“Bang Karto”
Oleh. Rohmat
Sholihin*
https://www.cikancah-cyber.com/2016/05/teknik-penokohan-cerita-rekaan-atau-fiksi.html
“Bang Karto,” begitu orang sekampung
memanggilnya. Sebutan kata “bang” mewakili peran dan kiprahnya yang hampir
menguasai hajat hidup orang sekampung. Model kegiatan apapun tak luput dari
peran dan aksinya, mulai dari kegiatan kepemudaan, pengajian, bedah buku, seni,
perayaan-perayaan hari besar, bahkan sampai pendidikan dan politik tak lepas
dari pemikiran dan pengawasannya. Otak encernya selalu memberikan sumbangsih
besar bagi kemajuan kampung tempat ia tinggal. Bahkan peran dan aksinya
mengalahkan peran seorang camat yang membawahi satu kecamatan. Bisa-bisa pak
camatpun tak berkutik berhadapan dengan bang Karto. Buktinya, pak camat selalu
nurut dan tak berkutik dengan bang Karto. Jika ada masalah yang pelik tak jarang
pak camat berkunjung dikediaman bang Karto untuk mendapatkan tausiyah serta
masukannya.
Pendidikan tinggipun tak pernah bang
Karto rasakan, hanya sampai pada sekolah dasar. Tapi apalah arti pendidikan?
Pendidikan tak kan menjamin masa depan gemilang. Masa depan gemilang bisa
diraih dengan kerja keras dan jauh dari putus asa. Jatuh bangun hal biasa. Itu
sudah alamiah dan sudah tak asing dalam diri bang Karto. Bahkan pendidikan
penjara pun pernah ia rasakan sewaktu masih remaja. Jeruji besi yang sunyi memberikan
banyak pelajaran bagaimana ia harus bertahan hidup, berdiskusi dengan
pikirannya sendiri, dan bertanya-tanya, memecahkan misteri kehidupan dengan
hatinya sendiri. Duh, benar-benar ia telah menjadi pribadi kuat secara prinsip
yang telah tersekat oleh jeruji penjara tubuhnya. Memang penjara tak kan bisa
membuat pribadi orang lunak seperti gabus. Dengan penjara orang semakin kuat.
Rasa dendam dan kemarahan berusaha disimpan dalam hatinya dengan kuat. Kuat tak
kuat, lingkungan yang membentuknya harus kuat, jika tak kuat, kenapa ia harus
bermain-main dengan api yang panas? Aku menyebutnya “api” karena jika lalai
akan berdampak besar dengan membakar dirinya dan sekitarnya. Orang masuk
penjara ada tipe “kelalaian” meski tidak semuanya, namun pada dasarnya orang
yang dipenjarakan adalah orang yang bermasalah. Sedangkan permasalahan itu
relatif, banyak juga orang tak bersalah harus masuk penjara karena ia bagian
dari permasalahan itu karena membahayakan.
Bang Karto dulu dengan sekarang
sudah beda jauh. Perubahan itu hampir mendekati sempurna, 180 derajat. Kini ia
telah menjadi setara tokoh, tamunya bukan sembarang tamu. Dari kelas pejabat,
priyayi, politikus, kyai, preman, pedagang, santri, pegawai, seniman, guru,
bahkan dari anak-anak sampai kakek-kakek, laki-laki, perempuan ia layani dengan
baik tanpa ada perbedaan. Cara pandangnya seperti malaikat. Hingga hantu harus
kabur menjauh dan tak berani mendekat lagi. Khutbah-khutbahnya sungguh mampu
menghipnotis pikiran orang lain bahkan setanpun akan tunduk. Dari orang galau
akan kembali senyum, dari orang takut akan kembali berani, dari orang yang
terjepit akan kembali longgar, dari orang-orang yang kepepet akan kembali
tersenyum lepas, punya masalah pelik datang saja ke bang Karto. Rebes bos, eh beres bos. Ia bukan dukun,
tabib, atau dongke, ia hanya manusia
biasa juga butuh rokok, makan, minum, tertawa, bercanda, berkeluarga, dan
bergaul. Tapi ia punya kelebihan pada kharisma atau wibawa yang tidak semua
orang punya. Ia sekarang juga mulai bersarung dan berkopyah, lebih religius
tepatnya, namun jika aku perhatikan dari segi cara bicaranya, semoga saja ia
bukanlah tipe orang yang fanatik. Itu bisa dilihat dari banyak buku yang
terpajang rapi dilemari perpustakaan pribadinya. Hampir semua buku-buku apa
saja ia baca, ia pelajari, ia diskusikan dengan santai diberanda rumahnya yang
asri, santai dan penuh khidmat, sepoi-sepoi angin menerpa wajah hebatnya yang
merakyat. Bang Karto kau laksana harimau si raja hutan yang bijak. Setiap aumanmu seisi rimba akan lari terbirit-birit
untuk sembunyi. Tak ada yang berani melawanmu, tokoh kancil yang terkenal
dengan kecerdikannya masih kalah cerdik denganmu. Tak ada yang berani
menghadapimu, sekali berteriak seluruh pengikutmu akan bergerak laksana pasukan
Temujin dari Tar-Tar menyerang kota,
semua pasti binasa, ludes tak tersisa.
Nama besarmu semakin menjulang
tinggi, mengudara, dan berkibar-kibar seperti bendera kebesaran suatu negara. Dihormati
dan dijaga. Kekuatanmu semakin kuat, dari kelas sosial apa saja, dari kelas
proletar sampai borjuis. Pemikiranmu terus menghegemoni mereka, mengajak ke
arah lebih baik, lebih baik, dan lebih baik. Namun, jangan lengah sampai
terpeleset, karena setan selalu punya banyak cara untuk menuntunmu ke arah
keburukan walau sebiji dzarohpun. Semakin tinggi keinginan seseorang semakin
kencang angin menerjang. Tetaplah menjadi bintang dilangit, sinarnya akan
selalu tetap terang meski berada sangat jauh, jauh, jauh. Bang Karto oh bang
Karto. Kiprahmu bikin orang berdecak kagum dan hormat. Semoga itu semua
bukanlah seperti lingkaran setan yang minta tumbal. Sudah kenal sama bang
Karto? Kenalan dong!
Bangilan, 22
Mei 2017.
*Penulis anggota komunitas Kali Kening
Bangilan.
Label: Essai
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda