimu. Sulit membayangkan hidupmu sekarang.
Dulu aku menunggumu ditempat ini dengan kesendirianku. Mengharap akan kehadiranmu. Sedang sekarang aku tidak menunggumu lagi karena aku telah menjadi ayah dari anak-anakku dengan wanita yang telah setia menemaniku.
“Apa kabar…..”


Bangilan, 21 Nopember 2017.
Rohmat Sholihin
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.




           
           

           




Label:

MbahWage

https://www.bukalapak.com/p/fashion-pria/sepatu-169/formal/12og39-jual-sepatu-bally-kulit
    Pagi itu Mbah Wage sedikit sibuk karena mendapat undangan dari pak Camat untuk mengikuti upacara detik-detik Proklamasi di lapangan kecamatan. Sibuk mencari sepatunya hadiah dari komandannya yang pernah menyambanginya beberapa tahun kemarin sewaktu ada acara reuni veteran angkatan 45 dan 49. Komandan dan juga teman baik Mbah Wage memberikan hadiah sepatu baru. Senang bukan buatan, haru tak tertahankan, selama Mbah Wage bertugas sebagai pasukan gerilya dulu tak pernah menggunakan sepatu, bertempur dengan pasukan musuhpun dengan telanjang kaki. Meski Mbah Wage juga sangat menginginkan punya sepatu baru. Tapi, ia tak pernah punya kesempatan menggunakan sepatu dalam perang  mempertahankan kedaulatan negeri ini. Keluar masuk hutan, menuruni bukit, gunung, menyeberang sungai, melintasi sawah dengan telanjang kaki. Batu, kerikil, pasir, lumpur ia lewati dengan senapan ditangan siap menghabisi musuh-musuhnya. Mbah Wage termasuk pasukan yang bisa diandalkan oleh komandannya karena ketangkasan dan keberaniannya serta kekuatannya yang diatas rata-rata, penembak jitu, penyamar ulung, perenang hebat, penyusup handal,  jaduk bela diri. Membunuh musuh dengan tidak menggunakan senjatapun sering ia lakukan. Sangat pantas sebagai pasukan elite atau khusus. Cuma waktu itu belum ada pasukan elite ditubuh Tentara Rakyat Indonesia.
Hadiah sepatu itu ia taruh dilemari dekat ruang tamu, berhari-hari sepatu hadiah dari komandannya itu ia pandangi, ia pegangi, lalu ia pakai. Dicoba jalan beberapa langkah ke depan dan mundur ke belakang, maju gagah, mundur gagah, “enak dipakai sepatu ini, pasti mahal harganya.” Batinnya. Ia copot lagi dan ia masukkan ke dalam kardusnya dan dimasukkan lagi ke lemari. “Ah sayang, aku pakai untuk apa? Perang sudah usai, tugasku juga sudah selesai. Tak ada fungsinya. Aku juga sudah tua, untuk apa? Biarkan kusimpan dalam lemari saja. Sebagai kenang-kenangan dari komandan.” Ucap Mbah Wage. Ia pun berlalu meninggalkan sepatu baru itu dengan tenang. “Sudahlah, biarkan sepatu itu aku simpan saja, siapa tahu ada yang memerlukannya.” Pikirnya lagi.  Bertahun-tahun sepatu itu tak pernah ia lihat dan dipegangi lagi. Seakan-akan hasrat untuk punya sepatu baru telah sirna begitu saja. Bahkan lupa jika ia punya sepatu baru hadiah dari komandannya.

***
Beberapa hari kemarin Si Tulaikah berantem dengan suaminya. Percekcokannya sampai ke tetangga. Suara tangisan dan jeritan Tulaikah seperti orang kesetanan. Kebetulan istri Mbah Wage yang belum sibuk bekerja di ladang menghampirinya. Menanyakan apa duduk perkaranya? Ternyata si Mamad anak Tulaikah tak punya sepatu untuk mengikuti Paskibraka di kecamatan. Si Mamad terpilih sebagai Paskibraka namun ia belum punya sepatu. Dan sampai sekarang bapaknya Karmin belum mampu untuk membelikannya karena suatu sebab beberapa bulan ini ia tak bekerja karena proyek lagi mandek. Ketika setiap diingatkan tentang sepatu Mamad langsung sensitif, marah-marah pastinya, puncaknya pagi ini ketika Mamad sudah berangkat ke sekolah semua emosi itu diluapkan. Pintu rumah digedor-gedor bahkan Tulaikah ketakutan dan kemudian berteriak-teriak histeris.
“Ada apa, Kah? Beranntem kok terus apa tidak bosan?” Tanya istri Mbah Wage.
“Beberapa hari ini Kang Karmin nganggur sedangkan Si Mamad belum punya sepatu untuk Paskibraka di kecamatan, tadi pagi waktu aku ingatkan tentang sepatu Mamad langsung marah-marah. Pintu dan dinding kayu itu ditendang hingga hampir jebol.” Tulaikah tersedu-sedu ketakutan.
“Kapan Paskibrakanya, Kah?” Tanya istri Mbah Wage lagi.
“Ya mesti tanggal 17 Agustus, Mbah. Di saat hari ulang tahun Proklamasi kemerdekaan kita.” Jawab Tulaikah.
“Sebentar, dirumah ada sepatu milik Mbahmu, siapa tahu cukup untuk Si Mamad.” Istri Mbah Wage mencoba menawarkan pada Tulaikah.
“Tak usah Mbah. Terima kasih, terima kasih.” Secepatnya Tulaikah langsung menjawab. Bayangannya sepatu itu pasti hanya cocok untuk pergi ke ladang supaya tidak tergores beling atau tertusuk duri sewaktu bercocok tanam diladangnya Mbah Wage. Sepatu itu terbuat dari karet dan dibawahnya ada benjolan-benjolan seperti sepatu bola supaya tidak licin. Apa jadinya ketika Si Mamad memakainya, sudah pasti menjadi guyonan teman-temannya karena salah atribut, bukan mau menjadi tim Paskibraka namun menjadi tim sepak bola. Karena sepatu yang dipakai adalah jelmaan sepatu bola.
Tanpa perduli istri Mbah Wage tidak menggubrisnya ia tetap balik ke rumah ingin mengambil sepatu milik suaminya itu yang telah disimpan dilemari depan. Tapi Tulaikah juga tak mau kalah.
“Sudah, sudah, Mbah tak usah repot-repot, biar besok Kang Karmin yang akan membelikannya ditoko sepatu milik H. Kono. Karena hanya ditoko itu yang punya.” Bicara Tulaikah pada istri Mbah Wage yang tetap ngotot
“Berapa harganya sepatu itu, Kah?” Tanya istri Mbah Wage.
“Kemarin aku sempat bertanya, sekitar 299 ribu, Mbah.” Jawab Tulaikah.
“Mahal. Kapan kau belikan, dia?”
“Belum tahu ini Mbah. Kang Karmin belum punya uang. Belum kerja beberapa hari ini. uangnya juga masih untuk kebutuhan makan.”
“Lihat saja dulu, Kah, siapa tahu cocok.” Tawar istri Mbah Wage lagi.
“Tidak usah, Mbah. Terima kasih.”
“Sebentar, Kah, kau bisa melihatnya dulu, kasihan Mamad. Mbah Wage sudah tidak membutuhkannya lagi.”
“Tidak, Mbah. Terima kasih.” Ngotot Tulaikah dengan bayangan dikepalanya yang tetap sama. Sepatu untuk ke ladang dengan benjolan-benjolan dibawahnya laksana sepatu bola. “Apa jadinya, apa jadinya.” Batinnya.
Dan istri Mbah Wage pun pulang. Ia masih penasaran dengan Tulaikah yang tidak mau ia bantu. “Ada apa ini ya, ah, sudahlah biar aku ambil saja sepatunya. Apa salahnya usaha ingin membantu tetangga dalam kesulitan. Tak ada yang salah, justru lebih bagus jika sepatu bapak bisa dimanfaatkan oleh orang yang membutuhkan.” Dengan langkah yang tergontai-gontai istri Mbah Wage mengambil sepatu itu.
“Kah, Tulaikah,….” Masih tak ada jawaban dari dalam rumah.
“Kah, Tulaikah….”
“Iya. Silahkan masuk.” Jawaban dari dalam rumahpun terdengar.
“Oh Mbah Wage, ada apa lagi, Mbah?” Tanya Tulaikah penasaran.
“Ini loh sepatunya, Kah. Coba buka dulu kardusnya.”
“Oh Mbah Wage, benarkah ini sepatu Mbah Wage?” Hampir Tulaikhah tidak percaya, perlahan ia membuka kardus sepatu itu. Ada tulisan didalamnya dengan kertas warna merah: Untuk Wage Kusnan. Kupersembahkan sepatu ini untuk pahlawanku, pahlawan rakyat Indonesia. Prajurit terbaik yang pernah ku kenal sepanjang masa. Dariku : Letnan Jenderal Djaka Artub Purnawirawan. 10-11-1999.
“Wah, sepatu bagus ini, Mbah. Bisa dipinjam sama Si Mamad, Mbah?” Batin Tulaikah tak percaya.
“Iya silahkan biar dipakai sama Si Mamad dan kau tak perlu bertengkar lagi dengan suamimu.” Jelas istri Mbah Wage.
“Terima kasih Mbah.” Ucap Tulaikhah dengan memeluk istri Mbah Wage.
Tanpa membalas ucapan terima kasih pada Tulaikhah, istri Mbah Wage pun pamit pulang. “Saya mau menyusul Mbahmu di ladang, Kah.” Ucapnya kemudian berlalu.
***
            Esoknya….
Dengan masih bingung ia mencoba duduk dikursi depan lemarinya. Ia merenung, kemana perginya sepatu baru itu? Sedangkan beberapa jam lagi ia akan berangkat upacara Detik-Detik Proklamasi meski ia juga sempat menolaknya untuk hadir namun yang meminta hadir adalah pak Camat putera dari komandannya Letnan Jenderal Djaka Artub tak ada alasan untuk tidak hadir, akhirnya ia pun luluh dan bersedia hadir. Ia masih merenung, mencari-cari sepatu itu.
“Kemana sepatu itu ya, tiba-tiba menghilang?” Pikirnya masih terus mencari-cari sepatu hadiah komandannya yang telah ia letakkan di lemarinya.
“Tak mungkin kalau hilang, jelas ini,…” Sebelum Mbah Wage meneruskan pikirannya itu.
“Cari apa, Pak? Dari tadi kok mondar-mandir didepan lemari.” Tanya istrinya.
“Cari sepatuku hadiah dari komandan Djaka. Bu. Aku simpan dilemari ini tiba-tiba tidak ada. Sedangkan pagi ini jam delapan aku mendapat undangan dari pak Camat untuk mengikuti upacara detik-detik proklamasi di lapangan kecamatan. ” Jawab Mbah Wage.
“Ya Allah, Pak. Sepatu itu kemarin aku kasihkan pada Si Mamad untuk dipakai Paskibraka di kecamatan juga. Tulaikhah habis berantem dengan suaminya karena belum bisa membelikan sepatu untuk si Mamad. Suaminya beberapa hari ini tidak ada kerjaan jadi belum bisa membelikan. Aku kasihan, Pak.” Jawab istri Mbah Wage dengan penuh sesal.
“Sudahlah, Bu. Tak apa jika sudah kau berikan pada Si Mamad. Sebenarnya aku enggan untuk hadir. Namun, Pak Camat selalu memaksa aku untuk hadir dan aku sudah tak punya alasan lagi.” Jawab Mbah Wage.
“Aku carikan sepatu dimana ini, Pak?”
“Begini saja, kau datang ke rumah Tulaikhah, ambilkan sepatunya Mamad biar aku pakai.”
“Baiklah, Pak.”
***
            Istri Mbah Wage pun menghampiri rumah Tulaikhah.
            “Tulaikhah, begini ya, Nduk. Bukan berarti aku punya maksud untuk meminta lagi sepatunya. Namun, bisakah saya pinjam sepatunya Mamad untuk Mbah Wage, karena dia juga mendapat undangan mengikuti upacara di kecamatan.” Bicara pelan istri Mbah Wage.
            Tulaikhah hanya diam, terpaku. Ia merasa telah merugikan dan merepotkan istri Mbah Wage.
            “Aduh, Mbah. Maafkan saya. Telah merepotkan Mbah Wage jadinya.” Jawab Tulaikhah.
            “Tak apa, Mbah Wage hanya ingin meminjam sepatunya Mamad.”
            “Baiklah.” Tak banyak bicara Tulaikhah kembali ke belakang untuk mengambilkan sepatunya Mamad.
            “Ini, Mbah sepatunya Mamad.” Dengan malu Tulaikhah memberikan sepatu casual hitam yang telah rusak parah. Bagian depan sebelah kiri sobek dengan kakinya hampir terlihat. Sedangkan bagian kanan yang belakang juga telah sobek. Sepatunya Mamad memang sudah sangat tak layak, wajar jika ia meminta sepatu baru untuk Paskibraka. Tak mungkin mengikuti Paskibraka menggunakan sepatu yang tak layak akan menjadi pemandangan yang tidak layak pula.
            Tapi istri Mbah Wage tak perduli dengan semua itu. Sepatu milik Mamad yang memprihatinkan itu tetap ia bawa pulang untuk dipakai Mbah Wage mengikuti upacara pagi ini. sesampai dirumah sepatu yang sudah tak layak itu tetap Mbah Wage pakai. Ia padukan dengan seragam putih-putih dengan peci hitam yang dipakai dengan gaya miring. Tapi sepatunya, casual hitam dengan sobek depan belakang, keren, tidak berpenampilan seperti bekas pejuang namun terlihat seperti mantan rocker. Tubuhnya yang kurus dan jangkung, hidungnya yang mancung, matanya sedikit sipit, rambutnya sedikit panjang putih dan berombak dengan peci hitam. Seakan ia mau tampil membawakan lagu untuk konser bukan untuk mengikuti upacara. Aneh. Tapi hebat.
***
            Mbah Wage pun berangkat dengan tenang. Tak ada sedikitpun rasa risau dalam hatinya. Sepatunya Mamad yang tak layak ketika dipakainya menjadi barang antik dan unik. Meski lusuh dan setengah rusak namun tetap berwibawa. Meski ada pepatah jawa: Ajining rogo soko busono, seakan tak berlaku bagi seorang prajurit terbaik, Wage Kusnan. Ia sudah tak membutuhkan sanjungan dari banyak orang apalagi pencitraan setinggi langit. Untuk apa? Ia sudah tak butuh itu semua, yang ia butuhkan hanya pembuktian bukan pencitraan.
Mbah Wage datang dan duduk dengan gagah di kursi undangan. Ada beberapa tamu undangan yang menyalaminya ada juga tamu undangan yang sinis padanya. Mungkin dikira ia adalah orang setengah gila. Karena dilihat dari seragamnya yang tidak pantas itu mengandung asumsi oleh banyak orang. Sepatunya saja, wow, keren, tidak semua orang kuat mental untuk memakainya, jangan-jangan sepatu dari loakan mana itu? Mbah Wage tetap cuek. Dalam hati Mbah Wage masih kuat sebagai mantan prajurit terbaik.
            Ia pun ikut berdiri ketika pasukan pengibar bendera sedang mengibarkan bendera. Ia melihat Mamad dengan gagah bertugas sebagai pasukan inti pembawa bendera, tubuhnya tinggi, atletis, cakep, keren, dan sepatunya sangat pas dengan penampilannya. Mbah Wage hingga merasa terharu dengan kondisi Mamad. Dalam hatinya, “Kau memang pantas memakai sepatu itu, Nak. Kau terlihat gagah, luar biasa, dan sepatumu sangat cocok. Kau lebih patut memakainya, Nak.” Ada rasa haru dalam diri Mbah Wage. Ia tak marah sedikitpun. Justru ia merasa tersanjung karena telah memberikan kesempatan pada Mamat untuk bisa ikut tampil dalam pasukan Paskibraka dengan gagah dan sukses. Karena Mamad adalah faktor kunci pembawa bendera dan pengibar bendera. Sukses tidaknya upacara berada pada pundaknya. Apa jadinya, jika ia memakai sepatu ini, sangat tak patut.
            Upacarapun usai. Mbah Wage pun ikut beramah tamah di pendopo kecamatan. Pak Camat yang mengundangnya secara pribadi menyalaminya dan menceritakan kiprah dan perjuangan Mbah Wage sewaktu perang 10 Nopember dan Agresi Belanda pada seluruh hadirin yang hadir untuk beramah tamah di pendopo. Semua tersentak tak terkecuali seluruh undangan yang hadir, semua menyalami Mbah Wage, bahkan Komandan Komando Rayon Militer memeluk Mbah Wage sambil menangis tersedu-sedu, haru.
            Sedangkan diluar pendopo beberapa anggota Paskibraka, Mamad dan kawan-kawan dengan setia menunggu Mbah Wage selesai beramah tamah. Ketika Mamad bertemu dengan Mbah Wage ia langsung memeluk Mbah Wage dan meminta maaf atas sepatunya yang telah ia pakai. Sedangkan Mbah Wage hanya tersenyum dan berkata lirih.
            “Sepatumu bagus, Nak. Nyaman tak tertahankan.” Lalu mereka foto bersama dan tertawa lepas dengan bahagia.

Bangilan, 20 November 2017.
Rohmat Sholihin
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.    

Label:

Sabtu, 18 November 2017

Banyurip Terbakar

https://tirto.id/saat-belanda-membatalkan-sepihak-perjanjian-linggarjati-cs8T
Pasukan Belanda berhasil melanjutkan perjalanan meski menghadapi banyak kesulitan, baik kesulitan bertempur menghadapi pasukan gerilya dan juga medan yang sangat berat. Jalan yang berlumpur, jembatan putus, tank-tank macet, truk-truk mangkrak karena jalan harus dibenahi terlebih dahulu. Menaklukan eks Hindia Belanda tak seindah bayangan dalam benak mereka. Kini, orang-orang eks Hindia Belanda bukanlah seonggok beruk yang penurut dan bodoh, orang-orang eks Hindia Belanda mempunyai semangat persatuan dan keberanian untuk melawan. Mengerti arti siasat pertempuran yang melumpuhkan serta merepotkan musuh. Mempunyai senjata untuk melawan, senapan, revolver, granat, ranjau, juga bayonet.
Pertempuran-pertempuran terus berlangsung secara signifikan. Bahkan cukup membuat pasukan Belanda kalang kabut. Teror dari pasukan gerilya terus dilancarkan sehingga membuat pasukan Belanda menjadi tegang. Banyak rumah-rumah warga yang telah dibakar. Rakyat biasa tak bersenjata ditangkap. Ada yang ditembak, dikubur entah dimana, membuat keluarganya menjadi marah terhadap pasukan Belanda. Sedangkan perjanjian-perjanjian antara pemerintahan Belanda dan pemerintahan RI menghadapi jalan buntu.
Pasukan Belanda mulai memasuki tanjakan bukit Banyurip. Terseot-seot dan meraung-raung, truk-truk dan tank-tank terus merayap menaiki jalan-jalan terjal. Asap-asap hitam dari cerobong knalpot terus berhamburan. Hanya beberapa mobil jeep, dan truk serta tank yang masih bisa berjalan, lainnya hancur terbakar akibat diledakkan oleh pasukan gerilya. Truk-truk pengangkut bahan bakar dan bahan makananpun juga luluh lantah oleh ranjau-ranjau yang telah dipasang oleh pasukan gerilya. Secara nyata agresi yang telah dilancarkan Belanda mendapatkan perlawanan yang cukup merepotkan, dan Tentara Republik menghindari perang terbuka, bahkan dengan cara itu Belanda sangat kewalahan. Belanda tidak bisa menaklukan secara utuh daerah-daerah strategis RI, pemerintah RI masih terus berlanjut meski harus berpindah-pindah tempat begitu juga pemerintah daerah. Presiden Soekarno dan wakil Drs Moh. Hatta meski telah ditangkap bahkan dibuang ke Bangka Belitung sedikitpun tak ada pengaruh bagi perlawanan rakyat. Kekuatan militer RI masih mampu melakukan pertahanan dan mengimbangi kekuatan pasukan Belanda.
Sebelum pasukan Belanda menjamah bukit Banyurip-Cepu dan menguasai bahan bakar minyak sebagai cadangan energi tempur mereka, baik Koloni Arendt dibawah komando Kapten C. Bloom dan Koloni Kieviet dibawah komando Kapten Mar Giesbert dan tak mungkin pasukan gerilya akan terus menguasai dan mempertahankan daerah strategis itu. Belanda akan menyerang secara total daerah strategis yang kaya akan cadangan energi untuk bekal peralatan tempur mereka. Maka beberapa kekuatan kesatuan dari Divisi I Brawijaya dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soedirman lebih dulu melakukan usaha-usaha penghancuran dengan cara membakarnya.
Asap hitam seperti hutan terbakar memenuhi sumur-sumur minyak, apinya mengepul-ngepul, dilengkapi dengan ledakan-ledakan. Namun, karena cadangan minyaknya yang sangat melimpah tak semua sumur-sumur itu bisa diledakkan hanya beberapa titik yang dianggap lebih penting dan strategis.
Pasukan Belanda itupun datang. Beberapa perlawanan dari pasukan gerilya masih terus berlangsung. Seakan-akan serangan gerilya Republik Indonesia tak ada matinya. Perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman sesuai surat perintah siasat nomor 1, bahwa perlawanan harus tetap terus berlangsung dengan cara bergerilya. Kekuatan militer Indonesia harus terus menyatu dengan rakyat. Kita tak ingin menjadi bangsa terjajah lagi. Kedaulatan bangsa harus tetap terus dipertahankan mati-matian.
Dalam pertempuran di desa Banyurip ini ada banyak kesatuan-kesatuan dari Republik Indonesia. Ada pasukan Hizbullah. Ada juga pasukan Ronggolawe, pasukan Banaspati, pasukan Gendruwo, pasukan Sikatan itu semua  kesatuan dari Divisi I Brawijaya. Semua bersatu bahu membahu melawan pasukan Belanda. Pertempuran berjalan dengan sengit dan hampir seharian penuh. Ada banyak bantuan pasukan dari beberapa daerah termasuk satu batalyon dari Bojonegoro. Ada juga bantuan bahan makanan bagi para pejuang yang bertempur dari desa-desa seperti Bangilan, Binangun, Kedewan, Wonocolo, Senori, Kaligede, Plunten, Kedungkebo bahkan Parengan dan Sembung.
Maka Banyurip menjadi ajang pertempuran yang dahsyat. Banyak korban berjatuhan. Bukan hanya pasukan dari kedua belah pihak namun rakyat sipil pun bergelimpangan. Hewan-hewan ternak pun banyak yang mati. Banyurip seperti desa penebar maut. Belanda semakin kewalahan dan terjepit. Tak ada pilihan untuk mengirim kabar di Tuban agar dikirim bala bantuan lagi. Belanda hanya punya strategi mengulur waktu dengan bertahan total. Menunggu bantuan sekompi lagi datang atau dengan bantuan udara berupa pesawat tempurnya.
Jawa sekarang bagi mereka bukanlah lagi tempat yang nyaman untuk singgah dan melakukan pendudukan. Sumber kekayaannya mereka hisap dan orang-orangnya pula. Jawa telah menjadi pusat pergerakan perlawanan yang sungguh diluar nalar. Senjata mereka mampu mengimbangi persenjataan Belanda. Senjata dari rampasan Jepang. Meski ada beberapa pasukan yang masih memakai kelewang, pedang ataupun parang. Tapi masih punya senjata rampasan Jepang yang melimpah. Senjata punya Jepang yang dipersiapkan untuk melawan sekutu tak ingin diambil alih oleh tentara sekutu dalam peristiwa pelucutan. Senjata-senjata itu telah digunakan oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk melakukan revolusi kemerdekaan hingga kini.
Belanda salah sangka. Badan intelejen mereka telah salah perhitungan dalam membaca peta kekuatan Republik Indonesia. Memang dari awal berkesan seperti mudah menaklukannya tapi kekuatan-kekuatan tentara Republik melakukan perang gerilya yang sangat menyulitkan Belanda. Panglima besar Jenderal Soedirman melakukan perintah siasat nomor 1 agar tentara-tentara terus melakukan perlawanan disetiap daerah-daerah basis gerilya masing-masing untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Buktinya Belanda kalang kabut. Didukung oleh rakyat yang masih bersimpati kepada tentara Republik Indonesia.
Jalur-jalur intelijen Belanda yang sempat mereka tinggalkan menjadi jalur yang telah tertutup oleh semak-semak karena lama tidak terpakai sehingga intelijen Belanda menggunakan jalur-jalur yang telah digunakan oleh Jepang. Maka pasukan gerilya lebih mudah membaca pergerakan tentara Belanda yang akan melakukan rute pendudukan. Seakan-akan jalur yang dilalui oleh pasukan Belanda sekarang ini bagaikan jalur neraka. Penuh dengan rintangan dan gangguan-gangguan penyerangan dari pasukan gerilya. Bisa dipastikan agresi militer yang telah dilancarkan oleh Belanda tak berpengaruh apa-apa bagi kedaulatan RI, tetap terus berdiri sebagai negara yang telah merdeka.
Sedangkan maksud daan tujuan pasukan Belanda mendatangi Banyurip Cepu hanya ingin memastikan bahwa kilang-kilang minyak yang telah diketemukan Belanda masih terus beroperasi. Disamping itu cadangan bahan bakar untuk melakukan pendudukan harus benar-benar ada, dan tentu saja sesuai dengan peta wilayah Jawa Indonesia, Banyurip-Cepu adanya. Tidak ingin dalam agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda tidak didukung dengan suplai energi bahan bakar yang mumpuni. Pasukan gerilya sadar bahwa tak mungkin jika akan terus mempertahankan wilayah itu dengan peperangan yang hebat karena strategi perang pasukan gerilya adalah menyerang dan hilang begitu seterusnya, bukan menghadapi pertempuran dengan Belanda secara terbuka. Karena tentara Republik Indonesia tidak hanya menghadapi Belanda namun kekuatan pasukan Indonesia juga baru saja menghadapi pergolakan dan pemberontakan yang dilancarkan oleh Muso dengan gerakannya PKI di Madiun.
Pertempuran semakin seru. Rawe-rawe ratas, malang-malang putung, daya tempur pasukan gerilya semakin membabi buta. Tembak-menembak semakin mengerikan. Korban kedua pihak bergelimpangan.
“Mana korekmu, Kang?” Pinta seseorang berpangkat letnan.
“Untuk apa?” Jawab temannya penasaran.
“Bakar lagi sumur-sumur yang lain!” Ajaknya.
“Baik, Kang.”
“Sebenarnya Belanda telah menandai titik-titik sumur yang telah ditutup lagi dengan cor, supaya aman tidak diambil oleh Jepang terutama bangsa kita ini, agar suatu saat ketika Belanda kembali tinggal menitiknya lagi.”
“Benar, Kang. Belanda selalu punya cara tersendiri sebelum meninggalkan tanah jajahannya ketika kalah tanpa syarat dengan Jepang. Di Kalijati.”
“Dan kita tak punya waktu banyak untuk menemukan titik-titik sumur itu karena kecamuk perang semakin menghebat.”
“Iya , Kang dan kita tak mungkin terus bertahan didaerah ini.”
“Kenapa?”
“Karena Presiden Ir. Soekarno dan Drs Moh. Hatta telah tertangkap, kabarnya telah diungsikan ke Bangka.”
“Lantas…”
            “Dengan tertangkapnya Presiden beserta seluruh kabinetnya, kita hanya bisa melawan melalui gerilya. Hanya bersifat mengganggu dan memberikan perlawanan sebisanya saja. Karena Belanda memegang kuncinya, melalui presiden yang telah ditangkap.”
“Dan untung Panglima Besar Jenderal Soedirman terus bergerilya tak mau takluk kepada Belanda.”
“Apakah Ir. Soekarno bisa juga dibunuh, Kang?”
“Bisa juga tapi Belanda tak kan gegabah.”
“Maksudnya,..”
“Belanda menyandera pemimpin kita sebagai kunci perlawanan rakyat Indonesia, jika Belanda semakin terjepit pasti akan menggunakan Ir. Soekarno untuk jurus agar tentara kita mau untuk mundur atau bahkan menyerah.”
“Apakah pak Karno tidak membuat pemerintahan darurat, Kang?”
“Setidaknya upaya itu sudah diambil oleh pemimpin-pemimpin kita.”
“Pemerintahan kabupaten juga masih terus berpindah-pindah ini, Kang. Kemarin ke desa Jadi-Semanding, Montong bahkan kabarnya ini telah pindah ke Jatirogo.”
“Betul, dan Belanda masih terus memburunya.”
“Semoga Pak Bupati KH Musta’in tidak tertangkap oleh Belanda dan menjadi sandera.”
“Semoga, Kang.”
“Bahkan istri KH Musta’in, Aisyah selalu mendapatkan iming-iming dari wakil kerajaan Belanda Van der Plas dengan jabatan Residen jika Bupati KH Musta’in mau berhenti memimpin perjuangan gerilya.”
“Lantas…”
“Yang aku tahu Tuan Bupati KH Musta’in tak kan mau.”
“Syukurlah, Kang. Jangan sampai kita terlena dengan iming-iming Belanda yang licik.”
“Hampir semua tertipu dengan siasat licik Belanda, mulai Pangeran Diponegoro, Kapiten Pattimura, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, masih banyak lagi dan  semoga Presiden kita mempan dengan bujukan-bujukan Belanda.”
“Iya Kang semoga.”
“Van der Plas kok sampai tahu posisi istri KH Musta’in?”
“Van der Plas itu teman akrab KH Musta’in sewaktu belajar Islamologi di tanah suci Makkah. Bahkan Van der Plas sering bermain dirumah KH Musta’in. Dan tak tahu apa kepentingannya.”
“Oh begitu.”
“Sudah-sudah, Kang, nanti kita lanjutkan lagi bicaranya. Sekarang ayo kita ledakkan sumur-sumur itu lagi. Agar Belanda semakin kebingungan dengan cadangan bahan bakarnya.”
“Siap.”
Tak lama, beberapa sumur-sumur minyak telah dibakarnya, api semakin membuncah, beberapa ledakan berbunyi mengerikan. Pertempuran semakin edan. Pihak pasukan gerilya semakin banyak berjatuhan. Belanda juga demikian. Keduanya masih belum mau mengakhiri peperangan. Masih terus berlangsung dengan sengit. Pasukan Belanda sedikit terjepit karena tank-tank telah ditinggalkan di desa Kaligede sehingga penyerangannya kurang begitu dahsyat. Pasukan gerilya semakin gencar melakukan penyerangan hanya saja terkendala pada cadangan senjata yang telah dibawa. Mau tak mau, mundur juga akhirnya. Dan membiarkan Banyurip salah satu desa strategis karena banyak mengandung energi bahan bakar harus rela jatuh ke tangan Belanda. Perlahan-lahan kekuatan gerilya mulai mundur secara teratur. Dan kembali ke daerah-daerah aman. Meski nanti akan melakukan penyerangan kembali dengan melihat situasi yang menguntungkan.


Bangilan, 18 Nopember 2017
Oleh. Rohmat Sholihin
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.

Label: