https://adventureinhealth1201.wordpress.com/2014/09/10/jeep-lava-tour-sunrise-merapi/
Oleh.
Rohmat Sholihin*
Lima belas tahun berlalu.
Kereta api senja masih terus melaju.
Kini aku akan hadir lagi pada kota tua, kota penuh kenangan. Kota yang
mengajari aku tentang makna aksara. Aku akan datang di Villa tua itu lagi atas
permintaan kawan-kawan lama diacara Reuni dengan diisi diskusi bedah buku yang
telah aku terbitkan, kumpulan cerpen Rindu
Itu Berganti Hujan, aku berharap kau ada dan datang diacara reuni dan
diskusi bedah buku terbaruku. Tapi, aku tak berharap penuh bisa bertemu
denganmu. Disituasi seperti ini semua telah sibuk dengan urusan dan kesibukan
masing-masing. Kita bisa bertemu dalam satu forum, bersenda gurau merupakan
kenikmatan tersendiri. Tak sabar rasanya ingin segera sampai dan melepas lelah
bersama mereka.
Kereta api berhenti sejenak
distasiun yang aku tak tahu, namun dengan susah payah aku cari-cari tulisan
nama stasiun melalui jendela, ternyata aku lihat dipojok dekat toilet ada
tulisan Stasiun Sragen (SR), aku
kembali duduk dan meluruskan kakiku yang terasa kaku, maklum perjalanan panjang
Surabaya Gubeng-Lempuyangan Yogyakarta. Daripada terdiam ku keluarkan buku
kumpulan cerpen Rindu Itu Berganti Hujan,
ku baca lagi satu cerpen Stasiun Tua
Dikampungku, kembali terasa pikiranku ke masa kecil, ketika bermain di
stasiun dekat rumah yang rindang dengan pohon-pohon Meh yang besar, ada empang
penuh dengan ikan, bermanja-manja dengan alam yang masih bersahabat.
Kereta api berjalan lagi. Kupanggil
pelayan kereta dan memesan segelas kopi panas. Ku pandang lagi keadaan luar
jendela. Stasiun Sragen akan ku tinggalkan. Mendengar cerita dari orang yang
duduk didepanku, bahwa stasiun Sragen ini bernama Mojosragen karena dekat
dengan keberadaan pabrik gula Mojo.
“Angker, nak.”
“Oh iya.”
“Bangunan
yang dibangun oleh Belanda hampir semua terkesan angker, bentuknya megah, besar
dan kuat bertahan selama bertahun-tahun. Cara membangunnya selalu memperhatikan
kaidah-kaidah kontruksi yang sesuai tehnik arsitektur, bukan asal dan…”
“Dan tidak
korupsi.”
“Bisa juga.”
‘Perhatikan
bangunan-bangunan stasiun diberbagai daerah hampir semua bisa bertahan, mulai
dari stasiun Gubeng sampai stasiun Jakarta Kota. Luar biasa kuatnya, bentuk
kontruksinya, tepat sekali.”
“Bukan hanya
bangunan stasiun saja pak, bendungan-bendungan juga masih kokoh berdiri. Hanya
saja kita tidak mau merawatnya dengan baik, jadinya perlahan-lahan mulai
rusak.”
“Kesannya
kita hanya bisa jadi bangsa pengrusak.”
“Bisa juga.”
“Bukan.”
“Kau tak
terima?”
“Ehm, iya.”
“Alasan?”
“Kita bisa
membangun lagi.”
“Buktinya?,”
“Monas.”
“Itu bangunan
setelah merdeka, sebelum jauh abad bangsa bule datang ke bumi pertiwi ini sudah
ada bukti-bukti sejarah peninggalan dari nenek moyang kita, candi-candi, dan
kubah masjid.”
“Dan kau
mengaguminya?”
Aku hanya
mengangguk pelan.
“Mas hendak
pergi kemana?”
“Yogyakarta,
dan bapak?”
“Sama. Ada
kepentingan apa? Kuliah?”
“Tidak pak,
saya sudah lulus. Hanya ada undangan dari kawan-kawan lama, ya semacam reunian
bapak.”
“Dimana?”
“Wisma
Kaliurang bapak.”
“Ogh, asyik punya
kesempatan untuk bertemu lagi.”
“Ya begitulah
bapak.”
Obrolan
semakin jauh dan akrab, berbagai macam isu hangat menjadi perbincangan santai
dalam kereta. Hingga tak terasa telah sampai di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
Kuajak jabat tangan sambil mengucapkan,”terima kasih bapak dan selamat jalan
semoga kita bisa bertemu lagi.”
Bapak
tersenyum,
“Broto,”
“Abrasyi,”
“Nama bagus.”
“Terima
kasih.”
Akupun segera
turun.
“Inilah kota
kenangan. 15 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 2001, bersama rombongan
kawan-kawan dari kota Malang dan Pekalongan. Kini aku datang lagi dengan
kegugupan-kegugupan usiaku yang tak lagi muda. Yogyakarta aku datang lagi
dengan semangat gempita, suara yang tetap menyala, dan senyum yang selalu
tersimpul pada seutas manis bibirku. Mata dan hati yang selalu menyulam raut,
entah raut siapa? Tentu raut kenangan yang tertinggal pada bekas
guratan-guratan dinding hati yang terdalam, aku masih punya kesempatan menyapa
kota dengan materi yang berbeda, berbeda dari kemarin ketika aku berjibaku
dengan segumpal ide dan sepotong sunyi, menyanyikan lagu mars mu dengan tangan
mengepal, berteriak dijalanan, suaranya kini semakin menghilang hanya jadi
gaung asa,” gumamku.
Tiba-tiba mataku memandang suatu
tempat. Warung kopi stasiun. “Ah, suasana yang masih tetap sama, selalu ramai,
dan penjualnya masih tetap sama, meski wajahnya mulai dihiasi keriput tapi
senyum dan empatinya pada semua orang masih tetap sama seperti yang dulu, 15
tahun tahun bukan waktu yang singkat, ternyata Tuhan masih menuntunku menginjak
tempat ini. Syukurlah, aku masih punya kesempatan merajut kenangan yang telah
pudar oleh waktu, semoga ada hikmah dalam perjalanan hidup yang singkat,
setidaknya aku telah melihatnya kembali sebelum mati.” Pikirku. Aku mulai menempati
tempat duduk diluar warung, kutaruh tas rangselku dimeja, lalu memesan nasi
gudeg dan segelas teh hangat. Kembali mataku memandang situasi stasiun yang
ramai. Tak sengaja aku memandang paras yang sedang duduk dengan sebatang rokok
dimulut serta segelas kopi pahit didepannya. Pandangannya garang segarang
rambutnya yang gondrong tak terurus dan kumis serta janggutnya yang lebat.
Tubuhnya tinggi dan ceking. Kulihat dari sikap dan perangainya ia masih lajang
meski aku tak tahu kehidupannya sekaligus. Aku hanya menebak saja dengan
perkiraan-perkiraanku. Lagi pula aku tak ada urusan dengannya. Tapi hatiku
membayangkan sesuatu pada raut itu, entah raut itu benar atau tidak, aku tak
mau mengkhayal, kubiarkan mataku memandang yang lain, tapi raut itu semakin
jelas, kau. “Ah, bukan. Hanya pikiranku saja yang nakal, hanya pikiranku saja
yang masih penasaran tentang keberadaanmu, hanya pikiranku saja yang minta
dijelaskan tentang kebangsatanku dimatamu.” Batinku. Segera hidangan kusantap
meski sesekali aku melihat gerak-gerik bahasa tubuhnya yang hampir mirip kau.
“Ah sudahlah banyak orang mirip didunia ini.” Batinku.
Makanan ku bayar, lalu melanjutkan
lagi menuju Bugisan. “Tapi lebih baik aku mampir buang air kecil dulu,” pikirku.
Dan segera aku cari toilet stasiun. Baru mau masuk ruangan toilet pria, aku
sedikit tersentak, mendengar suara gertakan dari arah belakang yang tidak
begitu keras, namun cukup mengancam, dan aku tak asing dengan suara itu.
“Cepat
serahkan dompetmu atau pisau ini menikammu!”
“Cepat,
tunggu apa lagi!”
“Kau
bangsat!” teriaknya setengah keras.
Dengan cepat
kubalikkan badanku. Ternyata pria dengan rambut gondrong, kumis dan janggut
lebat yang kulihat diwarung sewaktu makan. Dan, aku tak asing lagi dengan suara
“bangsat” itu, juga tatapan matanya.
“Rinto.”
“Kau.”
Dengan
secepat kilat kau pun melompat menghindariku dan berlari sekuat tenaga mencari titik
aman. Aku tak mau ketinggalan juga memburumu dari arah belakang.
Berkejar-kejaran. Kau berlari melompat ke jalan kereta api, tak ketinggalan aku
juga memburumu. Tak perduli kereta api dari arah berlawanan, kau terus berlari
menghindariku, benar-benar nekat. Kereta api semakin dekat.
“Rinto,
minggir, awas!” tubuhku melompat ke samping begitu juga kau. Aku segera
bangkit, berlari dan menangkap tubuhmu yang belum sempat berdiri.
“Rinto. Tak
usah lari lagi, capek.”
“Lepaskan
aku, bangsat.”
“Kau selalu
membawa sial.”
“Sial apa?”
“Sial
segalanya.”
“sudahlah,
aku salah apa? Kenapa kau bisa begini To? Apa yang salah dengan otakmu?”
“Cemburu.”
“Hah,
cemburu? Dimana otak filsafatmu itu, dari pagi sampai malam selalu bicara
filsafat, tapi kenapa kau menempuh jalan hitam begini.”
“Sudah tak
usah khotbahi aku,”
“Aku berhak
khotbahi kau, kau salah, kau jahat, kau cemburu padaku? Apa yang kau cemburui?,
bukankah kau lebih lincah, lebih hebat dariku, dimana filsafatmu?”
“Sudah pergi
saja kau!”
“Tak bisa,
kau sakit, jiwamu itu perlu diobati. Kau sudah tak waras, begitukah filsafat
yang kau pelajari selama ini hanya begini hasilnya, penodong, merampas milik
orang lain.”
‘Sudah,
berhenti, aku muak dengan ocehanmu, berhenti kau membeo, aku tak butuh
pidato-pidato murahanmu.”
“Bukankah kau
yang murahan. Menodong orang lain.”
Dengan kesal kutampar
wajah sangarnya, “plak”, ia kaget dan mau membalasku, namun kutampar lagi,
“plak”.
“Bunuh saja
aku, Brasy, aku kalah,” dengan menyodorkan pisaunya padaku.
“Tak berguna aku
membunuhmu, tak berguna.” Kutatap wajah kalahnya lagi.
“Kenapa kau
bisa sampai tersesat disini.” Tanyaku
“Aku kalah
denganmu Brasy. Aku kalah.”
“Kalah apa?”
“Dimana
Puti?”
Aku kaget dan
tersentak,
“Astaghfirullohaladzim,
kau menyukai Puti? Kau cemburu padaku, kau marah-marah padaku saat kau mabuk di
Villa itu,hingga kau begini. Sinting kau!”
“Dimana dia?”
“Dia sudah
menikah dengan orang lain. Itu kabar yang aku dengar.”
“Dan kau tak
jadi menikahinya Brasy?”
“Oh Rinto,
aku sedikit tak ada niat untuk menikahinya. Paham?”
“Kenapa kau
tak menikahinya?”
“Aku tak
mencintainya.”
“Kenapa kau
selalu dekat dengannya?”
“Tak lain
ketika ia curhat padaku tentang ketidak beranianmu untuk mendekatinya,
padahal…”
“Cukup, tak
usah kau teruskan lagi kata-katamu, ayo kita lekas berlalu sebelum polisi
menangkap kita!”
“Kau takut
polisi?”
“Ya sekarang,
karena aku salah.”
“Kalau dulu?”
“Tidak, aku
menyuarakan kebenaran.”
“Kenapa kau
bisa begini?”
“Entahlah,
aku muak dengan perasaanku sendiri. Aku putus asa dengan ketidak jelasan
hidupku. Bangsat!”
“Ulangi!”
“Bangsat!”
“Kau hanya
fasih bilang kata-kata kotor itu. Apa tidak ada yang lain?”
“Tidak.”
“Ayo sekarang
ikut aku!”
“Kemana?”
“Bugisan.”
“Hah,
Bugisan. Untuk apa?”
“Iya,
Bugisan. Aku ingin kau turut aku.”
“Baiklah.”
Reuni dan bedah buku kumpulan cerpen
Rindu Itu Berganti Hujan pun dimulai.
Villa tua masih seperti yang dulu. Sejuk. Namun, kenangan-kenangan lama yang
membeku perlahan-lahan mulai mencair. Bersenda gurau penuh keakraban. Hampir
semua kawan-kawan bisa hadir, dan tak terduga Rinto telah aku temukan di ruang
pojok hitam dunianya. Dan lebih mengejutkan lagi kabar yang sempat aku dengar
tentang Puti yang sudah menikah hanya kabar kabur saja. Kuperhatikan seluruh
ruangan dan kawan-kawan yang hadir tak ada mereka berdua. Aku keluar ruangan
sebentar, melihat taman sekitar Villa tua.
“Bangsat! Kau
telah menghiasi tamannya.”
Kaliurang, 6 Oktober 2016.
*Penulis adalah Guru MI Salafiyah Bangilan dan aktif di Komunitas Literasi Kali Kening
Bangilan-Tuban.
Label: cerpen